Usman bin Affan

oleh Muhammad Husain Haekal

Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

1. Kisah Tentang-Majelis Syura dan Pelantikan Usman (1/2)

Umar terkena tikam dan penunjukan Majelis Syura - 1; Sikap Ansar terhadap Majelis Syura - 4; Pertemuan dan perdebatan sengit - 6; Sebab-sebab timbulnya perselisihan - 6; Persaingan antara Banu Hasyim dengan Banu Umayyah; sikap orang-orang Arab terhadap kekhalifahan - 9; Abu Sufyan - 11; Memperebutkan pengaruh - 11; Persaingan Banu Hasyim dan Banu Umayyah - 13; Hak dan batil - 13; Ali bin Abi Talib - 14; Zubair bin Awwam -16; Usman bin Affan - 17; Sa’d bin Abi Waqqas - 18; Abdur-Rahman bin Auf - 19; Talhah bin Ubaidillah - 20; Pertimbangan Umar memilih anggota-anggota Majelis Syura - 21; Abbas bersemangat, Ali tenang dan berpandangan jauh - 22; Ambisi untuk kedudukan khalifah - 23; Usaha Abdur-Rahman bin Auf - 24

Umar terkena tikam dan penunjukan Majelis Syura

Ketika mula-mula Nabi bangkit menyerukan Islam, Semenanjung Arab terbagi-bagi di antara kabilah-kabilah yang masing-masing berdiri sendiri-sendiri, dengan tingkat perkotaan dan pedalaman yang berbeda-beda, dengan penduduk yang selalu dalam konflik dan pertentangan terus-menerus. Sebagian besar daerah itu berada di bawah kekuasaan Persia atau pengaruh Rumawi. Sesudah Rasulullah berpulang ke rahmatullah - setelah dua puluh tiga tahun kerasulannya - pengaruh Persia dan Rumawi di Semenanjung sudah menyusut. Kabilah-kabilah Arab berbondong-bondong masuk ke dalam agama Allah. Kemudian Abu Bakr terpilih sebagai pengganti dan ia memerangi orang-orang Arab yang murtad dari Islam sampai mereka kembali kepada Islam. Setelah itu kesatuan agama dan politik di Semenanjung kembali lagi tertib. Ketika itulah Abu Bakr mulai merintis berdirinya Kedaulatan Islam dengan menyerbu Irak dan Syam;[02] tetapi ajal tak dapat ditunda untuk menyelesaikan rencana yang sudah dimulainya itu.

Setelah itu Abu Bakr digantikan oleh Umar dan ia meneruskan kebijakan Abu Bakr. Pasukan Muslimin di Semenanjung itu menerobos ke kawasan kedua imperium Persia dan Rumawi. Imperium Persia dapat ditumpas dan daerah terpenting kekuasaan Rumawi telah pula berhasil dibebaskan.

Kedaulatan Islam di masa Umar membentang luas ke Tiongkok di timur sampai ke seberang Barqah (Cyrenaica) di barat, dari Laut Kaspia di utara sampai ke Nubia di selatan, yang mencakup juga Persia, Irak, Syam dan Mesir. Dengan demikian kedaulatan Arab itu telah merangkul bangsa-bangsa dengan segala unsur budayanya yang sangat beragam, karena setiap golongan, dari segi bahasa, ras, keyakinan, peradaban, lingkungan sosial dan ekonominya satu sama lain tidak sama. Tetapi begitu Islam tersebar ke tengah-tengah mereka, agama baru ini telah menjadi perekat yang mempersatukan mereka. Juga kabilah-kabilah Arab itu telah berhasil dalam mewarnai negeri-negeri yang dibebaskan itu dengan warna Arab.

Berdirinya Kedaulatan Islam di masa Umar itu selesai dengan terbunuhnya Umar. Di masa hidupnya ada dua orang Persia berkomplot dan seorang lagi dari Nasrani Hirah. Kedua orang Persia itu adalah Hormuzan, dan seorang lagi Abu Lu'lu'ah budak Mugirah, sedang yang dari Hirah orang Nasrani bernama Jufainah. Hormuzan adalah salah seorang dari angkatan bersenjata Persia yang ikut dalam perang besar Kadisiah yang mengalami kekalahan. Kemudian ia lari ke Ahwaz dan dari sana ia menyerang angkatan bersenjata Muslimin di Irak-Arab yang masih berdekatan.

Sementara dalam keadaan demikian Umar memerintahkan pasukannya menyebar di wilayah Persia, dan pasukan Muslimin berhasil mengepung Hormuzan di Tustar dan ia dibawa ke Medinah sebagai tawanan. Di sinilah terjadi dialog dia dengan Umar, yang kemudian pemimpin Persia itu yakin bahwa tak mungkin ia selamat kecuali jika masuk Islam. Sesudah menjadi Muslim oleh Umar ia ditempatkan di Medinah dengan mendapat tunjangan dua ribu dinar setahun.

Adapun Fairuz (Abu Lu'lu'ah), orang Persia yang berperang melawan Muslimin dalam perang Nahawand, kemudian tertawan dan menjadi milik Mugirah bin Syu'bah. Pekerjaannya sebagai pemahat, tukang kayu dan pandai besi. Barangkali mata pisau yang digunakan untuk membunuh Umar dari hasil pekerjaannya sendiri. Mengingat pekerjaannya dalam pasukan Persia maka ia dipilih oleh komplotan itu untuk melaksanakan rencana tersebut.

