|
1. Kisah Tentang-Majelis Syura dan Pelantikan
Usman (1/2)
-
Umar terkena tikam dan penunjukan
Majelis Syura
Ketika mula-mula Nabi bangkit menyerukan Islam,
Semenanjung Arab terbagi-bagi di antara kabilah-kabilah yang
masing-masing berdiri sendiri-sendiri, dengan tingkat
perkotaan dan pedalaman yang berbeda-beda, dengan penduduk
yang selalu dalam konflik dan pertentangan terus-menerus.
Sebagian besar daerah itu berada di bawah kekuasaan Persia
atau pengaruh Rumawi. Sesudah Rasulullah berpulang ke
rahmatullah - setelah dua puluh tiga tahun kerasulannya -
pengaruh Persia dan Rumawi di Semenanjung sudah menyusut.
Kabilah-kabilah Arab berbondong-bondong masuk ke dalam agama
Allah. Kemudian Abu Bakr terpilih sebagai pengganti dan ia
memerangi orang-orang Arab yang murtad dari Islam sampai
mereka kembali kepada Islam. Setelah itu kesatuan agama dan
politik di Semenanjung kembali lagi tertib. Ketika itulah
Abu Bakr mulai merintis berdirinya Kedaulatan Islam dengan
menyerbu Irak dan
Syam;[02]
tetapi ajal tak dapat ditunda untuk menyelesaikan rencana
yang sudah dimulainya itu.
Setelah itu Abu Bakr digantikan oleh Umar dan ia
meneruskan kebijakan Abu Bakr. Pasukan Muslimin di
Semenanjung itu menerobos ke kawasan kedua imperium Persia
dan Rumawi. Imperium Persia dapat ditumpas dan daerah
terpenting kekuasaan Rumawi telah pula berhasil
dibebaskan.
Kedaulatan Islam di masa Umar membentang luas ke Tiongkok
di timur sampai ke seberang Barqah (Cyrenaica) di barat,
dari Laut Kaspia di utara sampai ke Nubia di selatan, yang
mencakup juga Persia, Irak, Syam dan Mesir. Dengan demikian
kedaulatan Arab itu telah merangkul bangsa-bangsa dengan
segala unsur budayanya yang sangat beragam, karena setiap
golongan, dari segi bahasa, ras, keyakinan, peradaban,
lingkungan sosial dan ekonominya satu sama lain tidak sama.
Tetapi begitu Islam tersebar ke tengah-tengah mereka, agama
baru ini telah menjadi perekat yang mempersatukan mereka.
Juga kabilah-kabilah Arab itu telah berhasil dalam mewarnai
negeri-negeri yang dibebaskan itu dengan warna Arab.
Berdirinya Kedaulatan Islam di masa Umar itu selesai
dengan terbunuhnya Umar. Di masa hidupnya ada dua orang
Persia berkomplot dan seorang lagi dari Nasrani Hirah. Kedua
orang Persia itu adalah Hormuzan, dan seorang lagi Abu
Lu'lu'ah budak Mugirah, sedang yang dari Hirah orang Nasrani
bernama Jufainah. Hormuzan adalah salah seorang dari
angkatan bersenjata Persia yang ikut dalam perang besar
Kadisiah yang mengalami kekalahan. Kemudian ia lari ke Ahwaz
dan dari sana ia menyerang angkatan bersenjata Muslimin di
Irak-Arab yang masih berdekatan.
Sementara dalam keadaan demikian Umar memerintahkan
pasukannya menyebar di wilayah Persia, dan pasukan Muslimin
berhasil mengepung Hormuzan di Tustar dan ia dibawa ke
Medinah sebagai tawanan. Di sinilah terjadi dialog dia
dengan Umar, yang kemudian pemimpin Persia itu yakin bahwa
tak mungkin ia selamat kecuali jika masuk Islam. Sesudah
menjadi Muslim oleh Umar ia ditempatkan di Medinah dengan
mendapat tunjangan dua ribu dinar setahun.
Adapun Fairuz (Abu Lu'lu'ah), orang Persia yang berperang
melawan Muslimin dalam perang Nahawand, kemudian tertawan
dan menjadi milik Mugirah bin Syu'bah. Pekerjaannya sebagai
pemahat, tukang kayu dan pandai besi. Barangkali mata pisau
yang digunakan untuk membunuh Umar dari hasil pekerjaannya
sendiri. Mengingat pekerjaannya dalam pasukan Persia maka ia
dipilih oleh komplotan itu untuk melaksanakan rencana
tersebut.
Jufainah adalah seorang Nasrani dari Hirah, istrinya ibu
susuan Sa'd bin Abi Waqqas. Ia dibawa ke Medinah karena
adanya pertalian susuan
tadi.[03]
Oleh karena itu Sa'd marah sekali ketika ia dibunuh oleh
Ubaidillah bin Umar sesudah ayahnya terbunuh. Antara
keduanya hampir terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan.[04]
Tanda-tanda adanya komplotan semacam ini memang sudah
ada, yang kemudian diperkuat oleh beberapa peristiwa.
Tanda-tanda itu ialah bahwa beberapa kawasan yang sudah
dibebaskan oleh Muslimin di masa Umar ada yang tidak senang
dengan kejadian tersebut, dan karenanya ada penduduk yang
marah. Indikasi itu lebih jelas lagi setelah orang-orang
yang berkomplot terhadap Umar dan kemudian membunuhnya itu
berada di bawah perlindungannya di Medinah. Pemimpin mereka
adalah Hormuzan, orang yang disenangi oleh Umar dan mendapat
simpatinya, sehingga kadang ia dimintai pendapatnya; dan
keberadaannya di Medinah disamakan dengan masyarakatnya
sendiri. Kalau mereka saja kini sudah berkomplot terhadap
Umar, apalagi orang Persia yang tinggal di tanah air mereka
sendiri. Mereka diperintah oleh Arab, hati mereka bergolak,
mereka berontak, kendati masih terpendam, karena kuatnya
kekuasaan asing yang menguasai negeri itu.
