|
10. Pasukan Muslimin di Irak (2/3)
Pasukan Rumawi di Mosul dan Tikrit
Pembagian ini dihadiri oleh Ziyad bin Abi Sufyan.
Kemudian ia segera kembali kepada Sa'd bin Abi Waqqas dengan
membawa surat dari Umar yang berisi perintah jangan mengejar
pasukan Persia di dalam negeri mereka itu. Setelah
membacanya Sa'd menganggap kebijakan Amirulmukminin ini
penting; sebab ketika ia menulis surat melaporkan kepada
Umar tentang berkumpulnya pihak Persia di Jalula dan bala
bantuan yang dikirimkan oleh Yazdigird kepada mereka dari
Hulwan, juga melaporkan bahwa pihak Rumawi di Mosul sudah
berkumpul di Tikrit di tepi Sungai Tigris ke utara Mada'in,
dan bahwa banyak orang Arab Nasrani dari kabilah Iyad,
Taglib dan Namir bergabung kepada mereka dan membantu mereka
melawan pasukan Muslimin. Umar menulis kepadanya dengan
mengirim Abdullah bin Mu'tam ke Tikrit bersama 5000 orang
anggota pasukan. Mereka menuju kota itu dan mengepungnya
selama empat puluh hari. Setelah mereka yang mempertahankan
kota merasa sudah sangat letih, dengan beberapa kapal pihak
Rumawi sudah siap melarikan diri dengan membawa segala harta
kekayaannya. Berita itu segera diketahui oleh Ibn Mu'tam.
Cepatcepat ia menghubungi pihak Nasrani, mengajak mereka
kepada Islam dan membelanya. Mereka akan mempunyai hak dan
kewajiban yang sama dengan umat Islam yang lain. Sesudah
mereka menerima baik ajakannya itu, mereka diberi tugas
menjaga pintu-pintu kota yang menuju tempat kapal-kapal yang
hendak berlayar ke Rumawi. Kalau mereka keluar dari pintu
akan naik ke kapal, kalau mampu membunuh bunuhlah mereka.
Pasukan Muslimin kemudian menyerang kota dengan bertakbir
yang disambut pula dengan takbir oleh orang-orang Arab
pedalaman dari sisi lain. Pasukan Rumawi menjadi kacau dan
berusaha hendak keluar dari pintu-pintu itu. Dari depan
mereka disambut oleh pedang pasukan Muslimin dan dari
belakang oleh pedang orang-orang Arab pedalaman yang sudah
menerima Islam, sehingga tak seorang pun dapat lolos dari
mereka. Ketika itulah Abdullah bin Mu'tam mengirim Rib'i bin
Akfal ke Mosul, sesuai dengan pesan Umar dalam suratnya
kepada Sa'd. Ibn Akfal cepat-cepat berangkat bersama
kabilah-kabilah Iyad, Namir dan Taglib yang sudah menerima
Islam. Dua benteng di Nineveh dan Mosul disergap sebelum
berita Tikrit sampai ke sana. Penghuni-penghuni kedua
benteng itu sedianya hendak mengadakan perlawanan, tetapi
sesudah mengetahui kejadian di Tikrit mereka mau memenuhi
seruan damai dan bersedia membayar jizyah. Rampasan perang
Tikrit itu dibagikan dan setiap orang dari pasukan berkuda
mendapat tiga ribu dan anggota infanteri seribu dirham.
Berita kekalahan pasukan Rumawi di Tikrit dan Mosul ini
sampai juga kepada saudara-saudaranya di Syam. Mereka pun
sudah mengalami bagaimana kekuatan Khalid bin Walid dan Abu
Ubaidah bin Jarrah seperti yang akan kita singgung sebentar
lagi. Mereka dalam ketakutan jika pasukan Muslimin di Irak
sampai ke perbatasan Syam dan menyergap mereka dari
belakang, padahal ketika mendapat serangan Khalid dan Abu
Ubaidah mereka bertahan sambil mundur ke perbatasan itu.
Sekarang mereka akan terkepung, dan tak ada jalan lain
mereka harus angkat tangan dan menyerah. Kepada penduduk
al-Jazirah yang berada di bawah kekuasaan Rumawi mereka
mengirim utusan untuk meminta bantuan melawan pasukan
Muslimin yang ada di sana. Semua berita ini sudah sampai
kepada Sa'd ketika Hasyim bin Utbah kembali dari Jalula
dengan kemenangan. Juga berita tentang berkumpulnya
besar-besaran pasukan Jazirah di kota Hit di pantai Furat.
Atas perintah Umar sebuah pasukan dikirim ke sana di bawah
pimpinan Amr bin Malik. Ternyata mereka sudah memperkuat
diri di kota itu dan sudah menggali parit di sekitarnya.
Dengan mewakilkan kepada Haris bin Yazid untuk meneruskan
pengepungan, ia sendiri berangkat ke utara ke Qarkisia di
persimpangan Furat dengan Khabur yang berada di perbatasan
Irak dengan Syam. Kota ini dikuasai dengan jalan disergap
dan para penjaga dan penghuninya bersedia membayar jizyah.
Setelah itu ia menulis surat kepada Haris bin Yazid agar
pasukan yang bertahan di Hit dibiarkan kalau mereka mau
keluar dari sana. Kalau tidak, di luar parit mereka supaya
digali sebuah parit lagi dan semua pintunya hanya menuju ke
arah itu. Haris memberitahukan pihak Hit tentang rencananya
itu, dan meyakinkan mereka bahwa pengepungan akan diteruskan
sampai mereka mati. Mereka pun menyerah dan keluar
meninggalkan kota itu, yang selanjutnya ditempati oleh
pasukan Muslimin.
