|
6. Abu Ubaid dan Musanna di Irak
(2/3)
Pembalasan Persia dan kekalahan pasukan
Muslimin
Hari itu Abu Ubaid bernafsu sekali ingin menang.
Lebih-lebih lagi karena penolakannya atas saran-saran Salit
bin Qais dan yang lain yang menasihatkan jangan menyeberangi
sungai ke tempat musuh. Sekiranya kemenangan ada pihak di
Persia dan ia sampai kalah menghadapi Persia, niscaya dia
sendiri yang akan menanggung malu, dan malu ini akan melekat
padanya seumur hidup. Karenanya ia gelisah selalu, dan
setiap terjadi perubahan dalam pertempuran, keseimbangannya
terganggu. Ia merasa gembira manakala setiap maju ia melihat
pihak Persia mundur, tetapi kalau dilihatnya mereka maju ia
dicekam perasaan takut mendapat malu lalu ia terjun maju
untung-untungan. Ia merasa puas tatkala melihat pasukannya
menjungkirbalikkan penumpang-penumpang pasukan gajah itu
sehingga tak ada lagi orang yang akan menuntunnya. Tetapi
tak jauh dari tempatnya itu ia melihat seekor gajah putih
besar melenggang-lenggangkan belalainya ke kanan dan ke kiri
sehingga dengan demikian menceraiberaikan pasukan Muslimin
di sekitarnya, dan seolah dia pahlawan besar yang sudah tahu
sasaran yang akan dihantamnya. Abu Ubaid yakin bahwa dengan
membunuh gajah ini akan membuat semangat pasukan Muslimin
bangkit kembali dan pasukan Persia akan terpukul.
Ia melangkah maju, belalai gajah itu ditebasnya dengan
pedangnya. Merasakan pedihnya pukulan pedang, gajah itu
berang sekali sambil menghampiri Abu Ubaid. Ditendangnya
orang ini dengan kakinya dan setelah terhempas jatuh
diinjaknya sambil berdiri di atas tubuh Abu Ubaid sampai ia
menemui ajalnya. Abu Ubaid memang sudah berwasiat, kalau dia
mati, kepemimpinan dipegang oleh tujuh orang dari Banu Saqif
masyarakatnya sendiri secara bergantian dengan
menyebutkan nama-nama mereka. Sesudah yang pertama melihat
musibah yang menimpa pemimpinnya itu, dengan mengambil
bendera menggantikannya ia berusaha menjauhkan gajah itu
dari Abu Ubaid, ditariknya jenazahnya ke tempat pasukan
Muslimin dan dia kembali berusaha hendak membunuh gajah itu,
tetapi seperti Abu Ubaid dia juga menemui ajalnya. Ketujuh
orang Banu Saqif itu berturut-turut masing-masing memegang
bendera dan berjuang terus sampai menemui
ajalnya.4 Sejak itulah semangat mereka menjadi
lemah. Banyak di antara mereka yang kembali ke jembatan,
masing-masing mau menyelamatkan diri. Keberadaan mereka
dengan pasukan itu kini sudah tak ada artinya lagi. Pemimpin
mereka sudah tak ada, disiplin sudah rusak dan barisan
mereka pun sudah kacau-balau.