Setelah Umar terbunuh, di negeri Arab sendiri timbul
suatu gejala, yang agaknya tak akan terjadi kalau tidak
karena berdirinya kedaulatan Islam. Sejak Umar ditikam oleh
Abu Lu'lu'ah kaum Muslimin dicekam oleh rasa ketakutan,
khawatir akan nasib mereka sendiri kelak. Terpikir oleh
mereka siapa yang akan menggantikannya jika dengan takdir
Allah dia meninggal. Beberapa orang ada yang membicarakan
masalah ini kepada Umar. Mereka meminta Umar mencalonkan
pengganti.
Pada mulanya Umar masih ragu, dan ia berkata: "Kalaupun
saya menunjuk seorang pengganti, karena dulu orang yang
lebih baik dari saya juga menunjuk pengganti, atau kalaupun
saya biarkan, karena dulu orang yang lebih baik dari saya
juga membiarkan." Tetapi sesudah dipikirkan matang-matang,
bahwa kalau dibiarkan begitu saja ia khawatir keadaan akan
menjadi kacau. Dalam berperang dengan Persia dan Rumawi
semua orang Arab sudah ikut serta sehingga setiap kabilah
mengaku dirinya seperti kaum Muhajirin dan Ansar, berhak
memilih khalifah. Malah di antara mereka ada yang mengaku
berhak mencalonkan pemimpinnya sebagai khalifah. Jika Umar
tidak memberikan pendapat, pengakuan seperti itu akan sangat
membahayakan kedaulatan yang baru tumbuh itu.
Karenanya, ia membentuk Majelis Syura yang terdiri dari
enam orang dengan tugas memilih di antara mereka seorang
khalifah sesudahnya. Keenam orang itu Usman bin Affan, Ali
bin Abi Talib, Zubair bin Awwam, Talhah bin Ubaidillah,
Abdur-Rahman bin Auf dan Sa'd bin Abi Waqqas. Setelah
menyebutkan nama-nama mereka ia berkata: "Tak ada orang yang
lebih berhak dalam hal ini daripada mereka itu; Rasulullah
sallallahu 'alaihi wasallam wafat sudah merasa puas
terhadap mereka. Siapa pun yang terpilih dialah khalifah
sesudah saya."
Sikap Ansar terhadap Majelis
Syura
Pilihan Umar atas keenam tokoh itu luar biasa. Tak
seorang pun di antara mereka terdapat orang Ansar dari
Medinah atau dari kabilah-kabilah Arab yang lain. Semua
mereka dari kaum Muhajirin dan dari Kuraisy. Sungguhpun
begitu, dari pihak Ansar atau orang-orang Arab yang
berdatangan ke Medinah sepulang menunaikan ibadah haji, tak
seorang pun ada yang marah, memprotes pilihan Umar itu.
Keadaan mereka tetap demikian sesudah Umar terbunuh, sampai
khalifah penggantinya dibaiat. Rasa puas pihak Ansar dan
orang-orang Arab yang lain dengan pilihan Umar atas keenam
orang itu mengingatkan kita pada peristiwa Saqifah Banu
Sa'idah setelah Nabi wafat dan jasadnya masih di rumah belum
dikebumikan. Setelah Rasulullah, kaum Ansarlah yang ingin
memegang pimpinan. Mereka yang paling moderat berkata: "Dari
pihak kami seorang amir dan dari pihak Kuraisy seorang
amir." Setelah Abu Bakr, Umar dan Abu Ubaidah pun datang ke
Saqifah, mereka berdiskusi dengan Ansar mengenai tuntutan
mereka itu. Abu Bakr antara lain mengatakan: "Kami kaum
Muhajirin dan kalian kaum Ansar, kita bersaudara dalam agama
dan sama-sama dalam pembagian rampasan perang serta
pembela-pembela kami dalam menghadapi musuh. Apa yang kalian
katakan bahwa segala yang baik ada pada kalian, itu sudah
pada tempatnya. Kalianlah di seluruh penghuni bumi ini yang
patut dipuji. Dalam hal ini kabilah-kabilah Arab itu hanya
mengenal lingkungan Kuraisy. Jadi, dari pihak kami para amir
dan pihak kalian para
wazir."[05]
Sejak diucapkan oleh Abu Bakr, kata-kata ini telah
menjadi konstitusi dan undang-undang "kekhalifahan bagi kaum
Muslimin selama berabad-abad. Oleh karena itu, tak ada pihak
yang menentang pergantian Abu Bakr kepada Umar. Juga tak ada
yang menentang pilihan Umar membentuk Majelis Syura dalam
lingkungan Kuraisy. Malah dengan menyerahkan kepada keenam
orang itu untuk memilih seorang khalifah di antara mereka,
pihak Ansar dan semua orang Arab merasa puas.
Mengapa Umar menyerahkan pemilihan khalifah kepada
Majelis Syura tanpa menunjuk nama tertentu dari keenam orang
yang diangkatnya itu dengan mengambil teladan dari Abu Bakr
saat menunjuknya sebagai penggantinya?
Ada beberapa sumber menyebutkan bahwa Sa'id bin Zaid bin
Amr berkata kepada Umar: "Kalau Anda menunjuk seseorang dari
kalangan Muslimin, orang sudah percaya kepada Anda," -
dijawab oleh Umar: "Saya sudah melihat sahabat-sahabat saya
mempunyai ambisi yang buruk!" Jawaban ini menunjukkan bahwa
dia khawatir, kalau dia menunjuk nama tertentu, hal ini akan
mendorong ambisi yang lain untuk bersaing. Jika terjadi
demikian maka tak akan ada kesepakatan di kalangan Muslimin,
malah akan timbul pertentangan dengan akibat yang tidak
diharapkan.
