Umar bin Khattab

oleh Muhammad Husain Haekal

Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

6. Abu Ubaid dan Musanna di Irak (3/3)

Pertempuran Buwaib

Tetapi baru Musanna mengucapkan takbir pertama, pihak Persia sudah mendahului menyerang, yang dibalas segera dengan serangan serupa. Akibat serangan pihak Persia itu beberapa barisan pasukan Muslimin dari Banu Ijl jadi kacau. Musanna mengutus orang kepada mereka dengan pesan: "Salam Komandan kepada kalian, janganlah kalian mempermalu pasukan Muslimin hari ini." Sekarang Banu Ijl memperkuat diri dan seperti pasukan yang lain mereka juga mulai bersama-sama melakukan serangan terhadap pasukan Persia dengan barisan mereka yang sudah lebih teratur. Kedua pihak sekarang terlibat dalam pertempuran sengit, yang berlangsung sampai sekian lama. Musanna melihat bahwa pertarungan ini akan makin dahsyat dan akan memakan waktu lebih lama. Ia sedang memikirkan cara untuk mencapai kemenangan. Terpikir olehnya akan menyerang komandan Persia itu dan menghalaunya dari tempatnya atau membunuhnya. Untuk melaksanakan rencananya ini ia memanggil Anas bin Hilal an-Namiri, kemudian memanggil Ibn Mirda al-Fihr at-Taglabi. Kepada mereka masing-masing ia berkata: "Anda orang Arab sekalipun tak seagama dengan kami. Kalau Anda melihat saya sudah menyerang Mehran, ikutlah menyerang bersamaku." Musanna mulai menyerang Mehran dengan gempuran yang benar-benar telak sehingga ia tergeser dari tempatnya dan masuk ke barisan sayap kanan. Pihak Persia melihat apa yang terjadi, mereka menghunjam hendak melindungi pemimpin mereka. Kedua barisan tengah sekarang bertemu dan debu pun membubung tinggi, sehingga sudah tak diketahui lagi pihak mana yang menang.

Ketika debu-debu itu terkuak selintas dan pasukan Muslimin melihat barisan kanan Persia sudah mundur, mereka langsung digempur oleh barisan kanan dan barisan kiri. Mereka mengelak ke arah pinggir sungai hendak menyelamatkan diri. Dalam pada itu Musanna terus mengerahkan pasukannya dan mengutus orang kepada mereka dengan mengatakan: "Adat kalian seperti bunyi peribahasa: Belalah agama Allah, Dia akan menolong kalian." Pasukan Muslimin tambah bersemangat menggempur barisan musuh sampai ke pusatnya.

Kemenangan pasukan Muslimin

Pasukan Persia sudah tak dapat lagi menahan kekuatan itu. Mereka sudah porak poranda dan berbalik mundur melarikan diri hendak menyeberangi jembatan. Melihat mereka sudah berantakan demikian Musanna cepat-cepat mendahului mereka ke jembatan dan mereka dihalau kembali dari jembatan. Mereka makin kacau-balau. Satu regu naik ke pantai sungai dan yang lain menggempur mereka. Barisan berkuda Muslimin kini mengepung mereka yang sedang kacau dan ketika itulah mereka digempur habis-habisan. Demikian rupa pasukan Persia itu dalam ketakutan, sehingga seorang prajurit dari pasukan Muslimin dapat membunuh beberapa orang dari mereka tanpa ada yang mampu balik membunuh, sehingga peristiwa di Buwaib ini dinamai "Peristiwa Puluhan," karena setiap satu orang dari seratus orang pasukan Muslimin dapat membunuh sepuluh orang anggota pasukan Persia. Titik kelemahan musuh terus diikuti dan dihujani dengan pukulan-pukulan mematikan sampai malam.

Paginya mereka terus dikejar lagi sampai malam. Oleh karena itu nyawa melayang di medan perang Buwaib ini lebih banyak daripada di tempat mana pun. Anggota pasukan Persia yang terbunuh sudah mencapai seratus ribu, mayatnya tergeletak di medan pertempuran sampai busuk dan hanya meninggalkan timbunan tulang belulang, sampai selama bertahun-tahun tanpa dikuburkan. Baru kemudian tertimbun oleh tanah setelah dibangunnya kota Kufah. Kemenangan pasukan Muslimin di Buwaib ini meyakinkan sekali.