Melihat keadaan begitu genting Musanna maju merebut
bendera itu. Ia sudah tidak ingin lagi bertempur dan mencari
kemenangan sesudah musibah menimpa pasukan Muslimin. Tetapi
ia ingin menyusun kembali organisasinya lalu menyeberang
sungai kembali ke Marwahah. Setelah itulah ia nanti akan
menentukan langkah. Sementara ia sedang menyusun rencana
akan kembali itu tiba-tiba Abdullah bin Marsad as-Saqafi
merintangi perahu-perahu yang akan menyeberangi jembatan
sambil berteriak sekuat-kuatnya: "Saudara-saudara! Matilah
seperti pemimpin-pemimpin kita, atau menang!" Merasa ngeri
melihat apa yang dilakukan oleh Ibn Marsad, mereka yang
tidak sabar berlompatan terjun ke sungai, dan banyak di
antara mereka yang tenggelam. Musanna khawatir akan terjadi
kekacauan. Ia berdiri sambil berseru dengan bendera di
tangan. "Saudara-saudara! Saya di belakangmu, menyeberanglah
menurut cara-cara kalian dan jangan panik, tidak akan kami
tinggalkan kalian sebelum kami melihat kalian sudah di
seberang!" Setelah Ibn Marsad dijemput dan dibawa ia
mendapat pukulan sebagai hukuman. Kapal yang sudah pecah
dihimpun dan dijadikan jembatan penyeberangan. Mereka mulai
kembali ke tempat semula dengan menyeberanginya. Di belakang
mereka Musanna terus bertempur. Ia dan pasukannya
menghalang-halangi pasukan Persia. Dalam posisinya yang
demikian itu Musanna terkena. sasaran panah sehingga ia
mengalami luka-luka dan meninggalkan sebuah lingkaran di
baju besinya. Tetapi dia terus bertempur bersama Abu Zaid
at-Ta'i an-Nasrani melindungi pasukan Muslimin. Keberanian
Salit bin Qais tidak kurang dari Musanna. Dengan demikian
pasukan Muslimin yang masih ada dapat menyeberang ke
Marwahah. Musanna tidak beranjak di tempatnya tanpa
menghiraukan luka-luka yang dideritanya. Sesudah melihat
rekan-rekannya semua menyeberang, baru ia sendiri bertolak
di belakang mereka, dengan meninggalkan Salit bin Qais yang
gugur sebagai syahid, darahnya bercampur aduk dengan tanah
medan pertempuran yang telah mengubur ribuan pahlawan
Islam.
Coba kita lihat, adakah Bahman Jadhuweh lalu menyeberang
sungai menyusul dan menggempur mereka habis-habisan sehingga
segala pengaruh Muslimin di bumi Irak terkikis habis?!
Ataukah dengan kemenangan telak ini sudah cukup buat dia
dapat membanggakan diri di hadapan Rustum dan Boran serta
semua orang Persia, hal yang tak pernah diperoleh oleh
panglima-panglima lain seperti dia?!
Musanna tidak akan lengah bahwa mungkin Bahman masih akan
membuntutinya. Oleh karenanya, cepat-cepat ia dan pasukannya
meluncur turun dari Marwahah ke Hirah, kemudian terus
menyusur ke selatan menuju Ullais. Pengejarannya ini sudah
diperhitungkannya seribu kali. Mengapa tidak, mengingat
dalam pertempuran itu anggota pasukan Muslirnin sudah begitu
banyak yang terbunuh, tenggelam di Furat dan dua ribu orang
lagi dari Medinah lari menyelamatkan diri! Tetapi mata Abu
Ubaid yang sudah tertutup oleh kedudukan dan oleh besarnya
jumlah orang, sehingga ia terdorong ingin menyeberangi
sungai itu sampai akhirnya dia sendiri menemui ajalnya dan
sekaligus menjerumuskan Muslimin ke dalam malapetaka,
rupanya masih akan melindungi Musanna.
Sementara masih dalam pertempuran itu Bahman mendapat
berita bahwa pasukan Persia di Mada'in terpecah dua,
sebagian berpihak kepada Rustum dan yang sebagian lagi di
pihak Fairuzan menentang Rustum. Itu sebabnya ia dan
pasukannya kembali ke ibu kota. Yang masih tinggal hanya
Javan dan Mardan Syah dengan sejumlah kecil pasukan. Kedua
pasukan inilah yang mengejar Musanna dengan anggapan bahwa
mereka mampu menghadapinya. Mengenai berita-berita sekitar
Persia oleh penduduk Ullais disampaikan kepada Musanna. Ia
dan pasukannya disertai sejumlah besar penduduk Ullais
segera bergerak, dan berhasil menawan Javan dan Mardan Syah.
Mereka semua akhirnya dibunuh. Dengan demikian Javan menemui
ajalnya sebagai akibat pengkhianatannya kepada Abu Ubaid
ketika ditawan di Namariq, ia pun dilindungi setelah meminta
perlindungan kepada yang menawannya. Bahwa kefhudian Javan
berkhianat dan menyalahi janji dengan memerangi kembali
pihak Muslirnin, maka hukuman mati ini sungguh adil
sekali.
Pertama sekali pasukan Muslirnin yang ikut menyaksikan
Perang Jembatan memasuki Medinah ialah Abdullah bin Zaid.