Ada yang berpendapat bahwa Umar memang tidak melihat dari
keenam mereka itu yang seorang lebih baik dari yang lain. Ia
tidak ingin menanggung dosa musyawarah yang tidak
benar-benar memuaskan hatinya di hadapan Tuhan. Ataukah
ketika terkena tikam itu ia khawatir akan cepat menemui
ajalnya sebelum kaum Muslimin mencapai kesepakatan memilih
salah seorang dari mereka lalu penyelesaiannya diserahkan
kepada Majelis Syura karena sudah tak ada waktu lagi buat
dia menyelesaikan? Semua ini adalah soal yang tidak mudah
bagi seorang sejarawan untuk menentukan pilihannya,
sekalipun harus juga ditambahkan apa yang dikutip orang
tentang Umar yang mengatakan: "Sekiranya Abu Ubaidah masih
hidup, tentu akan saya tunjuk dia sebagai pengganti saya,
dan kalau saya ditanya oleh Tuhan akan saya jawab: Aku
mendengar Nabi-Mu berkata bahwa dia 'kepercayaan umat.'
Sekiranya Salim bekas budak Abu Huzaifah masih hidup akan
saya tunjuk dia sebagai pengganti saya, dan kalau saya
ditanya oleh Tuhan akan saya katakan: Kudengar Nabi-Mu
berkata bahwa Salim sangat mencintai Allah Ta'ala." Adakah
ungkapan itu berarti bahwa dia lebih mengutamakan Abu
Ubaidah dan Salim daripada keenam orang anggota Majelis
Syura itu, dan bahwa keenam orang itu baginya semua
sama?
Tetapi kita masih mendapatkan penafsiran lain atas sikap
Umar itu, yakni ia tidak ingin memikulkan tanggung jawab
kekhalifahan itu ke atas pundak keenam orang tersebut, yang
sudah dialaminya sendiri begitu berat dan sangat melelahkan.
Ada sumber yang menyebutkan bahwa begitu sadar akibat
penikaman itu ia berkata kepada Abdur-Rahman bin Auf: "Saya
akan mempercayakan kepada Anda." Abdur-Rahman menjawab:
"Amirulmukminin, kalau saran Anda ditujukan kepada saya,
akan saya terima." Lalu ia ditanya oleh Umar: "Apa maksud
Anda?"
"Amirulmukminin, demi Allah, benarkah Anda menyarankan
itu ditujukan kepada saya?" tanya Abdur-Rahman lagi.
"Sebenarnya tidak," jawab Umar.
Sesudah konsultasi itu Abdur-Rahman berkata: "Saya memang
tidak ingin memasuki soal ini samasekali."
"Anggaplah saya diam," kata Umar, "sebelum saya
percayakan kepada orang-orang yang ketika Rasulullah
sallallahu 'alaihi wasallam wafat merasa senang
terhadap mereka."
Apa pun yang mendorong Umar tidak mau menunjuk pengganti
dan ia membentuk Majelis Syura untuk memilih khalifah di
antara mereka, peristiwa-peristiwa yang terjadi sesudah itu
memang menunjukkan bahwa pendapatnya itu benar.
Pertemuan dan perdebatan
sengit
Anggota-anggota Majelis Syura itu sudah mengadakan
pertemuan begitu mereka ditunjuk, tetapi ternyata mereka
masih saling berbeda pendapat. Abdullah bin Umar berkata
kepada mereka: "Kalian akan mengangkat seorang pemimpin
sementara Amirulmukminin masih hidup?" Kata-kata itu
didengar oleh Umar, maka ia segera memanggil mereka:
"Berilah waktu," kata Umar. "Kalau terjadi sesuatu terhadap
diri saya, biarlah
Suhaib[06]
yang mengimami salat kalian selama tiga malam ini. Setelah
itu bersepakatlah kalian: barang siapa di antara kalian ada
yang mengangkat diri sebagai pemimpin tanpa kesepakatan kaum
Muslimin, penggallah lehernya." Selanjutnya ia memanggil Abu
Talhah al-Ansari - dari kalangan Ansar - orang yang
terbilang pemberani yang tak banyak jumlahnya, lalu katanya:
"Abu Talhah, bergabunglah Anda dengan lima puluh orang Ansar
rekan-rekan Anda itu bersama beberapa orang anggota Majelis
Syura. Saya rasa mereka akan bertemu di rumah salah seorang
dari mereka. Berjaga-jagalah di pintu bersama teman-temanmu
itu. Jangan biarkan dari mereka ada yang masuk, juga mereka
jangan dibiarkan berlarut-larut sampai tiga hari belum ada
yang terpilih. Andalah yang menjadi wakil saya pada
mereka!"
Sebab-sebab timbulnya
perselisihan
Tatkala Umar wafat tiba saatnya Majelis Syura sudah akan
bersidang untuk memilih seorang khalifah di antara mereka.
Sesudah berkumpul mereka meminta Abu Talhah al-Ansari
menjaga mereka, dan mereka tidak ingin dijaga oleh Mugirah
bin Syu'bah dan Amr bin As.
Malah oleh Sa'd bin Abi Waqqas mereka dilempari kerikil
dan disuruh pergi sambil mengatakan: "Kalian akan mengaku:
'Kami telah ikut hadir dan termasuk anggota Majelis
Syura!"
