VIII. SAJAH DAN MALIK BIN NUWAIRAH
(3/3)
Percakapan Abu Qatadah dengan Abu
Bakr
Yang lain menyebutkan bahwa Abu Qatadah pergi ke Medinah
setelah Khalid mengawini Laila, dan bahwa Mutammam bin
Nuwairah, saudara Malik juga pergi bersama-sama. Sesampainya
di Medinah, masih dalam keadaan marah Abu Qatadah menemui
Abu Bakr. Dilaporkannya soal Khalid yang membunuh Malik
serta perkawinannya dengan Laila itu, dan ditambahkannya
bahwa ia sudah bersumpah tak akan mau lagi berada di bawah
komando Khalid. Tetapi Abu Bakr sangat memuji Khalid dan
kemenangan-kemenangannya itu. Ia tidak senang dengan sikap
Abu Qatadah itu, bahkan ia merasa heran ia berkata demikian
tentang Saiful Islam - Pedang Islam.
Umar bin Khattab mendukung Abu
Qatadah di depan Khalifah
Adakah kemarahan Khalifah itu membuat hati Abu Qatadah
jadi kecut lalu diam? Tidak! Ia memang marah besar kepada
Khalid. Ia menemui Umar bin Khattab dan melaporkan segala
peristiwa itu; dilukiskannya Khalid sebagai orang yang telah
mengalahkan kewajibannya dengan nafsunya. Karena
memperturutkan keinginannya ia menggampangkan hukum Allah.
Umar mendukung pendapatnya itu dan ia juga mengecam
Khalid.
Umar pergi menemui Abu Bakr. Ia marah sekali karena
perbuatan Khalid itu, dan dimintanya supaya Khalid
dipecat.
"Pedang Khalid itu sangat tergesa-gesa2, dan
harus ada pembalasan," katanya. Abu Bakr tak pernah
mengadakan pembalasan pejabat-pejabatnya. Itu sebabnya,
ketika Umar mendesak berulang kali ia berkata:
"Ah, Umar! Dia sudah membuat pertimbangan tapi salah.
Janganlah berkata yang bukan-bukan tentang Khalid." Umar
tidak puas dengan jawaban itu dan tidak pula henti-hentinya
berusaha supaya usulnya itu dilaksanakan.
"Umar!" kata Abu Bakr yang mulai merasa kesal karena
desakan Umar itu, "aku tak akan menyarungkan pedang yang
oleh Allah sudah dihunuskan kepada orang-orang kafir!"
Kemarahan Umar atas perbuatan
Khalid
Tetapi Umar melihat perbuatan Khalid itu tak dapat
diterima. Perasaan dan hati kecilnya menolak. Bagaimana ia
akan diam, bagaimana akan membiarkan Khalid tenang-tenang
begitu saja, merasa tak pernah berbuat kesalahan, tak pernah
berdosa! Ia harus mengulangi lagi kata-katanya kepada Abu
Bakr dan mengatakannya terus terang, bahwa musuh Allah ialah
orang yang melanggar hak seorang Muslim lalu membunuhnya dan
mengawini istrinya. Samasekali tidak jujur perbuatan
demikian itu jika tidak dijatuhi hukuman. Menghadapi
kemarahan Umar itu tak ada jalan lain buat Abu Bakr harus
memanggil Khalid dan menanyakan segala yang diperbuatnya
itu.
Tatkala kemudian Khalid datang dari medan perang ke
Medinah, dan masuk ke mesjid dengan perlengkapan perang,
mengenakan pakaian luar berbercak karat besi, di ikat
kepalanya diselipkan beberapa anak panah. Begitu dilihatnya
melangkah ke dalam mesjid, Umar berdiri, direnggutnya anak
panah itu dari kepalanya dan diremukkannya seraya berkata:
"Engkau membunuh seorang Muslim kemudian mengawini istrinya
heh! Sungguh akan kurajam engkau dengan batu!"
Khalid diam, tidak melawan dan tidak berkata sepatah kata
pun. Menurut dugaannya, Abu Bakr pun akan sependapat dengan
Umar. Ia terus menemui Abu Bakr dan dilaporkannya keadaan
Malik dan pembelaannya terhadap Sajah serta sikapnya yang
maju mundur setelah itu. Pelbagai alasan dikemukakannya
mengenai pembunuhan itu. Abu Bakr memaafkannya dan dapat
memahami atas segala kejadian yang masih dalam suasana
perang itu. Tetapi ia mendapat teguran keras karena
perkawinannya dengan seorang perempuan sementara darah
suaminya belum lagi kering. Dalam perang orang Arab sangat
menjauhi perempuan, dan berhubungan dengan mereka selama itu
dipandang sangat tercela.
