IX. EKSPEDISI YAMAMAH (2/3)
Muslimin mundur dan pasukan Musailimah
memasuki kemah Khalid
Karenanya mereka tak dapat bertahan menghadapi pasukan
Banu Hanifah itu, padahal antara keduanya sudah terjadi
pertempuran sengit. Barisan Muslimin sekarang cenderung
mengalami kekalahan. Dalam pada itu Khalid sudah
meninggalkan kemahnya. Tetapi pasukan Banu Hanifah tampaknya
sudah berhasil masuk ke dalam kemah Khalid. Mereka hanya
melihat Mujja'ah yang dibelenggu dengan besi dan tak jauh
dari orang ini dilihatnya pula Laila Umm Tamim. Salah
seorang di antara mereka sudah siap dengan pedangnya hendak
membunuh Laila - istri Khalid itu. Tetapi ketika itu juga
Mujja'ah berteriak: "He! Aku yang melindungi dia! Dia
perempuan merdeka yang baik. Hadapilah kaum laki-laki!"
Tali-temali tenda kemudian diputuskan oleh tentara itu
dan tendanya dirobek-robek dengan pedang, dengan
meninggalkan Mujja'ah dan Laila yang hanya tercengang
menyaksikan semua itu.
Sungguhpun begitu, sebelum pasukan Muslimin mundur, tidak
sedikit dari Banu Hanifah yang sudah terbunuh. Di antara
yang pertama terbunuh ialah Nahar ar-Rajjal, yang ahli
Qur'an dan ahli fikih, pengkhianat dan penipu itu. Begitu
tampil di barisan depan dalam pasukan Banu Hanifah ia
disambut oleh Zaid bin Khattab dan langsung dibunuhnya.
Dengan terbunuhnya orang ini, biang keladi yang begitu setia
kepada Musailimah, berakhirlah kini riwayatnya dan riwayat
pasukannya yang selama ini mengancam kaum Muslimin dan
menanamkan rasa takut dalam hati setiap orang yang mencintai
agama Allah.
Khalid bin Walid tetap tenang tatkala ia meninggalkan
kemahnya. Sedikit pun ia tak ragu menghadapi tujuannya hari
itu. Dia sudah tahu kekalahan yang menimpa pasukan Muslimin;
yakni karena mereka saling memperolok, saling tak peduli
satu sama lain. Kalau tidak demikian sikap mereka, niscaya
mereka menang. Karenanya, tatkala Khalid melihat ada
peluang, ketika kedua pihak dalam keadaan tenang, ia
berteriak sekeras-kerasnya dengan nada geram dan
bergelora:
"Saudara-saudara kaum Muslimin! Perlihatkanlah kelebihan
kamu, biar orang tahu keberanian dan kepahlawanan kita, biar
orang tahu dari mana kita datang,"
Teriakan itu bersipongang ke dalam telinga
prajurit-prajuritnya, dan membuat tersentak dan mereka
menyadari keadaan yang sebenarnya. Khalid puas setelah
dilihatnya mereka menunjukkan sikap seperti yang
diperintahkannya itu. Kecurigaan dan saling tak peduli sudah
dapat dihilangkan. Sekarang jalan kemenangan sudah
terbuka.
Semangat agama bangkit dalam kalbu
pasukan Muslimin
Teriakan Khalid itu telah membangkitkan fanatisma yang
kuat sesuai dengan naluri Arabnya. Pemuka-pemuka Muslimin
pun melihat apa yang telah menimpa mereka. Dalam hati mereka
sekarang tumbuh semangat agama yang membara. Iman telah
mengangkat mereka ke tingkat kehidupan yang lebih tinggi.
Yang sekarang tampak jelas dan tersenyum di hadapan mereka
hanyalah mati sebagai syahid. Cahaya mengantarkan mereka dan
membukakan pintu surga abadi. Tuntunan cahaya Ilahi
memperlihatkan kepada mereka, bahwa segala kesenangan hidup,
hiburan dunia dan segala tipu muslihatnya akan sia-sia
adanya. Sekarang mereka berbalik, dari kekalahan menjadi
suatu tuntutan: menang atau mati syahid.