Kecintaan anggota pasukan Muslimin yang serentak kepada Musanna menjadi salah satu penyebab kemenangan itu, bahkan itulah penyebab utamanya. Mereka sudah menyaksikan ia terjun ke dalam pertempuran dengan gagah berani dan penuh keyakinan. Yang lain pun mengikutinya bertempur habis-habisan. Maka Allah telah memberi pertolongan kepada mereka. Mereka yang dulu pernah lari dari Pertempuran Jembatan, sekarang bertempur mati-matian tanpa pedulikan maut untuk menebus kekalahan yang dulu tercoreng di kening mereka.

Sementara Musanna sedang mengatur barisan untuk menghadapi pertempuran dilihatnya ada yang maju keluar dari barisan hendak menyerbu pasukan Persia, tetapi oleh Musanna ia diketuk dengan tombak sambil berkata: "Jangan meninggalkan tempatmu! Jika datang lawanmu di medan perang, bantulah kawanmu dan jangan mempertaruhkan diri." Orang itu menjawab: "Saya memang pantas untuk itu." Kemudian ia kembali ke tempatnya dalam barisan. Para perwira dan prajurit-prajurit yang lain memang mempunyai peranan luar biasa yang patut dibanggakan. Tatkala pertempuran sedang sengit-sengitnya, Mas'ud bin Harisah — saudara Musanna — menyerbu ke tengah-tengah medan. Dia jatuh terkapar dan teman-temannya merasa sudah tak berdaya — sebelum pihak Persia dapat dikalahkan. Hal ini dilihatnya saat ia sudah dalam sekarat. "Saudara-saudara Bakr bin Wa'il!" katanya. "Angkatlah bendera kalian, semoga Allah mengangkat kalian! Kejatuhanku ini jangan sampai membuat kalian kehilangan semangat!" Sebelum ia terkena itu ia pernah berkata kepada mereka: ."Hati kalian jangan cemas hanya karena melihat saya sudah terkena sasaran. Tentara itu datang dan pergi. Pertahankanlah garis barisan kalian. Manfaatkanlah kemampuan mereka yang di belakang kalian." Juga Anas bin Hilal an-Namiri orang Nasrani itu, bertempur sampai ia menemui ajalnya. Seorang budak Nasrani Banu Taglab datang menyerang Mehran dan berhasil membunuhnya kemudian merampas kudanya. Ia lalu pergi sambil berdendang: "Saya budak Taglabi. Saya yang membunuh pemimpin Persia."

Sesudah Musanna dapat mengejar pasukan Persia di jembatan dan dapat mencegah mereka menyeberang, Arfajah bin Harsamah menggiring satu regu pasukan berkuda Persia sampai ke Furat. Setelah mereka merasa terjepit mereka mengadakan perlawanan dan menyerang Arfajah dan anak buahnya. Maka terjadilah lagi pertempuran sengit, tetapi berhasil mereka dilumpuhkan. Salah seorang dari mereka berkata kepada Arfajah: "Bawalah benderamu mundur ke belakang!" Tetapi Arfajah menjawab: "Siapa yang paling berani dari kalian, majulah!'' Lalu diserangnya mereka, dan mereka lari ke arah Furat. Tetapi tak seorang pun yang sampai ke sana dalam keadaan hidup. Dari pihak Muslimin yang luka-luka dan terbunuh juga tidak sedikit, termasuk dari Banu Namir, Banu Taglab dan dari kabilah-kabilah Arab yang lain di Irak. Sungguhpun begitu, kemenangan telah memahkotai mereka, dan nama-nama mereka tercatat kekal dalam sejarah. Dalam pandangan Tuhan mereka tetap hidup.

Setelah pertempuran pun usai, Musanna merangkul Mas'ud, saudaranya, dan Anas bin Hilal orang Nasrani itu dengan perasaan amat sedih, tanpa membedakan agama kedua orang itu. Pasukan Muslimin yang gugur disalatkan oleh Musanna, kemudian katanya: "Sungguh kesedihan saya terasa sudah lebih ringan karena mereka telah menyaksikan Pertempuran Buwaib. Mereka pemberani, sabar dan tabah, tak kenal putus asa dan tak pernah mundur. Mati syahid adalah suatu penebusan dosa."

