|
||
|
Tersebarnya fitnah - 130; Kemarahan penduduk Kufah kepada para pejabat - 130; Usman menukar rampasan perang - 131; Abdullah bin Saba' - 131; Abu Zar al-Gifari -132; Usman bermusyawarah - 132; Kedatangan sebuah delegasi ke Medinah dan pembelaan Usman - 134; Surat misterius - 137; Pengepungan - 139; Dengan berani Ali tetap membela Usman - 142; Usman dibunuh secara kejam - 143 |
Kufah adalah sumber pemberontakan utama dalam kekhalifahan Usman. Banyak penduduk yang mengeluhkan pejabat-pejabat dan para petinggi kota itu. Mereka marah kepada Sa'd bin Abi Waqqas, dan mereka menuduh Walid bin Uqbah meminum khamar. Kemudian Usman mengangkat Sa'id bin al-As. Ketika sudah berada di Kufah, ia berkata kepada penduduk dalam sebuah khutbah, bahwa ia enggan memegang pimpinan itu, dan menyatakan bahwa bencana telah memperlihatkan sosoknya. Sa'id mulai mempelajari keadaan Kufah serta keinginan penduduk, untuk mengetahui sumber penyakit itu. Sesudah keadaan yang sebenarnya diketahui ia menulis surat kepada Usman melaporkan apa yang dilihatnya di kota itu dengan mengatakan:
"Keadaan penduduk Kufah sudah kacau-balau, dan sudah pula mempengaruhi orang-orang terpandang dan terkemuka, dan kebanyakan penduduk kota itu terdiri dari para pendatang baru, disusul oleh orang-orang Arab pedalaman, sehingga tidak lagi mereka melihat orang terpandang atau pejuang."
Usman meminta Sa'id bin As mendahulukan para sahabat daripada penduduk Kufah yang lain. Dalam suratnya ia mengatakan: "Orang-orang lama yang sudah lebih dulu, yang sudah berjasa dan sudah membebaskan negeri itu. Hendaklah orang-orang yang datang ke sana dan yang lain mengikuti mereka, kecuali orang yang sudah meninggalkan kebenaran. Jagalah kedudukan masing-masing dan berikanlah hak mereka semua dengan cara yang adil. Dengan cara mengenal orang, keadilan bisa terpenuhi."
Begitu juga khutbah Usman kepada penduduk Medinah, dengan memberitahukan keadaan di Kufah serta mengingatkan mereka akan timbulnya bencana. Ia menawarkan kepada mereka untuk memindahkan rampasan perang mereka ke mana saja mereka tinggal di negeri Arab. Penduduk Medinah menyambut baik tawaran itu dengan mengatakan: Bagaimana kami memindahkan tanah yang sudah kami peroleh? "Mereka yang di Hijaz, di Yaman dan di tempat-tempat lain dengan cara menjualnya kalau mau." Mereka tampak gembira, Allah telah membukakan jalan buat mereka, di luar dugaan mereka.
Di samping itu ada sekelompok Muslimin yang mempunyai kekayaan besar di Hijaz. Dengan harta itu mereka membeli tanah di Irak yang terkenal subur itu. Banyak orang kaya raya yang menimbulkan kemarahan orang-orang Arab yang dulu tinggal di beberapa kota di Irak. Mereka makin benci kepada Usman dan pejabat-pejabatnya karena mereka tidak mendapat bagian rampasan perang. Mereka menuntut kepada Khalifah agar jangan memberikan rampasan perang itu selain kepada mereka yang memperolehnya sendiri dalam perang. Begitu juga banyak penduduk kota-kota lain dalam kawasan Islam yang memperlihatkan ketidaksenangan mereka terhadap kebijakan Usman.
Ada beberapa tokoh yang mengambil kesempatan ini untuk membangkitkan kebencian dalam hati orang di kota-kota itu, di antaranya apa yang telah dilakukan oleh Abdullah bin Saba' - seorang orang Yahudi dari San'a di Yaman yang pada masa Usman kemudian masuk Islam - yang mengunjungi sejumlah kota dalam kawasan Islam dengan berusaha membangkitkan kemarahan orang kepada Usman. Di Basrah banyak orang awam yang terpengaruh oleh seruannya itu. Sesudah hal ini diketahui oleh Abdullah bin Amir, ia dikeluarkan dari kota. Setelah itu ia pergi ke Kufah menyebarkan seruan yang sama. Setelah dari Kufah ia juga kemudian diusir, ia pergi ke Syam, tetapi oleh Mu'awiyah tak lama ia diusir juga.