Ketika itu Sabit bin Qais pemimpin Ansar berkata:
"Saudara-saudara Muslimin, kalian mempunyai suatu
kebiasaan yang amat buruk. Allahumma ya Allah, aku lepas
tangan dari apa yang disembah oleh mereka (menunjuk kepada
penduduk Yamamah), dan aku lepas tangan dari apa yang
dilakukan oleh mereka (menunjuk kepada kaum Muslimin)."
Berkata begitu langsung ia menyerbu ke kancah pertempuran
sambil berteriak: "Inilah aku, akan kuperlihatkan kepadamu
cara berperang!" dilanjutkan dengan terus bertempur
mati-matian tanpa merasa gentar. Sementara ia bertempur itu
seluruh badannya sudah penuh luka-luka dan akhirnya dia mati
sebagai syahid. Demikian juga Bara' bin Malik, dia termasuk
pemberani yang luar biasa yang tak kenal lari. Begitu
melihat apa yang telah terjadi, ia terjun sambil berkata:
"Mau ke mana hai Muslimin!? Aku Bara' bin Malik. Mari ke
mari bersamaku!" Suaranya terdengar oleh pejuang-pejuang
Muslimin yang lain dan semua mereka sudah mengenal benar
keberaniannya. Sebagian mereka kembali kepadanya dan
melanlutkan pertempuran hingga banyak pula di antara mereka
yang gugur.
Yang ingin mati syahid
Ketika itu angin bertiup kencang dan pasir membubung
menutupi muka Muslimin. Ada sekelompok orang yang berbicara
dengan Zaid bin Khattab tentang apa yang akan mereka
perbuat, maka dijawabnya: "Tidak, demi Allah aku tak akan
berbicara sepatah kata pun hari ini sebelum kita hancurkan
mereka, atau sampai aku bertemu Allah dengan membawa
pembuktianku. Tundukkan matamu dan garitkan gigimu dan
hantamlah musuhmu itu lalu teruslah maju." Berkata begitu ia
langsung terjun ke tengah-tengah musuh, bertempur
habis-habisan, diikuti anak buahnya dari belakang. Ketika
itu ia memberikan pembuktiannya, ia kembali kepada
Penciptanya, Allah Yang Mahakuasa. Abu Huzaifah berteriak
kepada orang-orang yang berada di sekitarnya:
"Hai keluarga Qur'an, hiasilah Qur'an dengan
perbuatanmu!"
Ia sendiri lalu terjun ke padang maut itu sampai juga
menemui ajalnya. Ia kembali ke sisi Allah. Ketika itu juga
bendera diambil alih oleh Salim bekas budak Abu Huzaifah
seraya katanya: "Celakalah aku sebagai yang sudah hafal
Qur'an kalau tidak terus bertahan." Dia pun terjun ke kancah
itu dan gugur pula.
Dengan teriakan-teriakan yang keluar dari hati yang penuh
iman itu, jiwa hendak mati syahid serentak bangkit pada
prajurit-prajurit Islam itu semua. Bagi mereka hidup sudah
terasa kecil sekali dan mereka lebih suka mati sebagai para
syahid. Dengan sungguh-sungguh mereka terjun maju semua ke
depan. Mereka mengharapkan mati syahid. Sekarang pasukan
Musailimah yang mundur sampai ke belakang garis pertama.
Pasukan Musailimah putus asa
Dalam perang itu pasukan Musailimah tampak sudah mulai
putus asa. Mereka berperang demi tanah air, berperang demi
kehormatan nenek moyang. Bagi mereka berperang demi suatu
keyakinan yang sudah sakit itu tingkatnya di bawah tanah
air, di bawah kehormatan nenek moyang. Oleh karena itu
mereka bertahan terhadap pasukan Muslimin dan memukul mundur
yang dapat mereka pukul, dan mereka bertempur untuk setiap
jengkal tanah, tak beranjak dari sana sebelum berbalik dan
berusaha merebut kembali.
