Umar bin Khattab

oleh Muhammad Husain Haekal

Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

7. Pembebasan Damsyik dan Pembersihan Yordania (2/3)

Perbedaan pendapat tentang perdamaian Damsyik

Gambaran ini saling mendukung kedua sumber itu, dan sumber-sumber yang berbeda tentang pembebasan Damsyik tidak lagi saling bertentangan. Di antara sumber-sumber itu ada yang menyebutkan, bahwa Uskup kota Damsyik beberapa kali berada di pagar berbicara dengan Khalid bin Walid. Suatu hari ia berkata kepada Khalid: "Abu Sulaiman, soal kalian sudah di ambang pintu, tetapi ada perjanjian saya dengan Anda. Maka adakanlah perdamaian dengan saya mengenai kota ini." Khalid setuju. Khalid meminta tinta dan kertas lalu menulis: "Bismillahir-rahmanir-rahim. Inilah yang dibuat Khalid untuk penduduk Damsyik bilamana ia sudah memasuki kota. Keamanan mereka dijamin: jiwa mereka, harta benda, gereja-gereja dan pagar-pagar tembok kota mereka. Tak boleh merusak atau menempati bangunan-bangunan mereka. Dalam hal ini mereka memperoleh janji Allah dan jaminan Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam serta para khalifah dan orang-orang beriman. Jangan sampai mereka mendapat gangguan bilamana mereka sudah membayar jizyah." Sesudah menyebutkan tentang surat ini oleh al-Balazuri ditambahkan, bahwa pada suatu malam Uskup itu mengungkapkan kepada Khalid bahwa kota ini sekarang sedang dalam hari raya dan penduduk sedang sibuk. Ia meminta disediakan sebuah tangga, maka dibawakan dua buah tangga. Beberapa orang pasukan Muslimin menaiki tangga itu ke atas pagar tembok, lalu turun di sebuah gerbang yang hanya ada satu atau dua orang. Mereka saling membantu dan gerbang dibuka saat matahari terbit. Dalam pada itu Abu Ubaidah di bagian samping sudah. memasuki Gerbang Jabiah dengan cara kekerasan. Uskup itu menunjukkan kepadanya surat Khalid. Beberapa kalangan Muslimin mengatakan: "Pimpinan bukan di tangan Khalid, ia tidak layak mengadakan perdamaian." Maka Abu Ubaidah berkata: "Perlindungan yang sudah diberikan oleh salah seorang dari Muslimin kepada mereka, tak dapat dibatalkan."

Sumber lain menyebutkan bahwa setelah pengepungan berjalan begitu lama dan keadaan makin terasa berat bagi penduduk Damsyik, diam-diam mereka menghubungi pihak Muslimin untuk mengadakan perdamaian. Pihak Muslimin bertahan agar diadakan bagi rata, yakni segala yang ada di Damsyik separuh untuk mereka. Pihak Damsyik maju-mundur untuk menerima tawaran ini. Karena garnisun kota itu tak mampu mempertahankan diri dan melindungi penduduk, maka tak ada jalan lain kecuali menyerah. Setelah mengirim utusan kepada Abu Ubaidah dan ia menjamin keamanan kota, mereka membukakan pintu-pintu gerbang itu. Abu Ubaidah bersama para perwira dan angkatan bersenjatanya memasuki kota tanpa pertempuran.

Sebagian orientalis mengatakan bahwa untuk mempertahankan kota Damsyik penanggung jawabnya sudah putus asa. Kota itu mereka tinggalkan. Sekarang penduduknya yang mengambil keputusan untuk menyerah dan mereka membukakan kota itu untuk pasukan Muslimin. Sesudah memasuki kota dan keadaan sudah stabil, Abu Ubaidah mengadakan persetujuan dengan mereka.

Demikian beberapa sumber yang beraneka macam mengenai pembebasan Damsyik. Kalangan sejarawan sepakat — di samping adanya perbedaan-perbedaan bahwa mereka memasuki kota secara damai, bukan dengan kekerasan. Ini memperkuat apa yang sudah kita sebutkan di atas, bahwa karena lamanya pengepungan dan mereka putus asa menunggu bala bantuan dari Heraklius, pihak Damsyik lalu meminta damai, dengan adanya perbedaan mengenai syarat-syaratnya. Karena pasukan Muslimin bermaksud hendak menyerbu tembok-tembok kota, pihak Damsyik segera membukakan pintu-pintu gerbang itu. Barangkali ada di antara pintu-pintu yang kemudian dibuka dengan paksa. Kemudian diadakan perundingan dan berakhir dengan perdamaian.