Khalid keluar dari tempat Khalifah dengan tetap sebagai
seorang pemimpin pasukan. Ia bersiap-siap akan kembali
kepada mereka dan akan memimpin mereka ke Yamamah.
Ketika melewati Umar - yang masih ada di mesjid - Khalid
berpaling kepadanya seraya berkata:
"Marilah, anak Umm Salamah!"
Ia mengeluarkan kata-kata itu dengan pandangan mata
mengejek, dan nada suaranya menyiratkan kemenangan seolah ia
hendak berkata: simpanlah batu-batumu itu, dan rajamkanlah
kepada orang lain.
Umar yakin sudah bahwa Abu Bakr telah memaafkannya dan
rupanya ia diterima dengan baik. Sekarang giliran Umar yang
diam. Hari itu persoalan antara kedua orang itu selesai
sudah dengan sekadar tukar-menukar kata-kata.
Sikap Umar terhadap Khalid setelah
menjadi Khalifah
Pendirian Umar tidak berubah apa pun yang telah dilakukan
Khalid. Setelah Abu Bakr wafat, dan Umar kemudian dibaiat
sebagai penggantinya, yang pertama sekali dilakukan ialah
mengutus orang ke Syam mengabarkan kematian Abu Bakr, dan
bersamaan dengan utusan yang membawa berita itu dibawanya
pula sepucuk surat keputusan memecat Khalid dari pimpinan
militer. Ketika kembali ke Medinah Khalid langsung
menegurnya atas pemecatannya itu.
"Aku memecat engkau bukan karena menyangsikan engkau,"
jawab Umar. "Tetapi orang banyak akan terpengaruh kepadamu,
maka aku khawatir engkau pun akan terpengaruh oleh mereka."
Alasan itu masuk akal juga. Tetapi ahli-ahli sejarah umumnya
sependapat bahwa Umar masih terpengaruh oleh pendiriannya
yang dulu juga, tentang Khalid yang membunuh Malik bin
Nuwairah serta mengawini istrinya itu. Dan pendirian ini
berdampak juga pada pemecatan Khalid.
Mutammam setelah pembunuhan
saudaranya
Usaha Mutammam bin Nuwairah tidak pula kurang dari usaha
Abu Qatadah sejak ia tiba di Medinah. Ia menuntut diat (uang
tebusan) atas kematian Malik itu kepada Abu Bakr, yang
kemudian dipenuhinya. Selanjutnya ia membicarakan masalah
tawanan perang. Abu Bakr menulis surat supaya tawanan itu
dikembalikan.
Di Medinah Mutammam masih tinggal agak lama, sampai
sesudah ekspedisi Yamamah. Umar menaruh simpati kepadanya
karena pendiriannya mengenai Khalid yang begitu gigih. Dalam
pada itu Mutammam banyak membuat elegi - sajak-sajak
meratapi kematian saudaranya itu - yang dinilai termasuk
karya sastra Arab bermutu. Mengenai hubungan Mutammam dengan
Umar disebutkan, bahwa ketika pada suatu pagi Umar bin
Khattab usai salat subuh, ia melihat ada seorang laki-laki
pendek dan bermata sebelah sedang bertelekan pada sebuah
busur dengan memegang sebatang gada (tongkat besar). Setelah
ditanya barulah tahu dia bahwa orang itu Mutammam bin
Nuwairah. Dimintanya ia membacakan sajaknya tentang
saudaranya itu. Mutammam membacakan salah satu puisinya
sampai pada kata-kata:
- Kami seperti menyesali Jazimah selama
bertahun-tahun,
- Sehingga dikatakan tak akan pernah bercerai;
- Setelah kami berpisah, aku dan Malik,
- Karena lama berkumpul, seolah tak pernah bermalam
bersama.
"Sungguh ini suatu kenangan mengharukan," kata Umar.
"Kalau aku pandai bersajak aku akan meratapi saudaraku Zaid
seperti simpatimu untuk saudaramu ini."
"Tetapi kalau saudaraku mati seperti kematian saudaramu,
aku tak akan meratapinya," kata Mutammam. Zaid gugur di
Yamamah sebagai syahid di bawah pimpman Khalid bin
Walid.