Begitu musyawarah sudah dimulai, terjadi perdebatan
sengit di antara mereka, dan ada yang dengan suara keras
demikian rupa, sehingga terkesan oleh Abu Talhah al-Ansari
bahwa perselisihan mereka sudah makin memuncak. Ia masuk dan
berkata: "Saya lebih ngeri melihat kalian saling dorong
daripada saling bersaing. Saya tidak akan memperpanjang
lebih dari tiga hari yang sudah diperintahkan kepada kalian.
Setelah itu saya akan tinggal di rumah dan akan melihat apa
yang kalian kerjakan!"
Bagaimana mereka sampai berselisih begitu sengit padahal
mereka sahabat-sahabat besar Rasulullah dan dari kalangan
Muslimin yang sudah beriman kepada Allah dan kepada
Rasul-Nya begitu baik?
Kita sudah pernah- menyaksikan perselisihan sengit antara
kaum Muhajirin dan Ansar di Saqifah Banu Sa'idah dan kaum
Ansar pun segera mengakui hak Kuraisy untuk memangku
kekhalifahan. Ketika Abu Bakr duduk di antara Umar dengan
Abu Ubaidah, ia memegang tangan keduanya dan berkata kepada
orang-orang di sekitarnya: "Ini Umar dan ini Abu Ubaidah,
baiatlah siapa di antara keduanya yang kalian kehendaki."
Mendengar ucapan itu Umar berkata: "Abu Bakr, bentangkan
tangan Anda!" Abu Bakr membentangkan tangannya lalu dibaiat
oleh Umar, dibaiat oleh Abu Ubaidah dan yang hadir juga
semua membaiatnya, selain Sa'd bin Ubadah pemuka Ansar,
Dengan demikian Abu Bakr telah menjadi pengganti Rasulullah
dalam pemerintahan Islam. Sampai ajal tiba ia tidak menemui
kesulitan yang berarti untuk memperoleh kesepakatan Muslimin
dengan pergantian Umar.
Bukankah kedudukan Majelis Syura dalam kedua peristiwa
ini merupakan contoh yang akan melepaskan mereka dari
perselisihan dan mengajak bersepakat atas orang yang akan
dibaiat oleh Muslimin menjadi khalifah?
Sebenarnya situasi yang dialami Majelis Syura berbeda
sekali dengan situasi yang dialami oleh Muhajirin dan Ansar
di Saqifah, dan yang dialami oleh Muslimin ketika Abu Bakr
menunjuk Umar menjadi penggantinya. Ketika Rasulullah wafat
persatuan di Semenanjung Arab belum lagi terpadu.
Berita-berita mereka yang mendakwakan diri nabi dari Banu
Asad, Banu Hanifah, begitu juga di Yaman sudah meluas dan
sudah diketahui oleh pihak Muhajirin dan Ansar. Kekhawatiran
bahwa kabilah-kabilah itu akan memberontak terhadap agama
baru ini dan terhadap kekuasaan Medinah sangat mengganggu
pikiran.
Semua ini jelas sekali pengaruhnya dalam mempersatukan
mereka yang sedang berkumpul di Saqifah. Mereka lebih cepat
lagi melangkah mempersatukan diri mengingat Rasulullah sudah
memerintahkan Usamah bin Zaid memimpin sebuah pasukan untuk
menghadapi Rumawi. Lebih-lebih mereka memahami situasi
genting itu serta beratnya tanggung jawab yang mesti dipikul
oleh orang yang harus menggantikan Rasulullah. Waktu itu,
baik Muhajirin maupun Ansar belum mengenal adanya daya tarik
rampasan perang yang melimpah di Medinah dan yang akan
membuat mereka melihat kekhalifahan itu sebagai hal yang
menguntungkan. Oleh karenanya perdebatan mereka berkisar
sekitar agama dan pembelaannya dan siapa yang harus
menggantikan Rasulullah.
Di luar itu, yang berhubungan dengan pemerintahan dan
kekuasaannya hanya sepintas lalu saja terlintas dalam
pikiran mereka. Pada mulanya pihak Ansar hanya berpegang
pada hak mereka sendiri dalam kekhalifahan atau bersama-sama
karena Medinah adalah kota mereka dan kaum Muhajirin
pendatang baru di tempat itu. Jadi merekalah yang paling
berhak memegang dan mengurus kepentingan umat. Sesudah dalam
diskusi Saqifah itu tampak bahwa soalnya bukan lagi soal
Medinah saja melainkan sudah soal agama yang baru tumbuh
ini, barulah mereka mengakui hak Muhajirin dalam
kekhalifahan, mengingat mereka adalah pelopor-pelopor yang
pertama dalam agama dan dalam persahabatan mereka dengan
Rasulullah.
Ketika Abu Bakr menunjuk Umar sebagai penggantinya, dalam
menghadapi Persia dan Rumawi pasukan Muslimin di Irak dan di
Syam dalam posisi bertahan. Tak ada yang tahu bagaimana
takdir kelak menentukan. Malah pihak Muslimin masih berat
hati akan berangkat ke Irak membantu Musanna bin Harisah.
Sampai selama tiga hari itu tak ada orang yang memenuhi
seruan Umar, sebab mereka masih takut menghadapi Persia dan
kehebatannya. Memikul tanggung jawab dalam situasi yang
begitu genting bukan hal yang layak diperselisihkan, satu
sama lain ingin memonopoli. Perhitungan Abu Bakr melihat
situasi yang begitu genting, itulah yang membuatnya menunjuk
Umar, sebab di antara sahabat-sahabatnya, dialah yang
benar-benar tangguh dan paling mampu mengikuti suatu politik
yang harus sukses dengan ketangguhan dan keteguhan hati,
seperti yang ada pada Umar. Umat Muslimin dapat menerima
kekhalifahan Umar kendati mereka sudah tahu wataknya yang
begitu keras dan tegar, dan dalam hal ini tak ada orang yang
mau menyainginya. Cemas sekali mereka melihat perang Persia
dan Rumawi itu, mereka diliputi rasa khawatir jika pasukan
Muslimin kalah dengan segala akibat yang timbul
karenanya.