Khalid tidak gentar menghadapi pasukan Banu Hanifah yang
berani mati itu. Bahkan, ketika mendengar teriakan kaum
Muslimin dan melihat tekad mereka begitu gembira menghadapi
maut, ia yakin bahwa sekarang kemudi berada di tangannya,
dan kemenangan sudah di ambang pintu.
Khalid membuat muslihat untuk
membunuh Musailimah
Tetapi Khalid ingin sekali bila Muslimin juga menyadari
bahwa kemenangan sudah di ambang pintu seperti yang
dilihatnya. Karena ia tampil memimpin pasukannya dan berkata
kepada para pengawalnya: "Janganlah datang dari belakangku."
Lalu ia berteriak dengan moto pertempuran ketika itu: "Hidup
Muhammad!" Dengan tampil dan teriakannya itu tidak saja ia
bermaksud hendak membakar semangat, tetapi dengan itu ia
juga ingin menempuh jalan kemenangan itu lebih cepat lagi.
Dilihatnya orang-orang Banu Hanifah bergelimpangan mati di
sekitar Musailimah. Mati tak mereka pedulikan lagi. Maka
Khalid yakin, jalan pintas untuk mencapai kemenangan itu
ialah Musailimah sendiri yang harus dibunuh. Karenanya, ia
dan pasukannya membuat suatu muslihat sampai berada tak jauh
dari tempat Musailimah. Kemudian ia memancingnya supaya
orang itu keluar menghadapinya. Tetapi yang keluar untuk
menemui Khalid saat itu pengawal-pengawal Musailimah. Namun
sebelum mereka mencapai Khalid, pedang Khalid sudah lebih
dulu menyambut mereka dengan maut. Tak sedikit di antara
mereka yang terbunuh.
Karena sifat penakutnya yang luar biasa Musailimah merasa
rendah diri. Terlintas dalam pikirannya ingin juga keluar
seperti yang lain-lain. Tetapi yakin dia, pasti akan
terbunuh jika ia keluar. Ragu dia dan gelisah. Selama dalam
kegelisahan dan keraguannya itulah, Khalid dan pasukannya
tiba-tiba menyerangnya dan menyerang orang-orang di
sekitarnya dan yang sudah siap dengan senjata. Ketika itulah
kawan-kawan Musailimah berteriak: "Mana yang kaujanjikan
kepada kami!" Sambil berlari Musailimah menjawab:
"Bertempurlah demi kehormatan leluhur." Bagaimana mereka
akan bertempur sedang dia sendiri sudah cepat-cepat lari
lebih dulu! Tidaklah logis mereka akan mengikuti orang yang
lari seperti mengikuti seorang nabi!
Berlindung dalam kebun
Mereka lari itu dilihat oleh Muhakkam bin Tufail, dan
dilihatnya pula Muslimin mengejar mereka. Ia berteriak
memanggil-manggil: "Hai Banu Hanifah! Kebun, kebun!"
Maksudnya supaya mereka berlindung ke dalam kebun. Kebun itu
tidak jauh dari mereka. Kebun milik Musailimah ini cukup
luas, dikelilingi tembok-tembok yang kukuh seolah seperti
benteng. Kebun ini yang mendapat sebutan "Kebun ar-Rahman"
(Hadiqatur Rahman). Mereka lari ke tempat itu dan
menyelamatkan diri dari kehancuran setelah ribuan orang
jatuh bergelimpangan ke tanah ditebas oleh pedang Muslimin.
Sementara mereka berlarian itu Muhakkam dan anak buahnya
berdiri memberikan perlindungan dari belakang. Ketika itu,
saat ia berusaha merintangi pasukan Muslimin sambil
mengerahkan anak buahnya agar bertahan, dan bersama-sama
bertempur sekuat tenaga dengan mereka untuk membentengi
kaumnya itu, ketika itu juga Abdur-Rahman putra Abu Bakr
as-Siddiq melepaskan anak panahnya yang tepat mengenai
tenggorokannya. Orang itu pun mati.