Berita-berita mengenai kota-kota Hit dan Qarkisia serta
kemenangan pasukannya di sana sudah diketahui oleh Sa'd. Ia
bertambah yakin akan hikmah kebijaksanaan Umar untuk tidak
mengejar pasukan Yazdigird di pegunungan dan dataran Persia
itu. Andaikata dengan kekuatan bersenjatanya ia terus
mengejar mereka kemudian pihak Irak memberontak dan Persia
berusaha mengobarkan semangat mereka, pasti ia akan menemui
kesulitan untuk menumpasnya. Sesudah kemenangan Hasyim di
Jalula ia mendapat berita bahwa angkatan bersenjata Persia
berkumpul di Masabazan, di perbatasan Irak-Arab di sebelah
timur dengan Persia di sebelah barat. Ia segera mengirim
sebuah pasukan di bawah pimpinan Dirar bin Khattab untuk
menghadapi mereka di dataran Masabazan. Dalam pertempuran
itu mereka dapat dipatahkan dan komandan mereka terbunuh.
Kemudian mereka dikejar terus sampai ke Masabazan dan dengan
jalan kekerasan kota ini pun akhirnya dapat dikuasai.
Melihat penduduk yang berlarian ke gunung-gunung, ia
memanggil mereka dan panggilan itu mereka penuhi. Mereka
bersedia membayar jizyah. Sekarang mereka aman tinggal di
kota itu.
Kemenangan akibat serangan-serangan yang terus-menerus di
Irak bagian utara dan timur itu membuat mereka tunduk kepada
kekuasaan Muslimin. Sebelum di bagian utara dan timur,
bagian selatan Irak sudah lebih dulu tunduk, yaitu ketika
mereka melihat kekuatan Khalid bin Walid dan Musanna bin
Harisah pada masa pemerintahan Abu Bakr. Bagian selatan ini
pernah memberontak kepada kekuatan Muslimin ketika seluruh
Irak memberontak. Sesudah Umar mengirim Sa'd bin Abi Waqqas
ke Kadisiah, Utbah bin Gazwan dikirimnya untuk menyerang
selatan, yang bersama Arfajah bin Harsamah al-Bariqi
berangkat ke Ubullah, di dekat Basrah sekarang, dan
merebutnya kembali dari Persia sesudah pertempuran kalah
menang yang silih berganti selama beberapa minggu. Ubullah
ketika itu merupakan sebuah pelabuhan besar, tempat
kapal-kapal yang datang dari Cina dan India berlabuh dan
bertolak dari sana. Di tempat ini banyak sekali orang India
yang bekerja sebagai pedagang. Penduduk Ubullah keluar
dengan membawa barang-barang yang dapat mereka bawa ketika
pengawal-pengawal kota sudah mengalami kekalahan. Pasukan
Muslimin memasuki kota itu dan rampasan perang yang
diperolehnya kemudian dibagi-bagikan. Selanjutnya Utbah
menyeberangi sungai mengejar tentara musuh yang melarikan
diri. Ia dapat menguasai majelis Maisan dan mengirimkan para
pejabatnya sebagai tawanan, berikut ikat pinggangnya ke
Medinah. Umar tahu siapa-siapa yang membawa ikat pinggang
itu. Orang-orang Arab di Irak sangat tergila-gila kesenangan
hidup. Ia khawatir sekali akibatnya bagi mereka. Maka ia
memanggil Utbah untuk ditanyai apa yang telah terjadi dengan
mereka itu. Utbah menunjuk Musyaji' bin Mas'ud sebagai
pemimpin pasukan dan Mugirah bin Syu'bah sebagai imam salat.
Mengetahui Musyaji' ditunjuk sebagai pemimpin pasukan, Umar
memperlihatkan kemarahannya dengan mengatakan: "Anda
menunjuk orang gunung untuk memimpin orang kota! Anda tahu
apa yang akan terjadi?" Lalu ia menerangkan bahwa Mugirah
bin Syu'bah telah rriengalahkan pasukan Persia di Margab,
dan kendati Musyaji' mendapat kemenangan di Furat, namun
pimpinan tentara diserahkannya kepada Mugirah, supaya
orang-orang Kuraisy dan sahabat-sahabat Rasulullah tidak
berada di bawah pimpinan orang badui.
Kemenangan Mugirah melawan pasukan Persia tidaklah mudah.
Pertempuran itu begitu sengit, kedua pihak berperan silih
berganti dan pihak Persia sudah mati-matian bertempur.
Mereka bertindak demikian karena melihat sebuah satuan yang
mereka kira bala bantuan untuk pasukan Muslimin. Kekuatan
mereka ambruk dan mereka dapat dipukul mundur. Sebenarnya
satuan itu tidak lain dari serombongan perempuan Muslimin
yang keluar dari kemah-kemah mereka, lalu dengan menggunakan
kerudung sebagai bendera, mereka datang hendak membantu
pasukan Muslimin.