Jufainah adalah seorang Nasrani dari Hirah, istrinya ibu susuan Sa'd bin Abi Waqqas. Ia dibawa ke Medinah karena adanya pertalian susuan tadi.[03] Oleh karena itu Sa'd marah sekali ketika ia dibunuh oleh Ubaidillah bin Umar sesudah ayahnya terbunuh. Antara keduanya hampir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.[04]

Tanda-tanda adanya komplotan semacam ini memang sudah ada, yang kemudian diperkuat oleh beberapa peristiwa. Tanda-tanda itu ialah bahwa beberapa kawasan yang sudah dibebaskan oleh Muslimin di masa Umar ada yang tidak senang dengan kejadian tersebut, dan karenanya ada penduduk yang marah. Indikasi itu lebih jelas lagi setelah orang-orang yang berkomplot terhadap Umar dan kemudian membunuhnya itu berada di bawah perlindungannya di Medinah. Pemimpin mereka adalah Hormuzan, orang yang disenangi oleh Umar dan mendapat simpatinya, sehingga kadang ia dimintai pendapatnya; dan keberadaannya di Medinah disamakan dengan masyarakatnya sendiri. Kalau mereka saja kini sudah berkomplot terhadap Umar, apalagi orang Persia yang tinggal di tanah air mereka sendiri. Mereka diperintah oleh Arab, hati mereka bergolak, mereka berontak, kendati masih terpendam, karena kuatnya kekuasaan asing yang menguasai negeri itu.

Setelah Umar terbunuh, di negeri Arab sendiri timbul suatu gejala, yang agaknya tak akan terjadi kalau tidak karena berdirinya kedaulatan Islam. Sejak Umar ditikam oleh Abu Lu'lu'ah kaum Muslimin dicekam oleh rasa ketakutan, khawatir akan nasib mereka sendiri kelak. Terpikir oleh mereka siapa yang akan menggantikannya jika dengan takdir Allah dia meninggal. Beberapa orang ada yang membicarakan masalah ini kepada Umar. Mereka meminta Umar mencalonkan pengganti.

Pada mulanya Umar masih ragu, dan ia berkata: "Kalaupun saya menunjuk seorang pengganti, karena dulu orang yang lebih baik dari saya juga menunjuk pengganti, atau kalaupun saya biarkan, karena dulu orang yang lebih baik dari saya juga membiarkan." Tetapi sesudah dipikirkan matang-matang, bahwa kalau dibiarkan begitu saja ia khawatir keadaan akan menjadi kacau. Dalam berperang dengan Persia dan Rumawi semua orang Arab sudah ikut serta sehingga setiap kabilah mengaku dirinya seperti kaum Muhajirin dan Ansar, berhak memilih khalifah. Malah di antara mereka ada yang mengaku berhak mencalonkan pemimpinnya sebagai khalifah. Jika Umar tidak memberikan pendapat, pengakuan seperti itu akan sangat membahayakan kedaulatan yang baru tumbuh itu.

Karenanya, ia membentuk Majelis Syura yang terdiri dari enam orang dengan tugas memilih di antara mereka seorang khalifah sesudahnya. Keenam orang itu Usman bin Affan, Ali bin Abi Talib, Zubair bin Awwam, Talhah bin Ubaidillah, Abdur-Rahman bin Auf dan Sa'd bin Abi Waqqas. Setelah menyebutkan nama-nama mereka ia berkata: "Tak ada orang yang lebih berhak dalam hal ini daripada mereka itu; Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam wafat sudah merasa puas terhadap mereka. Siapa pun yang terpilih dialah khalifah sesudah saya."

Sikap Ansar terhadap Majelis Syura

Pilihan Umar atas keenam tokoh itu luar biasa. Tak seorang pun di antara mereka terdapat orang Ansar dari Medinah atau dari kabilah-kabilah Arab yang lain. Semua mereka dari kaum Muhajirin dan dari Kuraisy. Sungguhpun begitu, dari pihak Ansar atau orang-orang Arab yang berdatangan ke Medinah sepulang menunaikan ibadah haji, tak seorang pun ada yang marah, memprotes pilihan Umar itu. Keadaan mereka tetap demikian sesudah Umar terbunuh, sampai khalifah penggantinya dibaiat. Rasa puas pihak Ansar dan orang-orang Arab yang lain dengan pilihan Umar atas keenam orang itu mengingatkan kita pada peristiwa Saqifah Banu Sa'idah setelah Nabi wafat dan jasadnya masih di rumah belum dikebumikan. Setelah Rasulullah, kaum Ansarlah yang ingin memegang pimpinan. Mereka yang paling moderat berkata: "Dari pihak kami seorang amir dan dari pihak Kuraisy seorang amir." Setelah Abu Bakr, Umar dan Abu Ubaidah pun datang ke Saqifah, mereka berdiskusi dengan Ansar mengenai tuntutan mereka itu. Abu Bakr antara lain mengatakan: "Kami kaum Muhajirin dan kalian kaum Ansar, kita bersaudara dalam agama dan sama-sama dalam pembagian rampasan perang serta pembela-pembela kami dalam menghadapi musuh. Apa yang kalian katakan bahwa segala yang baik ada pada kalian, itu sudah pada tempatnya. Kalianlah di seluruh penghuni bumi ini yang patut dipuji. Dalam hal ini kabilah-kabilah Arab itu hanya mengenal lingkungan Kuraisy. Jadi, dari pihak kami para amir dan pihak kalian para wazir."[05]

Sejak diucapkan oleh Abu Bakr, kata-kata ini telah menjadi konstitusi dan undang-undang "kekhalifahan bagi kaum Muslimin selama berabad-abad. Oleh karena itu, tak ada pihak yang menentang pergantian Abu Bakr kepada Umar. Juga tak ada yang menentang pilihan Umar membentuk Majelis Syura dalam lingkungan Kuraisy. Malah dengan menyerahkan kepada keenam orang itu untuk memilih seorang khalifah di antara mereka, pihak Ansar dan semua orang Arab merasa puas.