Musailimah dan pengikut-pengikutnya masih bertahan dalam
kebun. Adakah Muslimin akan mengepung mereka sekalipun akan
memakan waktu lama? Tidak! Angkatan perang yang sekarang
sedang dimabuk kemenangan ini menghendaki kemenangan yang
sempurna, kemenangan yang lebih cepat. Oleh karena itu
mereka mengelilingi kebun itu mencari-cari celah untuk
membuka gerbang kebun yang begitu kuat itu. Tetapi tak
berhasil.
Bara' memanjat tembok
Saat itu Bara' bin Malik berkata: "Saudara-saudara
Muslimin, lemparkan aku ke tengah-tengah mereka dalam
kebun!"
Tetapi yang lain menjawab: "Bara', jangan!" Apa pula yang
akan dilakukan Bara' seorang diri di tengah-tengah ribuan
orang yang sedang mencari perlindungan dari maut dalam kebun
itu! Tetapi Bara' tetap mendesak dan menambahkan:
"Tidak, lemparkanlah aku ke tengah-tengah mereka."
Kemudian mereka mengusungnya ke atas tembok itu. Tetapi
setelah dilihatnya begitu banyak orang di dalamnya, ia malah
ragu dan mau mundur seraya berkata:
"Turunkan aku," tetapi segera katanya lagi: "Usunglah
aku!" Berkalikali ia berkata begitu. Kemudian ia berdiri di
atas tembok. Hatinya berkata: -Ini pahlawan Bara', yang
segala sepak terjangnya sudah menjadi buah bibir di seluruh
Semenanjung. Ya, kalau dia mundur, orang akan mengatakan:
Punya kemauan tapi tidak berbuat. Kemasyhurannya sebagai
pahlawan akan lenyap. Tadinya sudah maju lalu mundur, akan
jadi bahan ejekan orang. Kalau itu terjadi, tak ada artinya
dia. Akan dikemanakan mukanya! Karenanya, dibuangnya
keraguan itu lalu ia melemparkan diri ke depan pintu kebun
Banu Hanifah itu. Ia menyerang mereka kanan kiri sampai
berhasil membuka pintu kebun untuk pasukan Muslimin, yang
kemudian masuk menyerbu ke dalam dengan pedang terhunus di
tangan. Maut sudah membayang di biji mata. Begitu
anggota-anggota keluarga Banu Hanifah itu melihat pasukan
Muslimin, mereka kabur berlarian dalam kebun yang sudah
berubah menjadi sebuah penjara, seperti kambing yang kabur
berlarian begitu melihat jagal datang membawa pisau.
Muslimin menyerbu kebun
Ini menurut satu sumber. Tetapi sumber lain menyebutkan
bahwa pasukan Muslimin ramai-ramai memanjat tembok kebun itu
dan berusaha menyerbu ke pintu. Barangkali Bara' termasuk
salah seorang pemanjat tembok yang terdekat ke pintu, dan
ketika terjun ke dalam kebun dialah yang membukakan pintu
buat pasukan Muslimin setelah ia bertempur melawan siapa
saja yang ada dalam kebun itu. Peristiwa itu terjadi ketika
orang-orang yang berlindung dalam kebun itu sedang sibuk
menghadapi lawan yang menghujani mereka dengan panah dari
atas tembok.
Kematian Musailimah
Pasukan Muslimin menyerbu kebun itu dan langsung
menyerang musuh. Pedang-pedang Banu Hanifah itu justru
terhambat oleh pepohonan di sekitar mereka. Sungguhpun
begitu tidak mengurangi sengitnya pertempuran. Korban tidak
sedikit di kedua belah pihak, meskipun di pihak Banu Hanifah
dua kali lebih banyak.
