XVI. Pengumpulan Qur'an (2/3)
Ali bin Abi Talib dan pengumpulan
Qur'an
Sesudah Abu Bakr selesai dibaiat Ali bin Abi Talib masih
tinggal di rumahnya. Hal ini dibicarakan orang kepada Abu
Bakr. Ia mengutus orang kepadanya dengan mengatakan: "Engkau
tidak senang dengan pengangkatanku ini lalu meninggalkan
aku?!" Ali menjawab: "Bukan begitu, demi Allah. Tetapi aku
melihat ada yang ditambah dalam Kitabullah. Dalam hati aku
berkata bahwa aku tak akan mengenakan jubahku - kecuali
waktu salat - sebelum kukumpulkan."6
Yang menyebabkan Abu Bakr ragu
Sebenarnya bukan hanya Ali saja yang terus menekuni
pengumpulan Qur'an setelah Rasulullah wafat. Bahkan yang
lain juga banyak yang menekuni demikian. Mereka menerimanya
dari sahabat-sahabat Nabi yang sudah mereka yakini. Abu Bakr
memuji Ali bin Abi Talib atas usahanya mengumpulkan Qur'an,
begitu juga Muslimin yang lain dipujinya atas usaha mereka
mengumpulkan Qur'an. Menurut hematnya pekerjaan mereka itu
sebagai pelipur lara bagi pendahulu-pendahulu mereka yang
telah mengumpulkan Qur'an pada masa Rasulullah. Tak
terlintas dalam pikiran hendak merintangi orang yang sudah
mengerjakan pekerjaan mulia itu, dengan keyakinan bahwa
Allah telah menurunkan Qur'an dan Dia pula yang menjaganya,
dan bahwa tak ada dari kalangan Muslimin yang berniat hendak
memasukkan hal-hal yang bukan dari Qur'an. Kalaupun ada yang
berani, seperti dikatakan oleh Ali bin Abi Talib,
menambah-nambah ke dalam Qur'an, muslihatnya itu oleh Allah
akan dibelitkan kembali ke lehernya sendiri, dan kaum
Muslimin sendiri yang saleh akan mengembalikan firman Allah
itu ke tempat yang sebenarnya.
Itulah yang menyebabkan ia merasa ragu ketika Umar
menawarkan pengumpulan Qur'an. Pegangannya ialah tak akan
melakukan apa pun yang tidak dikerjakan oleh Rasulullah dan
tak akan meninggalkan apa pun yang pernah dilakukan oleh
Rasulullah. Bahwa Rasulullah telah membiarkan penulisan
Qur'an kepada kaum Muslimin, sebagian mereka menuliskannya
dengan diimla oleh Rasulullah saw. dan sebagian lagi
menyalin dari penulis-penulis ini dan dari mereka yang telah
merekam Qur'an dalam ingatan mereka. Di masa kekhalifahannya
ia ingin segalanya berjalan seperti di masa Rasulullah.
Sebagai khalifahnya ia ingin menahan diri untuk tidak berani
melakukan hal-hal yang tak pernah dilakukan Rasulullah.
Argumentasi Umar telah membuka hati Abu
Bakr
Itulah alasan-alasan Abu Bakr dan Zaid bin Sabit. Tetapi
setelah Umar mengoreksi pendirian Khalifah itu ia pun tidak
lagi bersikukuh. Kendati para sejarawan tidak menyebutkan
secara rinci dialog antara kedua tokoh itu, namun apa yang
disampaikan para narasumber tentang sejarah Qur'an cukup
mengungkapkan kepada kita alasan Umar dan segala yang
mendukungnya sehingga terlihat bagi kita kepuasan Abu Bakr
dan Zaid bin Sabit mengenai semua itu.