Ia meminta Utbah kembali ke tempat pekerjaannya dan
dibebaskan dari tugas itu, tetapi dia menolak. Sementara
sedang dalam perjalanan ke Irak, Utbah menemui ajalnya. Maka
Mugirah menggantikannya memimpin pasukan.6
***
Pertimbangan-pertimbangan dan kebijakan
Umar di Irak
Sesudah keadaan pasukan Muslimin mulai tenang di Irak,
sekarang tiba saatnya memikirkan untuk menyusun organisasi
mereka sendiri. Adakah perkiraan kita, bahwa mereka
dibiarkan cukup dengan mengajarkan agama kepada penduduk
yang sudah menerima Islam, dan menerima jizyah dari yang
bukan Muslim? Itulah yang sudah dilakukan Rasulullah tatkala
kabilah-kabilah dan kota-kota di Semenanjung Arab menyatakan
sudah menjadi keluarga Muslim. Ia mengirim orang-orang yang
ditugaskan mengajarkan agama kepada mereka, dan ada yang
bertugas memungut zakat. Coba kita lihat, kalau Umar
melakukan hal serupa itu untuk Irak, terjaminkah keamanan
masa depannya? Rasulullah tidak pernah memerangi
kabilah-kabilah dan tidak pula membebaskan kota-kota yang
sudah masuk ke dalam lingkungan Islam kecuali Mekah
dan Ta'if. Sungguhpun begitu, kaum murtad di seluruh
Semenanjung Arab telah mengambil kesempatan pertama dengan
menyatakan pembangkangan tak lama sebelum Rasulullah wafat,
dan yang kemudian menyebar luas seperti api di tengah-tengah
jerami kering setelah Abu Bakr dibaiat, padahal Semenanjung
itu berpenduduk Arab, dan kekuasaan Medinah tidak pula
membebani mereka dan hati mereka pun tidak membencinya
seperti kebencian mereka yang bukan Arab.
Seperti sudah kita lihat, mengingat pembangkangan
orang-orang Arab yang berakibat pecahnya perang di sana
sini, maka wajar sekali jika Umar merasa khawatir
orang-orang Persia penduduk Irak, yang kebanyakan belum lagi
masuk Islam, akan membangkang, bahkan membangkangnya
orang-orang Arab Irak sendiri, baik yang sudah masuk Islam
atau yang masih dalam kepercayaan lama. Mereka semua sudah
biasa dengan segala kenikmatan dan kesenangan hidup di bawah
kekuasaan Hirah dan Mada'in, juga sudah biasa dengan
berbagai kehidupan serba mewah, yang dalam banyak hal tidak
sesuai dengan caracara kehidupan Arab di Semenanjung, dan
dengan ajaran agama yang diwahyukan Allah kepada Nabi
berbangsa Arab itu. Kalau Arab Semenanjung itu dibiarkan
dalam keadaan mereka sendiri, mereka lebih cenderung
memberontak. Umar mempunyai pandangan yang lebih jauh dan
lebih berhati-hati untuk membiarkan kekacauan yang mulai
terlihat gejalanya di negeri-negeri yang sudah dibebaskan
itu, yang masih bertetangga dengan Semenanjung Arab.
Percikan-percikan kekacauan demikian adakalanya akan meluas.
Bagi Amirulmukminin, semua itu sudah cukup untuk
memperkirakan segala akibatnya.
Bukan itu saja yang menimbulkan kekhawatiran Umar. Kalau
dia merasa aman dari pembangkangan penduduk Irak jika
dibiarkan begitu, dan membiarkan kaum Muslimin memberi
pelajaran agama kepada mereka yang sudah masuk Islam, dia
harus juga membuat perhitungan sungguh-sungguh terhadap
pasukan Persia yang sudah dipukul mundur oleh pasukannya ke
balik pegunungan mereka sendiri. Umar sudah pernah
berangan-angan sekiranya ada sebuah gunung penyekat dari api
sehingga ia tak dapat mencapai mereka dan mereka pun tak
dapat mencapainya. Tetapi gunung demikian tidak ada. Jadi
tidak heran jika pasukan Persia yang dipukul mundur sampai
dataran Iran itu berpikir ingin kembali ke Irak untuk
membalas dendam dan merebut kembali apa yang lepas dari
tangan mereka, seperti yang pernah mereka lakukan setelah
Khalid bin Walid menguasai Hirah dan Anbar kemudian
ditinggalkan pergi ke Syam untuk membantu pasukan Muslimin
di sana. Usaha balas dendam pihak Persia itu lebih cenderung
akan berhasil kalau kekuatan pasukan Muslimin ditarik dari
Irak. Sebaliknya, kalau ia tetap di sana dan kedudukannya
diperkuat, pihak Persia akan lebih dulu berpikir seribu kali
sebelum melakukan tindakannya untuk membalas dendam.
Kalaupun mereka berani bertindak, angkatan bersenjata
Amirulmukminin sudah cukup kuat dan siap menghadapi mereka,
menumpas atau memukul mundur mereka ke balik pegunungan
Persia. Bahkan sudah siap maju sampai ke dataran mereka
serta menguasai negeri mereka, seperti yang sudah
dilakukannya terhadap Irak dan menghabiskan kekuasaan dan
pengaruh mereka di sana.
Dua pertimbangan ini tidak lepas dari perhitungan Umar.
Bahkan barangkali bukan itu yang menjadi pusat pemikirannya
selama ini, mengingat keduanya adalah hal yang wajar, dan
karena ketika Umar berencana meneruskan perang di Irak tidak
bermaksud hendak mengusir orang-orang Persia dari sana dan
sesudah itu membiarkan mereka begitu saja. Tujuan Umar
hendak menggabungkan Irak dengan Syam dalam satu kesatuan
tanah Arab yang terbentang dari Teluk Aden sampai ke
Samudera Indonesia dan dari Teluk Persia di selatan jauh ke
utara pedalaman Sahara Syam. Oleh karena itu sudah
selayaknya yang akan mengurus Irak adalah pihak yang menang,
dan memastikan keberadaannya di sana serta yang mengatur
sistem pemerintahannya. Adakah sistem pemerintahan ini akan
seperti sistem yang dibuat oleh Rumawi dan Persia di
negeri-negeri yang mereka duduki? Atau bagaimana sistem yang
akan diterapkan oleh Umar di negeri-negeri yang sudah
dibebaskan untuk kedaulatan Islam yang baru tumbuh itu?