Setelah perang Uhud dulu Wahsyi sudah masuk Islam. Orang
asal Abisinia inilah yang dulu membunuh Hamzah, bapak
syuhada dalam perang Uhud itu. Dalam perang Yamamah ini ia
juga ikut serta. Tatkala dilihatnya Musailimah di kebun itu,
diayunkannya tombaknya, dan bila sudah terasa pas,
dibidikkannya kepada Musailimah. Bidikannya itu tidak
meleset. Bersamaan dengan itu ada orang Ansar yang juga ikut
menghantam Musailimah dengan pedangnya. Karena itulah Wahsyi
berkata:
"Hanya Allah yang tahu siapa di antara kita yang telah
membunuhnya."
Ketika itu ada seseorang berteriak: "Yang membunuhnya
seorang budak hitam."3 Semangat Banu Hanifah reda
setelah mendengar teriakan bahwa Musailimah sudah terbunuh.
Mereka menyerah tanpa mengadakan perlawanan lagi. Muslimin
terus menghantam mereka. Pada masa itu tanah Arab belum
pernah mengalami pertumpahan darah sehebat pertempuran di
Yamamah itu. Itu sebabnya "Kebun Rahman" ini kemudian diberi
nama "Kebun Maut." Dan nama inilah yarig terus dipakai dalam
bukubuku sejarah.
Mujja'ah menunjukkan mayat
Musailimah
Selesai pertempuran atas permintaan Khalid Mujja'ah
dibawa dari kemahnya. Dimintanya ia menunjukkan mayat
Musailimah. Sementara sedang memeriksa mayat-mayat itu,
mereka melalui mayat Muhakkam - Muhakkam ini berwajah
tampan. Setelah Khalid melihatnya ia bertanya kepada
Mujja'ah: Dia ini kawanmu itu? "Bukan," jawab Mujja'ah.
"Orang ini lebih baik dan lebih terhormat dari dia. Ini
Muhakkam."
Mujja'ah dan Khalid memasuki Kebun Maut itu. Mereka lalu
di depan mayat "Ruwaijil Usaifir Ukhainas" itu.
"Inilah orangnya. Kalian sekarang sudah bebas dari dia,"
kata Mujja'ah.
"Orang inilah yang telah berbuat sekehendak hatinya
terhadap kalian," sambung Khalid.
Malapetaka yang ditimbulkan Musailimah itu kini sudah
berakhir dan sudah dicabut dari akarnya. Angkatan
bersenjatanya pun telah dikikis habis. Sudah tibakah saatnya
sekarang Khalid dan pasukannya harus beristirahat?
Khalid meneruskan perjuangan
Tidak! Ini bukan watak Khalid. Dan bukan ini pula
strategi perangnya. Strateginya selalu ialah kemenangan itu
harus mencapai puncaknya, supaya jangan timbul akibat yang
tak diinginkan kemudian hari. Tak cukup hanya dengan
memerangi Banu Asad dan mereka yang bersekutu dengan
Tulaihah, tetapi terus dilanjutkan sampai daerah itu
benar-benar bebas dari segala gangguan. Begitu juga dulu
dengan Umm Ziml dan sisa-sisa pasukannya. Kemudian Banu
Tamim, tidak dibiarkannya sebelum ia dapat mengikis habis
setiap orang yang mau meniupkan api fitnah di daerah itu. Di
tempat-tempat lain juga ia lakukan demikian.
Sesudah membereskan mereka yang berlindung di Kebun Maut
itu Abdullah bin Umar dan Abdur-Rahman bin Abi Bakr berkata
kepada Khalid:
"Kirimkanlah kami dan beberapa orang untuk menempati
benteng itu." Maksudnya benteng Yamamah.
"Aku akan menyebarkan pasukan berkuda dan menangkapi
orang-orang yang ada di luar benteng, sesudah itu nanti aku
mengambil keputusan," kata Khalid.
Khalid menyebarkan pasukan berkudanya, yang kemudian
kembali membawa segala harta benda, perempuan dan anak-anak.
