Abu Bakr As-Siddiq

oleh Muhammad Husain Haekal

Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

IX. EKSPEDISI YAMAMAH (2/3)

Muslimin mundur dan pasukan Musailimah memasuki kemah Khalid

Karenanya mereka tak dapat bertahan menghadapi pasukan Banu Hanifah itu, padahal antara keduanya sudah terjadi pertempuran sengit. Barisan Muslimin sekarang cenderung mengalami kekalahan. Dalam pada itu Khalid sudah meninggalkan kemahnya. Tetapi pasukan Banu Hanifah tampaknya sudah berhasil masuk ke dalam kemah Khalid. Mereka hanya melihat Mujja'ah yang dibelenggu dengan besi dan tak jauh dari orang ini dilihatnya pula Laila Umm Tamim. Salah seorang di antara mereka sudah siap dengan pedangnya hendak membunuh Laila - istri Khalid itu. Tetapi ketika itu juga Mujja'ah berteriak: "He! Aku yang melindungi dia! Dia perempuan merdeka yang baik. Hadapilah kaum laki-laki!"

Tali-temali tenda kemudian diputuskan oleh tentara itu dan tendanya dirobek-robek dengan pedang, dengan meninggalkan Mujja'ah dan Laila yang hanya tercengang menyaksikan semua itu.

Sungguhpun begitu, sebelum pasukan Muslimin mundur, tidak sedikit dari Banu Hanifah yang sudah terbunuh. Di antara yang pertama terbunuh ialah Nahar ar-Rajjal, yang ahli Qur'an dan ahli fikih, pengkhianat dan penipu itu. Begitu tampil di barisan depan dalam pasukan Banu Hanifah ia disambut oleh Zaid bin Khattab dan langsung dibunuhnya. Dengan terbunuhnya orang ini, biang keladi yang begitu setia kepada Musailimah, berakhirlah kini riwayatnya dan riwayat pasukannya yang selama ini mengancam kaum Muslimin dan menanamkan rasa takut dalam hati setiap orang yang mencintai agama Allah.

Khalid bin Walid tetap tenang tatkala ia meninggalkan kemahnya. Sedikit pun ia tak ragu menghadapi tujuannya hari itu. Dia sudah tahu kekalahan yang menimpa pasukan Muslimin; yakni karena mereka saling memperolok, saling tak peduli satu sama lain. Kalau tidak demikian sikap mereka, niscaya mereka menang. Karenanya, tatkala Khalid melihat ada peluang, ketika kedua pihak dalam keadaan tenang, ia berteriak sekeras-kerasnya dengan nada geram dan bergelora:

"Saudara-saudara kaum Muslimin! Perlihatkanlah kelebihan kamu, biar orang tahu keberanian dan kepahlawanan kita, biar orang tahu dari mana kita datang,"

Teriakan itu bersipongang ke dalam telinga prajurit-prajuritnya, dan membuat tersentak dan mereka menyadari keadaan yang sebenarnya. Khalid puas setelah dilihatnya mereka menunjukkan sikap seperti yang diperintahkannya itu. Kecurigaan dan saling tak peduli sudah dapat dihilangkan. Sekarang jalan kemenangan sudah terbuka.

Semangat agama bangkit dalam kalbu pasukan Muslimin

Teriakan Khalid itu telah membangkitkan fanatisma yang kuat sesuai dengan naluri Arabnya. Pemuka-pemuka Muslimin pun melihat apa yang telah menimpa mereka. Dalam hati mereka sekarang tumbuh semangat agama yang membara. Iman telah mengangkat mereka ke tingkat kehidupan yang lebih tinggi. Yang sekarang tampak jelas dan tersenyum di hadapan mereka hanyalah mati sebagai syahid. Cahaya mengantarkan mereka dan membukakan pintu surga abadi. Tuntunan cahaya Ilahi memperlihatkan kepada mereka, bahwa segala kesenangan hidup, hiburan dunia dan segala tipu muslihatnya akan sia-sia adanya. Sekarang mereka berbalik, dari kekalahan menjadi suatu tuntutan: menang atau mati syahid.