Andaikata Umar memutuskan untuk memperturutkan keinginan
pasukannya yang sudah mendapat kemenangan di Irak, niscaya
ia menempuh kebijakan seperti Persia dan Rumawi yang
memberikan segalanya kepada pihak militer, dan untuk
penduduk tak ada yang ditinggalkan selain remah dan sisa-sia
kelebihan dari pasukannya, seperti halnya dengan
pejabat-pejabat Persia yang tidak pernah meninggalkan apa
pun untuk petani-petani yang bekerja mengolah tanah mereka,
selain remah yang oleh mereka sudah tidak diperlukan lagi.
Pasukan Muslimin di Kadisiah, di Mada'in, di Jalula dan di
tempat-tempat pertempuran yang lain mendapat rampasan perang
yang semula tidak mereka impikan samasekali. Mereka melihat
kekayaan di segenap penjuru Irak, kekayaan yang akan
mendorong mereka hidup bersenang-senang dan bermewah-mewah
sesuka hati mereka, di bawah lindungan pedang. Tetapi kita
masih ingat, apa yang dikatakan Khalid bin Walid kepada
pasukannya tatkala mendapat kemenangan di Walajah pada
pertama kali pasukan Muslimin menyerbu Irak. Ia berpidato di
hadapan mereka dengan mengatakan: "Tidakkah kalian lihat
makanan ini yang setinggi gunung? Demi Allah, kalau hanya
untuk mencari makan, dan bukan karena kewajiban kita
berjuang demi Allah dan mengajak orang kepada ajaran Allah
Subhanahu wa ta'ala, pasti kita gempur desa ini sehingga
hanya tinggal kita yang berkuasa di sini, dan orang yang
enggan berjuang seperti yang kalian lakukan ini, kita
biarkan dalam kelaparan dan kekurangan." Apa artinya makanan
di Walajah ini dibandingkan dengan makanan yang ada di
Mada'in! Apa artinya kekayaan Furat dibandingkan dengan
kekayaan Tigris! Apa artinya keagungan Hirah dan kemegahan
Khawarnaq dan Sadir7 dibandingkan dengan
keagungan Istana Kisra dan tempat bersemayam raja diraja dan
takhtanya! Yang berkuasa dan berhak menikmati semua ini
adalah pasukan Muslimin. Merekalah yang sekarang berada di
puncak kemenangan itu. Bukankah sudah sepantasnya jika Umar
memperturutkan keinginan mereka dan membiarkan mereka
menikmati segala kekayaan Irak seperti yang dilakukan Kisra
terhadap pasukannya yang sudah mendapat kemenangan, demikian
juga yang dilakukan Kaisar!
Ke sanalah arah pemikiran Umar, yang juga dimusyawarahkan
dengan sahabat-sahabatnya. Yang pertama sekali terlintas
dalam pikirannya ketika ia teringat pada perintah-perintah
Abu Bakr kepada para panglimanya saat melepas mereka untuk
membebaskan Irak. Pekerjaan orang-orang Arab di Irak sebagai
petani yang mengolah tanah mereka sendiri, tetapi sedikit
sekali hasil yang mereka peroleh. Kebanyakan hasilnya jatuh
ke tangan para pemuka-pemuka Persia yang memperlakukan
orang-orang Arab begitu hina dan kejam. Abu Bakr sudah
berpesan kepada para panglimanya agar tidak memperlakukan
orang-orang Arab secara tidak baik. Jangan sampai ada yang
terbunuh dari mereka, juga jangan ada yang ditawan, dan
segala yang berhubungan dengan kepentingan mereka jangan
sampai mereka dirugikan. Politik ini semua merupakan
kebijakan yang harus diberlakukan terhadap semua penduduk
Irak, yang Arab dan yang bukan Arab. Lebih dari itu,
orang-orang Persia sendiri harus merasa mereka yang
tidak mengadakan perlawanan dan tidak merintangi pasukan
Muslimin bahwa pemerintahan baru ini tidak akan
mengganggu kepentingan mereka. Mereka secara pribadi dan
keluarga mereka tak boleh dirugikan. Mereka yang tinggal di
tanah itu semua sama. Kalau ada di antara mereka yang
melarikan diri karena takut melihat perang, kemudian kembali
lagi ke tanah mereka, keamanan mereka harus dijamin. Kharaj
atau jizyah yang diberlakukan oleh pejabat Muslim tidak
boleh memberatkan. Dengan demikian, dan dengan ditegakkannya
keadilan di antara penduduk, maka semua warga di bawah
pemerintahan Muslimin akan merasa tenteram.
Mencari pemukiman yang cocok
Tetapi mereka juga harus sadar bahwa para penanggung
jawab itu mempunyai kekuatan dan kemampuan untuk menumpas
semua anganangan untuk memberontak, yang mungkin menggoda
pikiran mereka atas nama keangkuhan pribadi atau kebanggaan
golongan. Pasukan ini harus mempunyai kawasan tersendiri
yang tidak bercampur aduk dengan rumah-rumah penduduk,
bahkan harus dikhususkan untuk mereka saja. Satuan-satuan
tentara itu berkumpul di tempat ini, tetapi mereka harus
selalu siap untuk menghadapi perang setiap saat. Dengan
demikian mereka dapat menyelamatkan Irak dari pemberontakan
dan dari pihak Persia yang masih berpikir hendak membalas
dendam. Dengan pemerintahan ini mereka sudah merasa tenang,
dan secara terhormat setiap saat mampu memberikan
penjagaan.
