CATATAN SEKITAR BUKU INI
Oleh Ahmad Muhammad Husain
Haekal[01]
Tidak seperti terhadap para Khulafa Rasyidun yang lain,
penilaian kalangan sejarawan terhadap Usman bin Affan sangat
berbeda. Sama halnya dalam menempatkan pengaruh mereka dalam
sejarah umat Islam. Dari sinilah penulisan sejarah masa
Usman dan biografi Usman terasa ganjil. Dan ini tak kurang
pula pentingnya. Kedua masalah ini memerlukan penelitian
yang lebih saksama dan berhati-hati dalam menilai peristiwa
demi peristiwa dan pribadi-pribadi itu.
Itulah barangkali -- juga yang lain -- yang menarik
perhatian Dr. Haekal untuk menulis kelanjutan masa permulaan
sejarah Islam sesudah selesai menulis Abu
Bakr as-Siddiq dan Umar
bin Khattab.
Ketika itu almarhum bermaksud -- kalau tidak karena
hal-hal seperti yang akan saya singgung nanti -- mengadakan
studi mengenai masa kedua Khalifah teladan, Usman bin Affan
dan Ali bin Abi Talib. Selanjutnya akan dibahas sebab-sebab
yang melahirkan sistem kekhalifahan sampai berubah menjadi
kerajaan yang turun-temurun diwarisi oleh Banu Umayyah lalu
oleh Banu Abbas dan selanjutnya oleh mereka yang datang
sesudah itu. Jika ditakdirkan dapat diselesaikan di
tangannya, perubahan dalam sistem pemerintahan Islam dan
segala faktor politiknya itulah yang merupakan hal sangat
penting yang akan mencakup studi ini. Kalau ini sampai
menjadi kenyataan niscaya buku ini akan terbit dalam bentuk
yang berbeda sekali dari keadaannya yang sekarang.
Dr. Haekal mulai mengadakan studi tentang masa Usman ini
sekitar tahun 1945 dengan tujuan hendak meneruskan
studi-studinya tentang Islam yang sudah dimulainya dari
Sejarah
Hidup Muhammad. Suasana kehidupannya dalam dunia
politik, sejak ia memegang jabatan sebagai menteri, banyak
sekali tercermin dalam karya-karya intelektual dan
budayanya. Yang juga sudah menjadi prinsipnya, ia tidak
ingin menerbitkan buku selama ia memangku tugas selaku
menteri. Tugas-tugas departemennya itu memang tidak
memungkinkan ia dapat menyelesaikan studi yang sudah
dimulainya itu. Maka terpaksalah studinya ditangguhkan
sampai tiba waktunya nanti ia mendapat kesempatan lagi.
Begitu juga halnya selama ia menjadi ketua senat. Ia telah
menunda studinya tentang kelanjutan masa Usman dari tahun ke
tahun. Dan bila sudah tiba waktunya akan memulai lagi tentu
sudah tidak mudah.
Di samping itu masih ada faktor lain yang membuat Dr.
Haekal lama sekali berpikir sebelum meneruskan studi yang
sudah dimulainya itu -- dan telah membuatnya juga harus
menangguhkan -- yaitu adanya perdebatan-perdebatan di antara
golongan-golongan masyarakat Islam sekitar kekhalifahan
Usman dan hak eksklusif kekhalifahan Ali yang tak kunjung
selesai, kendati sudah berlalu lebih dari tiga belas abad
sejak Usman memegang pimpinan, dan kendati ada perubahan
yang telah menimpa sistem kekhalifahan itu sendiri. Dan
bekasnya pun sudah tak lagi ada selain hanya tinggal nama,
yang akhirnya ini pun bubar menyusul pecahnyanya Perang
Dunia Pertama.
Sudah demikian rupa keadaan beberapa kelompok itu,
sampai-sampai ada di antara mereka yang berusaha hendak
menanamkan keraguan mengenai keabsahan kekhalifahan Abu Bakr
dan Umar. Mereka beranggapan bahwa sepeninggal Rasulullah
hak kekhalifahan ada pada Ali, yang diwasiatkan Rasulullah
kepadanya. Sikap ekstrem yang dianut kelompok-kelompok
tersebut sudah tentu merupakan cacat, karena ini sangat
bertentangan dengan ajaran Islam, bahwa orang-orang mukmin
itu sama seperti gerigi sisir. Oleh karenanya hak dan
kewajiban mereka sama, dan pimpinan negara harus diberikan
kepada yang ahli.
Menghadapi perdebatan yang sudah menjurus kepada
perkelahian sengit itu oleh Dr. Haekal dijadikan titik
perhatiannya kemudian membahasnya secara mendalam sekali.
