Umar bin Khattab

oleh Muhammad Husain Haekal

Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

6. Abu Ubaid dan Musanna di Irak (2/3)

Pembalasan Persia dan kekalahan pasukan Muslimin

Hari itu Abu Ubaid bernafsu sekali ingin menang. Lebih-lebih lagi karena penolakannya atas saran-saran Salit bin Qais dan yang lain yang menasihatkan jangan menyeberangi sungai ke tempat musuh. Sekiranya kemenangan ada pihak di Persia dan ia sampai kalah menghadapi Persia, niscaya dia sendiri yang akan menanggung malu, dan malu ini akan melekat padanya seumur hidup. Karenanya ia gelisah selalu, dan setiap terjadi perubahan dalam pertempuran, keseimbangannya terganggu. Ia merasa gembira manakala setiap maju ia melihat pihak Persia mundur, tetapi kalau dilihatnya mereka maju ia dicekam perasaan takut mendapat malu lalu ia terjun maju untung-untungan. Ia merasa puas tatkala melihat pasukannya menjungkirbalikkan penumpang-penumpang pasukan gajah itu sehingga tak ada lagi orang yang akan menuntunnya. Tetapi tak jauh dari tempatnya itu ia melihat seekor gajah putih besar melenggang-lenggangkan belalainya ke kanan dan ke kiri sehingga dengan demikian menceraiberaikan pasukan Muslimin di sekitarnya, dan seolah dia pahlawan besar yang sudah tahu sasaran yang akan dihantamnya. Abu Ubaid yakin bahwa dengan membunuh gajah ini akan membuat semangat pasukan Muslimin bangkit kembali dan pasukan Persia akan terpukul.

Ia melangkah maju, belalai gajah itu ditebasnya dengan pedangnya. Merasakan pedihnya pukulan pedang, gajah itu berang sekali sambil menghampiri Abu Ubaid. Ditendangnya orang ini dengan kakinya dan setelah terhempas jatuh diinjaknya sambil berdiri di atas tubuh Abu Ubaid sampai ia menemui ajalnya. Abu Ubaid memang sudah berwasiat, kalau dia mati, kepemimpinan dipegang oleh tujuh orang dari Banu Saqif — masyarakatnya sendiri — secara bergantian dengan menyebutkan nama-nama mereka. Sesudah yang pertama melihat musibah yang menimpa pemimpinnya itu, dengan mengambil bendera menggantikannya ia berusaha menjauhkan gajah itu dari Abu Ubaid, ditariknya jenazahnya ke tempat pasukan Muslimin dan dia kembali berusaha hendak membunuh gajah itu, tetapi seperti Abu Ubaid dia juga menemui ajalnya. Ketujuh orang Banu Saqif itu berturut-turut masing-masing memegang bendera dan berjuang terus sampai menemui ajalnya.4 Sejak itulah semangat mereka menjadi lemah. Banyak di antara mereka yang kembali ke jembatan, masing-masing mau menyelamatkan diri. Keberadaan mereka dengan pasukan itu kini sudah tak ada artinya lagi. Pemimpin mereka sudah tak ada, disiplin sudah rusak dan barisan mereka pun sudah kacau-balau.