Mendengar jawaban Mutammam itu Umar berkata lagi:
"Tak pernah ada orang menghibur hatiku seperti yang
dilakukan oleh Mutammam ini."
Perbedaan pendapat Abu Bakr dengan
Umar
Kita sudah melihat perbedaan pendapat antara Abu Bakr
dengan Umar mengenai apa yang terjadi sekitar Malik bin
Nuwairah itu. Sudah tentu kedua tokoh ini menghendaki yang
terbaik untuk Islam dan kaum Muslimin. Adakah perselisihan
mereka itu disebabkan oleh perbedaan dalam menilai apa yang
sudah dilakukan Khalid, atau karena perbedaan kebijakan yang
harus berlaku dalam situasi yang begitu genting dalam
sejarah kaum Muslimin serta situasi pembangkangan (riddah)
dan adanya pemberontakan di kawasan Semenanjung Arab
itu?!
Pendapat Umar dan alasannya
Mengenai perbedaan ini, menurut hemat saya adalah
perbedaan kebijakan yang mesti terjadi dalam situasi semacam
ini. Perbedaan itu sesuai dengan watak mereka masing-masing.
Umar, adalah contoh keadilan yang sangat ketat. Ia melihat
Khalid telah berlaku tak adil terhadap seorang Muslim lalu
mengawini istrinya sebelum habis masa idahnya. Tak boleh ia
tetap memimpin angkatan bersenjata, agar yang serupa itu tak
terulang lagi. Yang demikian ini akan merusak keadaan umat
Islam, dan akan meninggalkan citra yang buruk sekali di mata
orang-orang Arab. Atas perbuatannya terhadap Laila tak boleh
dibiarkan tanpa mendapat hukuman. Andaikata benar bahwa ia
sudah membuat pertimbangan mengenai Malik itu tapi salah -
dan ini tak dapat diterima oleh Umar - maka apa yang telah
diperbuatnya terhadap istrinya sudah cukup untuk menjatuhkan
hukuman kepadanya. Bukan alasan bahwa karena dia
Saifullah, bahwa karena dia panglima yang telah
memberikan kemenangan gemilang. Sekiranya alasan semacam ini
dibenarkan tentu Khalid dan yang semacamnya akan dibolehkan
melakukan segala pelanggaran, dan niscaya ini pulalah contoh
yang buruk sekali diberikan kaum Muslimin dalam menghormati
Qur'an. Itulah sebabnya Umar tak henti-hentinya mengingatkan
Abu Bakr dan terus mendesak supaya Khalid dipanggil dan
diberi teguran keras atas perbuatannya itu.
Pendapat Abu Bakr dan
alasannya
Menurut pendapat Abu Bakr, dalam situasi demikian lebih
berbahaya untuk membuat perhitungan serupa ini. Terbunuhnya
satu orang atau sekelompok orang bukanlah soal salah atau
tidak salah. Bahaya itu akan mengancam seluruh negara,
pemberontakan akan berkecamuk di sana sini. Dan panglima
ini, yang dituduh bersalah, akan memicu bahaya dan bencana
besar yang selama itu sangat dikhawatirkan. Perkawinannya
dengan perempuan di luar kebiasaan orang Arab, bahkan
sebelum habis idahnya, jika itu terjadi pada seorang
panglima dalam suasana perang, sesuai dengan hukum perang
perempuan itu akan menjadi miliknya! Menerapkan hukum secara
kaku tidak berlaku terhadap orang-orang jenius dan
orang-orang besar semacam Khalid, terutama bilamana hal itu
membahayakan atau mengancam kedaulatan negara. Kaum Muslimin
memang memerlukan pedang Khalid, dan yang lebih mereka
perlukan lagi ialah ketika Abu Bakr memanggilnya dan
memberikan teguran keras kepadanya.
Ketika itu Musailimah di Yamamah, tak jauh dari Butah,
dengan empat puluh ribu pengikutnya dari Banu Hanifah yang
sedang keras-kerasnya memberontak kepada Islam dan kaum
Muslimin. Mereka dapat mengalahkan Ikrimah bin Abi Jahl yang
telah memimpin pasukan Muslimin. Maka untuk mengalahkannya
harapan satu-satunya kini terletak di pedang Khalid. Adakah
karena pembunuhan atas Malik bin Nuwairah itu, atau karena
Laila yang cantik jelita, yang telah menggoda Khalid, lalu
Khalid dipecat dan pasukan Muslimin menjadi korban pasukan
Musailimah, dengan segala akibat yang akan dihadapi agama
Allah ini!? Khalid adalah suatu mukjizat Allah dan pedangnya
adalah pedang Allah - Saifullah. Itulah kebijakan Abu
Bakr ketika memanggil Khalid, cukup hanya dengan menegurnya,
dan dalam waktu bersamaan diperintahkannya ia berangkat ke
Yamamah guna menghadapi Musailimah.