Sekarang ia pergi ke Mesir dan dari sini ia mulai menyebarkan propagandanya dan mengirimkan orang kepada pengikut-pengikutnya di Basrah dan di Kufah. Dalam propagandanya itu ia mengatakan bahwa setiap Nabi mempunyai seorang penerima wasiat (mandataris) dan Ali adalah penerima wasiat Muhammad dan penutup para penerima wasiat, seperti Muhammad yang juga penutup para nabi. Dengan demikian mental orang sudah dipersiapkan, bahwa Usman telah mengambil kedudukan Khalifah dari Ali sebagai waris karib Rasulullah, secara tidak sah.
Tokoh-tokoh yang telah menentang Usman di antaranya Abu Zar al-Gifari - salah seorang pemuka ahli hadis ternama - yang menganjurkan agar ia memperbaiki dan mengurangi kesenjangan antara yang kaya dengan yang miskin di kalangan Muslimin. Soalnya, karena orang-orang Arab yang bermigrasi ke negeri-negeri yang sudah dibebaskan memperoleh kekayaan besar, sementara di samping mereka ada sebagian kaum Muslimin yang hidup miskin dan sangat kekurangan. Abu Zar juga mengecam kebijakan Usman dalam soal pengangkatan dan pemberhentian. Sesudah Usman memerintahkannya pergi ke Syam, ia berangkat dan apa yang dikatakannya di Medinah dikatakannya juga di Syam, dan menganjurkan untuk menyantuni kaum fakir miskin.
Sementara ia menyebarkan seruannya itu Mu'awiyah bin Abi Sufyan berpendapat akan menguji kesungguhan niat Abu Zar itu. Suatu malam ia mengutus orang membawa uang buat dia seribu dinar. Keesokannya ia memberi isyarat kepada utusan itu untuk mengambil kembali uang tersebut disertai permintaan maaf bahwa uang itu dimaksudkan untuk yang lain. Tetapi ternyata Abu Zar sudah membagi-bagikan uang itu kepada kaum fakir miskin. Dengan demikian Mu'awiyah yakin bahwa Abu Zar memang bersungguh-sungguh dengan seruannya itu. Mu'awiyah merasa khawatir penduduk Syam akan terbawa oleh seruan Abu Zar itu. Sudah banyak keluhan orang-orang kaya sehubungan dengan usahanya itu menjumpai kaum fakir miskin. Ia menulis surat kepada Usman mengadukan hal itu. Sebagai balasannya Usman meminta Mu'awiyah mengirimkannya kembali kepadanya. Sesudah tiba di Medinah Abu Zar diizinkan tinggal di Rabzah,[50] dan terus diberi tunjangan sampai meninggalnya.
Melihat segala propaganda jahat anti politik Usman di kota-kota kawasan itu, pada musim haji tahun 34 ia memanggil pejabat-pejabatnya yang di kota-kota tersebut untuk dimintai keterangan sebab-sebab terjadinya fitnah itu. Ketika itu datang Abdullah bin Amir, Mu'awiyah bin Abi Sufyan, Abdullah bin Abi Sarh, Sa'id bin As dan Amr bin As. Waktu pada musim haji itu mereka sudah berkumpul Usman berkata kepada mereka: "Setiap imam mempunyai pembantu-pembantu dan penasihat-penasihat. Kalian adalah pembantu-pembantu dan penasihat-penasihat saya serta orang-orang kepercayaan saya. Seperti sudah kalian ketahui, mereka menuntut supaya saya memecat para gubernur itu dan menarik kembali semua yang tidak mereka senangi dan menggantinya dengan yang mereka sukai. Berikanlah pendapat dan saran kalian kepada saya dengan sungguh-sungguh."
Abdullah bin Amir mengusulkan: "Amirulmukminin, menurut hemat saya, supaya mereka melupakan Anda, tugaskanlah mereka ke medan perjuangan sehingga yang mereka pikirkan hanya apa yang mereka hadapi."
Sa'id berkata: "Jauhkan penyakit itu dari Anda dengan menghilangkan semua yang Anda khawatirkan. Setiap golongan itu punya pemuka, yang kalau sudah mati mereka akan tercerai-berai dan tidak akan ada lagi kesepakatan di antara mereka."
"Pendapat ini tepat juga tetapi masih mengandung masalah," kata Usman.
"Saran saya kepada Anda," kata Mu'awiyah, "perintahkanlah para komandan pasukan itu, setiap komandan dari mereka agar dapat melindungi Anda, dan saya sendiri akan melindungi Anda dari pihak Syam."
Tetapi Abdullah bin Sa'id[51] berkata: "Manusia itu serakah, berilah mereka dari harta ini untuk menenteramkan hati mereka."