Mengapa Umar menyerahkan pemilihan khalifah kepada Majelis Syura tanpa menunjuk nama tertentu dari keenam orang yang diangkatnya itu dengan mengambil teladan dari Abu Bakr saat menunjuknya sebagai penggantinya?

Ada beberapa sumber menyebutkan bahwa Sa'id bin Zaid bin Amr berkata kepada Umar: "Kalau Anda menunjuk seseorang dari kalangan Muslimin, orang sudah percaya kepada Anda," - dijawab oleh Umar: "Saya sudah melihat sahabat-sahabat saya mempunyai ambisi yang buruk!" Jawaban ini menunjukkan bahwa dia khawatir, kalau dia menunjuk nama tertentu, hal ini akan mendorong ambisi yang lain untuk bersaing. Jika terjadi demikian maka tak akan ada kesepakatan di kalangan Muslimin, malah akan timbul pertentangan dengan akibat yang tidak diharapkan.

Ada yang berpendapat bahwa Umar memang tidak melihat dari keenam mereka itu yang seorang lebih baik dari yang lain. Ia tidak ingin menanggung dosa musyawarah yang tidak benar-benar memuaskan hatinya di hadapan Tuhan. Ataukah ketika terkena tikam itu ia khawatir akan cepat menemui ajalnya sebelum kaum Muslimin mencapai kesepakatan memilih salah seorang dari mereka lalu penyelesaiannya diserahkan kepada Majelis Syura karena sudah tak ada waktu lagi buat dia menyelesaikan? Semua ini adalah soal yang tidak mudah bagi seorang sejarawan untuk menentukan pilihannya, sekalipun harus juga ditambahkan apa yang dikutip orang tentang Umar yang mengatakan: "Sekiranya Abu Ubaidah masih hidup, tentu akan saya tunjuk dia sebagai pengganti saya, dan kalau saya ditanya oleh Tuhan akan saya jawab: Aku mendengar Nabi-Mu berkata bahwa dia 'kepercayaan umat.' Sekiranya Salim bekas budak Abu Huzaifah masih hidup akan saya tunjuk dia sebagai pengganti saya, dan kalau saya ditanya oleh Tuhan akan saya katakan: Kudengar Nabi-Mu berkata bahwa Salim sangat mencintai Allah Ta'ala." Adakah ungkapan itu berarti bahwa dia lebih mengutamakan Abu Ubaidah dan Salim daripada keenam orang anggota Majelis Syura itu, dan bahwa keenam orang itu baginya semua sama?

Tetapi kita masih mendapatkan penafsiran lain atas sikap Umar itu, yakni ia tidak ingin memikulkan tanggung jawab kekhalifahan itu ke atas pundak keenam orang tersebut, yang sudah dialaminya sendiri begitu berat dan sangat melelahkan. Ada sumber yang menyebutkan bahwa begitu sadar akibat penikaman itu ia berkata kepada Abdur-Rahman bin Auf: "Saya akan mempercayakan kepada Anda." Abdur-Rahman menjawab: "Amirulmukminin, kalau saran Anda ditujukan kepada saya, akan saya terima." Lalu ia ditanya oleh Umar: "Apa maksud Anda?"

"Amirulmukminin, demi Allah, benarkah Anda menyarankan itu ditujukan kepada saya?" tanya Abdur-Rahman lagi.

"Sebenarnya tidak," jawab Umar.

Sesudah konsultasi itu Abdur-Rahman berkata: "Saya memang tidak ingin memasuki soal ini samasekali."

"Anggaplah saya diam," kata Umar, "sebelum saya percayakan kepada orang-orang yang ketika Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam wafat merasa senang terhadap mereka."

Apa pun yang mendorong Umar tidak mau menunjuk pengganti dan ia membentuk Majelis Syura untuk memilih khalifah di antara mereka, peristiwa-peristiwa yang terjadi sesudah itu memang menunjukkan bahwa pendapatnya itu benar.

Pertemuan dan perdebatan sengit

Anggota-anggota Majelis Syura itu sudah mengadakan pertemuan begitu mereka ditunjuk, tetapi ternyata mereka masih saling berbeda pendapat. Abdullah bin Umar berkata kepada mereka: "Kalian akan mengangkat seorang pemimpin sementara Amirulmukminin masih hidup?" Kata-kata itu didengar oleh Umar, maka ia segera memanggil mereka: "Berilah waktu," kata Umar. "Kalau terjadi sesuatu terhadap diri saya, biarlah Suhaib[06] yang mengimami salat kalian selama tiga malam ini. Setelah itu bersepakatlah kalian: barang siapa di antara kalian ada yang mengangkat diri sebagai pemimpin tanpa kesepakatan kaum Muslimin, penggallah lehernya." Selanjutnya ia memanggil Abu Talhah al-Ansari - dari kalangan Ansar - orang yang terbilang pemberani yang tak banyak jumlahnya, lalu katanya: "Abu Talhah, bergabunglah Anda dengan lima puluh orang Ansar rekan-rekan Anda itu bersama beberapa orang anggota Majelis Syura. Saya rasa mereka akan bertemu di rumah salah seorang dari mereka. Berjaga-jagalah di pintu bersama teman-temanmu itu. Jangan biarkan dari mereka ada yang masuk, juga mereka jangan dibiarkan berlarut-larut sampai tiga hari belum ada yang terpilih. Andalah yang menjadi wakil saya pada mereka!"

Sebab-sebab timbulnya perselisihan

Tatkala Umar wafat tiba saatnya Majelis Syura sudah akan bersidang untuk memilih seorang khalifah di antara mereka. Sesudah berkumpul mereka meminta Abu Talhah al-Ansari menjaga mereka, dan mereka tidak ingin dijaga oleh Mugirah bin Syu'bah dan Amr bin As.