Semua itu dibawa ke markas. Barulah kemudian ia
memerintahkan agar berangkat ke benteng dan membongkar
segala yang ada di dalamnya. Dengan mengadakan pembersihan
demikian terhadap Banu Hanifah sejak itu tak ada lagi
perlawanan.
Perdamaian Khalid-Mujja'ah
Khalid makin percaya kepada Mujja'ah sesudah ia diberi
tugas melindungi Umm Tamim, demikian juga kejujurannya
mengenai Musailimah dan pengikut-pengikutnya. Orang ini
datang kepada Khalid mengatakan:
"Yang sudah kauperoleh itu hanya orang-orang baris depan
saja; di dalam benteng masih banyak tokoh-tokoh yang lain.
Bersediakah kau mengadakan perdamaian sehubungan dengan
orang-orang yang menjadi tanggung jawabku?"
Khalid memperhatikan angkatan bersenjatanya. Tampaknya
mereka sudah letih sekali dicabik perang, sudah banyak pula
di antara pemuka-pemuka mereka yang mengalami luka-luka.
Mereka ingin kembali membawa kemenangan yang membanggakan
itu. Kalau dengan maksudnya itu Mujja'ah jujur, menurut
hematnya memang sebaiknya mengajaknya damai, dengan catatan
pihak Muslimin tetap menguasai rampasan perang yang sudah
menjadi bagiannya, kecuali separuh dari orang-orang
tawanan.
Selanjutnya kata Mujja'ah:
"Sekarang aku akan menemui kaumku dan akan kutawarkan apa
yang sudah kulakukan ini."
Ia pergi menemui perempuan-perempuan di tempat itu dan
katanya kepada mereka: "Pakailah pakaian besi kalian dan
tampillah ke depan benteng."
Setelah mereka melakukan itu dan Khalid menyaksikannya,
ia yakin bahwa Mujja'ah tidak membohonginya. Tetapi kemudian
Mujja'ah kembali lagi dan berdalih bahwa apa yang sudah
dilakukannya itu mereka tak setuju. Hanya sebagian yang
tampil ke depan benteng kemudian kembali menyatakan pendapat
mereka yang sama. Khalid mengalah dari separuh tawanan yang
sudah disetujuinya itu. Tetapi ketika benteng itu dibuka
yang ada hanya perempuan, anak-anak dan orang tua-tua yang
sudah lemah. Khalid menatap Mujja'ah dengan pandangan
berang.
"Celaka engkau! Kau mau menipu aku?!"
"Tenanglah," kata Mujja'ah. "Mereka itu kaumku. Aku tak
dapat berbuat lain selain apa yang sudah kulakukan itu."
Khalid sangat menghargai kesungguhan solidaritasnya itu.
Kemudian perjanjian perdamaian disetujui dan orang itu pun
dibebaskan.
Disebutkan juga bahwa sebelum diadakan perjanjian dan
sebelum Khalid melihat siapa yang ada dalam benteng itu,
Mujja'ah pergi menemui kaumnya dan menawarkan perjanjian
tersebut kepada mereka. Tetapi Salamah bin Umair dari Banu
Hanifah menentangnya.
"Tidak," katanya. "Kita tidak setuju. Kita akan mengajak
penduduk dan budak-budak, kita akan terus berperang, bukan
berdamai dengan Khalid. Benteng kita kuat, makanan cukup dan
musim dingin sudah tiba." "Engkau ini sial!" kata Mujja 'ah,
"masih hijau, kurang pengalaman. Engkau keliru mengira aku
menipu mereka sampai dapat memenuhi permintaanku untuk
damai. Masih adakah orang dari kita yang dapat diharapkan
atau dapat mempertahankan diri? Aku cepat-cepat bertindak
demikian sebelum kalian ditimpa malapetaka seperti yang
dikatakan Syurahbil bin Musailimah 'Sebelum
perempuan-perempuan kita mendapat giliran sebagai tawanan,
dan dijadikan gundik-gundik.'" Mendengar kata-kata itu
mereka lebih menyetujui perdamaian dan tidak lagi
menghiraukan kata-kata Salamah bin Umair.
|