"Amirulmukminin," kata Amr bin As, "Anda sebagai Banu Umayyah sudah dapat menguasai rakyat, apa yang Anda katakan mereka sambut, tetapi kalau Anda menyimpang mereka juga akan menyimpang. Maka bersikaplah jujur, kalau tidak mundurlah. Kalau Anda menolak, ambillah satu keputusan dan beranikanlah."
"Anda berkata itu sungguh-sungguh?" tanya Usman. Amr diam. Sesudah mereka bubar ia berkata: "Amirulmukminin, buat saya Anda lebih mulia dari itu. Tetapi saya tahu bahwa setiap yang dikatakan orang di antara kita akan disampaikan oleh orang yang ada di depan pintu. Saya ingin kata-kata saya disampaikan kepada mereka sebab mereka mempercayai saya. Saya akan memberikan yang terbaik buat Anda dan akan menjauhkan semua bencana."
Sekembalinya ke Medinah selesai bermusyawarah dengan pejabat-pejabatnya, Usman mengadakan pertemuan lagi, dihadiri oleh Mu'awiyah bin Abi Sufyan dan beberapa orang sahabat besar, di antaranya Ali bin Abi Talib, Talhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa'd bin Abi Waqqas. Mu'awiyah membuka pembicaraan dengan mengatakan: "Kalian adalah sahabat-sahabat dan para pendamping Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam, juga yang ikut bertanggung jawab kepada umat ini. Tak ada yang berambisi dalam masalah ini selain kalian. Kalian sudah memilih kawan tanpa merasa menang dan bukan karena mengharapkan sesuatu. Usianya sekarang sudah makin lanjut, tak lama lagi ia sudah akan menjadi tua renta. Tetapi saya mengharapkan Allah akan memberi karunia sampai dia dapat mencapai itu. Sekarang sudah tersebar desas-desus yang selama ini tidak tampak pada kalian dan saya khawatirkan akan menimpa kita. Kalau kalian pernah mengecamnya, maka inilah yang perlu saya sampaikan kepada kalian. Janganlah membuat orang iri hati kepada kalian, sebab kalau itu yang mereka inginkan, yang akan kita lihat selalu pastilah kehancuran."
Kata-kata Mu'awiyah itu dijawab oleh Ali bin Abi Talib dengan mengatakan: "Apa urusan Anda dengan soal itu?! Tahu apa Anda? Celakalah Ibumu!"[52]
Mu'awiyah naik darah karena menyebut-nyebut nama ibunya, Hindun. "Jangan membawa-bawa Ibuku," katanya. "Dia tidak sejahat ibu-ibu kalian. Dia sudah masuk Islam dan sudah membaiat Nabi sallallahu 'alaihi wasallam. Jawablah apa yang saya katakan kepada Anda ini!"
"Saudara sepupuku ini benar," kata Usman. "Saya akan memberitahukan kepada kalian tentang saya dan untuk apa saya diangkat. Kedua sahabatku yang sebelum saya telah menyiksa diri, mereka dengan ikhlas sudah melaksanakan pekerjaan yang baik. Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam memberi kepada kerabatnya dan saya adalah dalam sebuah masyarakat kecil yang hidup miskin dan serba kekurangan. Karenanya saya mengulurkan tangan memberikan sebagian dari harta itu sebagai kewajiban saya, dan saya lihat memang harus begitu. Tetapi jika kalian melihat tindakan saya itu salah berikanlah kritik kalian. Saya akan menerima keputusan kalian."
Mereka menjawab: "Anda sudah benar dan baik sekali." Dan dengan rasa puas mereka menyudahi pertemuan itu.[53]
Kota-kota lain juga telah mengikuti jejak Kufah dalam menyatakan ketidaksenangannya terhadap kebijakan Usman dan para pejabatnya. Dalam bulan Rajah tahun 35 sebuah delegasi besar terdiri dari orang-orang Arab di Mesir datang ke Medinah. Mereka sudah menyurati pengikut-pengikut mereka di beberapa kota supaya datang ke Medinah. Mereka akan berpura-pura menanyakan beberapa masalah kepada Usman untuk disebarkan kepada rakyat dan untuk dijadikan pegangan. Usman mengutus dua orang untuk menemui mereka, seorang dari Banu Makhzum dan yang seorang lagi dari Banu Zuhrah untuk mempelajari maksud kedatangan mereka ke Medinah.
Sesudah keduanya bertemu, mereka berkata: Kami ingin mengingatkan dia [yakni Usman] tentang hal-hal yang sudah kami tanamkan ke dalam hati orang, kemudian kami akan kembali kepada mereka dan akan memperlihatkan bahwa kami sudah mengambil keputusan. Tetapi dia tidak mau meninggalkan dan tidak mau menyesal. Kemudian kami akan berangkat seolah-olah kami ini jamaah haji. Bila sudah sampai, kami akan mengepungnya dan akan memecatnya. Kalau dia menolak akan kami bunuh.
