Abu Bakr As-Siddiq

oleh Muhammad Husain Haekal

Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

IX. EKSPEDISI YAMAMAH (3/3)

Surat Abu Bakr kepada Khalid

Abu Bakr mengirim seorang utusan untuk menemui Khalid dengan membawa perintah untuk membunuh semua orang dari Banu Hanifah yang mampu berperang. Tetapi Khalid sudah mengadakan perdamaian dengan mereka. Khalid adalah orang yang teguh berpegang pada janji.

Semua anggota keluarga Banu Hanifah dikumpulkan dan dibawa ke markas Khalid untuk membuat ikrar dan kemudian akan dibebaskan dari segala kesalahan masa lampau. Setelah membuat ikrar dan mereka dibebaskan dari perbuatan murtadnya lalu kembali kepada Islam, Khalid mengutus orang kepada Abu Bakr di Medinah.

"Mengapa kamu sampai merendahkan diri serupa itu?" kata Abu Bakr kepada para utusan itu begitu mereka sampai ke Medinah.

"Khalifah Rasulullah," kata mereka. "apa yang kami alami sudah disampaikan kepada Khalifah. Orang itu dan keluarganya memang belum mendapat karunia Allah."

Jumlah korban di pihak Banu Hanifah

Mungkin timbul pertanyaan dalam hati kita: Bagaimana Khalid masih mau menerima Mujja'ah padahal sudah menipunya, Khalid yang kita kenal sangat keras dan tegar itu? Tetapi kemenangan Muslimin yang sangat meyakinkan membuat Khalid lebih banyak menenggang. Jumlah korban yang mati di pihak Banu Hanifah sudah melebihi suatu kemampuan. Konon yang mati di Kebun Maut itu mencapai tujuh ribu orang, dan sebanyak itu pula mati di medan perang, dan tujuh ribu lagi mati ketika Khalid melepaskan pasukannya mengadakan pengejaran terhadap orang-orang yang melarikan diri. Di samping itu dari perdamaian yang dilakukan dengan Mujja'ah itu Muslimin mendapat rampasan perang berupa emas, perak, senjata dan seperempat tawanan perang. Di setiap pedesaan Banu Hanifah, dapat pula kebun dan persawahan sesuai dengan pilihan Khalid. Kalaupun Mujja'ah sudah berhasil menyelamatkan masyarakatnya yang masih ada sehingga mereka yang masih mampu berperang pun tak sampai dibunuh, namun masyarakatnya itu semua sudah kembali kepada Islam dan mengakui kedaulatan Abu Bakr. Jika Khalid sudah dapat mencapai semua itu tak perlu lagi ia marah kepada Mujja'ah atau mengadakan pembalasan karena tipu dayanya itu.

Jumlah korban di pihak Muslimin

Seperti jumlah korban yang terbunuh di pihak Banu Hanifah, yang tak pernah terbayang dalam pikiran siapa pun di tanah Arab masa itu, begitu juga jumlah korban yang terbunuh di kalangan Muslimin, di luar perkiraan mereka pula. Dari pihak Muhajirin yang terbunuh sebanyak tiga ratus enam puluh orang, dari Ansar tiga ratus, tak termasuk anggota­anggota kabilah yang terbunuh. Jumlah yang terbunuh di pihak Muslimin mencapai seribu dua ratus orang.

Kabilah-kabilah itu diperolok oleh kaum Muhajirin dan Ansar. Mereka merasa bangga dengan jumlah yang terbunuh itu. Kelebihan Muhajirin dan Ansar bukan hanya pada jumlah orang yang terbunuh itu saja. tetapi di antara mereka itu terdapat tiga puluh sembilan orang sahabat besar dan mereka yang sudah hafal Qur'an. Dan kita pun tahu betapa besar dan terhormatnya kedudukan mereka di mata kaum Muslimin. Tetapi ya. Adakalanya malapetaka membawa rahmat! Akibat terbunuhnya para penghafal Qur'an itulah maka timbul pikiran pada masa Abu Bakr hendak mengumpulkan Qur'an, sebab pembunuhan seperti yang terjadi terhadap mereka yang ikut serta dalam ekspedisi Yamamah itu, dikhawatirkan kelak akan berlanjut kepada yang lain.

Kesedihan Muslimin di Mekah dan di Medinah

Kesedihan Muslimin di Mekah dan di Medinah atas kematian itu dapat diimbangi hanya karena adanya kemenangan yang telah dikaruniakan Allah kepada mereka. Ketika Abdullah bin Umar bin Khattab kembali pulang sesudah berjuang dan bertempur mati-matian di Yamamah, ayahnya berkata setelah menemuinya:

"Mengapa engkau pulang padahal Zaid sudah meninggal. Tidak malu kau memperlihatkan muka kepadaku!?"4

"Ingin sekali aku seperti dia, tetapi karena aku tertinggal maka Allah mengaruniakan mati syahid itu kepadanya," kata Abdullah.