Melihat keadaan begitu genting Musanna maju merebut bendera itu. Ia sudah tidak ingin lagi bertempur dan mencari kemenangan sesudah musibah menimpa pasukan Muslimin. Tetapi ia ingin menyusun kembali organisasinya lalu menyeberang sungai kembali ke Marwahah. Setelah itulah ia nanti akan menentukan langkah. Sementara ia sedang menyusun rencana akan kembali itu tiba-tiba Abdullah bin Marsad as-Saqafi merintangi perahu-perahu yang akan menyeberangi jembatan sambil berteriak sekuat-kuatnya: "Saudara-saudara! Matilah seperti pemimpin-pemimpin kita, atau menang!" Merasa ngeri melihat apa yang dilakukan oleh Ibn Marsad, mereka yang tidak sabar berlompatan terjun ke sungai, dan banyak di antara mereka yang tenggelam. Musanna khawatir akan terjadi kekacauan. Ia berdiri sambil berseru dengan bendera di tangan. "Saudara-saudara! Saya di belakangmu, menyeberanglah menurut cara-cara kalian dan jangan panik, tidak akan kami tinggalkan kalian sebelum kami melihat kalian sudah di seberang!" Setelah Ibn Marsad dijemput dan dibawa ia mendapat pukulan sebagai hukuman. Kapal yang sudah pecah dihimpun dan dijadikan jembatan penyeberangan. Mereka mulai kembali ke tempat semula dengan menyeberanginya. Di belakang mereka Musanna terus bertempur. Ia dan pasukannya menghalang-halangi pasukan Persia. Dalam posisinya yang demikian itu Musanna terkena. sasaran panah sehingga ia mengalami luka-luka dan meninggalkan sebuah lingkaran di baju besinya. Tetapi dia terus bertempur bersama Abu Zaid at-Ta'i an-Nasrani melindungi pasukan Muslimin. Keberanian Salit bin Qais tidak kurang dari Musanna. Dengan demikian pasukan Muslimin yang masih ada dapat menyeberang ke Marwahah. Musanna tidak beranjak di tempatnya tanpa menghiraukan luka-luka yang dideritanya. Sesudah melihat rekan-rekannya semua menyeberang, baru ia sendiri bertolak di belakang mereka, dengan meninggalkan Salit bin Qais yang gugur sebagai syahid, darahnya bercampur aduk dengan tanah medan pertempuran yang telah mengubur ribuan pahlawan Islam.

Coba kita lihat, adakah Bahman Jadhuweh lalu menyeberang sungai menyusul dan menggempur mereka habis-habisan sehingga segala pengaruh Muslimin di bumi Irak terkikis habis?! Ataukah dengan kemenangan telak ini sudah cukup buat dia dapat membanggakan diri di hadapan Rustum dan Boran serta semua orang Persia, hal yang tak pernah diperoleh oleh panglima-panglima lain seperti dia?!

Musanna tidak akan lengah bahwa mungkin Bahman masih akan membuntutinya. Oleh karenanya, cepat-cepat ia dan pasukannya meluncur turun dari Marwahah ke Hirah, kemudian terus menyusur ke selatan menuju Ullais. Pengejarannya ini sudah diperhitungkannya seribu kali. Mengapa tidak, mengingat dalam pertempuran itu anggota pasukan Muslirnin sudah begitu banyak yang terbunuh, tenggelam di Furat dan dua ribu orang lagi dari Medinah lari menyelamatkan diri! Tetapi mata Abu Ubaid yang sudah tertutup oleh kedudukan dan oleh besarnya jumlah orang, sehingga ia terdorong ingin menyeberangi sungai itu sampai akhirnya dia sendiri menemui ajalnya dan sekaligus menjerumuskan Muslimin ke dalam malapetaka, rupanya masih akan melindungi Musanna.

Sementara masih dalam pertempuran itu Bahman mendapat berita bahwa pasukan Persia di Mada'in terpecah dua, sebagian berpihak kepada Rustum dan yang sebagian lagi di pihak Fairuzan menentang Rustum. Itu sebabnya ia dan pasukannya kembali ke ibu kota. Yang masih tinggal hanya Javan dan Mardan Syah dengan sejumlah kecil pasukan. Kedua pasukan inilah yang mengejar Musanna dengan anggapan bahwa mereka mampu menghadapinya. Mengenai berita-berita sekitar Persia oleh penduduk Ullais disampaikan kepada Musanna. Ia dan pasukannya disertai sejumlah besar penduduk Ullais segera bergerak, dan berhasil menawan Javan dan Mardan Syah. Mereka semua akhirnya dibunuh. Dengan demikian Javan menemui ajalnya sebagai akibat pengkhianatannya kepada Abu Ubaid ketika ditawan di Namariq, ia pun dilindungi setelah meminta perlindungan kepada yang menawannya. Bahwa kefhudian Javan berkhianat dan menyalahi janji dengan memerangi kembali pihak Muslirnin, maka hukuman mati ini sungguh adil sekali.