Petang itu selesai pertempuran pasukan Muslimin duduk-duduk dengan perasaan gembira. Musanna berkata: "Saya sudah berperang melawan orang-orang Arab dan bukan Arab di masa jahiliah dan Islam. Seratus orang Arab di masa jahiliah dulu bagi saya lebih berat daripada seribu orang Arab sekarang, dan seratus orang Arab sekarang bagi saya lebih berat daripada seribu orang bukan Arab. Allah telah melumpuhkan kekuatan mereka, membuat tipu daya mereka menjadi tak berdaya. Janganlah kalian gentar melihat segala gemerlapan mereka itu. Tak ada kesulitan yang tak dapat diatasi. Mereka seperti binatang, jika sudah terdesak atau kehilangan arah, ke mana pun kamu bawa mereka akan ikut." Di antara mereka ada yang bercerita bagaimana Musanna merebut jembatan itu dari pasukan Persia, yang mengakibatkan hancurnya mereka. Tetapi Musanna tidak membiarkan orang itu meneruskan ceritanya dengan membantah bahwa itu adalah hasil kerjanya dan ia menyatakan penyesalannya dengan mengatakan: "Saya benar-benar tidak berhasil, tetapi Allah masih melindungi saya dari bencana dengan mendahului mereka ke jembatan sehingga saya dapat mempersulit gerak mereka. Saya tidak akan kembali dan kalian jangan kembali dan jangan meneladani saya. Saudara-saudara, itu adalah langkah saya yang salah. Tidak seharusnya orang mengganggu siapa pun kecuali orang yang sudah tidak dapat menahan diri."

Kata-kata yang keluar dari mulut seorang panglima yang menang perang besar ini telah menghapus arang yang tercoreng di kening pasukan Muslimin karena peristiwa di jembatan itu, membuktikan tentang keberanian Musanna dan keterusterangannya memvonis dirinya sendiri — sama dengan keberaniannya memimpin pertempuran dahsyat dan menerjunkan diri ke dalamnya. Kalau dia seorang yang senang membangga-banggakan diri dan dimabuk pujian, tentu ia tak akan mengeluarkan kata-kata itu. Dia melihat pasukan Persia yang berbalik dari jembatan itu membunuhi pasukan Muslimin dan mati-matian ingin membalas dendam. Ia merasa sedih sekali atas kematian beberapa orang prajuritnya, dan menyesali perbuatannya, dan barangkali sejauh apa yang berlaku karena tindakan musuhnya yang mati-matian sehingga kemenangan berbalik ke pihaknya. Di samping itu, ia berani menyatakan kesalahannya, supaya yang lain tidak mengalami seperti dia.

Dalam Perang Buwaib itu pasukan Muslimin mendapat rampasan perang yang tidak sedikit, terdiri dari sapi, kambing dan tepung terigu, yang kemudian dikirimkan di tangan orang-orang yang datang dari Medinah kepada keluarga-keluarga yang ditinggalkan di perbatasan Semenanjung Arab, dan kepada keluarga-keluarga yang tinggal di Hirah yang sudah lebih dulu ke Irak sebelum terjadi Perang Buwaib dan pertempuran di jembatan. Perempuan-perempuan yang tinggal di perbatasan Semenanjung itu melihat kedatangan kafilah berkuda yang membawa perbekalan mereka kira ada serangan musuh. Di depan anak-anak mereka segera bersiap-siap dengan batu dan tiang-tiang. Tetapi Amr bin Abdul-Masih yang bersama kafilah itu berkata: "Istri-istri pasukan ini seharusnya demikian." Kaum lelaki itu meminta jaminan keamanan dari perempuan-perempuan itu dan membawakan kabar gembira kepada mereka tentang kemenangan dan menyerahkan segala yang dibawa kepada mereka, dengan mengatakan: "Inilah rampasan perang pertama."