Beberapa pendapat tentang Qur'an
dalam tujuh huruf
Tirmizi meriwayatkan bahwa "Rasulullah saw. bertemu
dengan Jibril dan berkata: Hai Jibril, aku diutus kepada
suatu umat yang ummi (tak kenal baca-tulis), ada nenek-nenek
dan kakek-kakek, ada anak-anak, hamba sahaya, orang yang tak
pernah membaca kitab. Jibril berkata kepadaku: Hai Muhammad,
Qur'an diturunkan dalam tujuh huruf."7
Para ulama masih berbeda pendapat tentang yang dimaksud
dengan tujuh huruf itu. Ada tiga puluh lima macam pendapat
yang mereka kemukakan, di antaranya mengatakan bahwa kaum
Muslimin yang baru masuk Islam dibolehkan mempertukarkan
kata-kata yang muradif (searti, sinonim), seperti 'hayo',
'ke mari', 'maju', 'cepat', 'segera', asal tidak
mencampuradukkan ayat rahmat dengan ayat azab atau ayat azab
dengan ayat rahmat. Ubai bin Ka'b membaca: [huruf
Arab]. Sebabnya ialah bagi penduduk suku-suku itu
sangat sulit membaca Qur'an di luar logat mereka. Meskipun
mereka ingin sekali tapi baru dapat mereka lakukan dengan
susah payah. Lalu dibolehkan mereka berbeda ucapan kalau
maknanya sama. Setelah kemudian mereka sering berhubungan
dengan Rasulullah mereka membaca Qur'an menurut lafalnya dan
tak dapat mereka membaca dengan cara lain. Ada pendapat yang
mengatakan bahwa dalam hal ini pada mulanya memang
dibolehkan tapi kemudian dicabut.
Bacaan para sahabat dibacakan di
depan Nabi
Memang benar bahwa beberapa pendapat tentang penafsiran
turunnya Qur'an dalam tujuh huruf itu berbeda dengan
pendapat ini. Ada yang berpendapat bahwa dalam Qur'an ada
tujuh logat, semuanya logat Arab, dan logat ini memang
beraneka macam, atau ketujuh logat itu menurut logat Mudar.
Yang lain berpendapat bahwa ketujuh huruf itu berhubungan
dengan perbedaan dalam membaca atau berhubungan dengan arti
dalam Qur'an. Tetapi pendapat-pendapat itu tidak menafikan
pendapat yang pertama, yakni ketika Islam mulai tersebar di
kalangan suku-suku. Yang sebagian berpendapat bahwa hal itu
sudah berjalan demikian sejak bertahun-tahun, atau sampai
Nabi wafat, tetapi dengan tambahan bahwa semua itu dengan
wahyu, bukan atas usaha manusia. Qurtubi mengatakan:
"Dibolehkannya tujuh huruf itu untuk Nabi saw. guna memberi
kemudahan kepada umatnya. Sekali ia membacakannya kepada
Ubai apa yang dibacakan kepadanya oleh Jibril, sekali kepada
Ibn Mas'ud, juga seperti yang dibacakan Jibril. Oleh karena
itu termasuk kata-kata Anas ketika membaca: [huruf
Arab]. Lalu dikatakan kepadanya yang harus kita
baca: [huruf Arab]. Lalu kata Anas:
[huruf Arab] - aswabu, aqwamu dan ahya'u itu
sama." Ini berarti bahwa yang demikian itu diriwayatkan dari
Nabi saw. Jadi kalau ini ditambahkan orang tentu hilanglah
arti firman Allah: [huruf Arab] Kami Yang
telah menurun Qur'an (az-Zikr) dan Kami Yang menjaganya
(dari pemalsuan) (Qur'an, 15. 9). Bukhari, Muslim dan yang
lain meriwayatkan dari Umar bin Khattab yang mengatakan:
"Aku mendengar Hisyam bin Hakim membaca Furqan tidak seperti
yang kita baca, yang dibacakan Rasulullah kepadaku. Tadinya
aku mau cepat-cepat waktu itu juga, tetapi kutangguhkan
sampai selesai. Setelah itu kutarik mantelnya dan kubawa dia
kepada Rasulullah saw. seraya kataku: Rasulullah, aku
mendengar orang ini membaca Surah Furqan tidak seperti yang
kaubacakan kepadaku. Kata Rasulullah saw.: Lepaskan dia;
bacalah. Lalu dia membaca dengan bacaan seperti yang
kudengar. Maka kata Rasulullah saw.: Memang diwahyukan
begini. Lalu katanya kepadaku: Bacalah, lalu aku pun
membaca. Maka katanya: Memang diwahyukan begini, karena
Qur'an ini diturunkan dalam tujuh huruf, maka bacalah mana
yang mudah dari Qur'an."