Inilah kebijaksanaan yang berjalan di sana sesuai dengan
pendapat Umar setelah bermusyawarah dengan para sahabatnya.
Beberapa peristiwa pun telah mendukung terlaksananya semua
itu dengan tenang tanpa menimbulkan gejolak di kalangan
penduduk Irak dan Persia, dan pasukan Muslimin juga tidak
merasa bahwa mereka tidak mendapat rampasan perang.
Sebabnya, beberapa kota di Irak udaranya mengganggu
kesehatan pasukan Muslimin. Delegasi yang datang kepada Umar
dari Jalula, Hulwan, Tikrit dan Mosul melaporkan tentang
pembebasan dan rampasan perang itu. Selesai melihat segala
keperluan mereka Umar berkata: "Sikap kalian ini bukan lagi
sikap ketika kalian berangkat menuju tempat-tempat ini.
Delegasi dari Kadisiah dan Mada'in juga sudah pernah datang
yang juga keluar dari suatu tempat menuju tempattempat lain.
Apa yang membuat kalian berubah?!"
"Keadaan setempat yang tidak sehat," jawab mereka.
Umar menanyakan kepada Sa'd di Mada'in mengenai perubahan
yang terjadi dengan orang-orang Arab itu. Tetapi jawaban
Sa'd sama dengan laporan mereka. Ketika itu Huzaifah bin
al-Yaman juga tinggal di Mada'in bersama Sa'd. Ia pun
menulis kepada Umar sebelum kedatangan delegasi itu dengan
mengatakan bahwa "orang-orang Arab menjadi kurus-kurus dan
tenaganya sudah sangat berkurang." Khalifah merasa khawatir
jika segala yang terjadi itu akan membuat para prajuritnya
sampai tak bertenaga. Ia segera menulis kepada Sa'd
mengatakan: "Iklim itu akan cocok buat orang-orang Arab
hanya jika cocok dengan unta dan negeri mereka. Kirimlah
seorang peneliti untuk menyelidiki sebuah daerah pemukiman
untuk mereka dari segi darat dan laut. Jangan ada lautan dan
jembatan antara saya dengan kalian." Maksud Umar dengan
suratnya itu untuk memastikan dua hal: Pertama, daerah yang
akan dipilih untuk pemukiman orang-orang Arab harus kering
seperti di pedalaman, tetapi ada sumber air yang bagus.
Kedua, jangan terhalang oleh lautan atau jembatan untuk
pengiriman bala bantuan kepada pasukan yang tinggal di
daerah itu jika sewaktu-waktu diperlukan. Kewaspadaan Umar
ini menganggap laut itu seperti kapal yang berbahaya, dan
untuk itu ia berpendapat antara dia dengan angkatan
bersenjatanya jangan sampai dipisahkan oleh apa pun yang
akan membahayakan pengiriman bala bantuan kepada mereka.
Membangun kota Kufah dan Basrah
Sa'd segera memanggil Abdullah bin al-Mu'tam dari Mosul
dan Qa'qa' bin Amr dari Jalula kemudian mengutus mereka
untuk meneliti tempat yang baik buat pemukiman orang-orang
Arab seperti digambarkan oleh Amirulmukminin. Umar
menanyakan orang-orang di sekitarnya di Medinah siapa orang
yang tahu tentang seluk beluk tempat di Irak, adakah yang
mengetahui tempat yang ia lukiskan itu. Mereka sependapat
bahwa kota Kufah yang di dekat Hirah itulah letak yang
terbaik. Kufah kotanya hijau, segar dan sehat, seperti
Hirah, terletak di sepanjang Furat, dan tidak jauh dari
padang pasir. Sa'd berangkat dari Mada'in ke Kufah dan
mencari tempat yang paling tinggi. Di tempat itu ia
membangun sebuah mesjid, dan halaman luas di sekitarnya
kirakira sejauh sasaran anak panah dari tengah mesjid,
dibiarkan untuk dijadikan pasar bagi orang yang berjual
beli. Sesudah mesjid dibangun kemudian dipasang sebuah tenda
seluas dua ratus depa dengan tiangtiang dari pualam yang
diambil dari istana-istana Kisra, langit-langitnya
menyerupai langit-langit gereja Rumawi. Di sekeliling
pekarangan mesjid digali parit supaya orang tidak berebut
menyerbu bangunan itu. Seorang ahli bangunan orang Persia
membangun sebuah rumah model bangunan Kisra dari batu merah
untuk Sa'd yang sekaligus dijadikan baitulmal, berhadapan
dengan mesjid dan diberi nama Istana Sa'd. Di sekitar
halaman mesjid dibangun pula tempat-tempat tinggal tentara,
setiap kabilah memilih tempatnya sendiri kemudian dipasang
kemah. Sesudah keadaan mereka mantap Sa'd menulis laporan
kepada Umar dengan mengatakan: "Saya sudah sampai di sebuah
tempat di Kufah, terletak di antara daratan Hirah dengan
Sungai Furat. Di,tempat ini rerumputan esparto dan tanaman
untuk makan ternak tumbuh subur. Saya biarkan pasukan
Muslimin memilih tempat ini atau Mada'in. Mereka yang senang
tinggal di Mada'in saya biarkan di sana sebagai tempat
pengintaian."
Sekarang mereka sudah betah tinggal di Kufah. Kekuatan
mereka pun sudah pulih. Mereka meminta izin kepada Umar akan
mendirikan tempat-tempat tinggal dari batang-batang buluh
(bambu) yang lebih tahan daripada kemah. Umar mengizinkan
dengan suratnya yang mengatakan: "Barak tentara lebih
penting bagi kalian. Saya tidak ingin menentang kalian."