Umar melihatnya ketika ia memasuki Masjid. Ada apa,
Abdullah? tanya Umar kemudian. Abdullah melaporkan semua
berita itu kepada Umar, tetapi Umar menerima berita itu
dengan sikap tenang, tidak tampak sedih. Kemudian menyusul
datang mereka yang lari dari medan pertempuran itu ke
Medinah dengan kepala menekur karena rasa malu atas
kekalahan yang mereka alami sampai mereka melarikan diri
itu. Yang lain, yang juga lari, mereka turun ke
lembah-lembah karena malu akan menemui keluarga, yang akan
menganggap mereka pengecut. Melihat keadaan mereka Umar
merasa kasihan. Ia berusaha menghibur dan membela mereka
dari kritik dan kemarahan orang, dengan mengatakan: "Setiap
Muslim sudah dibebaskan dari sumpahnya kepadaku. Saya adalah
pasukan setiap Muslim. Barang siapa menjumpai musuh lalu
merasa ngeri maka sayalah pasukannya. Saudara-saudara
Muslirnin, janganlah kalian bersedih hati! Saya termasuk
pasukanmu dan kalian telah bergabung kembali kepada saya.
Semoga Allah mengampuni Abu Ubaid! Sekiranya dia bergabung
kepada saya niscaya sayalah pasukannya." Ketika itu Mu'az
penghafal Qur'an dari Banu Najjar termasuk yang melarikan
diri ke Medinah dari pertempuran di jembatan itu. Dia
menangis setiap membaca firman Allah ini: Barang siapa
berbalik ke belakang hari itu kecuali untuk suatu
muslihat perang atau mundur ke pasukan sendiri ia
akan mendapat kemurkaan Allah, dan tempatnya adalah neraka,
tempat kembali yang terburuk. Untuk itu Umar berkata:
"Mu'az, janganlah menangis. Saya pasukan Anda, Anda mundur
berarti kembali kepada saya."
Sikap Umar terhadap mereka yang lari dan kembali ke
Medinah sesudah mengalami kekalahan di jembatan,
mengingatkan kita kepada sikap Rasulullah terhadap pasukan
Muslimin yang kembali dari ekspedisi Mu'tah setelah
perwira-perwira mereka terbunuh. Khalid bin Walid mulai
menyusun siasat perangnya dengan anggota pasukan yang masih
ada, - kemudian kembali ke Medinah tanpa dapat mengalahkan
musuh. Penduduk Medinah berdatangan menaburkan tanah kepada
pasukan itu seraya mengatakan: "Hai orang-orang pelarian!
Kamu lari dari jalan Allah!" Tetapi Rasulullah berkata:
"Mereka bukan pelarian, tetapi orang-orang yang akan tampil
kembali, insya Allah." Tetapi mundurnya Muslimin di Mu'tah
tidak seperti kehancuran Muslimin di jembatan itu, sangat
mengerikan dan akibatnya buruk sekali. Juga sikap Umar tidak
seperti sikap Rasulullah yang penuh kasih sayang dan lembah
lembut. Sungguhpun begitu, Umar cukup belas kasihan kepada
yang sudah mengalami malapetaka di jembatan itu, bahkan ia
menempatkan diri sebagai pasukan mereka, di pihak mereka dan
membela mereka. Dengan memperlihatkan sikap kasih sayang
itu, mereka dapat dibuat lebih tenang dan beban aib karena
kekalahan itu terasa lebih ringan. Tidak heran, dia sudah
menjadi pemimpin mereka, menjadi Amirulmukminin, ia harus
bersikap penuh kasih dan lebih menyantuni mereka.
Lebih-lebih belas kasihannya kepada kaum yang lemah, kendati
terhadap kaum yang kuat ia tetap tegar dan keras, dan
memperlihatkan tangan besi terhadap orang-orang yang
zalim.