Qurtubi menambahkan kisah Ubai bin Ka'b tatkala ia
mendengar orang di mesjid membaca ayat-ayat tersebut dalam
salat. Bacaan mereka masing-masing tak ada yang sama dan
tidak pula sama dengan bacaan Ubai. Dibawanya kedua orang
itu kepada Rasulullah, tetapi Nabi membenarkan bacaan mereka
semua. Kata Ubai: "Maka aku tidak didustakan, juga ketika
aku di zaman jahiliah. Setelah Nabi saw. melihat apa yang
telah kualami, ia menepuk dadaku sehingga aku bermandi
keringat, seolah melihat Allah, aku dalam ketakutan. Lalu
katanya: Hai Ubai, aku diminta membaca Qur'an dengan satu
huruf, lalu kukembalikan agar diberi kemudahan kepada
umatku. Kemudian untuk kedua kalinya diulangi lagi kepadaku
membaca dengan dua huruf, lalu kukembalikan lagi agar diberi
kemudahan kepada umatku. Setelah diulangi lagi kepadaku yang
ketiga kalinya aku diminta membaca dalam tujuh huruf."
Dari sana kemudian timbul perbedaan dalam beberapa lafal
yang dicatat atau dihafalkan pada masa Rasulullah. Dalam
kitabnya al-Masahif Ibn Abi Dawud menuturkan bahwa Umar bin
Khattab membaca: [huruf Arab] sedang yang
lain membacanya: [huruf Arab]. Juga Umar ra.
membaca [huruf Arab], bukan [huruf
Arab]. Ali bin Abi Thalib membaca: [huruf
Arab], bukan [huruf Arab]. Sementara
Ubai 'bin Ka'b membaca: [huruf Arab], bukan
[huruf Arab]. Ubai bin Ka'ab dalam Qur'an
kumpulannya' mencatat nas-nas yang dalam beberapa lafalnya
berbeda dengan Mushaf Usman. Juga [huruf
Arab] dalam hal penebusan sumpah, bukan
[huruf Arab].
Adapun halnya dengan Abdullah bin Mas'ud sama dengan Ubai
bin Ka'b dalam membaca mushafnya. Diriwayatkan bahwa dia
membaca [huruf Arab], dengan menambah
[huruf Arab] dan inenghilangkan [huruf
Arab] di tengah sebelum [huruf Arab]
seperti yang tercatat dalam Mushaf Usman. Dia membaca
[huruf Arab], bukan [huruf
Arab], dan membaca [huruf Arab],
bukan [huruf Arab].
Ibn Abi Dawud mengutip perbedaan lafal ini secara terinci
dengan mengacu kepada sumbernya, di antaranya Aisyah
Ummulmukminin. Disebutkan bahwa dalam mushafnya tertulis:
[huruf Arab] dengan tambahan [huruf
Arab], dari yang ada dalam Mushaf Usman. Dengan
mengacu kepada Ibn Yunus pembantu Aisyah yang mengatakan:
Aku menuliskan sebuah naskah (mushaf) untuk Aisyah dan dia
berkata: Kalau kau menjumpai ayat salat janganlah ditulis
dulu sebelum aku mengimlakan kepadamu. Maka ia mengimlakan
kepadaku: [huruf Arab]. Sumber serupa
mengenai ayat ini juga disebutkan dalam mushaf Hafsah dan
mushaf Umm Salamah istri Nabi. Konon dikatakan bahwa Umm
Salamah mengimlakan [huruf Arab].
Tentu sudah sama-sama kita lihat apa yang sudah kita
kemukakan itu, bahwa perbedaan yang terdapat dalam bacaan
dan dalam mushaf para sahabat itu tak lebih hanya dalam
pengucapan, tetapi tak sampai mengubah larangan menjadi
perintah, dan perintah menjadi larangan, ayat rahmat menjadi
ayat azab dan ayat azab menjadi ayat rahmat. Demikian pula
halnya mengenai semua sumber tentang bacaan-bacaan para
sahabat scrta mushaf-mushaf mereka dan mushaf
tabi'in8. Orientalis Arthur Jeffrey menulis
pengantar untuk kitab Ibn Abi Dawud al-Masahif dan mengutip
semua yang diceritakan mengenai perbedaan-perbedaan dalam
bacaan dan dalam mushaf itu. Tetapi soalnya tak lebih dari
contoh-contoh yang sudah kita kemukakan. Terjadi demikian
karena apa yang sudah kita sebutkan sekitar hadis:
[huruf Arab] "Qur'an diturunkan dalam tujuh
huruf."