Sesudah kemudian Umar memegang pimpinan ternyata sukses
mengadakan penyebaran dan pembebasan serta berhasil
membangun sebuah kedaulatan Islam dengan Medinah sebagai ibu
kota yang disegani dunia. Di sisi itu, juga sebagai negeri
Arab dengan kedaulatannya yang besar dan menjadi pusat
perhatian semua bangsa dari segenap penjuru. Karena harta
kekayaan yang melimpah berdatangan dari segenap penjuru
kedaulatannya itu, Umar sudah tidak tahu lagi jumlah harta
itu harus dengan dihitungkah atau dengan ditimbang? Keadaan
sudah berubah dari yang semula. Bukan hal yang mengherankan
jika anggota-anggota Majelis Syura kemudian terlibat ke
dalam perselisihan yang makin memuncak, masing-masing
menginginkan pihaknya yang memegang kekhalifahan.
Di samping itu ada faktor lain yang memicu perselisihan,
yang dampaknya kemudian begitu kuat dalam kehidupan negara,
yaitu persaingan keras antara kabilah-kabilah Kuraisy
sendiri dengan pengaruh jahiliah yang begitu jelas. Setelah
Nabi diutus dan menyerukan persamaan, kebenaran dan
keadilan, lepas dari segala hawa nafsu, persaingan demikian
ini di masa Rasulullah sudah tak terlihat lagi. Kemudian
setelah Rasulullah wafat mulai timbul lagi, tetapi masih
malu-malu. Sesudah kekhalifahan Abu Bakr dan Umar berlalu
dan melihat Arab lebih unggul dari Persia dan Rumawi,
fanatisme kekabilahan mulai timbul lagi. Orang mulai
mengingat-ingat kembali persaingan dahulu antara Banu Hasyim
dengan Banu Umayyah, begitu juga dengan yang lain-lain di
Mekah. Semua mereka terdorong untuk saling berseteru dan
bermusuhan.
Persaingan antara Banu
Hasyim dengan Banu Umayyah; sikap orang-orang Arab terhadap
kekhalifahan
Persaingan antara Banu Hasyim dengan Banu Umayyah itu
sudah berjalan lebih dari seratus tahun sebelum Nabi lahir.
Jabatan-jabatan di Rumah Suci semua bertumpu di tangan Qusai
bin Kilab. Pada paruh pertama abad kelima Masehi penduduk
Mekah sudah mengakui kepemimpinannya atas mereka. Ada tiga
anak laki-laki Qusai, yakni Abdud-Dar, Abdu-Manaf dan
Abdul-Uzza. Sesudah Qusai berusia lanjut dan sudah tidak
kuat memikul tugas itu, semua urusan yang menyangkut
pimpinan Mekah dan jabatan-jabatan di Rumah Suci diserahkan
kepada anak sulungnya, Abdud-Dar. Sementara Banu (keluarga
besar) Abdu-Manaf di tengah-tengah masyarakatnya itu paling
terpandang dan punya kedudukan paling penting. Anak-anak
mereka adalah Abdu-Syams, Naufal, Hasyim dan Muttalib.
Kekuatan ini telah menggoda kesepakatan mereka untuk merebut
segala yang ada di tangan sepupu-sepupunya itu.
Sekarang Kuraisy terbagi menjadi dua persekutuan:
Persekutuan al-Mutayyabun yang mendukung Banu Abdu-Manaf,
dan Persekutuan al-Ahlaf yang mendukung Banu Abdud-Dar.
Kemudian mereka mengadakan kesepakatan bersama dalam soal
logistik: Banu Abdu-Manaf mendapat bagian siqayah dan
rifadah,[07]
sedang bagian Banu Abdud-Dar adalah hijabah,
liwa' dan
nadwah.[08]
Hasyim adalah saudara yang tertua dan dia yang memegang
urusan siqayah dan rifadah. Sesudah ia berusia
lanjut, terbayang oleh kemenakannya, Umayyah bin Abdu-Syams,
bahwa dia mampu menyainginya untuk memberi makan Kuraisy di
musim ziarah seperti yang dilakukan oleh Hasyim. Tetapi
ternyata kemudian ia tidak mampu, dan karenanya ia dikutuk
orang. Ia pergi ke Syam dan tinggal di sana selama 10 tahun.
Al-Maqrizi berkata: "Inilah permusuhan pertama antara Banu
Hasyim dengan Banu
Umayyah."[09]
Permusuhan ini berlanjut terus turun-temurun. Orang Arab
sangat menghormati persuakaan. Jika seorang orang Arab sudah
memberi suaka kepada seseorang, maka orang itu berada di
bawah perlindungannya, aman dari segala serangan pihak lain.
Di kalangan mereka adat ini sangat dihormati. Sungguhpun
begitu, Harb bin Umayyah pernah mengganggu Abdul-Muttalib
bin Hasyim - kakek Nabi - karena orang Yahudi berada di
bawah suaka Abdul-Muttalib. Harb bin Umayyah masih juga
terus mengganggunya sampai akhirnya Yahudi itu dibunuhnya
dan hartanya diambil.
Persaingan antara Banu Umayyah dengan Banu Hasyim ini
tetap berlanjut. Sesudah Nabi diutus, Banu Umayyah menjadi
golongan yang paling keras memusuhinya. Persaingan mereka
terhadap Banu Hasyim itu merupakan pendorong terbesar dalam
hal ini.