Demikian keadaan Umar dan mereka yang berbalik dari
pertempuran Jembatan itu. Tetapi Musanna selama beberapa
waktu masih bertahan di Ullais setelah Javan, Mardan Syah
dan pasukannya dihancurkan. Sesudah beristirahat dan
mengumpulkan pasukannya, sekarang pikirannya mengenai
posisinya terhadap Irak dan nasib umat Islam di sana. Sudah
tentu ini merupakan hal yang sungguh rumit. Bilamana keadaan
di istana Mada'in sudah kembali tenang, maka pasukan yang
penuh sesak didahului pasukan gajah akan kembali lagi
menyerangnya. Apa yang harus ia lakukan? Adakah takdir nanti
akan menentukan bahwa kekuasaan para kisra itu sudah akan
kembali hidup lagi? Kalau itu juga yang menjadi ketentuan
Allah, maka dia dan pasukannya tak dapat lagi tinggal di
Irak. Tak ada jalan lain ia harus menarik diri, seperti
mereka yang dulu sudah menarik diri dan lari ke Medinah, dan
dia sendiri kembali ke tanah kabilahnya Banu Bakr bin Wa'il,
tinggal di Bahrain menghabiskan sisa umurnya.
Tetapi Musanna, seperti dikatakan oleh Qais bin Asim
al-Minqari ketika ditanya oleh Abu Bakr tentang orang ini,
"Dia bukan orang yang tidak dikenal, asal usulnya diketahui,
juga bukan orang yang hina. Dia Musanna bin Harisah
asy-Syaibani."
Di Irak ia pernah memegang peranan besar, yang tidak
kurang rumit dan gawatnya dari peranannya yang sekarang.
Ketika pertama kali ia datang dari Bahrain ke Delta
Mesopotamia keadaan memang sudah seperti itu, yaitu sebelum
Abu Bakr mengirimkan bala bantuan dengan Khalid bin Walid.
Posisinya itu makin genting tatkala Khalid harus
meninggalkan Irak pergi ke Syam untuk memberi pelajaran
kepada Runiuwi agar melupakan bisikan setan. Itulah
wataknya, laki-laki yang tidak mudah menyerah atau
menjerumuskan diri karena takut menghadapi masa depan yang
masih gelap, tetapi dia laki-laki yang kuat yang mau
menghadapi masa depan untuk membimbing jaiannya sejarah.
Akan diatasinya bencana itu sesuai dengan apa yang
diketahuinya sebagai seorang jenderal yang teliti, tekun dan
berpengalaman. Dia yakin Khalifah akan mengirimkan bala
bantuan. Yang pantas untuk menghadapi perang hanya orang
yang dapat menguasai diri, tenang.
Begitulah Musanna, ia berdiri tegak, kukuh dan tabah. Dia
menghadapi masa-masa hitam akibat Perang Jembatan yang
hampir mengikis habis kekuasaan Muslimin di Irak. Tidak
cukup hanya dengan mengutus orang meminta bala bantuan
kepada Umar, karena kedatangan pasukan dari Medinah akan
memakan waktu lama, tetapi sesudah itu dikirimnya pula
kabilah-kabilah Arab sehingga jumlahnya menjadi besar,
terdapat di antaranya kaum Nasrani Banu Namr, yang pernah
berkata: Kami akan bertempur bersama golongan kami. Mereka
lalu memindahkan markasnya dari Ullais ke Marj as-Sibakh
yang terletak di antara Kadisiah dengan Khaffan
supaya berdekatan dengan perbatasan orang-orang Arab.
Kami akan berlindung kepada mereka jika dikalahkan oleh
Persia, dan akan memberi bala bantuan baru jika Persia yang
dikalahkan. Perlu sekali mendapat bala bantuan untuk
melanjutkan keberhasilannya. Di markasnya di Marj Sibakh
sudah berkumpul sejumlah besar tentara. Ia sudah merasa
tenang. Ia tinggal di tengahtengah mereka sambil menantikan
keputusan Allah, apa yang akan terjadi terhadap Persia dan
terhadap dirinya.
Sesudah Perang Jembatan itu Umar bin Khattab tak kurang
gelisahnya dari Musanna memikirkan keadaan Muslimin di Irak.