Sebelum menyinggung soal syarat-syarat perdamaian ini bersama Abu Ubaidah, Khalid bin Walid dan rekan-rekannya, kita ingin melintasi tembok-tembok Damsyik itu. Kita menengok sebentar bersama mereka ke sela-sela kota yang padat ini, dengan sejarahnya yang beraneka macam dan indah, dan selama dalam perjalanan ini melihatlihat selayang pandang apa yang ada di dalamnya. Kita melihat selintas karena hubungannya erat sekali dengan syarat-syarat perdamaian itu. Di atas sudah saya singgung betapa indahnya jalan yang menuju ke Damsyik dari Yarmuk dan tentang keindahan daerah subur sekitar kota itu. Kotanya sendiri sebenarnya melebihi keindahan dan kemegahan niaga timur dan barat. Oleh karenanya ia menjadi kota yang paling padat penduduknya dan paling kaya, dibelah oleh sebuah jalan lurus yang menghubungkan barat dengan timur, membentang dari Gerbang Jabiah ke Gerbang Syarqi. Di kanan kirinya berdiri toko-toko, orang Arab sendiri tak pernah melihat yang semacam itu di negerinya, juga di Irak tak pernah mereka lihat. Di tengah-tengah kota itu mengalir Sungai Barada dengan airnya yang mengalir deras dan jernih. Di sekitarnya berdiri pula istana-istana yang megah dengan taman-taman beraneka warna diselang-seling oleh air mancur yang mencuat tinggi. Alangkah banyaknya di kota Damsyik gereja yang indah sekali, yang merupakan bangunan-bangunan Rumawi dengan kemegahan yang beraneka rupa. Jumlahnya lima belas buah, yang terbesar Gereja Santo Yohana Pembastis (Saint John the Baptist). Pihak Rumawi membangun gereja ini sebagai tempat pemujaan orang-orang pagan sebelum mereka menganut agama Kristen. Sesudah menjadi penganut agama Kristen tempat ini dijadikan pusat kebaktian mereka kepada Yesus dan ibunya Perawan Maria. Di sekitar gereja-gereja, istana-istana dan toko-toko itu, seperti sudah menjadi kebiasaan orang-orang dibangun pula gedunggedung teater, tempat-tempat pemandian dan lapangan olahraga. Alangkah hebatnya semua ini di mata orang-orang Arab yang lewat di tempat itu! Mereka belum pernah menyaksikan kemegahan dan keagungan serupa itu. Alangkah bedanya dengan yang pernah mereka lihat di San'a dan di Hirah! Mana pula jika dibandingkan dengan Khawarnaq dan Sadir,14 dua istana an-Nu'man bin al-Munzir bin Ma'as-Sama'! Coba kita lihat, syarat-syarat perdamaian apa yang ditetapkan dengan adanya kekayaan yang begitu besar itu, keindahan yang begitu cemerlang?! Adakah mereka lalu ditelanjangi dari semua itu dan tidak diberi bagian? Atau membiarkan mereka mendapat bagian yang lebih kecil?!

Sumber-sumber itu tidak sama mengenai hal ini, seperti halnya dengan pembebasan Damsyik. Menurut sumber al-Balazuri, perdamaian itu berlangsung seperti yang terdapat dalam surat Khalid bin Walid kepada Uskup Damsyik, seperti yang sudah kita kutip di atas, pihak Muslimin hanya mendapat jizyah tanpa yang lain-lain, yang dipungut sebagai imbalan atas keamanan yang diberikan kepada penduduk kota, meliputi jiwa, harta benda, bangunan-bangunan, gereja-gereja dan tembok-tembok kota. Untuk memperkuat pendapatnya, Balazuri mengutip pendapat Abu Abdullah al-Waqidi: "Yang saya baca dari surat Khalid bin Walid tak terdapat pembagian sama rata mengenai rumah-rumah dan gereja-gereja." al-Waqidi menambahkan, bahwa pasukan Muslimin tinggal dan menetap di rumah-rumah di Damsyik itu karena pemiliknya meninggalkan kota setelah diduduki. Mereka bergabung dengan Heraklius ketika tinggal di Antakiah dan rumah-rumah tak bertuan itu ditempati oleh pasukan Muslimin.

