Abu Bakr As-Siddiq

oleh Muhammad Husain Haekal

Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

VIII. SAJAH DAN MALIK BIN NUWAIRAH (3/3)

Percakapan Abu Qatadah dengan Abu Bakr

Yang lain menyebutkan bahwa Abu Qatadah pergi ke Medinah setelah Khalid mengawini Laila, dan bahwa Mutammam bin Nuwairah, saudara Malik juga pergi bersama-sama. Sesampainya di Medinah, masih dalam keadaan marah Abu Qatadah menemui Abu Bakr. Dilaporkannya soal Khalid yang membunuh Malik serta perkawinannya dengan Laila itu, dan ditambahkannya bahwa ia sudah bersumpah tak akan mau lagi berada di bawah komando Khalid. Tetapi Abu Bakr sangat memuji Khalid dan kemenangan-kemenangannya itu. Ia tidak senang dengan sikap Abu Qatadah itu, bahkan ia merasa heran ia berkata demikian tentang Saiful Islam - Pedang Islam.

Umar bin Khattab mendukung Abu Qatadah di depan Khalifah

Adakah kemarahan Khalifah itu membuat hati Abu Qatadah jadi kecut lalu diam? Tidak! Ia memang marah besar kepada Khalid. Ia menemui Umar bin Khattab dan melaporkan segala peristiwa itu; dilukiskannya Khalid sebagai orang yang telah mengalahkan kewajibannya dengan nafsunya. Karena memperturutkan keinginannya ia menggampangkan hukum Allah. Umar mendukung pendapatnya itu dan ia juga mengecam Khalid.

Umar pergi menemui Abu Bakr. Ia marah sekali karena perbuatan Khalid itu, dan dimintanya supaya Khalid dipecat.

"Pedang Khalid itu sangat tergesa-gesa2, dan harus ada pembalasan," katanya. Abu Bakr tak pernah mengadakan pembalasan pejabat-pejabatnya. Itu sebabnya, ketika Umar mendesak berulang kali ia berkata:

"Ah, Umar! Dia sudah membuat pertimbangan tapi salah. Janganlah berkata yang bukan-bukan tentang Khalid." Umar tidak puas dengan jawaban itu dan tidak pula henti-hentinya berusaha supaya usulnya itu dilaksanakan.

"Umar!" kata Abu Bakr yang mulai merasa kesal karena desakan Umar itu, "aku tak akan menyarungkan pedang yang oleh Allah sudah dihunuskan kepada orang-orang kafir!"

Kemarahan Umar atas perbuatan Khalid

Tetapi Umar melihat perbuatan Khalid itu tak dapat diterima. Perasaan dan hati kecilnya menolak. Bagaimana ia akan diam, bagaimana akan membiarkan Khalid tenang-tenang begitu saja, merasa tak pernah berbuat kesalahan, tak pernah berdosa! Ia harus mengulangi lagi kata-katanya kepada Abu Bakr dan mengatakannya terus terang, bahwa musuh Allah ialah orang yang melanggar hak seorang Muslim lalu membunuhnya dan mengawini istrinya. Samasekali tidak jujur perbuatan demikian itu jika tidak dijatuhi hukuman. Menghadapi kemarahan Umar itu tak ada jalan lain buat Abu Bakr harus memanggil Khalid dan menanyakan segala yang diperbuatnya itu.

Tatkala kemudian Khalid datang dari medan perang ke Medinah, dan masuk ke mesjid dengan perlengkapan perang, mengenakan pakaian luar berbercak karat besi, di ikat kepalanya diselipkan beberapa anak panah. Begitu dilihatnya melangkah ke dalam mesjid, Umar berdiri, direnggutnya anak panah itu dari kepalanya dan diremukkannya seraya berkata: "Engkau membunuh seorang Muslim kemudian mengawini istrinya heh! Sungguh akan kurajam engkau dengan batu!"

Khalid diam, tidak melawan dan tidak berkata sepatah kata pun. Menurut dugaannya, Abu Bakr pun akan sependapat dengan Umar. Ia terus menemui Abu Bakr dan dilaporkannya keadaan Malik dan pembelaannya terhadap Sajah serta sikapnya yang maju mundur setelah itu. Pelbagai alasan dikemukakannya mengenai pembunuhan itu. Abu Bakr memaafkannya dan dapat memahami atas segala kejadian yang masih dalam suasana perang itu. Tetapi ia mendapat teguran keras karena perkawinannya dengan seorang perempuan sementara darah suaminya belum lagi kering. Dalam perang orang Arab sangat menjauhi perempuan, dan berhubungan dengan mereka selama itu dipandang sangat tercela.