Sumber lain menyebutkan bahwa dia berkata: "Dia memohon mati syahid kepada Allah, dia diberi. Aku sudah berusaha supaya diberikan kepadaku, tapi tidak diberikan juga."

Kesedihan Umar atas kematian Zaid adiknya itu hanya sebuah contoh saja dari kesedihan yang umumnya menimpa Mekah dan Medinah atas gugurnya pahlawan-pahlawan yang telah mati syahid dalam perang dengan Musailimah itu.

Bagaimana Khalid? Sedihkah dia seperti yang lain? Gentarkah hatinya menyaksikan mayat-mayat dan melihat banjir darah?! Samasekali tidak! Kalaulah memang demikian adanya, niscaya tak akan mungkin ia memegang pimpinan, menjadi panglima ke Irak dan Syam serta yang pertama meletakkan dasar kedaulatan Islam. Di mana ada jenderal yang tak tersentak hatinya saat melihat ribuan musuh bergelimpangan, tersungkur di depan pasukannya?! Tetapi Khalid, Khalid tidak gamang dan tidak terpengaruh. Malah setelah ia merasa aman dengan kemenangan itu dan mengadakan persetujuan dengan Mujja'ah dan tampuk pimpinan sudah diserahkan ke tangannya, ia memanggil Mujja'ah.

"Kawinkan aku dengan putrimu," katanya kemudian.

Sebenarnya Mujja'ah sudah mendengar tentang perkawinannya dengan Laila Umm Tamim, juga tentang Abu Bakr yang memanggilnya dan mengecamnya atas perbuatannya yang telah melanggar adat kebiasaan Arab itu.

"Tunggu dulu," kata Mujja'ah. "Engkau mau merusak kekeluargaanku, dan aku sudah tahu soal keluargamu dengan sahabatmu itu (maksudnya Abu Bakr)."5

Kata-kata itu tidak menyenangkan hati Khalid, tetapi dia tak peduli. Malah ditatapnya orang itu seraya katanya lagi: "He, kawinkan aku!"

Siapa yang dapat menentang perintahnya sesudah kemenangannya di Yamamah itu. Akhirnya Mujja'ah mau mengawinkan putrinya. Suami istri itu tinggal bersama di rumah ayahnya, kemudian dibuatkan kemah tersendiri di dekat kemah Umm Tamim.

Kemarahan Abu Bakr

Apa yang dilakukan Khalid itu sampai juga kepada Abu Bakr. Begitu mengetahui ia terkejut sekali; kemudian berubah marah; kemudian kemarahannya meledak menjadi berang luar biasa. Satu-satunya pembelaannya dulu ketika Khalid mengawini Laila Umm Tamim bahwa dia membunuh suaminya bukan untuk mengawini istrinya. Dan kalaupun dia bersalah, kesalahannya itu karena dia telah melanggar adat kebiasaan Arab. Melakukan perkawinan serupa itu sungguh suatu perbuatan yang sangat tercela sekali mengingat darah masih mengalir dan orang masih dalam suasana berkabung. Bagaimana pula sekarang ia mengulangi perbuatannya itu di Yamamah, padahal ada sebanyak seribu dua ratus Muslimin yang terbunuh, sedang dalam peristiwa Malik bin Nuwairah tak ada seorang pun yang terbunuh! Oleh karena itu, Abu Bakr, orang yang begitu bijaksana, sudah tak dapat lagi menahan kemarahannya. Bahkan terdorong oleh keberangan itu ia menulis suratnya "dengan darah mengalir," - meminjam kata-kata Tabari - yang bunyinya sebagai- berikut:

"Demi hidupku, ah anak Umm Khalid! Sungguh engkau orang tak berakal! Engkau kawin dengan perempuan itu sedang bercak darah seribu dua ratus Muslim di beranda rumahmu belum lagi kering!"

Setelah surat itu diterima, Khalid merenungkannya sejenak. Sedih sekali ia karena kemarahan Abu Bakr itu. Ia menggelengkan kepala seraya berkata: Ini tentu perbuatan si kidal - maksudnya Umar bin Khattab. Tetapi soalnya, akibat kemarahan Abu Bakr itu, dari pihak Khalid tak lebih dari sekadar sedih, dan di pihak Abu Bakr tak lebih dari sekadar marah kepada Khalid dengan surat tersebut.