Ia tidak lupa bahwa Musanna memang sangat memerlukan bala
bantuan secepatnya untuk menghadapi situasi yang sungguh
genting itu. Dalam pada itu orang-orang Arab sudah
berdatangan ke Medinah dari segenap penjuru Semenanjung
Arab, memenuhi seruan Khalifah sejak dicabutnya ancaman bagi
kaum murtad yang telah memperlihatkan tobatnya. Oleh Umar
mereka dimobilisasi ke Irak. Hanya saja mereka masih mau
saling menghindar dan agak segan-segan. Mereka lebih
memperlihatkan keinginan tampil ke Syam dan ikut berperang
di sana. Tetapi di Syam Khalid bin Walid sudah mendapat
kemenangan menghadapi pihak Rumawi yang dipergokinya di
Yarmuk. Ia tidak memerlukan bala bantuan. Oleh karena itu
Umar tidak ingin mengirimkan mereka ke Syam, dan tak ada
pula orang yang berminat tampil ke Irak. Tatkala itu Jarir
bin Abdullah al-Bajili datang menemui Abu Bakr di masa
kekhalifahannya. Disebutnya perjanjian yang diadakannya
dengan Rasulullah untuk mengumpulkan kabilah Bajilah yang
terpencar-pencar di beberapa kabilah. Tetapi oleh Abu Bakr
dijawab: "Anda mengganggu kami dalam keadaan kami sekarang
mau menolong pasukan Muslimin yang sedang menghadapi dua
singa raksasa, Persia dan Rumawi. Di samping itu Anda mau
membebani saya dengan pekerjaan yang tak akan mendapat rida
Allah dan Rasul-Nya. Baiklah, sekarang Anda pergi kepada
Khalid bin Walid sambil menunggu ketentuan Allah mengenai
kedua persoalan ini."
Sesudah Umar memegang tampuk pimpinan umat Jarir
mengulangi lagi janji dengan Rasulullah itu, dengan
mengemukakan bukti yang kuat. Umar lalu menulis surat kepada
wakil-wakilnya. Sekarang Banu Bajilah sudah dipersamakan.
Setelah mereka berkumpul Umar berkata kepada Jarir:
"Berangkatlah kalian menyusul Musanna."
"Tetapi kami ingin ke Syam karena leluhur kami di sana,"
kata Jarir. "Tidak, ke Irak saja," kata Umar lagi. "Di Syam
sudah cukup."
Sementara itu Umar masih dengan Banu Bajilah yang enggan
berangkat ke Irak. Setelah mendapat tambahan seperempat dari
seperlima (khums) rampasan perang yang diperoleh pasukan
Muslimin barulah mereka setuju berangkat ke Irak, dan
pasukan itu dipimpin oleh Jarir. Melihat apa yang dilakukan
oleh Banu Bajilah itu yang lain pun ingin seperti mereka.
Mereka yang lari dari pertempuran di jembatan di depan
sekali, diikuti oleh Banu Azd yang dipimpin oleh Arfajah bin
Harsamah, dan Banu Kinanah di bawah pimpinan Galib bin
Abdullah, dan sekian banyak lagi yang lain dari berbagai
kabilah. Sekarang mereka semua berangkat dengan membawa
istri dan anak-anak mereka, bertolak menuju Irak untuk
bergabung dengan pasukan Musanna sebagai bala bantuan.
Musanna bertahan, bala bantuan Umar dan
para kabilah
Demikian ini posisi Umar di Medinah, dan demikian juga
posisi Musanna di Irak. Lalu bagaimana posisi Persia di
Mada'in? Berita-berita mengenai adanya bala bantuan yang
datang berturut-turut ke Irak sampai juga kepada pihak
Persia. Mereka merasa takut juga sebab mereka menyadari
bahaya yang sedang mengintai. Oleh karenanya, Rustum dan
Fairuzan kini berbagi kekuasaan. Mereka membentuk gabungan
pasukan yang besar di bawah pimpinan Mehran Hamazani. Mereka
memerintahkan Mehran segera berangkat untuk menghadapi
pasukan Muslimin yang siap menyerang. Angkatan perang ini
berangkat didahului oleh pasukan gajah. Mehran sendiri orang
yang paling berambisi hendak mencetak kemenangan yang akan
membuat orang-orang Persia lupa akan kemenangan Bahman dalam
Pertempuran Jembatan. Keberangkatan pasukan ini pun
diketahui oleh Musanna sementara ia berada di markasnya di
Marj Sibakh. Ia mengirim surat kepada Jarir bin Abdullah dan
pemimpin-pemimpin yang lain yang datang hendak memberikan
bantuan dengan mengatakan: "Kami menghadapi suatu masalah
yang harus kami pecahkan sebelum kalian datang kepada kami.