Khalid keluar dari tempat Khalifah dengan tetap sebagai seorang pemimpin pasukan. Ia bersiap-siap akan kembali kepada mereka dan akan memimpin mereka ke Yamamah.

Ketika melewati Umar - yang masih ada di mesjid - Khalid berpaling kepadanya seraya berkata:

"Marilah, anak Umm Salamah!"

Ia mengeluarkan kata-kata itu dengan pandangan mata mengejek, dan nada suaranya menyiratkan kemenangan seolah ia hendak berkata: simpanlah batu-batumu itu, dan rajamkanlah kepada orang lain.

Umar yakin sudah bahwa Abu Bakr telah memaafkannya dan rupanya ia diterima dengan baik. Sekarang giliran Umar yang diam. Hari itu persoalan antara kedua orang itu selesai sudah dengan sekadar tukar-menukar kata-kata.

Sikap Umar terhadap Khalid setelah menjadi Khalifah

Pendirian Umar tidak berubah apa pun yang telah dilakukan Khalid. Setelah Abu Bakr wafat, dan Umar kemudian dibaiat sebagai penggantinya, yang pertama sekali dilakukan ialah mengutus orang ke Syam mengabarkan kematian Abu Bakr, dan bersamaan dengan utusan yang membawa berita itu dibawanya pula sepucuk surat keputusan memecat Khalid dari pimpinan militer. Ketika kembali ke Medinah Khalid langsung menegurnya atas pemecatannya itu.

"Aku memecat engkau bukan karena menyangsikan engkau," jawab Umar. "Tetapi orang banyak akan terpengaruh kepadamu, maka aku khawatir engkau pun akan terpengaruh oleh mereka." Alasan itu masuk akal juga. Tetapi ahli-ahli sejarah umumnya sependapat bahwa Umar masih terpengaruh oleh pendiriannya yang dulu juga, tentang Khalid yang membunuh Malik bin Nuwairah serta mengawini istrinya itu. Dan pendirian ini berdampak juga pada pemecatan Khalid.

Mutammam setelah pembunuhan saudaranya

Usaha Mutammam bin Nuwairah tidak pula kurang dari usaha Abu Qatadah sejak ia tiba di Medinah. Ia menuntut diat (uang tebusan) atas kematian Malik itu kepada Abu Bakr, yang kemudian dipenuhinya. Selanjutnya ia membicarakan masalah tawanan perang. Abu Bakr menulis surat supaya tawanan itu dikembalikan.

Di Medinah Mutammam masih tinggal agak lama, sampai sesudah ekspedisi Yamamah. Umar menaruh simpati kepadanya karena pendiriannya mengenai Khalid yang begitu gigih. Dalam pada itu Mutammam banyak membuat elegi - sajak-sajak meratapi kematian saudaranya itu - yang dinilai termasuk karya sastra Arab bermutu. Mengenai hubungan Mutammam dengan Umar disebutkan, bahwa ketika pada suatu pagi Umar bin Khattab usai salat subuh, ia melihat ada seorang laki-laki pendek dan bermata sebelah sedang bertelekan pada sebuah busur dengan memegang sebatang gada (tongkat besar). Setelah ditanya barulah tahu dia bahwa orang itu Mutammam bin Nuwairah. Dimintanya ia membacakan sajaknya tentang saudaranya itu. Mutammam membacakan salah satu puisinya sampai pada kata-kata:

Kami seperti menyesali Jazimah selama bertahun-tahun,
Sehingga dikatakan tak akan pernah bercerai;
Setelah kami berpisah, aku dan Malik,
Karena lama berkumpul, seolah tak pernah bermalam bersama.

"Sungguh ini suatu kenangan mengharukan," kata Umar. "Kalau aku pandai bersajak aku akan meratapi saudaraku Zaid seperti simpatimu untuk saudaramu ini."

"Tetapi kalau saudaraku mati seperti kematian saudaramu, aku tak akan meratapinya," kata Mutammam. Zaid gugur di Yamamah sebagai syahid di bawah pimpman Khalid bin Walid.

Mendengar jawaban Mutammam itu Umar berkata lagi:

"Tak pernah ada orang menghibur hatiku seperti yang dilakukan oleh Mutammam ini."