Abu Sufyan bin Harb, Akhnas bin Syariq dan Abu al-Hakam
bin Hisyam mengintai Rasulullah selama tiga malam. Mereka
mendengar dari balik tabir Rasulullah sedang membaca Qur'an.
Akhnas pergi mengunjungi Abu Jahl di rumahnya dan
menanyakan:
"Abu al-Hakam, bagaimana pendapat Anda tentang yang kita
dengar dari Muhammad?"
"Yang saya dengar?!" jawab Abu Jahl. "Kami sudah saling
memperebutkan kehormatan dengan Banu Abdu-Manaf. Mereka
memberi makan, kami pun memberi makan, mereka menanggung,
kami pun begitu, mereka memberi, kami juga memberi, sehingga
kami dapat sejajar dan sama tangkas dalam perlombaan. itu
dan kami seperti dua ekor kuda pacuan." Tetapi tiba-tiba
kata mereka: "Di kalangan kami ada seorang nabi yang
menerima wahyu dari langit. Kapan kita akan mengalami yang
semacam itu? Tidak! Kami samasekali tidak akan beriman
kepadanya dan tidak akan mempercayainya!"
Abu Sufyan
Abu Sufyan bin Harb bin Umayyah adalah pemuka mereka yang
memusuhi Muhammad. Sejak Muhammad masih di Mekah sampai
kemudian hijrah ke Medinah ia tetap selalu memusuhinya.
Cukup kita ingat bahwa dialah yang memimpin Kuraisy dalam
Perang Uhud. Setelah Kuraisy mendapat kemenangan dia yang
berteriak: "Hari ini sebagai pembalasan Perang Badr. Sampai
jumpa lagi tahun depan !" Dia juga lagi yang memimpin Ahzab
dalam Perang Khandaq. Sebelum Uhud dan sesudah Khandaq dia
yang menghasut orang untuk memusuhi Muhammad dan berusaha
membunuhnya. Sesudah Nabi berangkat hendak membebaskan Mekah
dan Abu Sufyan juga keluar dan melihat bahwa tak mungkin
pihak Mekah dapat melawan Muslimin, dia meminta perlindungan
kepada Abbas bin Abdul-Muttalib, dan sesudah Abbas memberi
perlindungan dibawanya ia kepada kemenakannya itu. Ketika
itu Rasulullah menanya kepada Abu Sufyan: "Belum waktunyakah
Anda mengetahui bahwa saya Rasulullah?" Abu Sufyan menjawab:
"Demi ibu-bapaku! Sungguh bijaksana Anda, sungguh pemurah.
Tetapi mengenai soal ini, masih ada sesuatu dalam hati
saya."[10]
Sesudah jawaban itu ia melihat bahwa ia akan mati kalau
tidak masuk Islam. Karenanya ia masuk Islam untuk
menyelamatkan diri dari maut, bukan karena beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya. Sesudah pembebasan itu penduduk Mekah
semua menerima Islam, termasuk Banu Umayyah, yang jumlah
kabilah dan anggotanya terbanyak.
Memperebutkan pengaruh
Setelah Abu Sufyan dan Banu Umayyah masuk Islam fanatisme
kesukuan masih tetap merasuk dalam hatinya walaupun untuk
mengungkap isi hatinya itu kekuatan Rasulullah dan kekuatan
Islam sudah membuatnya lumpuh. Setelah Rasulullah wafat dan
Abu Bakr dibaiat, ia menggunakan kesempatan untuk
menyebarkan bibit-bibit fitnah. Disebutkan bahwa setelah ada
kesepakatan bersama mengenai pelantikan Abu Bakr ia datang
dan mengatakan: "Sungguh, hanya darah yang akan dapat
memadamkan sampah ini." Kemudian ia memanggil-manggil
Keluarga Abdu-Manaf, mengapa mesti Abu Bakr yang memerintah
kamu... Mana kedua orang yang ditindas itu, mana orang yang
dihina, Ali dan Abbas...?"
Tak seorang pun akan sudi di bawah kezaliman
Yang terus-menerus disengajakan
Hanyalah yang dihina menjadi pasak kampung halaman.
Sumber-sumber yang mengutip cerita ini sependapat, bahwa
Ali menolak ajakan Abu Sufyan itu, dan ia berkata kepadanya:
Anda memang mau membuat fitnah dengan cara itu. Anda selalu
mau membawa Islam ke dalam malapetaka. Dan katanya lagi:
"Anda selalu memusuhi Islam dan pemeluknya, tetapi Anda tak
akan berhasil. Saya berpendapat Abu Bakr memang pantas untuk
itu."
Mengenai sikap Abu Sufyan terhadap kaum Muslimin sesudah
pelantikan Abu Bakr, sumber-sumber itu masih saling berbeda.
Ada yang berpendapat bahwa dia menjadi seorang Muslim yang
baik, dan dia yang mengerahkan Muslimin di Syam untuk
menghadapi Rumawi. Cerita ini diperkuat karena kedua
anaknya, Yazid dan Mu'awiyah, yang memimpin pasukan di Syam
itu. Setelah Yazid meninggal, pimpinan Syam oleh Umar bin
Khattab diserahkan kepada Mu'awiyah. Yang lain berpendapat
bahwa Abu Sufyan berbeda kulit dari isi, dan bahwa dia
merupakan tempat perlindungan kaum munafik. Kalau dia
melihat pihak Rumawi muncul ia berkata: Ya Banu
al-asfar![11]
Kalau mereka dipergoki kaum Muslimin ia membaca sajak Nu'man
bin Imru'ul Qais bin Aus - salah seorang raja Hirah:
Banu al-asfar, raja-raja, para raja Rumawi
Tiada lagi mereka yang dapat diingat
Setelah Allah memberikan kemenangan kepada Muslimin dan
Zubair bin Awwam diajak bicara tentang Abu Sufyan ia
berkata: Terkutuk orang itu. Yang datang hanya orang
munafik? Bukankah kita lebih baik dari bangsa Banu
al-asfar?