Tetapi at-Tabari menyebutkan bahwa persetujuan Damsyik itu atas dasar pembagian bersama mengenai dinar dan harta tak bergerak serta jizyah satu dinar per kepala, Ibn Kasir menafsirkan pembagian bersama harta dan barang tak bergerak itu karena sebagian kota dibebaskan dengan kekerasan dan seharusnya menjadi milik Muslimin semua, dan sebagian lagi yang dibebaskan dengan jalan damai harus dikenakan jizyah saja. Oleh karena itu pasukan Muslimin mengambil separuh dari gereja-gereja, rumah-rumah dan harta yang ada di kota atas dasar dibebaskan dengan kekerasan, dan yang harus membayar jizyah atas dasar dibebaskan dengan jalan damai.

Mereka yang menentukan pembagian bersama mengenai gereja-gereja, rumah-rumah dan harta benda itu menyebutkan bahwa pihak Muslimin mengambil tujuh buah gereja dari empat belas gereja yang ada di Damsyik, dan gereja besar, Gereja Santo Yohana Pembaptis dibagi dua, separuh untuk kaum Nasrani untuk melaksanakan kebaktian dan membaca Bibel, yang separuh lagi dijadikan mesjid untuk Muslimin membaca Qur'an serta berzikir dan di bagian atasnya untuk menyerukan azan.

Pembagian ini berjalan selama lebih kurang tiga puluh tahun. Dalam pada itu Mu'awiah bin Abi Sufyan menuntut, kemudian Abdul-Malik juga menuntut agar sebagian dari gereja itu ditambahkan untuk mesjid. Kendati untuk itu ditawarkan uang yang tidak sedikit, pihak Gereja menolak dengan alasan mereka berpegang pada nas perjanjian yang sudah disepakati bersama ketika pembebasan Damsyik. Setelah naik Walid bin Abdul-Malik sebagai penguasa, diulanginya lagi permintaan itu kepada pihak Nasrani seperti dulu, dan akan diberi ganti rugi yang cukup besar jumlahnya. Tetapi seperti dulu juga, sekali ini pun mereka tetap menolak. Kemudian mereka diancam bangunan itu akan dirobohkan kalau tawaran itu ditolak. Setelah ditakut-takuti dengan datangnya kemurkaan Allah mereka tidak juga merasa takut, maka bagian itu dihancurkan dan dimasukkan ke bagian mesjid. Setelah yang naik sebagai khalifah kemudian Umar bin Abdul-Aziz, pihak Nasrani mengadukan perbuatan Walid terhadap Gereja mereka itu kepadanya. Khalifah menulis surat kepada wakilnya dengan perintah agar Gereja tersebut dikembalikan kepada mereka, seperti semula. Ulama fikih dan penduduk Muslimin di Damsyik tidak senang dengan perintah Umar itu dan mereka berkata: "Akan merobohkan mesjid kami setelah kami salat dan azan di tempat itu dan dikembalikan menjadi gereja." Mereka menawarkan kepada pihak Kristen akan memberikan gereja-gereja yang ada di daerah subur sekitar Damsyik yang mereka ambil dengan kekerasan dan jatuh ke tangan pasukan Muslimin, dengan syarat tidak lagi menuntut Gereja Santo Yohana. Mereka setuju. Umar bin AbdulAziz pun menyetujui.