Perbedaan pendapat Abu Bakr dengan Umar

Kita sudah melihat perbedaan pendapat antara Abu Bakr dengan Umar mengenai apa yang terjadi sekitar Malik bin Nuwairah itu. Sudah tentu kedua tokoh ini menghendaki yang terbaik untuk Islam dan kaum Muslimin. Adakah perselisihan mereka itu disebabkan oleh perbedaan dalam menilai apa yang sudah dilakukan Khalid, atau karena perbedaan kebijakan yang harus berlaku dalam situasi yang begitu genting dalam sejarah kaum Muslimin serta situasi pembangkangan (riddah) dan adanya pemberontakan di kawasan Semenanjung Arab itu?!

Pendapat Umar dan alasannya

Mengenai perbedaan ini, menurut hemat saya adalah perbedaan kebijakan yang mesti terjadi dalam situasi semacam ini. Perbedaan itu sesuai dengan watak mereka masing-masing. Umar, adalah contoh keadilan yang sangat ketat. Ia melihat Khalid telah berlaku tak adil terhadap seorang Muslim lalu mengawini istrinya sebelum habis masa idahnya. Tak boleh ia tetap memimpin angkatan bersenjata, agar yang serupa itu tak terulang lagi. Yang demikian ini akan merusak keadaan umat Islam, dan akan meninggalkan citra yang buruk sekali di mata orang-orang Arab. Atas perbuatannya terhadap Laila tak boleh dibiarkan tanpa mendapat hukuman. Andaikata benar bahwa ia sudah membuat pertimbangan mengenai Malik itu tapi salah - dan ini tak dapat diterima oleh Umar - maka apa yang telah diperbuatnya terhadap istrinya sudah cukup untuk menjatuhkan hukuman kepadanya. Bukan alasan bahwa karena dia Saifullah, bahwa karena dia panglima yang telah memberikan kemenangan gemilang. Sekiranya alasan semacam ini dibenarkan tentu Khalid dan yang semacamnya akan dibolehkan melakukan segala pelanggaran, dan niscaya ini pulalah contoh yang buruk sekali diberikan kaum Muslimin dalam menghormati Qur'an. Itulah sebabnya Umar tak henti-hentinya mengingatkan Abu Bakr dan terus mendesak supaya Khalid dipanggil dan diberi teguran keras atas perbuatannya itu.

Pendapat Abu Bakr dan alasannya

Menurut pendapat Abu Bakr, dalam situasi demikian lebih berbahaya untuk membuat perhitungan serupa ini. Terbunuhnya satu orang atau sekelompok orang bukanlah soal salah atau tidak salah. Bahaya itu akan mengancam seluruh negara, pemberontakan akan berkecamuk di sana sini. Dan panglima ini, yang dituduh bersalah, akan memicu bahaya dan bencana besar yang selama itu sangat dikhawatirkan. Perkawinannya dengan perempuan di luar kebiasaan orang Arab, bahkan sebelum habis idahnya, jika itu terjadi pada seorang panglima dalam suasana perang, sesuai dengan hukum perang perempuan itu akan menjadi miliknya! Menerapkan hukum secara kaku tidak berlaku terhadap orang-orang jenius dan orang-orang besar semacam Khalid, terutama bilamana hal itu membahayakan atau mengancam kedaulatan negara. Kaum Muslimin memang memerlukan pedang Khalid, dan yang lebih mereka perlukan lagi ialah ketika Abu Bakr memanggilnya dan memberikan teguran keras kepadanya.

Ketika itu Musailimah di Yamamah, tak jauh dari Butah, dengan empat puluh ribu pengikutnya dari Banu Hanifah yang sedang keras-kerasnya memberontak kepada Islam dan kaum Muslimin. Mereka dapat mengalahkan Ikrimah bin Abi Jahl yang telah memimpin pasukan Muslimin. Maka untuk mengalahkannya harapan satu-satunya kini terletak di pedang Khalid. Adakah karena pembunuhan atas Malik bin Nuwairah itu, atau karena Laila yang cantik jelita, yang telah menggoda Khalid, lalu Khalid dipecat dan pasukan Muslimin menjadi korban pasukan Musailimah, dengan segala akibat yang akan dihadapi agama Allah ini!? Khalid adalah suatu mukjizat Allah dan pedangnya adalah pedang Allah - Saifullah. Itulah kebijakan Abu Bakr ketika memanggil Khalid, cukup hanya dengan menegurnya, dan dalam waktu bersamaan diperintahkannya ia berangkat ke Yamamah guna menghadapi Musailimah.