Malah oleh Sa'd bin Abi Waqqas mereka dilempari kerikil dan disuruh pergi sambil mengatakan: "Kalian akan mengaku: 'Kami telah ikut hadir dan termasuk anggota Majelis Syura!"

Begitu musyawarah sudah dimulai, terjadi perdebatan sengit di antara mereka, dan ada yang dengan suara keras demikian rupa, sehingga terkesan oleh Abu Talhah al-Ansari bahwa perselisihan mereka sudah makin memuncak. Ia masuk dan berkata: "Saya lebih ngeri melihat kalian saling dorong daripada saling bersaing. Saya tidak akan memperpanjang lebih dari tiga hari yang sudah diperintahkan kepada kalian. Setelah itu saya akan tinggal di rumah dan akan melihat apa yang kalian kerjakan!"

Bagaimana mereka sampai berselisih begitu sengit padahal mereka sahabat-sahabat besar Rasulullah dan dari kalangan Muslimin yang sudah beriman kepada Allah dan kepada Rasul-Nya begitu baik?

Kita sudah pernah- menyaksikan perselisihan sengit antara kaum Muhajirin dan Ansar di Saqifah Banu Sa'idah dan kaum Ansar pun segera mengakui hak Kuraisy untuk memangku kekhalifahan. Ketika Abu Bakr duduk di antara Umar dengan Abu Ubaidah, ia memegang tangan keduanya dan berkata kepada orang-orang di sekitarnya: "Ini Umar dan ini Abu Ubaidah, baiatlah siapa di antara keduanya yang kalian kehendaki." Mendengar ucapan itu Umar berkata: "Abu Bakr, bentangkan tangan Anda!" Abu Bakr membentangkan tangannya lalu dibaiat oleh Umar, dibaiat oleh Abu Ubaidah dan yang hadir juga semua membaiatnya, selain Sa'd bin Ubadah pemuka Ansar, Dengan demikian Abu Bakr telah menjadi pengganti Rasulullah dalam pemerintahan Islam. Sampai ajal tiba ia tidak menemui kesulitan yang berarti untuk memperoleh kesepakatan Muslimin dengan pergantian Umar.

Bukankah kedudukan Majelis Syura dalam kedua peristiwa ini merupakan contoh yang akan melepaskan mereka dari perselisihan dan mengajak bersepakat atas orang yang akan dibaiat oleh Muslimin menjadi khalifah?

Sebenarnya situasi yang dialami Majelis Syura berbeda sekali dengan situasi yang dialami oleh Muhajirin dan Ansar di Saqifah, dan yang dialami oleh Muslimin ketika Abu Bakr menunjuk Umar menjadi penggantinya. Ketika Rasulullah wafat persatuan di Semenanjung Arab belum lagi terpadu. Berita-berita mereka yang mendakwakan diri nabi dari Banu Asad, Banu Hanifah, begitu juga di Yaman sudah meluas dan sudah diketahui oleh pihak Muhajirin dan Ansar. Kekhawatiran bahwa kabilah-kabilah itu akan memberontak terhadap agama baru ini dan terhadap kekuasaan Medinah sangat mengganggu pikiran.

Semua ini jelas sekali pengaruhnya dalam mempersatukan mereka yang sedang berkumpul di Saqifah. Mereka lebih cepat lagi melangkah mempersatukan diri mengingat Rasulullah sudah memerintahkan Usamah bin Zaid memimpin sebuah pasukan untuk menghadapi Rumawi. Lebih-lebih mereka memahami situasi genting itu serta beratnya tanggung jawab yang mesti dipikul oleh orang yang harus menggantikan Rasulullah. Waktu itu, baik Muhajirin maupun Ansar belum mengenal adanya daya tarik rampasan perang yang melimpah di Medinah dan yang akan membuat mereka melihat kekhalifahan itu sebagai hal yang menguntungkan. Oleh karenanya perdebatan mereka berkisar sekitar agama dan pembelaannya dan siapa yang harus menggantikan Rasulullah.

Di luar itu, yang berhubungan dengan pemerintahan dan kekuasaannya hanya sepintas lalu saja terlintas dalam pikiran mereka. Pada mulanya pihak Ansar hanya berpegang pada hak mereka sendiri dalam kekhalifahan atau bersama-sama karena Medinah adalah kota mereka dan kaum Muhajirin pendatang baru di tempat itu. Jadi merekalah yang paling berhak memegang dan mengurus kepentingan umat. Sesudah dalam diskusi Saqifah itu tampak bahwa soalnya bukan lagi soal Medinah saja melainkan sudah soal agama yang baru tumbuh ini, barulah mereka mengakui hak Muhajirin dalam kekhalifahan, mengingat mereka adalah pelopor-pelopor yang pertama dalam agama dan dalam persahabatan mereka dengan Rasulullah.

Ketika Abu Bakr menunjuk Umar sebagai penggantinya, dalam menghadapi Persia dan Rumawi pasukan Muslimin di Irak dan di Syam dalam posisi bertahan. Tak ada yang tahu bagaimana takdir kelak menentukan. Malah pihak Muslimin masih berat hati akan berangkat ke Irak membantu Musanna bin Harisah. Sampai selama tiga hari itu tak ada orang yang memenuhi seruan Umar, sebab mereka masih takut menghadapi Persia dan kehebatannya. Memikul tanggung jawab dalam situasi yang begitu genting bukan hal yang layak diperselisihkan, satu sama lain ingin memonopoli. Perhitungan Abu Bakr melihat situasi yang begitu genting, itulah yang membuatnya menunjuk Umar, sebab di antara sahabat-sahabatnya, dialah yang benar-benar tangguh dan paling mampu mengikuti suatu politik yang harus sukses dengan ketangguhan dan keteguhan hati, seperti yang ada pada Umar. Umat Muslimin dapat menerima kekhalifahan Umar kendati mereka sudah tahu wataknya yang begitu keras dan tegar, dan dalam hal ini tak ada orang yang mau menyainginya. Cemas sekali mereka melihat perang Persia dan Rumawi itu, mereka diliputi rasa khawatir jika pasukan Muslimin kalah dengan segala akibat yang timbul karenanya.