Ketika itu Sabit bin Qais pemimpin Ansar berkata:

"Saudara-saudara Muslimin, kalian mempunyai suatu kebiasaan yang amat buruk. Allahumma ya Allah, aku lepas tangan dari apa yang disembah oleh mereka (menunjuk kepada penduduk Yamamah), dan aku lepas tangan dari apa yang dilakukan oleh mereka (menunjuk kepada kaum Muslimin)."

Berkata begitu langsung ia menyerbu ke kancah pertempuran sambil berteriak: "Inilah aku, akan kuperlihatkan kepadamu cara berperang!" dilanjutkan dengan terus bertempur mati-matian tanpa merasa gentar. Sementara ia bertempur itu seluruh badannya sudah penuh luka-luka dan akhirnya dia mati sebagai syahid. Demikian juga Bara' bin Malik, dia termasuk pemberani yang luar biasa yang tak kenal lari. Begitu melihat apa yang telah terjadi, ia terjun sambil berkata: "Mau ke mana hai Muslimin!? Aku Bara' bin Malik. Mari ke mari bersamaku!" Suaranya terdengar oleh pejuang-pejuang Muslimin yang lain dan semua mereka sudah mengenal benar keberaniannya. Sebagian mereka kembali kepadanya dan melanlutkan pertempuran hingga banyak pula di antara mereka yang gugur.

Yang ingin mati syahid

Ketika itu angin bertiup kencang dan pasir membubung menutupi muka Muslimin. Ada sekelompok orang yang berbicara dengan Zaid bin Khattab tentang apa yang akan mereka perbuat, maka dijawabnya: "Tidak, demi Allah aku tak akan berbicara sepatah kata pun hari ini sebelum kita hancurkan mereka, atau sampai aku bertemu Allah dengan membawa pembuktianku. Tundukkan matamu dan garitkan gigimu dan hantamlah musuhmu itu lalu teruslah maju." Berkata begitu ia langsung terjun ke tengah-tengah musuh, bertempur habis-habisan, diikuti anak buahnya dari belakang. Ketika itu ia memberikan pembuktiannya, ia kembali kepada Penciptanya, Allah Yang Mahakuasa. Abu Huzaifah berteriak kepada orang-orang yang berada di sekitarnya:

"Hai keluarga Qur'an, hiasilah Qur'an dengan perbuatanmu!"

Ia sendiri lalu terjun ke padang maut itu sampai juga menemui ajalnya. Ia kembali ke sisi Allah. Ketika itu juga bendera diambil alih oleh Salim bekas budak Abu Huzaifah seraya katanya: "Celakalah aku sebagai yang sudah hafal Qur'an kalau tidak terus bertahan." Dia pun terjun ke kancah itu dan gugur pula.

Dengan teriakan-teriakan yang keluar dari hati yang penuh iman itu, jiwa hendak mati syahid serentak bangkit pada prajurit-prajurit Islam itu semua. Bagi mereka hidup sudah terasa kecil sekali dan mereka lebih suka mati sebagai para syahid. Dengan sungguh-sungguh mereka terjun maju semua ke depan. Mereka mengharapkan mati syahid. Sekarang pasukan Musailimah yang mundur sampai ke belakang garis pertama.

Pasukan Musailimah putus asa

Dalam perang itu pasukan Musailimah tampak sudah mulai putus asa. Mereka berperang demi tanah air, berperang demi kehormatan nenek moyang. Bagi mereka berperang demi suatu keyakinan yang sudah sakit itu tingkatnya di bawah tanah air, di bawah kehormatan nenek moyang. Oleh karena itu mereka bertahan terhadap pasukan Muslimin dan memukul mundur yang dapat mereka pukul, dan mereka bertempur untuk setiap jengkal tanah, tak beranjak dari sana sebelum berbalik dan berusaha merebut kembali.