Perintah Abu Bakr kepada Khalid
Inilah menurut hemat saya gambaran yang sebenarnya
sehubungan dengan perbedaan pendapat antara Abu Bakr dengan
Umar khusus mengenai hal ini. Barangkali Abu Bakr
mengeluarkan perintah kepada Khalid untuk berangkat
menghadapi Musailimah setelah peramal Banu Hanifah itu
mengalahkan Ikrimah, untuk memperlihatkan kepada orang-orang
Medinah dan terutama mereka yang sependapat dengan Umar,
bahwa Khalid adalah orang yang akan mengantarkan malapetaka
itu, akan memberi pukulan telak, dan ketika perintah itu
dikeluarkan ia akan melemparkannya ke neraka, - atau dia
akan habis tenggelam. Itulah hukuman yang paling tepat atas
perbuatannya terhadap Umm Tamim Laila dan suaminya. Atau
kemenangan itu pula yang akan membersihkan namanya, lalu ia
muncul sebagai orang yang datang dengan kemenangan yang
membawa basil, sekaligus menenteramkan hati kaum Muslimin.
Dengan demikian apa yang terjadi di Butah sudah tak berarti
apa-apa lagi.
Yamamah sudah membersihkan nama Khalid walaupun dalam
pada itu, sebelum darah Muslimin dan darah pengikut-pengikut
Musailimah kering, ia telah menikah pula dengan seorang
gadis perawan, seperti yang dilakukannya dengan Laila. Atas
perbuatannya ini pun Abu Bakr memberikan teguran, bahkan
lebih keras lagi dari ketika mengawini Laila. Tetapi itu tak
lebih dari sekadar teguran dan Khalid pun tak lebih dari
sekadar mendengarkan. Saya rasa teguran Abu Bakr hanya untuk
menenangkan kemarahan orang-orang semacam Abu Qatadah. Kalau
saya harus merasa heran, keheranan saya kepada
penulis-penulis dan para ahli sejarah yang dengan peristiwa
itu mereka berusaha hendak menjelek-jelekkan Khalid. Juga
tidak kurang keheranan saya kepada mereka yang berusaha
hendak membelanya atau mencari-carikan alasan. Apa artinya
Malik, apa artinya Laila dan apa pula artinya Bint Mujja'ah
dibandingkan dengan ratusan bahkan ribuan kepala yang sudah
ditebas oleh pedang Khalid atau atas perintahnya. Ratusan,
bahkan ribuan kepala yang sudah lepas dari tubuh itu
merupakan kebanggaan Khalid, dan itulah yang membuat dia
sebagai Saifullah. Jika pada suatu saat pedangnya itu
pernah menimbulkan keonaran, selama bertahun-tahun pedang
itu juga telah memberikan kemenangan dan kebanggaan.
Khalid bertolak dari Medinah ke Butah setelah Abu Bakr
mengeluarkan perintah agar berangkat menghadapi Musailimah
di Yamamah. Sekarang ia kembali ke sana sesudah tempat itu
bebas dari pembangkangan kaum murtad dan bekas-bekasnya. Ia
tinggal di sana bersama pasukannya sambil menunggu datangnya
bantuan dari Abu Bakr yang memang sudah dipersiapkan untuk
memperkuatnya. Setelah kemudian bantuan datang, ia berangkat
memimpin angkatan bersenjatanya menuju tempat orang yang
mengaku nabi itu, yang di Semenanjung itu ia dipandang
paling berbahaya. Ia berangkat dengan penuh rasa percaya
diri dan keimanan kepada Allah, dan dengan keyakinan bahwa
Allah akan memperkuatnya, akan memberikan pertolongan
kepadanya.
"Jika Allah menolong kamu tak ada yang akan dapat
mengalahkan kamu." (Qur'an, 3. 160).
Catatan kaki:
- Khalid memerintahkan dengan kata dafi'u: 'biarlah
para tawanan itu berdiang.' Dalam bahasa Arab Kinanah
kata dafi'u itu berarti 'bunuhlah' (A).
- Rahaqan, tergesa-gesa (N), bodoh, mudah
berbuat jahat dan pelanggaran, kejam (LA)(A).
|