Jelas, sumber terakhir ini dibuat-buat kemudian oleh
pendukung-pendukung Banu Abbas. Sangat tidak wajar Abu
Sufyan akan lebih bersikap fanatik terhadap pihak Rumawi
daripada terhadap golongannya sendiri sementara anak-anaknya
memimpin pasukan berperang melawan Rumawi. Juga sumber yang
dikatakan dari Hasan bahwa Abu Sufyan menemui Usman bin
Affan sesudah ia menjadi Khalifah dengan mengatakan:
"Sekarang sudah menjadi giliran Anda sesudah Banu Taim dan
Banu Adi. Gulirkanlah bola itu dan jadikanlah Banu Umayyah
tali busurnya. Dijawab oleh Usman dengan suara keras:
"Pergilah kau dari sini!"
Persaingan Banu Hasyim dan Banu
Umayyah
Tetapi kalaupun kita dapat menerima bahwa sumber pertama
itu palsu karena berlawanan dengan logika peristiwa, namun
kita tak dapat menerima kepalsuan sumber yang kedua karena
memang, Abu Sufyan orang yang sangat fanatik terhadap
golongannya, Banu Umayyah.
Sungguhpun begitu persaingan antara Banu Hasyim dengan
Banu Umayyah ini tidak merintangi segolongan kerabat dekat
Rasulullah untuk menyatakan permusuhan secara terbuka, sebab
dia mengecam agama mereka dan mencela segala yang disembah
nenek moyang mereka. Abu Lahab, pamannya, dan istrinya
tukang fitnah[12]
selalu mengganggu Nabi melebihi Banu Umayyah dan orang-orang
Kuraisy lainnya. Pamannya Abu Talib, kendati ia tetap
bertahan dengan agamanya, ia melindungi Nabi dengan segala
kedudukan dan kemampuannya itu di Mekah. Sebaliknya pamannya
Hamzah, ia masuk Islam karena solider kepada kemenakannya
itu ketika dilihatnya Abu Jahl memaki dan mengganggu
Muhammad, sementara pamannya Abbas baru masuk Islam setelah
pasukan Muslimin berangkat akan membebaskan Mekah.
Hak dan batil
Tidak heran jika paman-paman Rasulullah bersikap demikian
kepadanya. Kekuasaan dan pengaruh kepercayaan itu memang
besar sekali dalam hati orang. Sebagian besar orang tidak
mau memperdebatkan apa yang sudah diwarisinya dari nenek
moyangnya untuk mengetahui mana yang hak dan mana yang
batil, mana yang benar dan mana yang tidak. Dan yang
sebagian kecil adalah mereka yang dengan hati nurani sudah
mendapat cahaya ilahi, mereka yang oleh Allah sudah diberi
hidayah, diberi petunjuk kepada kebenaran dengan bukti yang
nyata. Mereka tidak akan bersikap fanatik terhadap kebatilan
bilamana kebenaran itu sudah jelas dan sudah menerangi
cita-citanya dengan cahaya-Nya. Mereka ini tidak akan
terpengaruh oleh fanatisme pada suatu kabilah, ras atau
kepercayaan untuk menerima kebenaran yang telah disampaikan
kepada mereka. Kalau mereka yakin, mereka akan
mempercayainya dan akan menjadi orang-orang beriman dan akan
menjadi penganjurnya yang tangguh.
Itulah yang telah terjadi dengan Usman bin Affan,
Abdur-Rahman bin Auf, Talhah bin Ubaidillah, Sa'd bin Abi
Waqqas dan Zubair bin Awwam. Tak seorang pun dari
sahabat-sahabat itu yang termasuk Banu Hasyim. Usman dari
Banu Umayyah, yakni Usman bin Affan bin Abi al-As bin
Umayyah bin Abdu-Syams. Abu Bakr laki-laki pertama yang
masuk Islam ketika diajak oleh Rasulullah setelah diutus
membawa risalah Islam. Secara terbuka dakwah kebenaran itu
disampaikan oleh Abu Bakr kepada sahabat-sahabatnya, lalu
diikuti oleh kelima orang itu, dengan dipelopori oleh Usman.
Mereka masuk ke dalam agama Allah serta beriman kepada Allah
dan Rasul-Nya. Kelima orang itulah yang mula-mula masuk
Islam dan berpegang teguh, dan demi agama itu pula mereka
berjuang mati-matian. Rasulullah wafat pun sudah merasa lega
terhadap mereka. Mereka itulah yang didudukkan dalam Majelis
Syura oleh Umar bin Khattab, termasuk Ali bin Abi Talib,
sepupu dan menantu Rasulullah dari pernikahannya dengan
putrinya Fatimah. Soalnya Ali adalah Muslim pertama dari
Banu Hasyim dan dalam semua pertempuran ia bersama
Rasulullah.