Khalid tidak gentar menghadapi pasukan Banu Hanifah yang berani mati itu. Bahkan, ketika mendengar teriakan kaum Muslimin dan melihat tekad mereka begitu gembira menghadapi maut, ia yakin bahwa sekarang kemudi berada di tangannya, dan kemenangan sudah di ambang pintu.

Khalid membuat muslihat untuk membunuh Musailimah

Tetapi Khalid ingin sekali bila Muslimin juga menyadari bahwa kemenangan sudah di ambang pintu seperti yang dilihatnya. Karena ia tampil memimpin pasukannya dan berkata kepada para pengawalnya: "Janganlah datang dari belakangku." Lalu ia berteriak dengan moto pertempuran ketika itu: "Hidup Muhammad!" Dengan tampil dan teriakannya itu tidak saja ia bermaksud hendak membakar semangat, tetapi dengan itu ia juga ingin menempuh jalan kemenangan itu lebih cepat lagi. Dilihatnya orang-orang Banu Hanifah bergelimpangan mati di sekitar Musailimah. Mati tak mereka pedulikan lagi. Maka Khalid yakin, jalan pintas untuk mencapai kemenangan itu ialah Musailimah sendiri yang harus dibunuh. Karenanya, ia dan pasukannya membuat suatu muslihat sampai berada tak jauh dari tempat Musailimah. Kemudian ia memancingnya supaya orang itu keluar menghadapinya. Tetapi yang keluar untuk menemui Khalid saat itu pengawal-pengawal Musailimah. Namun sebelum mereka mencapai Khalid, pedang Khalid sudah lebih dulu menyambut mereka dengan maut. Tak sedikit di antara mereka yang terbunuh.

Karena sifat penakutnya yang luar biasa Musailimah merasa rendah diri. Terlintas dalam pikirannya ingin juga keluar seperti yang lain-lain. Tetapi yakin dia, pasti akan terbunuh jika ia keluar. Ragu dia dan gelisah. Selama dalam kegelisahan dan keraguannya itulah, Khalid dan pasukannya tiba-tiba menyerangnya dan menyerang orang-orang di sekitarnya dan yang sudah siap dengan senjata. Ketika itulah kawan-kawan Musailimah berteriak: "Mana yang kaujanjikan kepada kami!" Sambil berlari Musailimah menjawab: "Bertempurlah demi kehormatan leluhur." Bagaimana mereka akan bertempur sedang dia sendiri sudah cepat-cepat lari lebih dulu! Tidaklah logis mereka akan mengikuti orang yang lari seperti mengikuti seorang nabi!

Berlindung dalam kebun

Mereka lari itu dilihat oleh Muhakkam bin Tufail, dan dilihatnya pula Muslimin mengejar mereka. Ia berteriak memanggil-manggil: "Hai Banu Hanifah! Kebun, kebun!" Maksudnya supaya mereka berlindung ke dalam kebun. Kebun itu tidak jauh dari mereka. Kebun milik Musailimah ini cukup luas, dikelilingi tembok-tembok yang kukuh seolah seperti benteng. Kebun ini yang mendapat sebutan "Kebun ar-Rahman" (Hadiqatur Rahman). Mereka lari ke tempat itu dan menyelamatkan diri dari kehancuran setelah ribuan orang jatuh bergelimpangan ke tanah ditebas oleh pedang Muslimin. Sementara mereka berlarian itu Muhakkam dan anak buahnya berdiri memberikan perlindungan dari belakang. Ketika itu, saat ia berusaha merintangi pasukan Muslimin sambil mengerahkan anak buahnya agar bertahan, dan bersama-sama bertempur sekuat tenaga dengan mereka untuk membentengi kaumnya itu, ketika itu juga Abdur-Rahman putra Abu Bakr as-Siddiq melepaskan anak panahnya yang tepat mengenai tenggorokannya. Orang itu pun mati.