Pertama sekali pasukan Muslirnin yang ikut menyaksikan Perang Jembatan memasuki Medinah ialah Abdullah bin Zaid. Umar melihatnya ketika ia memasuki Masjid. Ada apa, Abdullah? tanya Umar kemudian. Abdullah melaporkan semua berita itu kepada Umar, tetapi Umar menerima berita itu dengan sikap tenang, tidak tampak sedih. Kemudian menyusul datang mereka yang lari dari medan pertempuran itu ke Medinah dengan kepala menekur karena rasa malu atas kekalahan yang mereka alami sampai mereka melarikan diri itu. Yang lain, yang juga lari, mereka turun ke lembah-lembah karena malu akan menemui keluarga, yang akan menganggap mereka pengecut. Melihat keadaan mereka Umar merasa kasihan. Ia berusaha menghibur dan membela mereka dari kritik dan kemarahan orang, dengan mengatakan: "Setiap Muslim sudah dibebaskan dari sumpahnya kepadaku. Saya adalah pasukan setiap Muslim. Barang siapa menjumpai musuh lalu merasa ngeri maka sayalah pasukannya. Saudara-saudara Muslirnin, janganlah kalian bersedih hati! Saya termasuk pasukanmu dan kalian telah bergabung kembali kepada saya. Semoga Allah mengampuni Abu Ubaid! Sekiranya dia bergabung kepada saya niscaya sayalah pasukannya." Ketika itu Mu'az penghafal Qur'an dari Banu Najjar termasuk yang melarikan diri ke Medinah dari pertempuran di jembatan itu. Dia menangis setiap membaca firman Allah ini: Barang siapa berbalik ke belakang hari itu — kecuali untuk suatu muslihat perang atau mundur ke pasukan sendiri — ia akan mendapat kemurkaan Allah, dan tempatnya adalah neraka, tempat kembali yang terburuk. Untuk itu Umar berkata: "Mu'az, janganlah menangis. Saya pasukan Anda, Anda mundur berarti kembali kepada saya."

Sikap Umar terhadap mereka yang lari dan kembali ke Medinah sesudah mengalami kekalahan di jembatan, mengingatkan kita kepada sikap Rasulullah terhadap pasukan Muslimin yang kembali dari ekspedisi Mu'tah setelah perwira-perwira mereka terbunuh. Khalid bin Walid mulai menyusun siasat perangnya dengan anggota pasukan yang masih ada, - kemudian kembali ke Medinah tanpa dapat mengalahkan musuh. Penduduk Medinah berdatangan menaburkan tanah kepada pasukan itu seraya mengatakan: "Hai orang-orang pelarian! Kamu lari dari jalan Allah!" Tetapi Rasulullah berkata: "Mereka bukan pelarian, tetapi orang-orang yang akan tampil kembali, insya Allah." Tetapi mundurnya Muslimin di Mu'tah tidak seperti kehancuran Muslimin di jembatan itu, sangat mengerikan dan akibatnya buruk sekali. Juga sikap Umar tidak seperti sikap Rasulullah yang penuh kasih sayang dan lembah lembut. Sungguhpun begitu, Umar cukup belas kasihan kepada yang sudah mengalami malapetaka di jembatan itu, bahkan ia menempatkan diri sebagai pasukan mereka, di pihak mereka dan membela mereka. Dengan memperlihatkan sikap kasih sayang itu, mereka dapat dibuat lebih tenang dan beban aib karena kekalahan itu terasa lebih ringan. Tidak heran, dia sudah menjadi pemimpin mereka, menjadi Amirulmukminin, ia harus bersikap penuh kasih dan lebih menyantuni mereka. Lebih-lebih belas kasihannya kepada kaum yang lemah, kendati terhadap kaum yang kuat ia tetap tegar dan keras, dan memperlihatkan tangan besi terhadap orang-orang yang zalim.

Demikian keadaan Umar dan mereka yang berbalik dari pertempuran Jembatan itu. Tetapi Musanna selama beberapa waktu masih bertahan di Ullais setelah Javan, Mardan Syah dan pasukannya dihancurkan. Sesudah beristirahat dan mengumpulkan pasukannya, sekarang pikirannya mengenai posisinya terhadap Irak dan nasib umat Islam di sana. Sudah tentu ini merupakan hal yang sungguh rumit. Bilamana keadaan di istana Mada'in sudah kembali tenang, maka pasukan yang penuh sesak didahului pasukan gajah akan kembali lagi menyerangnya. Apa yang harus ia lakukan? Adakah takdir nanti akan menentukan bahwa kekuasaan para kisra itu sudah akan kembali hidup lagi? Kalau itu juga yang menjadi ketentuan Allah, maka dia dan pasukannya tak dapat lagi tinggal di Irak. Tak ada jalan lain ia harus menarik diri, seperti mereka yang dulu sudah menarik diri dan lari ke Medinah, dan dia sendiri kembali ke tanah kabilahnya Banu Bakr bin Wa'il, tinggal di Bahrain menghabiskan sisa umurnya.