Kedua orang itu kembali kepada Usman dan menyampaikan segala yang mereka dengar dari rombongan itu. Tetapi Usman tertawa seraya berkata: "Ya, lindungilah mereka, sebab kalau tidak Anda lindungi, mereka akan menderita."
Usman telah menyerukan Muslimin untuk salat berjamaah. Semua mereka berdatangan ke Masjid Medinah, di antara mereka sahabat-sahabat Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam. Sesudah mengucapkan hamdalah dan pujian kepada Allah dalam khutbahnya Usman memberitahukan tentang kedatangan delegasi itu. Dua orang yang oleh Usman diutus untuk mempelajari maksud kedatangan mereka sebenarnya ke Medinah berkata: "Bunuh saja mereka, sebab Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam berkata: Barang siapa mendakwakan diri atau untuk seseorang dan mau menjadi pemimpin semua orang, terkutuklah dia, maka bunuhlah." Tetapi Usman menjawab:
"Kita maafkan saja mereka, kita lupakan dan kita sadarkan mereka tentang perjuangan kita. Kita jangan menghukum orang kalau ia tidak melakukan pelanggaran atau memperlihatkan kekufuran. Mereka menyebutkan hal-hal yang sudah mereka ketahui, seperti yang sudah kita ketahui juga. Hanya saja mereka mendakwakan bahwa mereka mau mengingatkan itu untuk mewajibkannya kepada saya bagi orang yang belum tahu."
Kemudian Usman menguraikan apa yang dituduhkan kaum pemberontak itu kepadanya. Ia mengadakan pembelaan atas tuduhan itu dengan mengatakan: "Mereka mengatakan saya salat penuh dalam perjalanan yang seharusnya tidak demikian. Saya datang ke sebuah kota, di kota itu ada keluarga saya sendiri lalu keduanya itu saya laksanakan penuh. Bukankah begitu?"
"Benar," kata mereka.
Kemudian Usman berpindah pada tuduhan kedua dengan mengatakan: Mereka mengatakan saya telah melindungi yang terlarang. Saya belum pernah melindungi yang terlarang. Setiap ada yang memberikan perlindungan kepada seseorang pasti diberantas oleh penduduk Medinah. Di samping itu, tak ada rakyatnya yang dilarang. Mereka membatasi perlindungan hanya untuk zakat dan sedekah Muslimin supaya yang berikutnya tidak berselisih. Selanjutnya mereka tidak melarang siapa pun dari zakat dan sedekah itu kecuali orang yang sudah menarik satu dirham. Saya hanya punya dua ekor unta tunggangan... Waktu dilantik saya adalah orang yang terkaya dengan unta dan domba. Sekarang saya hanya punya dua ekor unta untuk pergi haji. Bukankah begitu?
Hadirin menjawab: "Memang benar." Mereka meminta supaya ia membunuh kaum pemberontak itu, tetapi Usman menolak. Ia terus menangkis tuduhan-tuduhan mereka kepadanya dengan mengatakan: "Mereka mengatakan bahwa saya menarik Hakam bin As - padahal dia pernah dikirim oleh Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam - Hakim adalah orang Mekah, dikirim oleh Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam dari Mekah ke Ta'if, kemudian Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam menariknya kembali. Jadi Rasulullah mengirimnya, dan Rasulullah menariknya kembali... Bukan begitu?"
Mereka yang hadir menjawab: "Ya, benar!"
Selanjutnya kata Usman lagi: "Mereka berkata saya mengangkat orang-orang yang masih muda. Yang saya lakukan dari hasil pertemuan bersama, sudah disetujui dan sudah diterima. Memang mereka itulah orangnya. Tentang dia tanyakanlah kepada mereka, mereka penduduk negeri itu. Yang sebelum saya juga sudah mengangkat orang yang lebih muda dari mereka. Dalam hal ini sudah pernah dikatakan kepada Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam melebihi apa yang dikatakan kepada saya ketika ia mengangkat Usamah.[54] Bukankah begitu?" Oleh mereka yang hadir di Masjid dijawab: Benar.