Musanna mengeluarkan perintah kepada para perwira dan anak buahnya. Mereka berangkat melalui Sawad hingga sampai ke Sabat, yang dari Mada'in sudah terlihat. Pasukan Persia di depan berlarian lintang pukang. Pada gilirannya Musanna pun berangkat mengadakan serangan ke Khanafis dan Anbar pada hari pasar kedua kota itu. Di kedua tempat ini pasukannya mendapat rampasan yang tidak sedikit pula. Pasukan Muslimin sekarang sudah sampai di Tigris dan mengadakan serangan ke desa Bagdad sampai ke Tikrit. Setiap serangan itu mereka membunuh pasukan tentara, menawan keluarga mereka dan mengambil harta yang ada sehingga tak terhitung banyaknya. Dengan demikian barulah seluruh Irak mau tunduk sekali lagi. Hasil rampasan itu oleh Musanna dibagi-bagikan, dan penduduk negeri lebih diutamakan daripada semua kabilah. Seperempatnya diberikan untuk daerah Bajilah sesuai dengan pesan Umar, dan yang tiga perempat dikirimkan kepada Amirulmukminin di Medinah.

Keadaan di bawah Musanna sekarang sudah stabil kembali seperti pada masa Khalid bin Walid. Kaum Muslimin yang tersebar di Sawad Irak juga ikut menikmati hasil rampasan perang itu. Selama tinggal di Hirah yang dipikirkan Musanna siapa saja dari anggota pasukan Muslimin yang gugur dalam pertempuran sengit itu, serta cara-cara untuk memperkuat pasukannya dengan orang yang akan menggantikannya. Barangkali belum perlu meminta bala bantuan cepat-cepat. Pihak Persia sudah dalam ketakutan setelah malapetaka yang menimpa mereka di Buwaib, sehingga ia membayangkan bahwa sesudah itu mereka tak akan mampu lagi mengadakan perlawanan. Malah akibatnya, perselisihan mereka di Mada'in akan makin keras, yang akan mengakibatkan pula berkecamuknya pemberontakan di seluruh Persia. Mereka akan makin lemah dan organisasi mereka pun akan goyan.

Baik kita tinggalkan dulu Musanna memikirkan posisinya yang sekarang, dan kita sendiri memikirkan tanda-tanda (indikasi) apa akibat yang dibawa oleh Perang Buwaib terhadap sejarah. Dalam perang ini terdapat beberapa tanda. Kita melihat kaum Nasrani Arab penduduk Irak berada dalam barisan Muslimin, bersama-sama memerangi pasukan Persia, dengan semangat yang sama seperti semangat Muslimin. Kita menyaksikan Musanna berkata kepada Anas bin Hilal an-Namiri: "Anda orang Arab sekalipun tak seagama dengan kami. Kalau Anda melihat saya sudah menyerang Mehran, ikutlah menyerang bersama saya." Kemudian kata-kata yang sama dikatakannya juga kepada Ibn Mirda al-Fihri dari Banu Taglib. Bukankah ini sudah memastikan bahwa perang di Irak itu bukan perang salib, juga bukan perang Islam, karena bukan dibangkitkan oleh agama, melainkan oleh keinginan orang-orang Arab membebaskan golongannya dari kekuasaan asing yang sudah berabad-abad menjajah mereka, dan supaya masyarakat Arab mempunyai kesatuan politik, bagaimanapun, posisinya? Saya rasa soalnya memang sudah jelas, tak perlu diragukan lagi. Segala pertimbangan yang membangkitkan perang di Irak sama dengan di Syam. Bahwa perang itu untuk menyebarkan Islam tak pernah terlintas, baik dalam pikiran Abu Bakr ataupun Umar. Pikiran yang ada pada mereka hanya supaya dakwah Islam bebas tanpa ada rintangan apa pun. Jadi jelas, bahwa ajakan kepada Islam dengan kekuatan senjata tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, dan tidak pula dibenarkan oleh Qur'an. Rasulullah dan para penggantinya selalu ingat firman Allah: Ajaklah mereka ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan pesan yang baik; dan berbantahlah dengan mereka dengan cara yang lebih baik. (Qur'an, 16: 125). Dan firman-Nya lagi: Tolaklah (kejahatan) dengan yang lebih baik; maka akan ternyata permusuhan yang ada antara Anda dengan dia akan menjadi seperti teman dekat. (Qur'an, 41: 34).