Begitu surat Umar dibacakan kepada mereka, segera mereka
mendirikan tempat-tempat tinggal dari batang-batang buluh.
Tetapi kemudian terjadi kebakaran di tempat itu yang melalap
semua tempat tinggal mereka. Malam itu mereka sudah tak
mempunyai tempat berteduh lagi. Adakah mereka akan mengulang
lagi kembali ke kemah? Itu adalah tempat berteduh yang
mutlak perlu untuk melindungi orang dari tempat terbuka.
Tetapi mereka kini sudah biasa tinggal dalam rumah sehingga
mereka tidak tahan lagi tinggal di kemah-kemah. Mereka
mengutus orang kepada Umar untuk menyampaikan berita
kebakaran dan sekaligus meminta izin akan mendirikan
rumah-rumah dari batu bata. Umar pun mengizinkan dengan
mengatakan: "Lakukanlah tetapi jangan ada yang melebihi tiga
bilik, dan dalam membangun jangan saling berlomba.
Berpeganglah pada kebiasaan, seperti yang sudah ditentukan
oleh negara." Sama seperti rumah-rumah yang dibangun di
Kufah, sekarang mereka mendirikan demikian. Kedudukan kota
ini menyaingi Hirah, sehingga ibu kota Banu Lakhm itu mirip
sebuah desa yang berdiri di samping kota yang dalam beberapa
tahun kemudian telah menjadi sebuah ibu kota penting dalam
sejarah Islam.
Sekarang Sa'd sudah menetap di Kufah. Di gedung itu
ditambah sebuah pintu ke pelampang, karena keributan orang
di pasar mengganggu pembicaraan. Ada orang yang menuduh
bahwa Sa'd memerintahkan kepada ahli bangunannya: Redamlah
suara itu dari tempatku. Berita ini sampai juga kepada Umar,
dan orang menamakan rumah itu Istana Sa'd. Umar menugaskan
Muhammad bin Maslamah ke Kufah dengan pesan: Pergilah ke
istana itu dan bakarlah pintunya, kemudian kembalikanlah
seperti yang semula." Sesampainya di Kufah Ibn Maslamah
menyampaikan berita itu kepada Sa'd. Ia meminta Ibn Maslamah
datang, tetapi ia menolak masuk ke dalam gedung itu. Sa'd
datang menemuinya dan menawarkan bantuan nafkah kepadanya,
tetapi ditolak dan hanya menyodorkan surat Umar yang isinya:
"Saya mendapat berita bahwa Anda telah membangun sebuah
istana yang sekaligus dijadikan benteng dan diberi nama
Istana Sa'd, dan jarak antara Anda dengan rakyat dipasang
pintu. Itu bukanlah istana Anda, tetapi itulah istana
celaka. Pindahlah ke rumah yang di sebelah baitulmal dan
tutuplah, dan janganlah ada pintu ke istana yang akan
merintangi orang masuk dan menghilangkan hak-hak mereka, dan
sesuaikan tempat pertemuanmu dengan jalan keluar dari rumah
Anda."
Sesudah membaca isi surat itu Sa'd bersumpah bahwa ia tak
pernah melakukan seperti yang katakan itu. Ibn Maslamah
dapat menerima kebenaran sumpahnya. Ia kembali pulang dan
menyampaikan semua berita itu kepada Umar. "Mengapa tidak
Anda terima dari Sa'd?!" tanya Umar. "Kalau Anda setuju
tentu Anda tulis atau mengizinkan saya melakukan itu." Dalam
hal ini Umar menjawab: "Orang yang paling sempurna
pendapatnya, kalau tak ada suatu pesan yang dibawanya ia
akan mengambil keputusan sendiri atau memberikan pendapatnya
tanpa harus mengelak." Tetapi Amirulmukminin dapat memaafkan
Sa'd dan membenarkan tindakannya itu.
Kota Basrah dibangun bersamaan waktunya dengan
dibangunnya kota Kufah di dekat Ubullah di Delta
Furat-Tigris yang bersambung ke Teluk Persia. Kejadian ini
dalam tahun 18 Hijri, tahun keempat pemerintahan Umar. Ada
juga sumber yang menyebutkan bahwa Basrah dibangun sebelum
Kufah, kendati bangunan-bangunan rumahnya baru dibuat dengan
bata setelah rumah-rumah di Kufah. Al-Balazuri menyebutkan
bahwa Utbah bin Gazwan menyerbu Ubullah dalam tahun ke-14
Hijri, yang sesudah dibebaskan ia menulis kepada Umar: Untuk
pasukan Muslimin perlu ada tempat tinggal untuk musim
dingin, dan dapat menempatinya usai perang. Dalam jawabannya
Khalifah berkata: Kalau sahabat-sahabat Anda setuju di satu
tempat, tetapi dekat dengan mata air dan tempat
penggembalaan, laporkanlah kepada saya suasananya. Umar
cukup puas dengan letak Basrah itu ketika Utbah
melukiskannya. Orang berdatangan -ke tempat itu dan
membangun tempattempat tinggal dari buluh, dan Utbah
membangun sebuah mesjid juga dari batang buluh. Kalau
pasukan itu berperang mereka mencabuti bambu-bambu itu lalu
diikat. Bilamana kelak kembali dari medan perang mereka
bangun kembali. Karena kebakaran yang dulu pernah melalap
Kufah, Umar mengizinkan penduduk Basrah membangun dari batu
bata seperti yang kemudian dilakukan oleh pihak Kufah. Kota
Basrah setelah itu menjadi pelabuhan Irak ke Teluk Persia.