Tetapi Musanna, seperti dikatakan oleh Qais bin Asim al-Minqari ketika ditanya oleh Abu Bakr tentang orang ini, "Dia bukan orang yang tidak dikenal, asal usulnya diketahui, juga bukan orang yang hina. Dia Musanna bin Harisah asy-Syaibani."

Di Irak ia pernah memegang peranan besar, yang tidak kurang rumit dan gawatnya dari peranannya yang sekarang. Ketika pertama kali ia datang dari Bahrain ke Delta Mesopotamia keadaan memang sudah seperti itu, yaitu sebelum Abu Bakr mengirimkan bala bantuan dengan Khalid bin Walid. Posisinya itu makin genting tatkala Khalid harus meninggalkan Irak pergi ke Syam untuk memberi pelajaran kepada Runiuwi agar melupakan bisikan setan. Itulah wataknya, laki-laki yang tidak mudah menyerah atau menjerumuskan diri karena takut menghadapi masa depan yang masih gelap, tetapi dia laki-laki yang kuat yang mau menghadapi masa depan untuk membimbing jaiannya sejarah. Akan diatasinya bencana itu sesuai dengan apa yang diketahuinya sebagai seorang jenderal yang teliti, tekun dan berpengalaman. Dia yakin Khalifah akan mengirimkan bala bantuan. Yang pantas untuk menghadapi perang hanya orang yang dapat menguasai diri, tenang.

Begitulah Musanna, ia berdiri tegak, kukuh dan tabah. Dia menghadapi masa-masa hitam akibat Perang Jembatan yang hampir mengikis habis kekuasaan Muslimin di Irak. Tidak cukup hanya dengan mengutus orang meminta bala bantuan kepada Umar, karena kedatangan pasukan dari Medinah akan memakan waktu lama, tetapi sesudah itu dikirimnya pula kabilah-kabilah Arab sehingga jumlahnya menjadi besar, terdapat di antaranya kaum Nasrani Banu Namr, yang pernah berkata: Kami akan bertempur bersama golongan kami. Mereka lalu memindahkan markasnya dari Ullais ke Marj as-Sibakh — yang terletak di antara Kadisiah dengan Khaffan — supaya berdekatan dengan perbatasan orang-orang Arab. Kami akan berlindung kepada mereka jika dikalahkan oleh Persia, dan akan memberi bala bantuan baru jika Persia yang dikalahkan. Perlu sekali mendapat bala bantuan untuk melanjutkan keberhasilannya. Di markasnya di Marj Sibakh sudah berkumpul sejumlah besar tentara. Ia sudah merasa tenang. Ia tinggal di tengahtengah mereka sambil menantikan keputusan Allah, apa yang akan terjadi terhadap Persia dan terhadap dirinya.

Sesudah Perang Jembatan itu Umar bin Khattab tak kurang gelisahnya dari Musanna memikirkan keadaan Muslimin di Irak. Ia tidak lupa bahwa Musanna memang sangat memerlukan bala bantuan secepatnya untuk menghadapi situasi yang sungguh genting itu. Dalam pada itu orang-orang Arab sudah berdatangan ke Medinah dari segenap penjuru Semenanjung Arab, memenuhi seruan Khalifah sejak dicabutnya ancaman bagi kaum murtad yang telah memperlihatkan tobatnya. Oleh Umar mereka dimobilisasi ke Irak. Hanya saja mereka masih mau saling menghindar dan agak segan-segan. Mereka lebih memperlihatkan keinginan tampil ke Syam dan ikut berperang di sana. Tetapi di Syam Khalid bin Walid sudah mendapat kemenangan menghadapi pihak Rumawi yang dipergokinya di Yarmuk. Ia tidak memerlukan bala bantuan. Oleh karena itu Umar tidak ingin mengirimkan mereka ke Syam, dan tak ada pula orang yang berminat tampil ke Irak. Tatkala itu Jarir bin Abdullah al-Bajili datang menemui Abu Bakr di masa kekhalifahannya. Disebutnya perjanjian yang diadakannya dengan Rasulullah untuk mengumpulkan kabilah Bajilah yang terpencar-pencar di beberapa kabilah. Tetapi oleh Abu Bakr dijawab: "Anda mengganggu kami dalam keadaan kami sekarang mau menolong pasukan Muslimin yang sedang menghadapi dua singa raksasa, Persia dan Rumawi. Di samping itu Anda mau membebani saya dengan pekerjaan yang tak akan mendapat rida Allah dan Rasul-Nya. Baiklah, sekarang Anda pergi kepada Khalid bin Walid sambil menunggu ketentuan Allah mengenai kedua persoalan ini."