Sesudah kemudian Umar memegang pimpinan ternyata sukses mengadakan penyebaran dan pembebasan serta berhasil membangun sebuah kedaulatan Islam dengan Medinah sebagai ibu kota yang disegani dunia. Di sisi itu, juga sebagai negeri Arab dengan kedaulatannya yang besar dan menjadi pusat perhatian semua bangsa dari segenap penjuru. Karena harta kekayaan yang melimpah berdatangan dari segenap penjuru kedaulatannya itu, Umar sudah tidak tahu lagi jumlah harta itu harus dengan dihitungkah atau dengan ditimbang? Keadaan sudah berubah dari yang semula. Bukan hal yang mengherankan jika anggota-anggota Majelis Syura kemudian terlibat ke dalam perselisihan yang makin memuncak, masing-masing menginginkan pihaknya yang memegang kekhalifahan.

Di samping itu ada faktor lain yang memicu perselisihan, yang dampaknya kemudian begitu kuat dalam kehidupan negara, yaitu persaingan keras antara kabilah-kabilah Kuraisy sendiri dengan pengaruh jahiliah yang begitu jelas. Setelah Nabi diutus dan menyerukan persamaan, kebenaran dan keadilan, lepas dari segala hawa nafsu, persaingan demikian ini di masa Rasulullah sudah tak terlihat lagi. Kemudian setelah Rasulullah wafat mulai timbul lagi, tetapi masih malu-malu. Sesudah kekhalifahan Abu Bakr dan Umar berlalu dan melihat Arab lebih unggul dari Persia dan Rumawi, fanatisme kekabilahan mulai timbul lagi. Orang mulai mengingat-ingat kembali persaingan dahulu antara Banu Hasyim dengan Banu Umayyah, begitu juga dengan yang lain-lain di Mekah. Semua mereka terdorong untuk saling berseteru dan bermusuhan.

Persaingan antara Banu Hasyim dengan Banu Umayyah; sikap orang-orang Arab terhadap kekhalifahan

Persaingan antara Banu Hasyim dengan Banu Umayyah itu sudah berjalan lebih dari seratus tahun sebelum Nabi lahir. Jabatan-jabatan di Rumah Suci semua bertumpu di tangan Qusai bin Kilab. Pada paruh pertama abad kelima Masehi penduduk Mekah sudah mengakui kepemimpinannya atas mereka. Ada tiga anak laki-laki Qusai, yakni Abdud-Dar, Abdu-Manaf dan Abdul-Uzza. Sesudah Qusai berusia lanjut dan sudah tidak kuat memikul tugas itu, semua urusan yang menyangkut pimpinan Mekah dan jabatan-jabatan di Rumah Suci diserahkan kepada anak sulungnya, Abdud-Dar. Sementara Banu (keluarga besar) Abdu-Manaf di tengah-tengah masyarakatnya itu paling terpandang dan punya kedudukan paling penting. Anak-anak mereka adalah Abdu-Syams, Naufal, Hasyim dan Muttalib. Kekuatan ini telah menggoda kesepakatan mereka untuk merebut segala yang ada di tangan sepupu-sepupunya itu.

Sekarang Kuraisy terbagi menjadi dua persekutuan: Persekutuan al-Mutayyabun yang mendukung Banu Abdu-Manaf, dan Persekutuan al-Ahlaf yang mendukung Banu Abdud-Dar. Kemudian mereka mengadakan kesepakatan bersama dalam soal logistik: Banu Abdu-Manaf mendapat bagian siqayah dan rifadah,[07] sedang bagian Banu Abdud-Dar adalah hijabah, liwa' dan nadwah.[08] Hasyim adalah saudara yang tertua dan dia yang memegang urusan siqayah dan rifadah. Sesudah ia berusia lanjut, terbayang oleh kemenakannya, Umayyah bin Abdu-Syams, bahwa dia mampu menyainginya untuk memberi makan Kuraisy di musim ziarah seperti yang dilakukan oleh Hasyim. Tetapi ternyata kemudian ia tidak mampu, dan karenanya ia dikutuk orang. Ia pergi ke Syam dan tinggal di sana selama 10 tahun. Al-Maqrizi berkata: "Inilah permusuhan pertama antara Banu Hasyim dengan Banu Umayyah."[09]

Permusuhan ini berlanjut terus turun-temurun. Orang Arab sangat menghormati persuakaan. Jika seorang orang Arab sudah memberi suaka kepada seseorang, maka orang itu berada di bawah perlindungannya, aman dari segala serangan pihak lain. Di kalangan mereka adat ini sangat dihormati. Sungguhpun begitu, Harb bin Umayyah pernah mengganggu Abdul-Muttalib bin Hasyim - kakek Nabi - karena orang Yahudi berada di bawah suaka Abdul-Muttalib. Harb bin Umayyah masih juga terus mengganggunya sampai akhirnya Yahudi itu dibunuhnya dan hartanya diambil.

Persaingan antara Banu Umayyah dengan Banu Hasyim ini tetap berlanjut. Sesudah Nabi diutus, Banu Umayyah menjadi golongan yang paling keras memusuhinya. Persaingan mereka terhadap Banu Hasyim itu merupakan pendorong terbesar dalam hal ini.