Usman masih terus menangkis tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepadanya. "Mereka berkata," kata Usman lagi, "bahwa saya mencintai keluarga saya dan banyak memberi kepada mereka. Memang saya mencintai mereka, tetapi tidak untuk melakukan kezaliman dengan mereka, malah saya membebankan beberapa tugas kepada mereka. Mengenai pemberian kepada mereka, saya memberi dari harta saya sendiri, bukan menggunakan harta kaum Muslimin untuk kepentingan saya atau untuk siapa pun. Saya sudah memberikan tunjangan yang menyenangkan dalam jumlah besar dari pangkal harta saya sendiri sejak masa Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam, masa Abu Bakr dan masa Umar - semoga keduanya mendapat rida Allah. Waktu itu saya sangat bakhil dan serakah. Bila keluarga saya sudah mencapai usia lanjut dan saya sudah menghabiskan umur saya, saya tinggalkan bagian saya pada keluarga. Biarlah orang-orang kafir itu berkata sesuka hatinya. Saya tidak akan membebani kota mana pun karena punya kelebihan, yang seharusnya menjadi hak yang memperolehnya. Semua itu sudah saya kembalikan kepada mereka dan yang dibawa kepada saya hanya yang seperlima. Saya sendiri tidak akan mengambil apa pun dari sana."
Kaum Muslimin yang menghadiri pertemuan ini di Masjid mendengarkan pembelaan Usman atas kebijakan politiknya itu. Mereka berpendapat agar Usman membunuh siapa saja yang mau membangkang dan mau mengadakan pemberontakan. Tetapi Usman lebih suka memaafkan mereka dan meminta mereka kembali ke negeri dan kota mereka masing-masing. Tidak heran, sebab pemberian maaf dan berlapang dada memang sudah merupakan sifat Usman yang sangat menonjol.
Orang-orang yang dari Mesir itu kembali pulang. Tetapi tak lama kemudian, dalam bulan Syawal tahun itu juga mereka kembali lagi ke Medinah. Dalam waktu yang bersamaan kelompok-kelompok dari Kufah dan dari Basrah juga datang. Supaya tidak dirintangi, mereka berpura-pura akan menunaikan ibadah haji. Sesampai mereka di Medinah, mereka menemui Ali, Talhah dan Zubair. Delegasi Mesir mengusulkan, mereka akan membaiat Ali bin Abi Talib. Tetapi Ali menolak dan meminta mereka pulang saja. Delegasi Basrah yang menawarkan itu kepada Talhah, juga oleh Talhah ditolak. Mereka kembali pulang dengan perasaan kecewa. Kemudian delegasi Kufah yang menemui Zubair juga menemui kekecewaan.
Para delegasi yang memberontak itu berpura-pura akan pulang ke tempat masing-masing sambil menunggu sampai pihak Medinah terpencar-pencar. Tetapi tak lama kemudian mereka kembali lagi. Penduduk Medinah pun tiba-tiba dikejutkan oleh kaum pemberontak yang datang sambil bertakbir ke seluruh penjuru kota. Kemudian mereka mengepung rumah Usman dan mengumumkan, bahwa barang siapa mengangkat tangan akan dijamin aman. Penduduk pun tak ada yang keluar rumah.
Baik Ali bin Abi Talib, Talhah dan Zubair menanyakan kaum pemberontak itu, apa sebab mereka kembali ke Medinah. Orang-orang Mesir menjawab dengan mengatakan kepada Ali: Kami telah menemukan surat yang dibawa kurir menyebutkan, bahwa kami akan dibunuh. Jawaban orang-orang Basrah dan Kufah kepada Talhah dan Zubair juga sama. Dan mereka menambahkan. Kami akan membela saudara-saudara kami dan akan melindungi mereka. Tentang surat itu Tabari menulis: "Orang-orang Mesir itu kembali kepada Usman setelah mereka pergi, mereka mendapati seorang pesuruh Usman dengan unta miliknya membawa surat kepada seorang penguasa Mesir supaya ia membunuh sebagian mereka dan yang sebagian lagi disalib. Setelah mendatangi Usman mereka berkata: Ini pesuruh Anda? Oleh Usman dijawab: Pesuruh saya pergi tanpa setahu saya.
Kata mereka lagi: Unta Anda?
Kata Usman: Diambil dari rumah tidak seizin saya.
Kata mereka: Cincin Anda?
Dipalsukan orang, kata Usman.