Sesudah Umar memegang tampuk pimpinan umat Jarir mengulangi lagi janji dengan Rasulullah itu, dengan mengemukakan bukti yang kuat. Umar lalu menulis surat kepada wakil-wakilnya. Sekarang Banu Bajilah sudah dipersamakan. Setelah mereka berkumpul Umar berkata kepada Jarir: "Berangkatlah kalian menyusul Musanna."

"Tetapi kami ingin ke Syam karena leluhur kami di sana," kata Jarir. "Tidak, ke Irak saja," kata Umar lagi. "Di Syam sudah cukup."

Sementara itu Umar masih dengan Banu Bajilah yang enggan berangkat ke Irak. Setelah mendapat tambahan seperempat dari seperlima (khums) rampasan perang yang diperoleh pasukan Muslimin barulah mereka setuju berangkat ke Irak, dan pasukan itu dipimpin oleh Jarir. Melihat apa yang dilakukan oleh Banu Bajilah itu yang lain pun ingin seperti mereka. Mereka yang lari dari pertempuran di jembatan di depan sekali, diikuti oleh Banu Azd yang dipimpin oleh Arfajah bin Harsamah, dan Banu Kinanah di bawah pimpinan Galib bin Abdullah, dan sekian banyak lagi yang lain dari berbagai kabilah. Sekarang mereka semua berangkat dengan membawa istri dan anak-anak mereka, bertolak menuju Irak untuk bergabung dengan pasukan Musanna sebagai bala bantuan.

Musanna bertahan, bala bantuan Umar dan para kabilah

Demikian ini posisi Umar di Medinah, dan demikian juga posisi Musanna di Irak. Lalu bagaimana posisi Persia di Mada'in? Berita-berita mengenai adanya bala bantuan yang datang berturut-turut ke Irak sampai juga kepada pihak Persia. Mereka merasa takut juga sebab mereka menyadari bahaya yang sedang mengintai. Oleh karenanya, Rustum dan Fairuzan kini berbagi kekuasaan. Mereka membentuk gabungan pasukan yang besar di bawah pimpinan Mehran Hamazani. Mereka memerintahkan Mehran segera berangkat untuk menghadapi pasukan Muslimin yang siap menyerang. Angkatan perang ini berangkat didahului oleh pasukan gajah. Mehran sendiri orang yang paling berambisi hendak mencetak kemenangan yang akan membuat orang-orang Persia lupa akan kemenangan Bahman dalam Pertempuran Jembatan. Keberangkatan pasukan ini pun diketahui oleh Musanna sementara ia berada di markasnya di Marj Sibakh. Ia mengirim surat kepada Jarir bin Abdullah dan pemimpin-pemimpin yang lain yang datang hendak memberikan bantuan dengan mengatakan: "Kami menghadapi suatu masalah yang harus kami pecahkan sebelum kalian datang kepada kami. Maka segeralah susul kami. Sampai bertemu di Buwaib."5 Kemudian ia berangkat dengan angkatan bersenjatanya hingga mencapai Buwaib di pantai Furat, tempat semua pasukan Muslimin berkumpul. Mehran juga bergerak dengan angkatan bersenjatanya hingga berhadapan langsung dengan pasukan Muslimin, yang hanya dibatasi oleh sungai.