Pada masa hidup mereka yang menerima Qur'an dari
Rasulullah perbedaan itu tak lebih dari ini. Mereka yang
menulisnya atau merekamnya dalam hati dengan menempatkan
firman Allah itu begitu suci serta keimanan mereka yang
begitu kuat pada Qur'an, tak mungkin mereka akan
menambah-nambah, mengurangi atau mengubahnya. Tetapi mereka
yang sudah hafal Qur'an itu adalah orang-orang yang sudah
takdirkan mati seperti yang sudah terjadi dengan mereka yang
sebelum itu. Sudah banyak di antara mereka yang terbunuh
pada masa hidup Nabi di Bi'ir Ma'unah, kemudian banyak pula
yang terbunuh di Yamamah. Kalau sebagian besar atau semua
meninggal, bukan tak heran jika ada orang yang akan
menambah-nambah ke dalam Qur'an atau mengurangi, atau akan
mengubah-ubah firman Allah itu dari yang sebenarnya. Juga
tidak heran jika orang kemudian berselisih mengenai ini dan
perselisihan itu akan berakhir dengan kekacauan. Kaum
Muslimin sendiri akan terjerumus ke dalam api fitnah yang
akan sangat membahayakan Islam.
Kaum murtad yang diduga memalsukan
Qur'an
Bagi Umar, Abu Bakr dan Zaid bin Sabit apa yang terjadi
di tanah Arab itu adalah suatu peringatan agar mereka
waspada menghadapi saat serupa itu. Pada masa Rasulullah
masih hidup sudah ada orang yang sudah Islam dan penulis
wahyu pula kemudian murtad. Diduga mereka inilah yang
kemudian memalsukan apa yang mereka tulis itu lalu yang
palsu itulah yang diteruskan kepada kaum Muslimin.
Cerita-cerita tentang orang-orang munafik serta segala
perbuatan mereka demikian itu dan yang semacamnya tersebut
belaka dalam buku-buku sejarah hidup Nabi. Di antara
peringatan demikian itu ialah cerita tentang Musailimah. Dia
menjadi kuat setelah Nahar ar-Rahhal bin Unfuwah diutus
Rasulullah saw. ke Yamamah untuk mengajarkan Qur'an dan
seluk-beluk agama. Tetapi ketika dia melihat banyak penduduk
Yamamah yang menjadi pengikut Musailimah, dia pun mengakui
pula kenabiannya, dan bersaksi bahwa Muhammad mengatakan,
dalam soal risalah Musailimah, sudah bersekutu dengan dia.
Nahar memang ahli fikih, di depan umum ia membacakan Qur'an
yang diwahyukan kepada Muhammad dan menyampaikan
ajaran-ajarannya serta mengajarkan seluk-beluk agama kepada
mereka. Apa yang terjadi setelah Rasulullah wafat, ketika
kemudian timbul kemunafikan dan orang-orang pun menjulurkan
leher ingin tahu. Semua itu dan yang semacamnya menjadi
bukti betapa kuatnya alasan Umar hendak mengumpulkan Qur'an
setelah perang Yamamah. Semua inilah yang telah
menghilangkan keraguan.
Dalam mengumpulkan Qur'an yang tidak dilakukan oleh
Rasulullah itu apa yang membuat Abu Bakr dan Zaid bin Sabit
merasa ragu? Rasulullah 'alaihissalam telah memerintahkan
agar wahyu ditulis dan ayat-ayatnya ditulis teratur dalam
surah-surah. Apa yang akan merintanginya untuk mengeluarkan
perintah pengumpulan Qur'an sebelum wafat? Soalnya ketika
itu wahyu masih terus turun, berturut-turut dan beberapa
ayat masih ditulis. Bahwa sekarang Rasulullah sudah tak ada
dan wahyu pun tiada lagi turun, Kitabullah sudah selesai dan
agama-Nya sudah sempurna, maka sebaiknyalah Qur'an
dikumpulkan, supaya tak terjadi apa yang dikhawatirkan oleh
Ali bin Abi Talib bahwa Qur'an akan ditambah-tambah atau
dikurangi, terutama setelah banyak penghafal Qur'an yang
terbunuh di Yamamah, dan dikhawatirkan masih ada yang akan
terbunuh di tempat-tempat lain.