Sesudah Usman mencermati gentingnya keadaan di Medinah dan melihat dirinya tidak mampu memadamkan gerakan kaum pemberontak, ia menulis surat ke beberapa kota meminta bantuan dan pertolongan. Surat itu berbunyi:
"Bismillahir-rahmanir-rahim. Amma ba'du. Allah telah mengutus Muhammad dengan membawa berita gembira, dan sudah menyampaikan segala yang diperintahkan Allah kepadanya. Dia terus bekerja sampai tugasnya selesai. Dan buat kita ditinggalkannya sebuah Kitab yang membedakan mana yang halal dan mana yang haram serta penjelasan mengenai hal-hal yang sudah ada ketentuannya. Maka ia sudah melaksanakan segala yang dikehendaki orang dan yang tidak. Begitu jugalah yang telah dilakukan oleh Khalifah Abu Bakr radiallahu 'anhu. dan Umar radiallahu 'anhu...." Selanjutnya surat itu menjelaskan dari pertama ia dimasukkan dalam Majelis Syura dan dipilih menjadi khalifah, lalu oposisi yang mengecam dan menyerangnya. Mereka makin berani sampai akhirnya mereka menyerang saya di sisi Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam, di tempat sucinya dan di tanah hijrah. Orang-orang Arab pedalaman bergabung kepada mereka. Mereka seperti kaum Ahzab ketika dalam perang Ahzab atau yang menyerang kita di Uhud. Barang siapa mampu bergabung dengan kami hendaklah menyusul.
Kendati kaum pemberontak sudah berada di Medinah, namun Usman tetap ke Masjid dan mengimami salat seperti biasa. Suatu hari ketika ia menuju ke Masjid dan duduk di mimbar, ia berkata, ditujukan kepada kaum pemberontak: Hai kalian musuh-musuh, berhati-hatilah. Penduduk Medinah pasti akan tahu bahwa kalian akan mendapat kutukan dari Muhammad sallallahu 'alaihi wasallam. Hapuslah segala kesalahan itu dengan kebenaran, sebab Allah hanya akan menghapus keburukan dengan kebaikan."
Muhammad bin Maslamah berdiri dan berkata: "Saya menyaksikan itu." Ia ditantang oleh Hakim bin Jabalah, dipaksa diam dan disuruh duduk. Kemudian Zaid bin Sabit berdiri dan meminta surat itu diperlihatkan, yang menurut tuduhan kaum pemberontak bahwa Usman yang menulisnya dan mengirimkannya kepada wakilnya untuk Mesir. Tetapi kaum pemberontak marah sekali dan segera menyerangnya, melempari orang dengan batu kerikil dan memaksa mereka keluar dari Masjid. Setelah itu mereka berbalik kepada Usman dan melemparinya dengan batu kerikil sehingga ia jatuh dari mimbar tak sadarkan diri dan dibawa ke rumahnya.
Sesudah sadar kembali ia pergi ke Masjid mengimami salat. Hal ini berlangsung selama dua puluh hari, atau tiga puluh hari menurut beberapa sumber, sampai kemudian kaum pemberontak itu merintanginya pergi ke Masjid. Dalam pada itu yang menjadi imam salat pemimpin mereka adalah Gafiqi bin Harb al-Akki, yang sudah diumumkan oleh orang-orang Mesir, Kufah dan Basrah diterima sebagai pemimpin mereka. Kaum pemberontak itu kemudian mengirim surat kepada Usman yang isinya:
"Bismillahir-rahmanir-rahim. Amma ba'du. Ketahuilah bahwa Allah tidak akan mengubah nasib suatu bangsa sebelum mereka mengubah nasib mereka sendiri. Berhati-hatilah, sekali lagi berhati-hatilah. Anda hidup di dunia, maka sempurnakanlah dengan hidup akhirat. Janganlah menutupi nasib Anda dari akhirat, dan janganlah dunia ini yang membenarkan Anda. Ketahuilah bahwa kemarahan dan kerelaan kami dan Allah hanya demi Allah. Kami tidak akan melepaskan pedang kami dari bahu kami sebelum Anda menyampaikan penjelasan Anda yang jelas kepada kami "
Tetapi tak lama kemudian kaum pemberontak itu kembali lagi kepada Usman. Mereka mengirim delegasi kepadanya. Sesudah delegasi dari pihak mereka bertemu dengan Usman, ia mengecamnya karena telah menulis surat ke Mesir. Tetapi Usman membantah bahwa surat itu dari dia.[55] Anggota-anggota delegasi itu berkata: Pecatlah pejabat-pejabat Anda yang bejat itu, dan angkatlah orang-orang yang tidak kami curigai dalam soal nyawa dan harta kami dan jauhkanlah dari kami segala perbuatan zalim. Usman menjawab dengan mengatakan: Buat saya tak ada masalah mengangkat orang yang kalian sukai dan memecat yang tidak kalian sukai. Soalnya terserah kepada kalian! Mereka masih berkata: Ya, lakukanlah itu, kalau tidak, turunlah atau Anda akan mati terbunuh. Pikirkanlah nasib Anda atau tinggalkanlah. Tetapi Usman menolak tawaran mereka dengan mengatakan: Saya tidak akan melepaskan jubah yang sudah dikenakan oleh Allah kepada saya.