Tempattempat tinggal di sana dibangun dari batu dan
didirikan pula sebuah mesjid yang termasuk mesjid paling
megah. Pengaruhnya dalam sejarah Islam kemudian sama dengan
Kufah dulu.
Sementara kita sedang menulis sejarah di masa Umar kita
tidak bermaksud melampauinya dengan menyebut perkembangan
kedua kota itu kemudian hari. Cukup kita singgung saja bahwa
kedua kota ini telah mewariskan berbagai aliran atau mazhab
dalam sejarah, bahasa, sastra, fikih dan peradaban Islam,
yang pengaruhnya masih terasa sampai sekarang. Dalam hal ini
kedua kota itu berlomba, seperti juga halnya dalam
mengarahkan roda politik negara secara umum, dan khususnya
di Irak. Kedua kota itu pada masa Umar mulai memantapkan
kedudukannya masing-masing. Hal ini wajar saja mengingat
Kufah merupakan ibu kota Irak dan Basrah pelabuhannya yang
pertama. Penduduk Semenanjung Arab seperti sudah disebutkan
di atas memonopoli kedua kota itu; penduduk daerah Yaman dan
sekitarnya di selatan memilih Kufah, kalangan Medinah dan
penduduk bagian utara ke Basrah. Perpindahan ini dalam
perang dengan Persia kemudian hari baik sekali
pengaruhnya.
Sesudah kedua kota itu dibangun sumber penghasilan mana
yang menjadi tumpuan hidup mereka. Sudah lama seluruh Irak
dalam keadaan tenang sebelum angkatan bersenjata Muslimin
harus berperang lagi menghadapi Yazdigird dan pasukannya di
Persia, dan berhasil memperoleh rampasan perang. Orang-orang
Arab tidak biasa bertani dalam arti menggantungkan
pekerjaannya pada tanah pertanian Irak. Adakah mereka lalu
memeras jerih payah para petani itu seperti yang dilakukan
dulu oleh para pejabat Persia?
Jawaban atas pertanyaan ini akan terasa mengganggu
sehubungan dengan soal Kufah dan Basrah serta penduduknya
yang menggantungkan hidupnya kepada kedua kota itu. Sama
halnya dengan angkatan bersenjata Muslimin di Mada'in,
Jalula, Tikrit, Mosul dan tempattempat lain di seluruh Irak,
yang juga menggantungkan hidupnya ke daerah-daerah itu. Di
atas sudah kita sebutkan bahwa Umar menjalankan kebijakan
politiknya seperti yang sudah dijalankan oleh Abu Bakr
sebelumnya. Dipesankannya kepada para perwira dan
anggota-anggota pasukannya untuk tidak mengganggu para
petani, dan supaya berlaku adil terhadap semua
penduduksehingga mereka merasa benar-benar aman di bawah
pemerintahan Muslimin, kharaj atau jizyah yang diberlakukan
oleh pejabat Muslim tidak boleh memberatkan. Sesudah Jalula
dibebaskan Sa'd menulis kepada Umar mengenai nasib para
petani itu. Di antara mereka ada yang lari, tetapi ada juga
yang tinggal. Mereka yang sudah melarikan diri sekitar
130.000 orang dari sekitar 30.000 kepala keluarga. Dalam
jawabannya Umar mengatakan: "Biarkan para petani seperti
dalam keadaan mereka, kecuali yang ikut memerangi atau
menyeberang kepada musuh. Perlakukan mereka seperti terhadap
petani-petani lain sebelum itu. Kalau saya sudah menulis
kepada Anda mengenai suatu masyarakat teruskanlah begitu.
Adapun yang di luar para petani cara mengatur rampasan
perangnya yakni pembebasannya terserah kepada
kalian. Barang siapa dari yang ikut berperang meninggalkan
tanahnya, maka itu untuk kalian. Kalau kalian ajak mereka
dan kalian menerima jizyah dan kalian kembalikan kepada
mereka sebelum pembagian, biarkanlah begitu, dan yang tidak
kalian panggil, maka rampasan perang yang sudah ditentukan
Allah itu untuk kalian."8
Semua perintah Umar itu oleh Sa'd dilaksanakan. Para
petani dikembalikan ke tempat mereka, dan yang masih
berkepala batu dipanggil, dan yang kembali dikenakan kharaj
dan mendapat perlindungan. Segala yang menjadi milik Kisra
dan para keluarga Istana serta pejabatpejabat tinggi dan
yang lain bersama mereka tetapi masih keras kepala, disita.
Dari harta yang disita ini banyak yang dibagikan kepada
penduduk yang berada di antara gunung Persia dengan
perbatasan Arab. Harta yang disita oleh Sa'd ditahan tak
boleh dijual, juga semua kemudahan (fasilitas) untuk
kepentingan umum tak boleh dijual, seperti benteng, saluran
air, segala sarana-sarana penghubung dan yang berhubungan
dengan rumah-rumah ibadah kaum Majusi.
Akibat pelaksanaan kebijakan ini maka semua tanah tetap
di tangan kaum petani dan mereka dianggap kaum
zimmi,9 baik yang tinggal di tanahnya selama masa
perang atau yang lari karena ketakutan kemudian kembali lagi
sesudah perang. Tanah yang sudah dikuasai dikembalikan
kepada petani atau yang bukan petani yang ikut berperang,
kemudian mereka dipanggil oleh Sa'd dan dianggap kaum zimmi
yang tanahnya belum dibagikan kepada pasukan Muslimin.