Ali bin Abi Talib
Karena kesertaan mereka yang mula-mula dalam Islam dan
persahabatan mereka dengan Rasulullah, mereka mendapat
tempat di hati kaum Muslimin. Di antara mereka ada yang
masih dalam hubungan kerabat dengan Rasulullah. Ini juga
yang menambah kedekatan mereka di hati orang, dan sudah
tentu Ali bin Abi Talib adalah kerabat dan hubungan keluarga
terdekat dengan Rasulullah. Dia anak pamannya Abu Talib bin
Abdul-Muttalib, dan Abu Talib inilah yang mengasuh Muhammad
sejak mudanya setelah kakeknya Abdul-Muttalib meninggal, dan
dia pula yang melindunginya dari gangguan Kuraisy setelah
kerasulannya, ketika Kuraisy selalu mengganggunya sampai
berlebihan. Dalam pada itu Rasulullah juga mengasuh Ali di
masa mudanya. Dengan demikian ia telah membalas budi
pamannya Abu Talib dengan sebaik-baiknya. Kedudukan Ali
dengan sepupunya itu, itu pula yang membuatnya orang pertama
masuk Islam dari kalangan anak muda, yang ketika itu umumnya
belum mencapai akil balig. Sesudah memasuki usia muda remaja
oleh Rasulullah ia dinikahkan dengan putrinya Fatimah, yang
terus bersamanya sampai ia meninggal enam bulan sesudah
kematian ayahnya. Fatimah ini ibunda Hasan dan Husain
putra-putra Ali.
Silsilah Keluarga Rasulullah
Zubair bin Awwam
Dalam kekerabatannya dengan Rasulullah sesudah Ali,
adalah Zubair bin Awwam. Ibundanya Safiyah adalah putri
Abdul-Muttalib, bibi Muhammad. Jadi dia anak Awwam bin
Khuwailid, saudara Khadijah Ummulmukminin. Kekerabatan ini
juga yang mendorongnya masuk Islam ketika umumya baru enam
belas tahun. Di samping itu, dia juga tak pernah ketinggalan
dalam setiap pertempuran yang dialami oleh Rasulullah.
Kejadian itu sesudah ia mengalami dua kali
hijrah[13]
ke Abisinia, berlindung kepada Allah dengan agamanya, dari
gangguan Kuraisy. Ketika dalam Perang Uhud, ia pun telah
berikrar setia kepada Rasulullah dalam menghadapi
kabilah-kabilah Arab. Dalam Perang Khandaq Rasulullah
menugaskan orang yang dapat membawa berita tentang pasukan
Ahzab yang mengepung Medinah, maka tugas itu dipercayakannya
kepada Zubair. Seperti dikatakan oleh Rasulullah: "Setiap
nabi punya seorang pembantu
dekat,[14]
maka pembantu dekatku adalah Zubair bin Awwam." Ketika
pembebasan Mekah, salah satu bendera dari tiga bendera
Muhajirin dipegang oleh
Zubair.[15]
Zubair dengan kekuatan fisik dan keberaniannya, juga sangat
murah hati dan penuh rasa kasih sayang kepada orang. Oleh
karena itu Nabi sangat dekat kepadanya dan saling mencintai.
Tatkala di Medinah diadakan pembagian tanah ia mendapat
sebidang yang cukup luas dan sebuah'kebun kurma. Seperti
Rasulullah, Abu Bakr dan Umar juga sangat mencintainya. Abu
Bakr memberinya sebidang tanah di Jauf dan Umar memberinya
di Aqiq.
Catatan kaki:
- 02. Tindakan ini
untuk membebaskan Irak dari penjajahan Persia dan Syam
dari penjajahan Rumawi. - Pnj.
- 03. At-Tabari,
3/33 (al-Maktabah at-Tijariyah, 1939).
- 04. Lebih lanjut
lihat Umar bin Khattab, hal. 797-798. - Pnj.
- 05. Wuzara
jamak wazir 'yang memberi dukungan' (N),
yakni 'para menteri. 'Umara' jamak amir,
harfiah 'yang memerintah, pemimpin, pangeran', dapat
diartikan juga kepala negara. - Pnj.
- 06. Suhaib adalah seorang budak asal
Rumawi yang oleh Rasulullah ditebus dengan uangnya
sendiri.
- 07. Siqayah, persediaan air, dan
rifadah persediaan makanan untuk para peziarah di
Ka'bah.
- 08. Masing-masing berarti: 'juru
kunci,' 'pemegang panji (komandan)' dan 'pimpinan rapat
setiap tahun musim.' - Pnj.
- 09. Lihat al-Maqrizi, an-Niza'
wat-Takhasum baina Ban' Umayyah wa Bani Hasyim, h.
22-23.
- 10. At-Tabari, Tarikh, 2/221
(cetakan at-Tijariyah, 1939).
- 11. Sebutan untuk orang-orang Rumawi
di Asia Kecil, Konstantinopel dan sekitarnya, kemudian
menjadi sebutan bagi semua ras kulit putih. - Pnj.
- 12. Harfiah, 'pembawa kayu bakar,'
arti kiasan dalam Qur'an, yakni sering membawa kayu-kayu
berduri yang diikat lalu diletakkan di jalan yang biasa
dilalui Nabi; atau tukang memanas-manasi hati orang untuk
memusuhi Nabi. - Pnj.
- 13. Hijrah pertama
terdiri dari 11 orang laki-laki dan 4 orang perempuan ke
Abisinia ketika gangguan Kuraisy makin meningkat terhadap
Muslimin. Setelah terbetik berita bahwa Kuraisy Mekah
sudah tidak lagi mengganggu, mereka kembali. Tetapi
ternyata sikap Kuraisy terhadap Muslimin tidak berubah.
Terpaksa mereka kembali lagi ke Abisinia dengan 80 orang
bersama istri dan anak-anak mereka. Ini yang disebut
hijrah kedua. Mereka tinggal di sana sampai kemudian Nabi
hijrah ke Medinah dan mereka pun kembali langsung ke
Medinah. - Pnj.
- 14. Hawari
(jamak hawariyun), 'yang murni, tersaring dari
segalanya, banyak dipakai untuk pengikut-pengikut para
nabi' (MAQ). - Pnj.
- 15. Ketiga orang
Muhajirin itu ialah Khalid bin Walid, Abu Ubaidah bin
Jarrah dan Zubair bin Awwam. - Pnj.
|