Dengan cara itu para pemberontak hendak membuat keputusan. Usman diminta memilih: Menghapus kesewenang-wenangan mereka, turun dari kekhalifahan atau akan mereka bunuh. Usman menolak melaksanakan yang pertama dan kedua. Para pemberontak itu merasa sudah terlalu lama tinggal di Medinah. Mereka ingin apa yang sudah mereka kemukakan itu dilaksanakan. Sejak itu mereka lebih memperketat pengepungan terhadap Usman untuk memaksanya turun dari kekhalifahan.
Usman tidak mengira bahwa di antara kaum Muslimin ada yang akan berani membunuh Khalifahnya sendiri. Hal ini terungkap dari kata-katanya kepada para sahabatnya: "Mengapa mereka akan membunuh saya padahal saya mendengar Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam berkata: Darah seorang Muslim tidak dihalalkan, kecuali salah satu dari tiga hal ini: Orang menjadi kafir sesudah beriman, atau berzina sesudah menjauhi perbuatan tercela atau membunuh orang yang membunuh orang lain. Saya tak pernah berzina, di zaman jahiliah atau di zaman Islam, saya tak pernah berangan-angan hendak mengganti agama saya sejak saya mendapat karunia hidayah dari Allah dan saya tidak pernah membunuh orang. Jadi mengapa mereka mau membunuh saya?"
Tetapi tak lama kemudian kaum pemberontak yang mengepung rumah Usman itu mulai melaksanakan ancamannya dan mencari jalan hendak membunuhnya. Usman menjenguk dari rumahnya sambil berteriak kepada mereka: "Saudara-saudara, janganlah bunuh saya. Saya adalah penanggung jawab dan saudara sesama Muslim. Saya salah atau benar, saya hanya menginginkan kerukunan semampu saya. Kalau kalian sampai membunuh saya, kalian semua tak akan ada yang salat, kalian semua tak akan bertempur dan tidak akan saling membagikan rampasan perang untuk selamanya." Kemudian kembali Usman mengimbau kaum pemberontak itu supaya mau berpikir dan mempertimbangkan baik-baik.
Sesudah ia yakin bahwa ia tak berhasil mengimbau kaum pemberontak itu mengubah sikap mereka, mulai ia tampak jengkel dan marah. Ia bermunajat kepada Tuhan dengan mendoakan mereka: Ya Allah, hilangkan jumlah mereka, bunuhlah mereka satu persatu dan jangan seorang pun ada yang tersisa dari mereka.
Pengepungan rumah Usman oleh kaum pemberontak itu berlangsung lama dengan memperlakukannya secara tidak baik. Ia dilarang keluar untuk melaksanakan salat di Masjid Nabi dan dijauhkan dari air. Usman mengutus orang kepada beberapa sahabat Nabi dan Ummulmukminin dengan permintaan diberi air yang sangat ia perlukan. Ali cepat-cepat memenuhi keinginannya itu. Ia mendatangi kaum pemberontak dengan mengatakan: Segala perbuatan itu tidak akan pernah dilakukan baik oleh orang beriman ataupun oleh orang kafir. Janganlah barang keperluannya itu kalian rintangi. Rumawi dan Persia yang menahan tawanan pun masih memberi makan dan minum. Apa yang diperbuat orang itu kepada kalian, mengapa kalian mengepungnya dan mau membunuhnya?"
"Tidak," jawab mereka, "kami tidak akan membiarkannya menikmati hidup ini, tidak akan kami biarkan dia makan dan rninum."
Disebutkan bahwa pengepungan itu berlangsung selama 40 hari. Sekali-sekali Usman mengingatkan kaum pemberontak itu akan bahaya fitnah dan menyebutkan beberapa ayat Qur'an. Tetapi mereka tidak menghiraukannya. Sementara dalam keadaan semacam itu, tiba-tiba seorang laki-laki dari sahabat bernama Niyar bin Iyad al-Aslami memintanya agar mengundurkan diri. Oleh Kusayyir bin Salat al-Kindi - salah seorang pembela Usman - orang itu dibidiknya dengan anak panah dan mengenai sasaran. Ia pun menemui ajalnya. Kaum pemberontak meminta kepada Usman menyerahkan pembunuh Niyar untuk dibunuh juga, tetapi Usman tidak mau menyerahkan dengan mengatakan: "Saya tidak akan membunuh orang yang membela saya, sementara kalian akan membunuhku."