Musailimah dan pengikut-pengikutnya masih bertahan dalam kebun. Adakah Muslimin akan mengepung mereka sekalipun akan memakan waktu lama? Tidak! Angkatan perang yang sekarang sedang dimabuk kemenangan ini menghendaki kemenangan yang sempurna, kemenangan yang lebih cepat. Oleh karena itu mereka mengelilingi kebun itu mencari-cari celah untuk membuka gerbang kebun yang begitu kuat itu. Tetapi tak berhasil.

Bara' memanjat tembok

Saat itu Bara' bin Malik berkata: "Saudara-saudara Muslimin, lemparkan aku ke tengah-tengah mereka dalam kebun!"

Tetapi yang lain menjawab: "Bara', jangan!" Apa pula yang akan dilakukan Bara' seorang diri di tengah-tengah ribuan orang yang sedang mencari perlindungan dari maut dalam kebun itu! Tetapi Bara' tetap mendesak dan menambahkan:

"Tidak, lemparkanlah aku ke tengah-tengah mereka." Kemudian mereka mengusungnya ke atas tembok itu. Tetapi setelah dilihatnya begitu banyak orang di dalamnya, ia malah ragu dan mau mundur seraya berkata:

"Turunkan aku," tetapi segera katanya lagi: "Usunglah aku!" Berkalikali ia berkata begitu. Kemudian ia berdiri di atas tembok. Hatinya berkata: -Ini pahlawan Bara', yang segala sepak terjangnya sudah menjadi buah bibir di seluruh Semenanjung. Ya, kalau dia mundur, orang akan mengatakan: Punya kemauan tapi tidak berbuat. Kemasyhurannya sebagai pahlawan akan lenyap. Tadinya sudah maju lalu mundur, akan jadi bahan ejekan orang. Kalau itu terjadi, tak ada artinya dia. Akan dikemanakan mukanya! Karenanya, dibuangnya keraguan itu lalu ia melemparkan diri ke depan pintu kebun Banu Hanifah itu. Ia menyerang mereka kanan kiri sampai berhasil membuka pintu kebun untuk pasukan Muslimin, yang kemudian masuk menyerbu ke dalam dengan pedang terhunus di tangan. Maut sudah membayang di biji mata. Begitu anggota-anggota keluarga Banu Hanifah itu melihat pasukan Muslimin, mereka kabur berlarian dalam kebun yang sudah berubah menjadi sebuah penjara, seperti kambing yang kabur berlarian begitu melihat jagal datang membawa pisau.

Muslimin menyerbu kebun

Ini menurut satu sumber. Tetapi sumber lain menyebutkan bahwa pasukan Muslimin ramai-ramai memanjat tembok kebun itu dan berusaha menyerbu ke pintu. Barangkali Bara' termasuk salah seorang pemanjat tembok yang terdekat ke pintu, dan ketika terjun ke dalam kebun dialah yang membukakan pintu buat pasukan Muslimin setelah ia bertempur melawan siapa saja yang ada dalam kebun itu. Peristiwa itu terjadi ketika orang-orang yang berlindung dalam kebun itu sedang sibuk menghadapi lawan yang menghujani mereka dengan panah dari atas tembok.

Kematian Musailimah

Pasukan Muslimin menyerbu kebun itu dan langsung menyerang musuh. Pedang-pedang Banu Hanifah itu justru terhambat oleh pepohonan di sekitar mereka. Sungguhpun begitu tidak mengurangi sengitnya pertempuran. Korban tidak sedikit di kedua belah pihak, meskipun di pihak Banu Hanifah dua kali lebih banyak.

Setelah perang Uhud dulu Wahsyi sudah masuk Islam. Orang asal Abisinia inilah yang dulu membunuh Hamzah, bapak syuhada dalam perang Uhud itu. Dalam perang Yamamah ini ia juga ikut serta. Tatkala dilihatnya Musailimah di kebun itu, diayunkannya tombaknya, dan bila sudah terasa pas, dibidikkannya kepada Musailimah. Bidikannya itu tidak meleset. Bersamaan dengan itu ada orang Ansar yang juga ikut menghantam Musailimah dengan pedangnya. Karena itulah Wahsyi berkata:

"Hanya Allah yang tahu siapa di antara kita yang telah membunuhnya."