Tampaknya dalam hal ini ia sama sekali tidak ingin memberi
pendapat atau mengambil suatu kesimpulan. Kalau kesimpulan
itu sudah ada tentu ia akan terdorong untuk meneruskan
studinya dan akan menyiarkannya, kendati kecenderungan
demikian dari beberapa segi akan menimbulkan perdebatan yang
berkepanjangan. Sungguhpun begitu, menurut hemat saya sudah
dapat dipastikan bahwa sebagian mereka yang berpendapat
bahwa Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam
mewasiatkan kekhalifahan sesudahnya kepada Ali, dan bahwa
keturunan Ali lebih berhak untuk itu, tidaklah akan mengubah
keyakinan Dr. Haekal bahwa hak untuk memilih kepala negara
adalah bebas dan tak terikat oleh apa pun. Artinya
kedaulatan ada di tangan kaum Muslimin -- atau karena
keyakinannya, bahwa pertentangan itu sendiri bagi Muslimin
jauh lebih banyak ruginya daripada untungnya, kalaupun yang
disebut keuntungan demikian itu ada.
Orang yang mengikuti apa yang sudah menjadi prinsip Dr.
Haekal ketika menulis biografi Rasulullah dan kedua
khalifahnya yang mula-mula, serta kecenderungannya menempuh
metode analisis, akan melihat bahwa dalam buku ini pun ia
tidak membedakannya, bahkan ia lebih kuat berpegang pada
cara itu dan lebih yakin.
Dalam bab pertama ia membahas gejala-gejala pemilihan
khalifah ketiga untuk memikul tanggung jawab pemerintahan,
sementara orang belum lagi sadar dari kebingungan atas
musibah terbunuhnya Amirulmukminin Umar bin Khattab. Dalam
bab ini, untuk memastikan ia tidak membatasi apa yang
terjadi dengan pertemuan keenam orang yang oleh Umar sudah
ditentukan pencalonannya untuk khalifah sesudahnya serta
bagaimana perdebatan yang timbul di sekitar itu. Bahkan ia
juga menyinggung soal lahirya konsep musyawarah oleh Umar
dan bagaimana ia masih merasa ragu, membiarkan soal
penunjukan khalifah sesudahnya itu dimusyawarahkan oleh
sahabat-sahabat sendiri mengikuti jejak Rasulullah
sallallahu 'alaihi wasallam, atau mengikuti jejak Abu
Bakr dengan menentukan penggantinya ketika ia mengumpulkan
pendapat para sahabat.
Perkembangan yang dialami oleh Kedaulatan Islam sejak
masa Rasulullah dan masa Abu Bakr seharusnya tidak boleh
dibiarkan begitu saja. Karenanya Umar segera menempuh sistem
syura sebagai titik tolak sistem legislasi yang lentur untuk
pemilihan khalifah, yang akan berkembang sejalan dengan
perkembangan keadaan negara dan pola politik yang berlaku.
Kelenturan yang menjadi ciri khas sistem ini dapat
menjangkau permusyawarahan yang lebih luas, tidak terbatas
hanya pada enam orang yang sudah ditentukan oleh Umar
itu.
Dengan demikian adanya beberapa aliran yang saling
berlawanan itu dapat dipertemukan, suatu hal yang memang
sudah menjadi suatu keharusan guna menjamin majelis syura
itu dapat melantik orang yang sudah terpilih di antara
mereka. Bab ini memberikan gambaran yang hidup mengenai
musyawarah-musyawarah itu, sikap orang terhadapnya dan
kegelisahan mereka yang ingin mengetahui hasilnya, seolah
kita ikut menyaksikan segala peristiwa besar yang terjadi
waktu itu.
Ketika sudah ada kesepakatan mengenai pelantikan Usman,
Dr. Haekal membahas sosok dan watak Khalifah yang baru ini,
dan sampai berapa jauh watak itu akan mempengaruhi politik
negara pada masanya. Pada setiap zaman kepribadian seorang
penguasa memang besar sekali pengaruhnya dalam politik dan
administrasi negara. Keadilan dan kebijakan Umar yang begitu
baik, yang telah disaksikan sendiri kaum Muslimin, sering
terpantul dari wataknya itu. Mungkinkah pengaruh Usman dalam
mengemudikan negara juga sama dengan Umar? Inilah kelak yang
akan terungkap dari sela-sela kebijakannya dan dari bab-bab
berikutnya dalam buku ini.