Musanna merasa lega setelah memeriksa barisan angkatan bersenjatanya. Kendati ia tak mempunyai pasukan gajah seperti pada pasukan Persia, namun bala bantuan dari semua kekuatan di Semenanjung Arab dan di luarnya yang sekarang bergabung, sudah cukup mewakili. Di antaranya bala bantuan yang diminta oleh Musanna ketika ia masih di Ullais, termasuk Bajilah, Azd, Kinanah dan kabilah-kabilah Arab yang lain yang telah memenuhi seruan Abu Bakr; ada Banu Namir, orang-orang Nasrani yang datang bersama Anas bin Hilal dan kaum Nasrani Taglib yang juga datang bersama Ibn Mirda al-Fihr atTaglabi, dan para pemacu kuda. Selain mereka ada pula beberapa kabilah Arab lain yang tinggal di Irak. Mereka semua melihat posisi Arab yang berhadapan dengan orang asing Persia. Mereka berteriak: Kita berperang bersama golongan kita. Tidak sedikit dari kaum Nasrani Irak yang dipersatukan oleh ikatan etnis bergabung dalam barisan Muslimin dan ikut berperang.

Perjalanan pasukan Persia hendak menghadapi pasukan Muslimin

Mehran mengirim utusan kepada Musanna dengan pesan: "Kalian menyeberang ke tempat kami, atau biarkan kami menyeberang ke tempat kalian." Musanna belum lupa apa yang telah menimpa Abu Ubaid ketika ia menyeberangi sungai dan berhadapan dengan Bahman. Umar mengimbaunya setelah peristiwa jembatan itu untuk tidak menyeberangi sungai sebelum mencapai kemenangan. Oleh karena itu ia membalas seruan Mehran dengan mengatakan agar mereka yang menyeberang. Sekarang pihak Persia yang menyeberang ke Buwaib dengan mempersiapkan tiga barisan masing-masing dengan seekor gajah.

Musanna pun menyambut mereka dengan kudanya yang diberi nama Syamus, yang dinaikinya hanya untuk berperang. Selesai perang kembali dikandangkan. Kuda itu diberi nama Syamus karena sangat penurut. Dengan kudanya itu Musanna memeriksa barisan demi barisan sambil memberi semangat dan perintah dengan sebaik-baiknya. Pada setiap panji ia berhenti sambil berkata: "Saya mengharapkan sekali pasukan kita jangan sampai dihancurkan oleh kita sendiri. Apa yang akan menyenangkan hati saya hari ini berarti juga akan menyenangkan hatimu semua." Kata-katanya itu disambut baik oleh mereka. Mengingat waktu bulan Ramadan, ia berseru kepada pasukan Muslimin: "Saudara-saudara. Kalian semua sedang berpuasa, tetapi puasa dapat melemahkan badan kita. Saya berpendapat lebih baik kalian iftar6 supaya dengan makanan kalian lebih kuat menghadapi musuh. Memenuhi sarannya itu mereka semua beriftar. Musanna mendengar dengungan suara yang diulang-ulang dari pihak Persia yang makin mendekat. "Yang kalian dengar itu menandakan mereka pengecut. Maka tetaplah kalian diam, dan berbicaralah dengan berbisik."

Mereka memperhatikan apa yang dikatakan Musanna itu. Segala yang diperbuatnya atau dikatakannya yang ditujukan kepada mereka, semua mereka sambut tanpa ada kritik. Malah ia makin dekat di hati mereka. Kata Musanna lagi: "Saya akan bertakbir tiga kali. Maka siap-siaplah kalian, kemudian pada takbir yang keempat serentak seranglah."

Panji-panji sudah disiapkan semua sambil menunggu serangan kepada musuh. Itulah saat yang sangat dinanti-nantikan dengan harapan mendapat kemenangan.

(sebelum, sesudah)


Umar bin Khattab
"Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu"
 
Judul asli "Al-Faruq Umar" cetakan ke 7 oleh Muhammad Husain Haekal, Ph.D.,
dengan izin ahli waris, Dr. Ahmad Muhammad Husain Haekal, kepada penerjermah.
diterjemahkan oleh Ali Audah.
Cetakan pertama, April 2000
Diterbitkan oleh P.T. Pustaka Litera AntarNusa
Jln. Arzimar III, Blok B No. 7A, Tel. (0251) 330505, 370505, Fax. (0251) 380505 Bogor 16152.
Jln. Rukem I-19, Rawamangun, Tel./Fax. (021) 4722889, Jakarta 13220.
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang No. 7/1987
ISBN 979-8100-38-7
Anggota IKAPI.
Setting dan kulit luar oleh Litera AntarNusa
Dicetak oleh P.T. IKRAR MANDIRIABADI, Jakarta.
 
Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team