Ketika itu ada seseorang berteriak: "Yang membunuhnya seorang budak hitam."3 Semangat Banu Hanifah reda setelah mendengar teriakan bahwa Musailimah sudah terbunuh. Mereka menyerah tanpa mengadakan perlawanan lagi. Muslimin terus menghantam mereka. Pada masa itu tanah Arab belum pernah mengalami pertumpahan darah sehebat pertempuran di Yamamah itu. Itu sebabnya "Kebun Rahman" ini kemudian diberi nama "Kebun Maut." Dan nama inilah yarig terus dipakai dalam buku­buku sejarah.

Mujja'ah menunjukkan mayat Musailimah

Selesai pertempuran atas permintaan Khalid Mujja'ah dibawa dari kemahnya. Dimintanya ia menunjukkan mayat Musailimah. Sementara sedang memeriksa mayat-mayat itu, mereka melalui mayat Muhakkam - Muhakkam ini berwajah tampan. Setelah Khalid melihatnya ia bertanya kepada Mujja'ah: Dia ini kawanmu itu? "Bukan," jawab Mujja'ah. "Orang ini lebih baik dan lebih terhormat dari dia. Ini Muhakkam."

Mujja'ah dan Khalid memasuki Kebun Maut itu. Mereka lalu di depan mayat "Ruwaijil Usaifir Ukhainas" itu.

"Inilah orangnya. Kalian sekarang sudah bebas dari dia," kata Mujja'ah.

"Orang inilah yang telah berbuat sekehendak hatinya terhadap kalian," sambung Khalid.

Malapetaka yang ditimbulkan Musailimah itu kini sudah berakhir dan sudah dicabut dari akarnya. Angkatan bersenjatanya pun telah dikikis habis. Sudah tibakah saatnya sekarang Khalid dan pasukannya harus beristirahat?

Khalid meneruskan perjuangan

Tidak! Ini bukan watak Khalid. Dan bukan ini pula strategi perangnya. Strateginya selalu ialah kemenangan itu harus mencapai puncaknya, supaya jangan timbul akibat yang tak diinginkan kemudian hari. Tak cukup hanya dengan memerangi Banu Asad dan mereka yang bersekutu dengan Tulaihah, tetapi terus dilanjutkan sampai daerah itu benar-benar bebas dari segala gangguan. Begitu juga dulu dengan Umm Ziml dan sisa-sisa pasukannya. Kemudian Banu Tamim, tidak dibiarkannya sebelum ia dapat mengikis habis setiap orang yang mau meniupkan api fitnah di daerah itu. Di tempat-tempat lain juga ia lakukan demikian.

Sesudah membereskan mereka yang berlindung di Kebun Maut itu Abdullah bin Umar dan Abdur-Rahman bin Abi Bakr berkata kepada Khalid:

"Kirimkanlah kami dan beberapa orang untuk menempati benteng itu." Maksudnya benteng Yamamah.

"Aku akan menyebarkan pasukan berkuda dan menangkapi orang-orang yang ada di luar benteng, sesudah itu nanti aku mengambil keputusan," kata Khalid.

Khalid menyebarkan pasukan berkudanya, yang kemudian kembali membawa segala harta benda, perempuan dan anak-anak. Semua itu dibawa ke markas. Barulah kemudian ia memerintahkan agar berangkat ke benteng dan membongkar segala yang ada di dalamnya. Dengan mengadakan pembersihan demikian terhadap Banu Hanifah sejak itu tak ada lagi perlawanan.

Perdamaian Khalid-Mujja'ah

Khalid makin percaya kepada Mujja'ah sesudah ia diberi tugas melindungi Umm Tamim, demikian juga kejujurannya mengenai Musailimah dan pengikut-pengikutnya. Orang ini datang kepada Khalid mengatakan:

"Yang sudah kauperoleh itu hanya orang-orang baris depan saja; di dalam benteng masih banyak tokoh-tokoh yang lain. Bersediakah kau mengadakan perdamaian sehubungan dengan orang-orang yang menjadi tanggung jawabku?"