Perintah Abu Bakr kepada Khalid

Inilah menurut hemat saya gambaran yang sebenarnya sehubungan dengan perbedaan pendapat antara Abu Bakr dengan Umar khusus mengenai hal ini. Barangkali Abu Bakr mengeluarkan perintah kepada Khalid untuk berangkat menghadapi Musailimah setelah peramal Banu Hanifah itu mengalahkan Ikrimah, untuk memperlihatkan kepada orang-orang Medinah dan terutama mereka yang sependapat dengan Umar, bahwa Khalid adalah orang yang akan mengantarkan malapetaka itu, akan memberi pukulan telak, dan ketika perintah itu dikeluarkan ia akan melemparkannya ke neraka, - atau dia akan habis tenggelam. Itulah hukuman yang paling tepat atas perbuatannya terhadap Umm Tamim Laila dan suaminya. Atau kemenangan itu pula yang akan membersihkan namanya, lalu ia muncul sebagai orang yang datang dengan kemenangan yang membawa basil, sekaligus menenteramkan hati kaum Muslimin. Dengan demikian apa yang terjadi di Butah sudah tak berarti apa-apa lagi.

Yamamah sudah membersihkan nama Khalid walaupun dalam pada itu, sebelum darah Muslimin dan darah pengikut-pengikut Musailimah kering, ia telah menikah pula dengan seorang gadis perawan, seperti yang dilakukannya dengan Laila. Atas perbuatannya ini pun Abu Bakr memberikan teguran, bahkan lebih keras lagi dari ketika mengawini Laila. Tetapi itu tak lebih dari sekadar teguran dan Khalid pun tak lebih dari sekadar mendengarkan. Saya rasa teguran Abu Bakr hanya untuk menenangkan kemarahan orang-orang semacam Abu Qatadah. Kalau saya harus merasa heran, keheranan saya kepada penulis-penulis dan para ahli sejarah yang dengan peristiwa itu mereka berusaha hendak menjelek-jelekkan Khalid. Juga tidak kurang keheranan saya kepada mereka yang berusaha hendak membelanya atau mencari-carikan alasan. Apa artinya Malik, apa artinya Laila dan apa pula artinya Bint Mujja'ah dibandingkan dengan ratusan bahkan ribuan kepala yang sudah ditebas oleh pedang Khalid atau atas perintahnya. Ratusan, bahkan ribuan kepala yang sudah lepas dari tubuh itu merupakan kebanggaan Khalid, dan itulah yang membuat dia sebagai Saifullah. Jika pada suatu saat pedangnya itu pernah menimbulkan keonaran, selama bertahun-tahun pedang itu juga telah memberikan kemenangan dan kebanggaan.

Khalid bertolak dari Medinah ke Butah setelah Abu Bakr mengeluarkan perintah agar berangkat menghadapi Musailimah di Yamamah. Sekarang ia kembali ke sana sesudah tempat itu bebas dari pembangkangan kaum murtad dan bekas-bekasnya. Ia tinggal di sana bersama pasukannya sambil menunggu datangnya bantuan dari Abu Bakr yang memang sudah dipersiapkan untuk memperkuatnya. Setelah kemudian bantuan datang, ia berangkat memimpin angkatan bersenjatanya menuju tempat orang yang mengaku nabi itu, yang di Semenanjung itu ia dipandang paling berbahaya. Ia berangkat dengan penuh rasa percaya diri dan keimanan kepada Allah, dan dengan keyakinan bahwa Allah akan memperkuatnya, akan memberikan pertolongan kepadanya.

"Jika Allah menolong kamu tak ada yang akan dapat mengalahkan kamu." (Qur'an, 3. 160).

Catatan kaki:

  1. Khalid memerintahkan dengan kata dafi'u: 'biarlah para tawanan itu berdiang.' Dalam bahasa Arab Kinanah kata dafi'u itu berarti 'bunuhlah' (A).
  2. Rahaqan, tergesa-gesa (N), bodoh, mudah berbuat jahat dan pelanggaran, kejam (LA)(A).

(sebelum, sesudah)


Abu Bakr As-Siddiq - Yang Lembut Hati
Sebuah Biografi dan Studi Analisis tentang Permulaan Sejarah Islam Sepeninggal Nabi
 
oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
 
Penerbit P.T. Pustaka Litera AntarNusa
Jln. Arzimar III, Blok B No. 7A, Tel./Fax. (0251) 330505, Bogor 16152.
Jln. Rukem I-19, Rawamangun, Tel./Fax. (021) 4722889, Jakarta 13220.
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang No. 7/1987
ISBN 979-8100-29-8
Anggota IKAPI.
Setting dan kulit luar oleh Litera AntarNusa
Dicetak oleh P.T. INTERMASA, Jakarta.
 
Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team