Kalau persetujuan Damsyik bukan atas dasar pembagian bersama, tentu sebagian Gereja Yohana tidak akan dijadikan mesjid, Mu'awiah dan Abdul-Malik tidak akan menuntut memasukkan sisanya yang masih di tangan kaum Nasrani ke dalam mesjid, tentu al-Walid tidak akan merobohkan Gereja itu dan pihak Nasrani tidak akan mengadukan hal itu kepada Umar bin Abdul-Aziz. Demikian dikatakan oleh mereka yang berpendapat bahwa perjanjian Damsyik itu atas dasar pembagian bersama, dan tidak terbatas hanya pada jizyah. Sebaliknya mereka yang berbeda pendapat mengatakan, bahwa dalam persetujuan Khalid itu Gereja Yohana tidak dibagi-bagi dan tidak ada gereja-gereja, rumah-rumah dan harta yang dibagi-bagi. Yang diputuskan dalam perjanjian ini hanya jizyah. Mu'awiah bin Abi Sufyan dan Abdul-Malik bin Marwan menuntut agar Gereja itu dijadikan mesjid baru sesudah Damsyik menjadi ibu kota kedaulatan Islam dan sesudah jumlah kaum Muslimin melebihi jumlah penduduk Kristen dan pemerintahan berada di tangan Amirulmukminin. Kalaupun pihak Kristen menolak permintaan mereka dan Gereja dibiarkan seperti apa adanya, itu menunjukkan tentang adanya toleransi Islam serta menghormati perjanjian perdamaian meskipun keadaan sudah berubah — Damsyik yang Rumawi Kristen sudah menjadi Arab Islam. Maka sejalan dengan perubahan itulah kemudian Walid bin Abdul-Malik bertindak seperti itu. Dengan adanya perkembangan ini pihak Nasrani pada zaman Umar bin Abdul-Aziz setuju Gereja tersebut dijadikan mesjid untuk kaum Muslimin, dan mengambil kembali gereja-gereja di daerah subur Gutah di luar tembok ibu kota.

Kita lebih cenderung memperkuat pendapat yang terakhir ini. Bagaimanapun inilah pendapat mayoritas, berurutan dan narasumbernya juga terbanyak.

Kalangan sejarawan memang berbeda pendapat mengenai pembagian bersama tersebut, tetapi semua mereka sepakat bahwa persetujuan itu menentukan pengenaan jizyah kepada penduduk Damsyik sebagai imbalan bagi hak-hak mereka, kebebasan beragama dan melindungi kota dan harta mereka. Jumlah jizyah itu per kepala satu dinar, gandum, minyak dan cuka dalam jumlah tertentu. Ini di luar pajak yang biasa dibayar oleh penduduk Damsyik kepada penguasa Rumawi. Yang demikian ini tetap berlaku, mereka akan membayarnya kepada siapa saja yang memerintah, termasuk pemerintahan Muslimin.

Abu Ubaidah menyampaikan persetujuan perdamaian itu kepada Umar bin Khattab. Umar kemudian menulis surat kepadanya agar diadakan perubahan, jizyah harus dibedakan menurut tingkatnya. Kepada yang kaya empat dinar per kepala dan yang di bawahnya empat puluh dirham. Konon tingkatan itu disesuaikan menurut kadar kekayaannya, ada yang kurang dari itu, ada yang menengah dan ada juga yang lebih di bawah. Kemudian penghasilan Muslimin berupa gandum, minyak, lemak dan madu ditentukan.

Itulah jumlah minimum sehubungan dengan jizyah dalam persetujuan Damsyik, dan demikian juga yang dikatakan mengenai pembagian bersama. Atas dasar persetujuan yang adil sesudah pengepungan yang memakan waktu lama itu, pasukan Muslimin sudah mantap di ibu kota Syam itu dan pendudukan Heraklius pun berakhir, sedang warga yang fanatik kepada Rumawi keluar. Politik Muslimin menjalankan administrasinya sesuai dengan kebijakan yang digariskan oleh Abu Bakr sebelumnya, ketika ia mengirim Khalid bin Walid untuk membebaskan Irak: administrasi kota itu diserahkan kepada pihak Damsyik sendiri. Pemerintahan itu dijalankan seperti yang digambarkan oleh Khalid dalam kata-katanya kepada beberapa penduduk Irak: "Kalau kamu orang-orang Arab apa yang membuat kamu memusuhi Arab, dan kalau kamu orang-orang Persia apa yang membuat kamu membenci keadilan!" Setelah keadaan pihak Muslimin di kota yang indah itu kembali tenang, mulailah mereka memikirkan kewajiban mereka terhadap agama dan tanah air.