Alasan-alasan inikah dan yang semacamnya yang telah
mendorong Umar ketika berdiskusi dengan Abu Bakr soal
pengumpulan Qur'an? Seperti yang kita lihat, alasan-alasan
ini telah menghilangkan segala keraguan dan keputusan untuk
mengumpulkan Qur'an itu justru demi kepentingan Islam dan
kaum Muslimin. Oleh karena itu Abu Bakr pun merasa puas
dengan pendapat Umar, kemudian juga Zaid bin
Sabit.9
Pengumpulan Qur'an masa Usman dan
sebab-sebabnya
Sebelum menguraikan apa yang terjadi setelah pertemuan
Abu Bakr, Umar dan penulis wahyu (Zaid bin Sabit), baik juga
saya sebutkan bahwa apa yang terjadi pada masa Usman,
ternyata telah memperkuat pendapat Umar untuk menghimpun
Qur'an dan menunjukkan tentang benarnya pandangannya itu.
Pada masa Umar dan Usman penyebaran Islam sudah makin luas.
Para sahabat Rasulullah membacakan dan mengajarkan Qur'an
kepada setiap orang yang masuk Islam di negeri-negeri yang
baru dimasukinya. Ketika itu lalu timbul perbedaan dalam
membaca, yang kemudian perbedaan itu terasa makin besar dan
makin beragam, sampai-sampai ada yang berkata kepada
temannya: Bacaanku lebih baik dari bacaanmu. Begitu besar
persoalannya hingga hampir menimbulkan kekacauan. Mereka
berselisih dan bertengkar, saling menuduh kafir dan saling
melaknat dengan masing-masing merasa dirinya lebih benar.
Ketika itulah tatkala Huzaifah bin Yaman bersama kaum
Muslimin yang lain terlibat dalam perang di Armenia dan
Azerbaijan, ia melihat pertentangan itu makin menjadi-jadi;
mereka saling melaknat. Cepat-cepat ia kembali pulang ke
Medinah dan langsung menemui Usman sebelum pulang ke
rumahnya.
"Cepat selamatkan mereka sebelum menemui kehancuran,"
katanya. "Mengenai apa?" tanya Usman.
"Tentang Kitabullah," kata Huzaifah lagi. "Aku mengikuti
ekspedisi itu. Aku telah mengumpulkan orang-orang dari Irak,
dari Syam dan dari Hijaz." Lalu ia menceritakan mengenai
perselisihan yang terjadi sekitar bacaan Qur'an itu. "Saya
khawatir," katanya lebih lanjut, "mereka akan berselisih
mengenai Kitab Suci kita seperti orang-orang Yahudi dan
Nasrani."10 Menurut hemat Usman itu memang
berbahaya. Ia mengundang beberapa orang dan persoalan
tersebut dikemukakan. Mereka menanyakan pendapatnya.
"Menurut pendapatku," kata Usman, "orang harus sepakat
dengan hanya satu bacaan. Kalau sekarang kita berselisih,
maka perselisihan generasi sesudah kita akan lebih parah
lagi."
Kalangan pemikir menyetujui pendapatnya itu. Kemudian ia
mengutus orang kepada Hafsah dengan permintaan agar
mengirimkan mushaf Abu Bakr untuk disalin ke dalam beberapa
mushaf. Demikianlah terjadinya pertama kali pengumpulan
Mushaf Usman dan penyatuannya dalam bacaan Qur'an.
Pandangan Umar yang jujur mengenai
pengumpulan Qur'an
Perbedaan pada masa Usman itu adalah bukti yang nyata
sekali bahwa pandangan Umar memang sejujurnya tatkala ia
menyarankan kepada Abu Bakr untuk menghimpun Qur'an. Usman
menggunakan mushaf Abu Bakr sebagai pedoman bagi mereka
untuk menyatukan bacaan. Andaikata Abu Bakr tidak sampai
mengumpulkan Qur'an niscaya perselisihan itu akan
berlarut-larut, dan bencana akan menimpa kaum Muslimin.
Usaha Abu Bakr itu telah menyelamatkan mereka. Karenanya
tidaklah berlebihan ketika Ali bin Abi Talib berkata:
"Semoga Allah memberi rahmat kepada Abu Bakr. Orang yang
paling besar jasanya dalam mengumpulkan Qur'an ialah Abu
Bakr. Semoga Allah memberi rahmat kepada Abu Bakr. Dialah
yang pertama kali menghimpun Qur'an menjadi dua loh."