Abu Sufyan bin Harb, Akhnas bin Syariq dan Abu al-Hakam bin Hisyam mengintai Rasulullah selama tiga malam. Mereka mendengar dari balik tabir Rasulullah sedang membaca Qur'an. Akhnas pergi mengunjungi Abu Jahl di rumahnya dan menanyakan:

"Abu al-Hakam, bagaimana pendapat Anda tentang yang kita dengar dari Muhammad?"

"Yang saya dengar?!" jawab Abu Jahl. "Kami sudah saling memperebutkan kehormatan dengan Banu Abdu-Manaf. Mereka memberi makan, kami pun memberi makan, mereka menanggung, kami pun begitu, mereka memberi, kami juga memberi, sehingga kami dapat sejajar dan sama tangkas dalam perlombaan. itu dan kami seperti dua ekor kuda pacuan." Tetapi tiba-tiba kata mereka: "Di kalangan kami ada seorang nabi yang menerima wahyu dari langit. Kapan kita akan mengalami yang semacam itu? Tidak! Kami samasekali tidak akan beriman kepadanya dan tidak akan mempercayainya!"

Abu Sufyan

Abu Sufyan bin Harb bin Umayyah adalah pemuka mereka yang memusuhi Muhammad. Sejak Muhammad masih di Mekah sampai kemudian hijrah ke Medinah ia tetap selalu memusuhinya. Cukup kita ingat bahwa dialah yang memimpin Kuraisy dalam Perang Uhud. Setelah Kuraisy mendapat kemenangan dia yang berteriak: "Hari ini sebagai pembalasan Perang Badr. Sampai jumpa lagi tahun depan !" Dia juga lagi yang memimpin Ahzab dalam Perang Khandaq. Sebelum Uhud dan sesudah Khandaq dia yang menghasut orang untuk memusuhi Muhammad dan berusaha membunuhnya. Sesudah Nabi berangkat hendak membebaskan Mekah dan Abu Sufyan juga keluar dan melihat bahwa tak mungkin pihak Mekah dapat melawan Muslimin, dia meminta perlindungan kepada Abbas bin Abdul-Muttalib, dan sesudah Abbas memberi perlindungan dibawanya ia kepada kemenakannya itu. Ketika itu Rasulullah menanya kepada Abu Sufyan: "Belum waktunyakah Anda mengetahui bahwa saya Rasulullah?" Abu Sufyan menjawab: "Demi ibu-bapaku! Sungguh bijaksana Anda, sungguh pemurah. Tetapi mengenai soal ini, masih ada sesuatu dalam hati saya."[10]

Sesudah jawaban itu ia melihat bahwa ia akan mati kalau tidak masuk Islam. Karenanya ia masuk Islam untuk menyelamatkan diri dari maut, bukan karena beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Sesudah pembebasan itu penduduk Mekah semua menerima Islam, termasuk Banu Umayyah, yang jumlah kabilah dan anggotanya terbanyak.

Memperebutkan pengaruh

Setelah Abu Sufyan dan Banu Umayyah masuk Islam fanatisme kesukuan masih tetap merasuk dalam hatinya walaupun untuk mengungkap isi hatinya itu kekuatan Rasulullah dan kekuatan Islam sudah membuatnya lumpuh. Setelah Rasulullah wafat dan Abu Bakr dibaiat, ia menggunakan kesempatan untuk menyebarkan bibit-bibit fitnah. Disebutkan bahwa setelah ada kesepakatan bersama mengenai pelantikan Abu Bakr ia datang dan mengatakan: "Sungguh, hanya darah yang akan dapat memadamkan sampah ini." Kemudian ia memanggil-manggil Keluarga Abdu-Manaf, mengapa mesti Abu Bakr yang memerintah kamu... Mana kedua orang yang ditindas itu, mana orang yang dihina, Ali dan Abbas...?"

Tak seorang pun akan sudi di bawah kezaliman
Yang terus-menerus disengajakan
Hanyalah yang dihina menjadi pasak kampung halaman.

Sumber-sumber yang mengutip cerita ini sependapat, bahwa Ali menolak ajakan Abu Sufyan itu, dan ia berkata kepadanya: Anda memang mau membuat fitnah dengan cara itu. Anda selalu mau membawa Islam ke dalam malapetaka. Dan katanya lagi: "Anda selalu memusuhi Islam dan pemeluknya, tetapi Anda tak akan berhasil. Saya berpendapat Abu Bakr memang pantas untuk itu."

Mengenai sikap Abu Sufyan terhadap kaum Muslimin sesudah pelantikan Abu Bakr, sumber-sumber itu masih saling berbeda. Ada yang berpendapat bahwa dia menjadi seorang Muslim yang baik, dan dia yang mengerahkan Muslimin di Syam untuk menghadapi Rumawi. Cerita ini diperkuat karena kedua anaknya, Yazid dan Mu'awiyah, yang memimpin pasukan di Syam itu. Setelah Yazid meninggal, pimpinan Syam oleh Umar bin Khattab diserahkan kepada Mu'awiyah. Yang lain berpendapat bahwa Abu Sufyan berbeda kulit dari isi, dan bahwa dia merupakan tempat perlindungan kaum munafik. Kalau dia melihat pihak Rumawi muncul ia berkata: Ya Banu al-asfar![11] Kalau mereka dipergoki kaum Muslimin ia membaca sajak Nu'man bin Imru'ul Qais bin Aus - salah seorang raja Hirah:

Banu al-asfar, raja-raja, para raja Rumawi
Tiada lagi mereka yang dapat diingat

Setelah Allah memberikan kemenangan kepada Muslimin dan Zubair bin Awwam diajak bicara tentang Abu Sufyan ia berkata: Terkutuk orang itu. Yang datang hanya orang munafik? Bukankah kita lebih baik dari bangsa Banu al-asfar?