Apa artinya putri Mujja'ah itu dalam arti merayakan kemenangan yang harus dirayakan untuk Khalid? Tak lebih dia hanya sebuah persembahan yang diletakkan di telapak kaki panglima genius itu, yang telah membasahi bumi Yamamah dengan darah untuk membersihkannya dari segala kekotoran. Bahkan perempuan itu pun tak lebih dari hanya salah seorang hamba sahaya penabuh gendang dan menyanyi-nyanyi gembira pada hari perayaan itu, karena Islam telah kembali seutuhnya ke dalam perlindungan Islam. Tetapi! Mahaagung Engkau ya Allah! Islam tidak mengenal perayaan-perayaan semacam ini. Tetapi yang dikenalnya ialah bahwa kemenangan itu dari Allah, diberikan kepada siapa saja yang Ia kehendaki. Dan kemenangan kini itu sudah diberikan kepada Khalid. Maka agama-Nya yang benar telah diperkuat, dan segala pemurtadan dan kaum murtadnya sudah dihancurkan.

Dengan ekspedisi Yamamah itu Khalid telah berhasil mengikis pemurtadan dan kaum murtadnya. Dengan demikian sudah saatnya tanah Arab untuk kembali tenang dan berpegang teguh pada agama Allah. Jikapun masih ada berita-berita tentang perang pemurtadan di Mahrah, Oman dan Yaman sesudah Yamamah, semua itu bahayanya tidaklah sebesar Yamamah. Itu pula sebabnya, sesudah Yamamah sekarang tiba saatnya buat Abu Bakr untuk hidup lebih tenang, dan Khalid pun sesudah itu boleh beristirahat.

Sekarang Khalid sudah pindah ke sebuah lembah di kawasan Yamamah yang disebut Lembah Wabr. Putri Mujja'ah dan Umm Tamim dikumpulkan dalam satu rumah di tempat itu.

Lamakah dia tinggal di tempat itu dan sudah cukupkah beristirahat? Itulah yang tidak diberitakan kepada kita oleh buku-buku sejarah.

Tetapi strategi Abu Bakr dan strategi Islam masih sangat memerlukan pedang Khalid. Dan ini yang akan kita lihat sebentar lagi. Sampai bertemu lagi genius perang, Pedang Allah! Sampai bertemu lagi di tepi Sungai Furat (Euphrate).

Catatan kaki:

  1. Menasabkan seseorang kepada ibu, bukan kepada bapa. (A).
  2. Kata-kata ini mungkin diciptakan sendiri oleh para sejarawan itu dari kata-kata biasa, seperti "si kerdil", "si boke", "si pesek" dsb.; sukar diterjemahkan dengan persis; belum saya dapati arti yang sebenarnya dalam buku-buku acuan atau kamus-kamus bahasa. (A).
  3. Wahsyi ini dikenal sebagai budak negro kepunyaan tokoh musyrik Mekah, Jubair bin Mut'im. Kalau dalam perang Uhud ia berhasil membunuh Hamzah bin Abdul Muttahb, paman Nabi, dijanjikan ia akan dimerdekakan oleh Hindun istri Abu Sufyan, juga oleh Mut'im sendiri. Hindun dan Jubair memikul dendam karena keluarga mereka dulu banyak yang terbunuh dalam perang Badr. Dengan tombak kecil dan cara serupa seperti yang dilakukannya terhadap Musailimah ini Wahsyi berhasil membunuh Hamzah. Nabi saw. merasa sedih sekali dengan kejadian ini. Tetapi setelah pembebasan Mekah Wahsyi datang meminta maaf kepada Nabi, oleh Nabi ia diberi maaf, dan masuk Islam (A).
  4. Ala waraita wajhaka 'anni? harfiah: Tidakkah kausembunyikan mukamu dari aku? (LA), (A)
  5. Maksud kata-kata ini tidak begitu jelas. Dapat diterjemahkan dengan beberapa pilihan senada. Pilihan ini mungkin yang terdekat dengan keterangan LA, sv. zahr (A).

(sebelum, sesudah)


Abu Bakr As-Siddiq - Yang Lembut Hati
Sebuah Biografi dan Studi Analisis tentang Permulaan Sejarah Islam Sepeninggal Nabi
 
oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
 
Penerbit P.T. Pustaka Litera AntarNusa
Jln. Arzimar III, Blok B No. 7A, Tel./Fax. (0251) 330505, Bogor 16152.
Jln. Rukem I-19, Rawamangun, Tel./Fax. (021) 4722889, Jakarta 13220.
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang No. 7/1987
ISBN 979-8100-29-8
Anggota IKAPI.
Setting dan kulit luar oleh Litera AntarNusa
Dicetak oleh P.T. INTERMASA, Jakarta.
 
Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team