Adapun tanahtanah milik para kisra (raja-raja), anggota
keluarganya, kaum ningrat dan para pejabat yang ikut
berperang, menjadi milik negara, tak boleh diperjualbelikan,
sementara petani-petani Irak boleh menggarapnya atas dasar
sewa yang dibayar untuk perbendaharaan negara. Undang-undang
itu berlaku atas tanah-tanah yang sudah dikuasai uhtuk
rumah-rumah ibadah kaum Majusi. Mengenai segala kemudahan
untuk kepentingan umum seperti saluran air dan segala sarana
penghubung sudah dijadikan milik umum. Larangan
diperjualbelikan tetap berlaku atas kemanfaatan yang sudah
ditentukan untuk itu.
Ketentuan ini telah menyebabkan rnelimpahnya pemasukan ke
dalam kas negara dari berbagai sumber dari kharaj,
jizyah dan sewa tanah milik negara. Dari sumber inilah
segala anggaran dikeluarkan untuk pasukan dan keluarganya di
Kufah, Basrah serta keperluan persenjataan lainnya.
Anggota-anggota pasukan itu sebenarnya mengharapkan
sekiranya tanah di Sawad itu dibagikan kepada mereka dan
menjadi milik pribadi dan ahli warisnya di kemudian hari.
Pemberian yang sudah begitu melimpah diberikan kepada mereka
itu tidak membuat mereka enggan untuk menyampaikan
keinginannya kepada kalangan eksekutif. Tetapi permintaan
mereka oleh Umar ditolak dengan inengatakan: "Kalau kalian
tidak akan saling tinju tentu saya berikan."
Sejak semula Umar memang sudah menolak memberikan
pembagian tanah kepada anggota pasukan, supaya mereka tidak
mendiami daerah pertanian dan membiasakan diri hidup menetap
dan akan membuat mereka bermalas-malas jika ada mobilisasi,
sementara negara masih memerlukan tenaga dan semangat
mereka, dan memerlukan angkatan bersenjata yang sepenuhnya
harus selalu siap. Bagaimana Amirulmukminin akan merasa
tenang melihat anggota pasukannya mau hidup menetap padahal
pihak Persia besok akan kembali datang untuk membalas
dendam, dan mereka sudah menghasut Irak seperti yang mereka
lakukan dulu! Biarlah tanah Kisra itu menjadi milik negara
yang akan digarap oleh para petani penduduk Irak. Biarlah
pasukan Musiimin itu tinggal di barak-barak siap memenuhi
setiap panggilan untuk menghadapi perang.
Pemberian kepada penduduk Kufah dan Basrah jumlahnya sama
seperti yang diberikan kepada prajurit-prajurit. Bahkan
pemberian ini telah menambah banyaknya para penetap di kedua
kota itu sehingga penduduk di sana hidup nyaman dan
berkecukupan. Sungguhpun begitu penduduk Basrah masih merasa
iri terhadap penduduk Kufah karena letak kota mereka serta
rezeki yang melimpah kepada mereka. Umar bin Khattab
bertanya kepada sebuah delegasi yang datang menemuinya dari
Basrah sehubungan dengan keperluan mereka. Ahnaf bin Qais
yang datang bersama mereka berkata: "Amirulmukminin, rezeki
memang di tangan Allah. Saudara-saudara kami yang tinggal di
kota-kota menempati rumah-rumah orang dahulu, yang letaknya
di sekitar air tawar dan kebun-kebun rimbun, sedang kami
tinggal di tanah rawa yang asin dan lembab, rumput pun tak
dapat tumbuh. Dari arah timur, laut asin dan dari arah barat
padang pasir tandus. Pertanian dan peternakan tak ada di
tempat kami. Segala keperluan dan makanan kami seperti
keluar dari kerongkongan burung unta. Laki-laki yang lemah
mencari air tawar dari jarak dua farsakh,10 dan
untuk keperluan yang sama seorang perempuan pergi dengan
mengikat anaknya dengan tambang seperti mengikat kambing,
karena khawatir diserang musuh atau dimakan binatang buas.
Kalau keadaan kami tidak diangkat dari kesengsaraan dan
kemiskinan kami, kami akan seperti mereka yang sudah punah."
Setelah itu pemberian kepada mereka oleh Umar ditambah, dan
dengan memerintahkan wakilnya di Kufah ketika itu Abu
Musa al-Asy'ari untuk dibuatkan sungai yang airnya
disalurkan dari Sungai Tigris sejauh tiga farsakh di sebelah
utara.
Dengan demikian kaum Muslimin di Irak hidup makmur yang
tak ada taranya di Semenanjung itu. Di samping kemakmurannya
itu mereka hidup terhormat sebagai pihak pembebas yang telah
membawa kemenangan. Mereka tinggal dalam keadaan demikian
selama beberapa tahun. Mereka tidak lagi memikirkan akan
menaklukkan Persia atau berusaha mengadakan pembebasan baru.
Cukup dengan menangkis Hormuzan jika ia mencoba menyerang
bagian tenggara dari arah Basrah. Soalnya, karena Umar tetap
dengan pendapatnya, bahwa cukup sampai Irak saja dan
perbatasannya harus dipertahankan. Itu sebabnya ia menolak
keinginan pasukannya yang sudah memukul mundur Hormuzan
untuk mengejar terus sampai ke dalam negerinya. Ia
memerintahkan mereka untuk mengadakan gencatan senjata
dengan syaratsyarat yang sudah berulang kali dilanggar oleh
Hormuzan. Orang ini ditawan lalu dikirimkan kepada Umar di
Medinah. Rasanya bukan tempatnya di sini menguraikan lebih
terinci apa yang telah diperbuat Hormuzan terhadap pasukan
Muslimin dan perlakuan mereka terhadapnya. Tak lama lagi
sesudah ini kita akan kembali ke soal ini.
|