Jelas, sumber terakhir ini dibuat-buat kemudian oleh pendukung-pendukung Banu Abbas. Sangat tidak wajar Abu Sufyan akan lebih bersikap fanatik terhadap pihak Rumawi daripada terhadap golongannya sendiri sementara anak-anaknya memimpin pasukan berperang melawan Rumawi. Juga sumber yang dikatakan dari Hasan bahwa Abu Sufyan menemui Usman bin Affan sesudah ia menjadi Khalifah dengan mengatakan: "Sekarang sudah menjadi giliran Anda sesudah Banu Taim dan Banu Adi. Gulirkanlah bola itu dan jadikanlah Banu Umayyah tali busurnya. Dijawab oleh Usman dengan suara keras: "Pergilah kau dari sini!"

Persaingan Banu Hasyim dan Banu Umayyah

Tetapi kalaupun kita dapat menerima bahwa sumber pertama itu palsu karena berlawanan dengan logika peristiwa, namun kita tak dapat menerima kepalsuan sumber yang kedua karena memang, Abu Sufyan orang yang sangat fanatik terhadap golongannya, Banu Umayyah.

Sungguhpun begitu persaingan antara Banu Hasyim dengan Banu Umayyah ini tidak merintangi segolongan kerabat dekat Rasulullah untuk menyatakan permusuhan secara terbuka, sebab dia mengecam agama mereka dan mencela segala yang disembah nenek moyang mereka. Abu Lahab, pamannya, dan istrinya tukang fitnah[12] selalu mengganggu Nabi melebihi Banu Umayyah dan orang-orang Kuraisy lainnya. Pamannya Abu Talib, kendati ia tetap bertahan dengan agamanya, ia melindungi Nabi dengan segala kedudukan dan kemampuannya itu di Mekah. Sebaliknya pamannya Hamzah, ia masuk Islam karena solider kepada kemenakannya itu ketika dilihatnya Abu Jahl memaki dan mengganggu Muhammad, sementara pamannya Abbas baru masuk Islam setelah pasukan Muslimin berangkat akan membebaskan Mekah.

Hak dan batil

Tidak heran jika paman-paman Rasulullah bersikap demikian kepadanya. Kekuasaan dan pengaruh kepercayaan itu memang besar sekali dalam hati orang. Sebagian besar orang tidak mau memperdebatkan apa yang sudah diwarisinya dari nenek moyangnya untuk mengetahui mana yang hak dan mana yang batil, mana yang benar dan mana yang tidak. Dan yang sebagian kecil adalah mereka yang dengan hati nurani sudah mendapat cahaya ilahi, mereka yang oleh Allah sudah diberi hidayah, diberi petunjuk kepada kebenaran dengan bukti yang nyata. Mereka tidak akan bersikap fanatik terhadap kebatilan bilamana kebenaran itu sudah jelas dan sudah menerangi cita-citanya dengan cahaya-Nya. Mereka ini tidak akan terpengaruh oleh fanatisme pada suatu kabilah, ras atau kepercayaan untuk menerima kebenaran yang telah disampaikan kepada mereka. Kalau mereka yakin, mereka akan mempercayainya dan akan menjadi orang-orang beriman dan akan menjadi penganjurnya yang tangguh.

Itulah yang telah terjadi dengan Usman bin Affan, Abdur-Rahman bin Auf, Talhah bin Ubaidillah, Sa'd bin Abi Waqqas dan Zubair bin Awwam. Tak seorang pun dari sahabat-sahabat itu yang termasuk Banu Hasyim. Usman dari Banu Umayyah, yakni Usman bin Affan bin Abi al-As bin Umayyah bin Abdu-Syams. Abu Bakr laki-laki pertama yang masuk Islam ketika diajak oleh Rasulullah setelah diutus membawa risalah Islam. Secara terbuka dakwah kebenaran itu disampaikan oleh Abu Bakr kepada sahabat-sahabatnya, lalu diikuti oleh kelima orang itu, dengan dipelopori oleh Usman. Mereka masuk ke dalam agama Allah serta beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Kelima orang itulah yang mula-mula masuk Islam dan berpegang teguh, dan demi agama itu pula mereka berjuang mati-matian. Rasulullah wafat pun sudah merasa lega terhadap mereka. Mereka itulah yang didudukkan dalam Majelis Syura oleh Umar bin Khattab, termasuk Ali bin Abi Talib, sepupu dan menantu Rasulullah dari pernikahannya dengan putrinya Fatimah. Soalnya Ali adalah Muslim pertama dari Banu Hasyim dan dalam semua pertempuran ia bersama Rasulullah.

Ali bin Abi Talib

Karena kesertaan mereka yang mula-mula dalam Islam dan persahabatan mereka dengan Rasulullah, mereka mendapat tempat di hati kaum Muslimin. Di antara mereka ada yang masih dalam hubungan kerabat dengan Rasulullah. Ini juga yang menambah kedekatan mereka di hati orang, dan sudah tentu Ali bin Abi Talib adalah kerabat dan hubungan keluarga terdekat dengan Rasulullah. Dia anak pamannya Abu Talib bin Abdul-Muttalib, dan Abu Talib inilah yang mengasuh Muhammad sejak mudanya setelah kakeknya Abdul-Muttalib meninggal, dan dia pula yang melindunginya dari gangguan Kuraisy setelah kerasulannya, ketika Kuraisy selalu mengganggunya sampai berlebihan. Dalam pada itu Rasulullah juga mengasuh Ali di masa mudanya. Dengan demikian ia telah membalas budi pamannya Abu Talib dengan sebaik-baiknya. Kedudukan Ali dengan sepupunya itu, itu pula yang membuatnya orang pertama masuk Islam dari kalangan anak muda, yang ketika itu umumnya belum mencapai akil balig. Sesudah memasuki usia muda remaja oleh Rasulullah ia dinikahkan dengan putrinya Fatimah, yang terus bersamanya sampai ia meninggal enam bulan sesudah kematian ayahnya. Fatimah ini ibunda Hasan dan Husain putra-putra Ali.