Islam tersebar sejalan dengan meluasnya daerah-daerah yang dibebaskan, sebab penduduk daerah-daerah itu melihat dasar-dasar agama yang benar ini, maka mereka sangat mengagumi, sangat menghormatinya, lalu mereka pun menganutnya, kadang dengan pembuktian dan pemikiran, kadang dengan melihat orang-orang yang datang dengan segala cara yang menakjubkan dalam usaha pembebasan dan cara menjalankan kekuasaan. Kalau dengan alasan itu dapat dibenarkan mengaitkan tersebarnya Islam dengan perluasan daerah-daerah yang dibebaskan itu, maka tidaklah benar untuk mengatakan bahwa tujuan pembebasan itu untuk menyebarkan Islam dengan kekuatan pedang.

Indikasi terjadinya Perang Buwaib

Inilah beberapa indikasi terjadinya Perang Buwaib. Juga ini merupakan suatu indikasi bahwa permusuhan Arab-Persia itu sudah sampai di puncaknya dan sudah menghilangkan segala harapan akan ada perdamaian atau perletakan senjata. Perang Buwaib itu terjadi sesudah Pertempuran Jembatan yang membuat pasukan Muslimin mengalami kekalahan telak. Kebalikannya kejadian di Buwaib telah menghapus dampak kekalahan itu dan mengangkat martabat pasukan Muslimin; dalam hati pihak Persia timbul rasa takut, dan semangat mereka sangat menurun. Sungguhpun begitu, setelah Pertempuran Jembatan itu tidak terpikir oleh pasukan Muslimin akan menyerah atau mengajak damai. Demikian juga setelah Perang Buwaib tidak terpikir oleh pasukan Persia akan menyerah atau mengajak damai. Jadi tak ada jalan lain perang harus berlanjut sehingga salah satu pihak ada yang menyerah tanpa syarat. Itu sebabnya tatkala trauma Perang Buwaib hilang dari pihak Persia, kembali mereka berpikir-pikir tentang nasib apa yang akan menimpa mereka jika masih terus dalam perpecahan, masih terbagi-bagi. Terbayang oleh mereka bahwa pasukan Arab itu akan memasuki ibu kota kerajaan mereka, akan merobohkan semua benteng pertahanan mereka dan putra-putra Kisra akan tunduk di bawah kekuasaan musuh. Kecuali jika terjadi suatu mukjizat, mereka mau bersatu menghadapi kaum penyerang dan mengusirnya dari bumi mereka. Tetapi bagaimana mereka akan bersatu sementara Rustum dan Fairuzan saling berebut kekuasaan, para pembesar dan para petinggi terbagi-bagi, yang satu mendukung satu kelompok, yang lain menjadi pendukung kelompok yang lain. Oleh karena itu para pemuka Persia menemui kedua pihak dengan mengingatkan akibat perselisihan itu akan menjerumuskan Persia ke dalam kehancuran. "Sesudah Bagdad, Sabat dan Tikrit, kini hanya tinggal Mada'in!" Mereka mengancam keduanya dengan mengatakan: "Kalian bersatu atau kami sendirilah yang akan bertindak, sebelum kita disoraki orang!"

Sekarang Rustum dan Fairuzan mengadakan perundingan dan meminta Boran menulis surat untuk mendatangkan istri-istri dan gundik-gundik Kisra. Setelah mereka datang, diketahui bahwa keturunan Kisra yang laki-laki sudah tak ada lagi selain Yazdigird bin Syahriar bin Kisra. Dulu ibunya menyembunyikannya di tempat saudara-saudara ibunya ketika Syiri dulu membunuhi semua anak laki-laki keturunan ayahnya. Mereka datang membawa anak itu, yang ketika itu sudah berumur dua puluh satu tahun. Sesudah kemudian mereka sepakat hendak mengangkatnya ke takhta kerajaan leluhurnya dan berlomba memberikan bantuan, Persia sekarang kembali tenang, dan mulai mengadakan persiapan baru untuk menuntut balas mengembalikan harga diri dan kehormatannya.