Tentu wajar saja jika yang pertama-tama dipikirkannya mengenai siapa pasukan Muslimin yang akan menggantikannya di Fihl di Yordania itu, dan apa pula yang harus dilakukannya setelah mematahkan kekuatan Rumawi di sana. Tetapi surat Umar supaya dia mengubah jumlah minimum jizyah masih menyangkut beberapa masalah yang harus segera dilaksanakan, di antaranya yang harus diprioritaskan, mengembalikan kekuatan pasukan yang ditinggalkan Khalid bin Walid ke Irak, dengan Khalid supaya tetap di Syam. Di antara pesan Abu Bakr kepada Umar saat ia menggantikannya, katanya: "Jika Allah memberikan kemenangan, dalam menghadapi penguasa-penguasa Syam tariklah kembali pasukan Khalid ke Irak, karena mereka penduduk sana dan para penguasa di sana. Mereka sudah terlatih dan berani menghadapi musuh."

Sekarang Allah telah membebaskan Damsyik di tangan Abu Ubaidah. Di samping itu pasukan Muslimin di Irak dalam berperang melawan pasukan Persia menghadapi pelbagai kesulitan. Mereka amat memerlukan bala bantuan. Kekuatan yang dipisahkan dari Irak ke Syam merupakan bala bantuan yang tidak dapat dipandang kecil. Di dalamnya terdapat pahlawan-pahlawan tangguh yang telah menggoncangkan dan digoncang perang, dan dalam setiap pertempuran yang dimasukinya sahamnya tidak sedikit. Oleh karena itu Abu Ubaidah mengangkat Hasyim bin Utbah untuk memimpin pasukan Irak didampingi oleh al-Qa'qa' bin Amr dan yang semacamnya yang nekat dan berani, dan menggantikan mereka yang sudah gugur di medan perang Syam dengan pasukan yang jumlah dan kekuatannya seimbang dengan pasukan yang datang dari Irak. Mereka semua berangkat ke markas Musanna di Zu Qar yang berbatasan dengan daerah pedalaman di jalan padat yang biasa dilalui kafilah untuk menghindari jalan yang penuh risiko yang dulu pernah dilalui Khalid tatkala ia datang ke Syam untuk memberikan pelajaran kepada Rumawi. Tak pernah terlintas dalam pikiran Hasyim bin Utbah atau para perwiranya dan pasukannya selama dalam perjalanan mengarungi Sahara itu, bahwa mereka maju ke Irak untuk bersama-sama dengan pasukan Muslimin yang dipimpin oleh Sa'd bin Abi Waqqas, lalu menghadapi pertempuran sangat menentukan melawan pasukan Persia yang membuka jalan ke Mada'in dan jantung Persia: Pertempuran Kadisiah.

Pertempuran Fihl dan kemenangan Muslimin

Kita tinggalkan mereka sekarang dalam perjalanan mereka itu. Kita kembali menemani Abu Ubaidah di Syam, dan sebentar lagi kita akan kembali menyaksikan mereka dalam pertempuran dahsyat yang melumatkan pasukan Kisra, menggantikan kekuasaannya dan membuka lembaran-lembaran baru yang amat cemerlang dalam sejarah.15