Silsilah Keluarga Rasulullah

Zubair bin Awwam

Dalam kekerabatannya dengan Rasulullah sesudah Ali, adalah Zubair bin Awwam. Ibundanya Safiyah adalah putri Abdul-Muttalib, bibi Muhammad. Jadi dia anak Awwam bin Khuwailid, saudara Khadijah Ummulmukminin. Kekerabatan ini juga yang mendorongnya masuk Islam ketika umumya baru enam belas tahun. Di samping itu, dia juga tak pernah ketinggalan dalam setiap pertempuran yang dialami oleh Rasulullah. Kejadian itu sesudah ia mengalami dua kali hijrah[13] ke Abisinia, berlindung kepada Allah dengan agamanya, dari gangguan Kuraisy. Ketika dalam Perang Uhud, ia pun telah berikrar setia kepada Rasulullah dalam menghadapi kabilah-kabilah Arab. Dalam Perang Khandaq Rasulullah menugaskan orang yang dapat membawa berita tentang pasukan Ahzab yang mengepung Medinah, maka tugas itu dipercayakannya kepada Zubair. Seperti dikatakan oleh Rasulullah: "Setiap nabi punya seorang pembantu dekat,[14] maka pembantu dekatku adalah Zubair bin Awwam." Ketika pembebasan Mekah, salah satu bendera dari tiga bendera Muhajirin dipegang oleh Zubair.[15] Zubair dengan kekuatan fisik dan keberaniannya, juga sangat murah hati dan penuh rasa kasih sayang kepada orang. Oleh karena itu Nabi sangat dekat kepadanya dan saling mencintai. Tatkala di Medinah diadakan pembagian tanah ia mendapat sebidang yang cukup luas dan sebuah'kebun kurma. Seperti Rasulullah, Abu Bakr dan Umar juga sangat mencintainya. Abu Bakr memberinya sebidang tanah di Jauf dan Umar memberinya di Aqiq.

Catatan kaki:

02. Tindakan ini untuk membebaskan Irak dari penjajahan Persia dan Syam dari penjajahan Rumawi. - Pnj.
03. At-Tabari, 3/33 (al-Maktabah at-Tijariyah, 1939).
04. Lebih lanjut lihat Umar bin Khattab, hal. 797-798. - Pnj.
05. Wuzara jamak wazir 'yang memberi dukungan' (N), yakni 'para menteri. 'Umara' jamak amir, harfiah 'yang memerintah, pemimpin, pangeran', dapat diartikan juga kepala negara. - Pnj.
06. Suhaib adalah seorang budak asal Rumawi yang oleh Rasulullah ditebus dengan uangnya sendiri.
07. Siqayah, persediaan air, dan rifadah persediaan makanan untuk para peziarah di Ka'bah.
08. Masing-masing berarti: 'juru kunci,' 'pemegang panji (komandan)' dan 'pimpinan rapat setiap tahun musim.' - Pnj.
09. Lihat al-Maqrizi, an-Niza' wat-Takhasum baina Ban' Umayyah wa Bani Hasyim, h. 22-23.
10. At-Tabari, Tarikh, 2/221 (cetakan at-Tijariyah, 1939).
11. Sebutan untuk orang-orang Rumawi di Asia Kecil, Konstantinopel dan sekitarnya, kemudian menjadi sebutan bagi semua ras kulit putih. - Pnj.
12. Harfiah, 'pembawa kayu bakar,' arti kiasan dalam Qur'an, yakni sering membawa kayu-kayu berduri yang diikat lalu diletakkan di jalan yang biasa dilalui Nabi; atau tukang memanas-manasi hati orang untuk memusuhi Nabi. - Pnj.
13. Hijrah pertama terdiri dari 11 orang laki-laki dan 4 orang perempuan ke Abisinia ketika gangguan Kuraisy makin meningkat terhadap Muslimin. Setelah terbetik berita bahwa Kuraisy Mekah sudah tidak lagi mengganggu, mereka kembali. Tetapi ternyata sikap Kuraisy terhadap Muslimin tidak berubah. Terpaksa mereka kembali lagi ke Abisinia dengan 80 orang bersama istri dan anak-anak mereka. Ini yang disebut hijrah kedua. Mereka tinggal di sana sampai kemudian Nabi hijrah ke Medinah dan mereka pun kembali langsung ke Medinah. - Pnj.
14. Hawari (jamak hawariyun), 'yang murni, tersaring dari segalanya, banyak dipakai untuk pengikut-pengikut para nabi' (MAQ). - Pnj.
15. Ketiga orang Muhajirin itu ialah Khalid bin Walid, Abu Ubaidah bin Jarrah dan Zubair bin Awwam. - Pnj.

(sebelum, sesudah)


Usman bin Affan
Antara Kekhalifahan dengan Kerajaan
 
oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
 
Penerbit P.T. Pustaka Litera AntarNusa
Jln. Arzimar III, Blok B No. 7A, Tel./Fax. (0251) 330505, Bogor 16152.
Jln. Rukem I-19, Rawamangun, Tel./Fax. (021) 4722889, Jakarta 13220.
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang No. 7/1987
ISBN 978-979-8100-40-6
Anggota IKAPI.
Setting dan kulit luar oleh Litera AntarNusa
Dicetak dan dijilid oleh P.T. Mitra Kerjaya Indonesia.
 
Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team