Maka segeralah susul kami. Sampai bertemu di
Buwaib."5 Kemudian ia berangkat dengan angkatan
bersenjatanya hingga mencapai Buwaib di pantai Furat, tempat
semua pasukan Muslimin berkumpul. Mehran juga bergerak
dengan angkatan bersenjatanya hingga berhadapan langsung
dengan pasukan Muslimin, yang hanya dibatasi oleh
sungai.
Musanna merasa lega setelah memeriksa barisan angkatan
bersenjatanya. Kendati ia tak mempunyai pasukan gajah
seperti pada pasukan Persia, namun bala bantuan dari semua
kekuatan di Semenanjung Arab dan di luarnya yang sekarang
bergabung, sudah cukup mewakili. Di antaranya bala bantuan
yang diminta oleh Musanna ketika ia masih di Ullais,
termasuk Bajilah, Azd, Kinanah dan kabilah-kabilah Arab yang
lain yang telah memenuhi seruan Abu Bakr; ada Banu Namir,
orang-orang Nasrani yang datang bersama Anas bin Hilal dan
kaum Nasrani Taglib yang juga datang bersama Ibn Mirda
al-Fihr atTaglabi, dan para pemacu kuda. Selain mereka ada
pula beberapa kabilah Arab lain yang tinggal di Irak. Mereka
semua melihat posisi Arab yang berhadapan dengan orang asing
Persia. Mereka berteriak: Kita berperang bersama golongan
kita. Tidak sedikit dari kaum Nasrani Irak yang dipersatukan
oleh ikatan etnis bergabung dalam barisan Muslimin dan ikut
berperang.
Perjalanan pasukan Persia hendak
menghadapi pasukan Muslimin
Mehran mengirim utusan kepada Musanna dengan pesan:
"Kalian menyeberang ke tempat kami, atau biarkan kami
menyeberang ke tempat kalian." Musanna belum lupa apa yang
telah menimpa Abu Ubaid ketika ia menyeberangi sungai dan
berhadapan dengan Bahman. Umar mengimbaunya setelah
peristiwa jembatan itu untuk tidak menyeberangi sungai
sebelum mencapai kemenangan. Oleh karena itu ia membalas
seruan Mehran dengan mengatakan agar mereka yang
menyeberang. Sekarang pihak Persia yang menyeberang ke
Buwaib dengan mempersiapkan tiga barisan masing-masing
dengan seekor gajah.
Musanna pun menyambut mereka dengan kudanya yang diberi
nama Syamus, yang dinaikinya hanya untuk berperang. Selesai
perang kembali dikandangkan. Kuda itu diberi nama Syamus
karena sangat penurut. Dengan kudanya itu Musanna memeriksa
barisan demi barisan sambil memberi semangat dan perintah
dengan sebaik-baiknya. Pada setiap panji ia berhenti sambil
berkata: "Saya mengharapkan sekali pasukan kita jangan
sampai dihancurkan oleh kita sendiri. Apa yang akan
menyenangkan hati saya hari ini berarti juga akan
menyenangkan hatimu semua." Kata-katanya itu disambut baik
oleh mereka. Mengingat waktu bulan Ramadan, ia berseru
kepada pasukan Muslimin: "Saudara-saudara. Kalian semua
sedang berpuasa, tetapi puasa dapat melemahkan badan kita.
Saya berpendapat lebih baik kalian iftar6 supaya
dengan makanan kalian lebih kuat menghadapi musuh. Memenuhi
sarannya itu mereka semua beriftar. Musanna mendengar
dengungan suara yang diulang-ulang dari pihak Persia yang
makin mendekat. "Yang kalian dengar itu menandakan mereka
pengecut. Maka tetaplah kalian diam, dan berbicaralah dengan
berbisik."
Mereka memperhatikan apa yang dikatakan Musanna itu.
Segala yang diperbuatnya atau dikatakannya yang ditujukan
kepada mereka, semua mereka sambut tanpa ada kritik. Malah
ia makin dekat di hati mereka. Kata Musanna lagi: "Saya akan
bertakbir tiga kali. Maka siap-siaplah kalian, kemudian pada
takbir yang keempat serentak seranglah."
Panji-panji sudah disiapkan semua sambil menunggu
serangan kepada musuh. Itulah saat yang sangat
dinanti-nantikan dengan harapan mendapat kemenangan.
|