Abu Ubaidah sudah merasa lega dengan adanya pasukan Muslimin di Damsyik. Pikirannya sekarang tertuju pada siapa yang akan menggantikannya dalam pasukan Muslimin di Fihl, Yordania. Sebagian perwiranya sudah dipacu oleh semangat kemenangan. Mereka mengusulkan untuk melanjutkan perjalanan dari Damsyik ke Hims. Selama pengepungan Damsyik Heraklius tinggal di kota ini. Setelah dilihatnya angkatan bersenjatanya tak mampu mencapai ibu kota Syam itu untuk memberikan perlindungan, ia menyingkir dari Hims ke Antakiah. Jika sekiranya Abu Ubaidah pergi ke Hims dan membebaskannya, niscaya Heraklius akan menyingkir dari Antakiah ke Anatolia atau ke Konstantinopel. Kalau ini yang dilakukannya semangat pasukannya di seluruh Syam akan hancur. Mereka akan angkat tangan, tidak akan mengadakan perlawanan dan tidak akan bertempur. Tetapi Abu Ubaidah menolak saran itu. Ia tidak akan menerimanya sebab dalam perintahnya Umar melarang ia maju mendahului sisa pasukan Rumawi yang ada di belakangnya yang akan merupakan ancaman jika ia mundur atau akan memotong barisan belakangnya. Pasukan Rumawi yang selamat dari Pertempuran Yarmuk masih bertahan di Fihl sebelah selatan danau at-Tabariah (Tiberias), kemudian Heraklius menopangnya dengan angkatan bersenjata baru. Rasa takut angkatan bersenjata ini belum hilang akibat kekalahan yang mereka alami di Yarmuk ketika Abul-A'war as-Sulami berangkat dengan pasukannya hendak menghadapi mereka. Karenanya mereka lalu melepaskan air danau dan sungai ke daratan sekitar sehingga terjadi tanah lumpur, dan pasukan Muslimin tak dapat maju. Tetapi pasukan Rumawi sendiri juga tak dapat maju, sehingga tak ada gunanya bala bantuan Heraklius kepada mereka. Selama musim dingin dan selama pengepungan kota Damsyik tanah itu tetap berlumpur, dan pihak Rumawi pun terkepung di balik lumpur di Lembah Baisan (Scythopolis). Sesudah Damsyik menyerah dan datang musim panas, tanah pun sudah mulai kering, Abu Ubaidah menyerahkan Damsyik ke tangan Yazid bin Abi Sufyan dengan kekuatan pasukan berkuda Yaman yang dipimpinnya. Dia sendiri bersama Khalid bin Walid dan angkatan bersenjatanya melangkah maju ke Fihl dan Lembah Baisan. Tanah yang sudah mulai kering itu memungkinkan pasukannya menghadapi pertempuran lagi.

Ketika itu Abu Bakr sudah menyerahkan Yordania ke tangan Syurahbil bin Hasanah, Hims kepada Abu Ubaidah, Balqa' kepada Yazid bin Abi Sufyan dan Arabat kepada Amr bin al-As. Komando di lapangan kepada pihak yang mengalami pertempuran di bawah pimpinannya. Perintah ini oleh Umar tidak diubah. Dengan demikian komando pasukan Muslimin yang berada di Fihl tetap di tangan Syurahbil, dan yang sebagian masih tinggal di sana sebelum Damsyik dikepung di bawah Abul-A'war as-Sulami, dan yang datang sesudah pengepungan Damsyik di bawah Abu Ubaidah.

Syurahbil mengirim Abul-A'war dengan brigadenya ke Tabariah (Tiberias) untuk mengadakan pengepungan, Khalid bin Walid memimpin barisan depan, Abu Ubaidah dan Amr bin al-As masing-masing di sayap kanan dan kiri sementara Dirar bin al-Azwar memimpin pasukan berkuda. Angkatan bersenjata ini berangkat semua menyeberangi Sungai Yarmuk di Umm Qais di dekat sebuah muara di Yordania, yang selanjutnya menyeberangi Lembah Gor, kemudian bermarkas di Fihl, berhadap-hadapan dengan pasukan Rumawi di Baisan. Tatkala sudah tak dapat melampaui tanah berlumpur para komandan itu berunding. Mereka melaporkan kepada Umar mengenai keadaan itu dan menunggu jawabannya. Bahan makanan yang tinggal sedikit tidak membuat mereka cepat-cepat berpindah tempat. Tanah subur yang mereka peroleh lebih baik daripada yang diperoleh pasukan Rumawi, karena dengan kesuburan yang ada di sekitar mereka memungkinkan mereka membuat bahan-bahan makanan dan kehidupan mereka lebih makmur. Pasukan Rumawi yang kini di depannya terdiri atas delapan puluh ribu orang dengan nafsu besar ingin menghancurkan pihak yang telah mengalahkan angkatan bersenjata mereka di Yarmuk dulu dan kemudian merebut Damsyik.