Tak lama kemudian para pemberontak itu maju menyerang rumah Usman, membakar pintu dan berandanya. Sahabat-sahabat Usman menyerang mereka dan merintangi mereka ke rumah itu. Maka terjadilah pertempuran sengit antara kedua pihak. Tidak sedikit sahabat-sahabat Usman yang terbunuh dan luka-luka. Tidak cukup begitu, kaum pemberontak itu memanjati rumah Usman melalui rumah Amr bin Hazm al-Ansari.. Mereka melihat Usman dengan Mushaf sedang membaca Surah Baqarah. Muhammad bin Abu Bakr maju dan memegang janggut Usman sambil berkata: "Hai Na'sal,[56] Allah telah menghinamu!"
Melihat perbuatannya itu Usman merasa jijik. "Saya bukan Na'sal," kata Usman, "tetapi saya hamba Allah Amirulmukminin." Tetapi Muhammad bin Abu Bakr terus merenggut janggut Usman seraya berkata: "Mu'awiyah tak akan dapat menolong Anda, begitu juga Abdullah bin Amir dan surat-suratmu itu!"
"Kemenakanku, lepaskanlah janggutku." Kata Usman. "Ayahmu pun tidak akan memperlakukan aku seperti yang kaulakukan ini."
"Kalau ayahku melihat perbuatan Anda ini ia akan setuju," kata Muhammad bin Abu Bakr. "Saya tidak ingin menggenggam janggutmu lebih keras lagi." Tetapi Usman menjawab dengan sabar dan tabah:
"Atas perbuatanmu ini saya akan meminta pertolongan Allah dan kepada-Nya aku berlindung."
Ketika itulah Muhammad bin Abu Bakr menetak mukanya dengan anak panah bermata lebar.[57] Kemudian Kinanah bin Bisyir mengangkat anak panah serupa dan menghunjamkannya ke pangkal telinga Usman sampai tembus ke tenggorokan, lalu menghantamnya dengan pedang.
Usman bermaksud hendak menangkis pedang itu dengan tangannya sampai tangannya putus. Begitu juga istrinya Na'ilah, jarinya terputus ketika ia menelungkup kepada suaminya hendak mengambil pedang itu dengan tangannya. Sekarang Saudan bin Hamran al-Muradi menghantam Usman di bagian rusuknya sehingga ia jatuh tersungkur. Peristiwa ini terjadi pada hari Jumat 18 Zulhijah tahun 35 Hijri. Ketika itulah orang-orang awam berdatangan dan merampok rumah itu dan baitulmal.
Pada mulanya kaum pemberontak itu tidak membolehkan pemakaman jenazah Usman hingga selama tiga hari. Jenazah itu baru boleh dikuburkan setelah beberapa orang Kuraisy meminta Ali bin Abi Talib menengahi masalah itu dengan kaum pemberontak. Yang menghadiri pemakaman itu hanya Marwan bin Hakam, Jubair bin Mut'im, Hakim bin Hizam, Abu Jahm bin Huzaifah al-Adawi, Niyar bin Makram dan kedua istri Usman, Na'ilah binti Farafisah dan Um al-Banin binti Uyainah. Rakyat awam mencoba melempari jenazah Usman dengan batu, tetapi Ali bin Abi Talib menghardik mereka. Beberapa orang segera mengangkat jenazah itu untuk dikuburkan dengan mengambil kesempatan pada malam gelap, supaya tak terlihat oleh kaum pemberontak.
Tetapi Taha Husain (al-Fitnatul Kubra) menolak kebenaran berita ini dan menganggapnya tak masuk akal seorang sahabat seperti Usman akan berbuat semacam itu, juga Marwan tak akan berani memalsukan surat dengan mengatasnamakan Khalifah. Ia mengutip kesepakatan antara Khalifah Usman dengan kaum pemberontak dari Mesir itu yang kebetulan bertemu di luar kota Medinah, tetapi sepulangnya ke rumahnya, Marwan kemudian mengubah kesepakatan yang sudah dijanjikan oleh Usman, dan mengusir mereka dari rumah itu dengan cara kasar. Ini menjadi salah satu penyebab kemarahan kaum pemberontak. - Pnj.
Tetapi Na'ilah menegaskan bahwa Muhammad bin Abu Bakr ikut masuk ke dalam rumah bersama pemberontak, tapi dia tak terlibat dalam pembunuhan itu. Ada juga yang mengatakan, bahwa mereka yang telah membunuh Usman, bukanlah orang-orang yang telah membaiat Abu Bakr, Umar dan Usman dari kalangan Muhajirin dan Ansar. Para pembunuh itu adalah orang-orang bawahan dalam tentara yang berada di daerah-daerah pinggiran kota Basrah, Kufah dan Mesir, ditambah lagi oleh orang-orang Arab pedalaman dan beberapa anak kaum Muhajirin. - Pnj.
Please direct any suggestion to Media Team