Khalid memperhatikan angkatan bersenjatanya. Tampaknya mereka sudah letih sekali dicabik perang, sudah banyak pula di antara pemuka-pemuka mereka yang mengalami luka-luka. Mereka ingin kembali membawa kemenangan yang membanggakan itu. Kalau dengan maksudnya itu Mujja'ah jujur, menurut hematnya memang sebaiknya mengajaknya damai, dengan catatan pihak Muslimin tetap menguasai rampasan perang yang sudah menjadi bagiannya, kecuali separuh dari orang-orang tawanan.

Selanjutnya kata Mujja'ah:

"Sekarang aku akan menemui kaumku dan akan kutawarkan apa yang sudah kulakukan ini."

Ia pergi menemui perempuan-perempuan di tempat itu dan katanya kepada mereka: "Pakailah pakaian besi kalian dan tampillah ke depan benteng."

Setelah mereka melakukan itu dan Khalid menyaksikannya, ia yakin bahwa Mujja'ah tidak membohonginya. Tetapi kemudian Mujja'ah kembali lagi dan berdalih bahwa apa yang sudah dilakukannya itu mereka tak setuju. Hanya sebagian yang tampil ke depan benteng kemudian kembali menyatakan pendapat mereka yang sama. Khalid mengalah dari separuh tawanan yang sudah disetujuinya itu. Tetapi ketika benteng itu dibuka yang ada hanya perempuan, anak-anak dan orang tua-tua yang sudah lemah. Khalid menatap Mujja'ah dengan pandangan berang.

"Celaka engkau! Kau mau menipu aku?!"

"Tenanglah," kata Mujja'ah. "Mereka itu kaumku. Aku tak dapat berbuat lain selain apa yang sudah kulakukan itu."

Khalid sangat menghargai kesungguhan solidaritasnya itu. Kemudian perjanjian perdamaian disetujui dan orang itu pun dibebaskan.

Disebutkan juga bahwa sebelum diadakan perjanjian dan sebelum Khalid melihat siapa yang ada dalam benteng itu, Mujja'ah pergi menemui kaumnya dan menawarkan perjanjian tersebut kepada mereka. Tetapi Salamah bin Umair dari Banu Hanifah menentangnya.

"Tidak," katanya. "Kita tidak setuju. Kita akan mengajak penduduk dan budak-budak, kita akan terus berperang, bukan berdamai dengan Khalid. Benteng kita kuat, makanan cukup dan musim dingin sudah tiba." "Engkau ini sial!" kata Mujja 'ah, "masih hijau, kurang pengalaman. Engkau keliru mengira aku menipu mereka sampai dapat memenuhi permintaanku untuk damai. Masih adakah orang dari kita yang dapat diharapkan atau dapat mempertahankan diri? Aku cepat-cepat bertindak demikian sebelum kalian ditimpa malapetaka seperti yang dikatakan Syurahbil bin Musailimah 'Sebelum perempuan-perempuan kita mendapat giliran sebagai tawanan, dan dijadikan gundik-gundik.'" Mendengar kata-kata itu mereka lebih menyetujui perdamaian dan tidak lagi menghiraukan kata-kata Salamah bin Umair.

(sebelum, sesudah)


Abu Bakr As-Siddiq - Yang Lembut Hati
Sebuah Biografi dan Studi Analisis tentang Permulaan Sejarah Islam Sepeninggal Nabi
 
oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
 
Penerbit P.T. Pustaka Litera AntarNusa
Jln. Arzimar III, Blok B No. 7A, Tel./Fax. (0251) 330505, Bogor 16152.
Jln. Rukem I-19, Rawamangun, Tel./Fax. (021) 4722889, Jakarta 13220.
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang No. 7/1987
ISBN 979-8100-29-8
Anggota IKAPI.
Setting dan kulit luar oleh Litera AntarNusa
Dicetak oleh P.T. INTERMASA, Jakarta.
 
Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team