Allah telah melapangkan dada Abu Bakr untuk mengumpulkan
Qur'an setelah berdiskusi dengan Umar. Kemudian ia
menugaskan kepada Zaid bin Sabit untuk melacak dan
mengumpulkannya. Diriwayatkan bahwa dalam menghadapi hal itu
Abdullah bin Mas 'ud marah sekali dengan mengatakan:
Saudara-saudara Muslimin, aku tidak diikutsertakan dalam
penulisan mushaf-mushaf dan mengangkat orang lain. Sungguh,
ketika aku sudah masuk Islam dia masih menjadi biang kafir!
Yang dimaksud Zaid bin Sabit. Kata-kata ini dihubungkan
dengan Abdullah bin Mas'ud ketika Usman menugaskan Zaid
mengumpulkan Qur'an dan mengikutkan beberapa orang sahabat.
Barangkali Abdullah lebih marah lagi seperti disebutkan oleh
Qurtubi ketika mengatakan: "Abu Bakr Anbari berkata: Dalam
mengumpulkan Qur'an Abu Bakr dan Usman lebih suka memilih
Zaid daripada Abdullah bin Mas'ud, yang lebih utama daripada
Zaid dan sudah lebih dulu masuk Islam, lebih dulu dan lebih
besar jasanya; hanya saja mengenai Qur'an Zaid lebih hafal
daripada Abdullah." Ungkapan ini membuat Abdullah bin Mas'ud
lebih marah.
Begitu besar kemarahan Abdullah bin Mas'ud itu sampai ia
mengatakan: "Aku sudah belajar kepada Rasulullah saw. tujuh
puluh Surah sementara Zaid bin Sabit masih berkepang dua,
bermain-main dengan sesama anak-anak." Malah ia membakar
semangat penduduk Irak untuk tidak membantu pekerjaan ini.
Katanya kepada mereka: "Aku mempertahankan11
mushafku; barang siapa mau mempertahankan mushafnya
lakukanlah, karena Allah berfirman: [huruf
Arab]. Pada suatu hari pernah ia berpidato di depan
orang banyak mengatakan: [huruf Arab] Barang
siapa berkhianat, pada hari kiamat ia datang dengan hasil
pengkhianatannya. (Qur'an, 3. 161).
Pertahankanlah mushaf-mushaf kalian. Bagaimana kalian
menyuruh aku membaca menurut bacaan Zaid bin Sabit sedang
aku sudah belajar dari Rasulullah saw. sekitar tujuh puluh
Surah; ketika itu Zaid bin Sabit yang masih bermain-main
dengan anak-anak masih berkepang dua. Demi Allah, begitu
Qur'an diwahyukan aku tahu kapan dan untuk apa diwahyukan.
Tak ada orang yang lebih tahu dari aku tentang Kitabullah.
Aku bukan orang yang terbaik di antara kamu. Kalau aku
mengetahui ada orang yang lebih tahu tentang Kitabullah dari
aku yang dapat dicapai dengan unta, niscaya kudatangi
dia."
Beberapa tokoh terpandang dari sahabat-sahabat Nabi
merasa tidak senang dengan kata-kata Abdullah bin Mas'ud
itu. Mereka menganggapnya mengandung semangat fitnah tanpa
alasan. Mengutip dari Abu Darda' yang berkata: "Kami
menganggap Abdullah berperasaan halus, tetapi mengapa ia
mendamprat orang-orang terkemuka." Memang benar Abdullah bin
Mas'ud veteran Badr sedang Zaid bin Sabit bukan. Abdullah
sudah lebih dulu masuk Islam daripada Zaid bin Sabit dan
ayahnya Sabit bin Zaid, dan dia belajar Qur'an dari
Rasulullah sekitar tujuh puluh Surah. Tetapi Zaid adalah
sekretaris Nabi, dan sampai wafatn adalah yang menerima
Qur'an seluruhnya dari Rasulullah. Kata Qurtubi lagi: Cukup
luas diketahui di kalangan ahli sejarah dan hadis, bahwa
Abdullah bin Mas'ud belajar Qur'an berikutnya setelah
Rasulullah saw. wafat. Beberapa pemuka mengatakan: "Abdullah
bin Mas'ud meninggal sebelum menamatkan Qur'an." Mushaf Ibn
Mas'ud masih tanpa Surah Falaq dan Surah Nas.
|