Sudah tentu berita-berita mengenai Persia ini sampai juga kepada Musanna. 'Ia gelisah karena yakin penduduk Sawad akan memberontak kepada pasukan Muslimin bilamana pasukan Persia memasuki tempat-tempat mereka. Ditulisnya surat kepada Umar di Medinah melaporkan segala yang diketahuinya itu serta kemungkinan akan timbulnya pemberontakan. Tetapi surat itu terlambat sampai ke tangan Umar. Pihak Persia sendiri sudah bersiap-siap dan persiapan demikian sudah pula membuat gempar desa-desa dan kota-kota di Irak. Tak ada jalan lain buat Musanna ia harus menarik pasukannya sekali lagi ke perbatasan Semenanjung dan membawanya ke Zu Qar kemudian mengumpulkan mereka dalam satu markas sambil menunggu bala bantuan dari Khalifah untuk meneruskan rencananya membebaskan Mada'in.

Tatkala surat Musanna sampai ke tangan Umar dan ia mengetahui persiapan Persia sesudah ada persepakatan, ia berkata: "Akan kuhajar Raja-raja Persia itu dengan raja-raja Arab!" Ia membalas surat Musanna dengan perintah agar segera berangkat ke perbatasan Irak dan terpencar di beberapa mata air yang berdekatan dengan Persia, dan meminta bantuan penduduk supaya bersama-sama di pihak mereka supaya tidak disergap mendadak oleh Persia tanpa ada persiapan tenaga manusia dan perlengkapan.

Musanna bermarkas di Zu Qar. Belum terpikir oleh pihak Persia hendak berangkat menghadapinya. Musanna tinggal di sana sampai kemudian datang Sa'd bin Abi Waqqas menyusul. Kedatangannya sebagai komandan pasukan yang disiapkan oleh Umar untuk menghadapi pasukan Persia. Tetapi Musanna tidak lama tinggal bersama Sa'd. Lukanya yang lama akibat Pertempuran Jembatan kambuh lagi, yang dideritanya terus sampai ia menemui ajalnya. Beberapa sumber menyebutkan bahwa Musanna meninggal di Zu Qar sebelum Sa'd tiba di Irak, dan bahwa ia meninggalkan wasiat untuk Sa'd — yang akan kita sebutkan nanti pada waktunya.

Dengan meninggalnya Musanna, rasanya sudah menjadi kewajiban kita untuk menyudahi bab ini. Tetapi sebelum kita teruskan dengan peristiwa-peristiwa dalam arus yang begitu keras, mari kita berhenti sejenak di makam panglima yang hebat ini untuk mengucapkan selamat jalan dan menempatkannya sebagaimana mestinya, sesuai dengan kenyataan.

Kebesaran Musanna

Dalam perang dengan Persia orang ini telah memikul beban Muslimin yang begitu berat, yang belum ada orang lain melakukan hal seperti dia. Dialah Muslim pertama yang pergi ke Delta Furat dan Tigris dan mengajak Abu Bakr untuk memikirkan pembebasan Irak. Kalau tidak karena kepergiannya ke sana dan sekaligus ia menyabung nyawanya di sana, niscaya tak terpikir oleh Khalifah untuk menghadapi Persia. Bersama dengan Khalid bin Walid tidak sedikit daerah pinggiran Irak yang sudah dibebaskannya. Kalau tidak karena keberanian Musanna dan pandangannya yang bijaksana di samping kepiawaiannya memimpin pasukan, tentu Khalid belum akan dapat pergi ke Syam dan membuktikan kemampuannya menghadapi Persia.