Sesudah pasukan Muslimin lama bertahan di Fihl, terbayang oleh Siqlar bin Mikhraq,16 komandan angkatan bersenjata yang besar di bawah Heraklius, lebih baik menyergap musuhnya itu dengan tiba-tiba supaya dapat dihancurkan. Untuk itu pasukan perintisnya ditugaskan mencarikan tempat untuk angkatan bersenjatanya di tanah sekitarnya. Setelah malam tiba, ia bergerak dengan pasukan perintisnya. Ia sudah yakin bahwa pasukan Muslimin sudah merasa aman, dan tidak dalam keadaan siap tempur. Dengan demikian, begitu mendapat serangan pertama barisan Muslimin akan kacau balau. Tetapi rupanya perhitungannya meleset. Ternyata pasukan Muslimin sepenuhnya waspada terhadap kemungkinan munculnya pasukan Rumawi. Malam mau tidur dan bangun tidur Syurahbil selalu siap siaga. Sergapan Siqlar dan pasukannya itu disambut dengan gempuran yang luar biasa hebatnya. Pihak Rumawi pun nekat mati-matian bertempur. Pertempuran ini berlangsung lama semalam suntuk dan bersambung ke hari berikutnya sampai malamnya lagi. Peranan Khalid bin Walid dan Dirar bin Azwar waktu itu mengingatkan pasukan Muslimin pada peperangan dan pertempuran-pertempuran sebelumnya. Sesudah gelap malam pasukan Rumawi tampak kepayahan, barisannya centang perenang. Mereka berlarian dalam kebingungan setelah melihat apa yang telah menimpa Siqlar dan para perwiranya.

Tak adakah tempat berlindung bagi angkatan bersenjata yang sudah kalah ini dalam pelarian mereka atau rencana pertahanan yang akan dapat menampung mereka? Tidak ada! Kekalahan dan kebingungan mereka itu mengantarkan mereka ke dalam lumpur. Mereka tak dapat berjalan lagi. Pasukan Muslimin terus mengejar mereka. Semula dikira sengaja mereka demikian, tetapi ternyata mereka memang dalam kekacauan dan kebingungan, tak dapat melangkah maju atau mundur, juga tak dapat melarikan diri. Pasukan Muslimin menggempur mereka dengan panah, sehingga mereka tersungkur, berjatuhan ke dalam lumpur dan tidak sedikit dari mereka yang terbunuh. Dari delapan puluh ribu itu tak ada yang lolos kecuali sisa-sisa yang terpencar-pencar. Kemenangan yang diperoleh pasukan Muslimin sangat meyakinkan dan cukup memuaskan. Rampasan perang yang mereka peroleh juga tidak sedikit, yang kemudian dibagi-bagikan di antara mereka. Mereka merasa puas bahwa Allah telah memberi kemenangan. Abu Ubaidah menulis laporan kepada Amirulmukminin di Medinah memberitahukan mengenai kemenangan itu, dan bahwa dia bersama Khalid bin Walid sudah akan berangkat ke Hims.

Dengan pertolongan Allah itu iman pasukan Muslimin makin kuat ketika mereka melihat bagaimana Allah menentukan sesuatu yang pada mulanya tidak mereka sukai. Mereka tidak senang melihat tanah yang berlumpur karena itu merintangi mereka untuk berhadapan dengan musuh. Apa yang tidak mereka senangi ternyata menolong mereka dan membuat musuh yang terkepung akhirnya hancur berantakan. Bukankah ini merupakan tanda kebesaran Allah dan suatu bukti bahwa Allah pasti menolong mereka dan mereka akan menggantikan kekuasaan Rumawi dan Persia?17

(sebelum, sesudah)


Umar bin Khattab
"Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu"
 
Judul asli "Al-Faruq Umar" cetakan ke 7 oleh Muhammad Husain Haekal, Ph.D.,
dengan izin ahli waris, Dr. Ahmad Muhammad Husain Haekal, kepada penerjermah.
diterjemahkan oleh Ali Audah.
Cetakan pertama, April 2000
Diterbitkan oleh P.T. Pustaka Litera AntarNusa
Jln. Arzimar III, Blok B No. 7A, Tel. (0251) 330505, 370505, Fax. (0251) 380505 Bogor 16152.
Jln. Rukem I-19, Rawamangun, Tel./Fax. (021) 4722889, Jakarta 13220.
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang No. 7/1987
ISBN 979-8100-38-7
Anggota IKAPI.
Setting dan kulit luar oleh Litera AntarNusa
Dicetak oleh P.T. IKRAR MANDIRIABADI, Jakarta.
 
Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team