Pada permulaan pemerintahannya Usman telah berusaha
sedapat mungkin mengikuti kebijakan Rasulullah dan kedua
penggantinya, sesuai dengan janji yang sudah diikrarkannya
tatkala dilantik bahwa ia akan meneruskan kebijakan itu. Hal
ini tampak jelas dalam politik perluasan yang terjadi pada
masanya. Politik ini merupakan lanjutan dari politik Umar,
walaupun pembangkangan dan pemberontakan yang berkecamuk di
beberapa daerah telah mengharuskan Usman mengerahkan
sejumlah pasukan untuk memadamkan dan menumpasnya. Begitu
juga ia harus cepat-cepat mempersiapkan armada Muslimin di
Syam dan di Mesir untuk memukul mundur pihak penyerang,
kendati Umar telah melarang yang demikian, sebab orang Arab
tak biasa di laut. Apa yang dilakukan Usman itu, dan yang
serupa itu, tidak bertentangan dengan janjinya, tetapi ia
dipaksa oleh keadaan. Sekiranya Umar mengalami hal yang
sama, niscaya ia pun akan sependapat dengan Usman. Dalam bab
tiga buku ini Dr. Haekal menguraikan politik Usman itu
dengan segala yang dialaminya dan itu memang
mendukungnya.
Sebenarnya tindakan Usman yang berlawanan dengan Umar itu
tidak akan menimbulkan gejolak kalau saja ia mau membatasi
pada hal-hal yang sangat darurat saja. Tetapi dia -- juga
pejabat-pejabatnya -- untuk memperluas daerah kedaulatan dan
memperbanyak rampasan perang dan hasil pajak -- telah
menempuh suatu cara yang tidak biasa dilakukan orang. Begitu
juga dalam mengangkat dan memberhentikan pejabat-pejabat ia
menempuh cara yang tidak disenangi oleh mayoritas umat.
Dalam hal ini akan lebih baik jika Usman mempertahankan
pejabat-pejabat Umar di tempat mereka bertugas pada tahun
pertama itu, sesuai dengan pesan pendahulunya. Selanjutnya
ia mengganti mereka dengan pejabat-pejabat lain, yang
kebanyakan masih para kerabatnya, untuk menjamin kesetiaan
mereka, kendati cara ini samasekali tak pernah dilakukan
oleh Umar. Malah Umar menghindari pengangkatan para
kerabatnya itu untuk menjaga ia tetap bersih.
Sampai pada batas ini ia membahas biografi Usman bin
Affan, ajal datang menjemputnya. Tak sempat lagi ia
menyelesaikan studinya yang sudah dimulainya dalam Bab 4
mengenai pemerintahan Usman serta bermacam-macam pendapat
yang ada pada masanya itu. Saya yakin, sekiranya studi ini
sempat diselesaikan, sebab-sebab timbulnya huru-hara dan
segala yang menjadi presedennya yang kemudian berakhir
dengan pemberontakan dan terbunuhnya Khalifah Usman, akan
banyak terungkap.
Profesor Dr. Jamaluddin Sarur, guru besar sejarah Islam
di fakultas sastra Universitas Kairo telah meluangkan
waktunya untuk menulis bab terakhir yang mengakhiri jalan
kehidupan Usman. Dari sini terlihat jelas bahwa perpecahan
itu mulai menggerogoti tubuh Muslimin pada akhir masa Usman,
dan daerah-daerah lain juga mulai pula menyatakan
ketidakpuasannya dengan berbagai cara.
Sungguhpun begitu, sikap solidaritas sahabat-sahabat
Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam tetap teguh,
dan solidaritas ini kemudian menjadi kenyataan tatkala
mereka menolak kaum pemberontak itu hendak membaiat salah
seorang dari mereka menjadi khalifah - sesuai dengan pesan
Rasulullah: "Barang siapa mengaku dirinya atau salah seorang
pemimpin atas orang lain ia akan dikutuk Allah. Bunuhlah
dia."
Dr. Sarur dengan senang hati juga memeriksa kembali
pokok-pokok dalam buku ini dan mencocokkan nas-nas hadis
yang terdapat di dalamnya. Untuk semua itu terima kasih dan
penghargaan tak terhingga patut disampaikan kepadanya.
Sekarang saya ingin melepas biografi Zun Nurain Usman bin
Affan ini ke tangan pembaca dengan hadis Rasulullah
'alaihis-salam: "Kamu semua adalah gembala dan bertanggung
jawab atas yang digembalakan. Istri adalah gembala rumah
tangga dan bertanggung jawab atas yang digembalakannya,
pembantu rumah adalah gembala atas harta tuannya dan
bertanggung jawab atas yang digembalakannya."
Semoga Allah membimbing kita dengan segala yang terbaik;
Allah adalah Pelindung dan Penolong terbaik.
Kairo, Januari 1964
Ahmad Haekal
Catatan kaki:
- 01. Dr. Ahmad
Muhammad Husain Haekal adalah putra bungsu almarhum Dr.
Haekal. - Pnj.
|