Sesudah itu Abu Bakr dulu berpesan kepada Umar untuk memobilisasi orang bersama Musanna. Wajar sekali bilamana Musanna yang akan memimpin angkatan bersenjata ke Irak untuk memberi pertolongan kepadanya. Dialah yang mengetahui seluk beluknya dan memasuki daerah-daerah itu. Dalam hal ini yang mempunyai keberanian yang tak dipunyai oleh yang lain. Sekiranya Abu Bakr masih hidup niscaya ia tak akan menyerahkan pimpinan itu kepada yang lain. Hanya Umar yang kemudian menyerahkannya kepada Abu Ubaid karena ia orang yang pertama mencalonkan diri dan karena dari Banu Saqif di Hijaz, sedang Musanna dari Banu Bakr bin Wa'il. Marahkah Musanna karenanya atau terluka perasaannya karena Umar telah meninggalkan pesan Abu Bakr mengenai dirinya? Tidak! Pikirannya lebih tinggi daripada sekadar memikirkan hal-hal serupa itu. Orang-orang Hijaz memang sangat fanatik terhadap orang-orang sedaerahnya, maka lalu Abu Ubaid yang diberangkatkan ke Irak dan dia sendiri berada di bawah pimpinannya. Bersama dialah Abu Ubaid mendapat kemenangan di Namariq, dan sesudah dia dan anak buahnya terbunuh dalam pertempuran di jembatan, dia pula yang mengambil alih memegang bendera dan menarik pasukannya ke Ullais, sambil menunggu datangnya bala bantuan, dan dalam Perang Buwaib dia memimpin pertempuran begitu piawai, yang mengingatkan orang pada peranan Khalid bin Walid dalam menghadapi pertempuran-pertempuran besarnya.

Umar mengangkat Abu Ubaid menjadi atasan Musanna merupakan salah satu langkah pertamanya yang sudah diputuskan oleh Amirulmukminin dalam menyusun sistem kepangkatan di kalangan Muslimin. Kiranya Umar dapat dimaafkan dengan langkahnya itu mengingat Abu Ubaid adalah orang pertama yang maju mencalonkan diri sementara yang lain masih menolak. Tetapi kenyataanhya langkah itu memang sesuai dengan pemikiran Umar. Bukti untuk itu terjadi pada Jarir bin Abdullah al-Bajili yang berangkat setelah Pertempuran Jembatan sebagai bala bantuan kepada Musanna. Setelah diketahui ia berada tak jauh dari posisinya, ditulisnya surat agar ia datang menghadapnya sebab ia dikirim sebagai bala bantuan kepadanya. Tetapi Jarir membalas: "Saya tidak akan melakukan itu kecuali kalau ada perintah dari Amirulmukminin. Anda komandan dan saya juga komandan." Musanna rnenulis surat kepada Umar mengadukan hal Jarir itu. Tetapi Amirulmukminin menjawab: "Saya tidak akan menempatkan Anda di atas salah seorang sahabat Muhammad Sallallahu ‘alaihi wa sallam." Ketika Umar memberangkatkan Sa'd bin Abi Waqqas ke Irak, ia menulis kepada Musanna dan kepada Jarir bahwa Sa'd-lah yang menjadi atasan mereka berdua. Soalnya karena Sa'd termasuk salah seorang yang mula-mula dalam Islam, dan Umar melihat orang yang mula-mula dalam Islam itu merupakan kelas yang harus lebih diutamakan daripada kelas-kelas Muslimin yang lain.

Musanna tidak marah karena yang diangkat itu orang lain, bukan dia; karena dia memang sudah benar-benar beriman, di samping sebagai seorang prajurit sejati yang menjunjung tinggi arti disiplin. Dia sangat menaatinya, dan ia menempatkan disiplin dan iman di atas segala kepentingan pribadi dan keinginannya. Tetapi, kendati dia sudah dipisahkan dari kepemimpinan militer, orang tak dapat menutup mata dari jasanya. Apa yang sudah dicatat dalam lembaran sejarah, tak akan dapat dihapus. Kalau Khalid bin Walid adalah jenius perang dan Saifullah, maka Musanna bin Harisah adalah orang pertama yang membebaskan Irak. Dialah jenderal yang berpengalaman, yang telah memikul beban berat dalam situasi pasukan Muslimin yang paling kritis dan berbahaya. Dialah tokoh bijaksana yang telah mempersatukan masyarakat Arab penduduk Irak, padahal mereka berlainan agama. Maka dengan tindakannya itu ia telah berhasil menghantam pasukan Persia di Buwaib, sehingga mereka tak berkutik lagi dan sejak itu tak pernah lagi memperoleh kemenangan.

Dan yang lebih membanggakan lagi, Musanna menyelesaikan semua itu dalam waktu yang begitu singkat. Abu Ubaid mencapai perbatasan Irak pada permulaan musim rontok tahun 634 M., mendapat kemenangan di Namariq bulan Oktober tahun itu juga dan terbunuh dalam pertempuran di jembatan sekitar akhir-akhir bulan itu. Maka kemudian Musanna yang mengambil alih pimpinan dan ia mendapat kemenangan di Ullais disusul kemenangannya yang telak di Buwaib bulan November. Sekiranya sesudah perang di Buwaib ia mendapat bala bantuan, tentu ia akan memasuki Mada'in dan akan menaklukkannya sebelum akhir tahun itu. Tetapi bala bantuan itu terlambat, dan maut pun mendahuluinya. Dia meninggal, sementara kemenangan yang akan menjadi mahkota kebanggaannya sepanjang masa sudah di ambang pintu.

Sekarang selamat jalan wahai panglima piawai, dalam lindungan Allah! Kini kami akan meninggalkan medan lagamu yang telah mendengungkan dengan bahana kemenanganmu itu. Kami akan menengok Syam, mendampingi sahabatmu Khalid bin Walid! Hendaklah orang semua ingat tahun demi tahun, bahwa Musanna bin Harisah asy-Syaibani seorang pelopor dalam merambah jalan Kedaulatan Islam, di samping selaku pendirinya yang bijak dan kukuh. Dalam pembinaan itu orang tidak akan menutup mata dari jasanya yang besar, bahwa dia bukan orang Kuraisy, juga bukan dari sahabat Rasulullah. Tak pernah lagi ia memegang pimpinan militer sesudah Khalid. Ia memegang pimpinan militer itu dalam Perang Buwaib, yang dalam hal ini keberaniannya sebanding dengan Khalid, atau barangkali lebih lapang dada dan lebih bijaksana dari Khalid.

Catatan Kaki:

  1. Gelar raja-raja keluarga Sasani di Persia yang memegang kekuasaan mutlak, dalam literatur Islam biasa disebut Kisra (Khosrau, Khoesroes). — Pnj.
  2. Kebanyakan nama orang-orang Persia di sekitar istana ini ejaannya saya salin hampir sepenuhnya dari ejaan huruf Arab; hanya sebagian yangditambahkan dalam tanda kurung. — Pnj.
  3. Bahasa Arab menggunakan kata dihqan, duhqan, jamak dahaqin, — atau dihkans dalam ejaan bahasa Inggris — dari kata bahasa Persia. Menurut kamus-kamus bahasa Arab, "kepala desa, kepala distrik, tuan tanah alau pedagang." — Pnj.
  4. At-Tabari dan kalangan sejarawan yang lain menyebutkan bahwa Daumah. istri Abu Ubaid, juga ikut ke Marwahah. Ia bermimpi bahwa ada seorang laki-laki turun dari langit membawa sebuah bejana berisi dari surga. Abu Ubaid dan sahabat-sahabatnya dari Banu Saqif sama-sama minum dari bejana itu. Ketika Daumah menceritakan mimpinya kepada suaminya, ia berkata: Itulah mati syahid. Lalu ia berwasiat mengenai siapa yang akan menggantikannya memimpin pasukan.
  5. Buwaib, sebuah tempat di sebelah Kufah sekarang.
  6. Iftar, berbuka puasa. — Pnj.

(sebelum, sesudah)


Umar bin Khattab
"Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu"
 
Judul asli "Al-Faruq Umar" cetakan ke 7 oleh Muhammad Husain Haekal, Ph.D.,
dengan izin ahli waris, Dr. Ahmad Muhammad Husain Haekal, kepada penerjermah.
diterjemahkan oleh Ali Audah.
Cetakan pertama, April 2000
Diterbitkan oleh P.T. Pustaka Litera AntarNusa
Jln. Arzimar III, Blok B No. 7A, Tel. (0251) 330505, 370505, Fax. (0251) 380505 Bogor 16152.
Jln. Rukem I-19, Rawamangun, Tel./Fax. (021) 4722889, Jakarta 13220.
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang No. 7/1987
ISBN 979-8100-38-7
Anggota IKAPI.
Setting dan kulit luar oleh Litera AntarNusa
Dicetak oleh P.T. IKRAR MANDIRIABADI, Jakarta.
 
Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team