II. PELANTIKAN1 ABU BAKR (3/3)
Muhammad Husain Haekal
Baiat Umum dan pidato Abu Bakr yang
pertama
Ketika itu orang ramai pun sama-sama memberikan ikrar
sebagai Baiat Umum sesudah Baiat Khusus di Saqifah. Selesai
baiat itu Abu Bakr berdiri. Di hadapan mereka ia mengucapkan
sebuah pidato yang merupakan pernyataan pertama setelah ia
memangku jabatan sebagai Khalifah. Di samping itu pidato ini
adalah teladan yang sungguh bijaksana dan sangat menentukan.
Setelah mengucapkan puji syukur kepada Allah Abu Bakr
radiallahu 'anhu berkata:
"Kemudian, Saudara-saudara. Saya sudah terpilih untuk
memimpin kamu sekalian, dan saya bukanlah orang yang terbaik
di antara kamu sekalian. Kalau saya berlaku baik, bantulah
saya. Kebenaran adalah suatu kepercayaan, dan dusta adalah
pengkhianatan. Orang yang lemah di kalangan kamu adalah kuat
di mata saya, sesudah haknya saya berikan kepadanya - insya
Allah, dan orang yang kuat buat saya adalah lemah sesudah
haknya nanti saya ambil - insya Allah. Apabila ada golongan
yang meninggalkan perjuangan di jalan Allah, maka Allah akan
menimpakan kehinaan kepada mereka. Apabila kejahatan itu
sudah meluas pada suatu golongan, maka Allah akan
menyebarkan bencana kepada mereka. Taatilah saya selama saya
taat kepada (perintah) Allah dan Rasul-Nya. Tetapi apabila
saya melanggar (perintah) Allah dan Rasulullah maka gugurlah
kesetiaanmu kepada saya. Laksanakanlah salat kamu, Allah
akan merahmati kamu sekalian."
Masih adakah yang belum memberikan ikrar
dari Muhajirin?
Adakah ikrar umum ini sudah merupakan konsensus semua
Muslimin, tak ada lagi yang tertinggal seperti Sa'd bin
Ubadah dalam Ikrar Khusus di Saqifah? Yang sudah menjadi
kesepakatan umum, bahwa ada segolongan Muhajirin terkemuka
yang tidak turut, dan bahwa Ali bin Abi Talib dan Abbas bin
Abdul Muttalib dari Banu Hasyim termasuk yang tidak
ikut.
Menurut sumber Ya'qubi
Menurut al-Ya 'qubi, "Mereka yang tidak ikut membaiat Abu
Bakr dari kalangan Muhajirin dan Ansar dan ikut Ali bin Abi
Talib di antaranya ialah Abbas bin Abdul Muttalib, Fadl bin
al-Abbas, Zubair bin alAwwam bin al-As, Khalid bin
Sa'id, Miqdad bin Amr, Salman al-Farisi, Abu Zar al-Gifari,
Ammar bin Yasir, Bara' bin Azib dan Ubai bin Ka'b, dan bahwa
dalam hal ini Abu Bakr meminta pendapat Umar bin Khattab,
Abu Ubaidah bin Jarrah dan Mugirah bin Syu'ba. Saran ketiga
tokoh itu ialah agar menemui Abbas bin Abdul Muttalib dan
agar dia juga dilibatkan dan berperan dalam masalah ini,
baik untuk kepentingannya sendiri maupun penerusnya
kemudian. Mengenai ini terjadi perbedaan pendapat antara dia
dengan sepupunya, Ali bin Abi Talib. Dengan demikian Abu
Bakr dan sahabat-sahabatnya punya argumen dalam menghadapi
Ali. Apa yang sudah disarankan mereka tadi oleh Abu Bakr
dilaksanakan. Dalam suatu percakapan panjang ia berkata
kepada Abbas:
"Kami telah datang kepadamu dan yang kami inginkan engkau
dapat berperan juga dalam hal ini, baik untukmu sendiri
maupun untuk penerusmu kemudian, mengingat engkau adalah
paman Rasulullah."
Abbas menjawab tawaran itu setelah terjadi dialog seperti
dilukiskan oleh Ya'qubi; "Kalaupun ini yang akan menjadi hak
kami, kami tidak mau sebagian-sebagian."
Pertemuan di rumah Fatimah putri
Rasulullah
Dalam sebuah sumber yang disebutkan oleh Ya'qubi, juga
penulispenulis sejarah yang lain menyebutkan, dan
masih cukup terkenal, bahwa ada kelompok Muhajirin dan Ansar
yang mengadakan pertemuan dengan Ali bin Abi Talib di rumah
Fatimah putri Rasulullah dengan maksud hendak membaiat Ali.
Di antara mereka itu Khalid bin Sa'id yang mengatakan:
"Sungguh, tak ada orang yang lebih patut menempati kedudukan
Muhammad selain engkau."
Pertemuan di rumah Fatimah itu sampai juga beritanya
kepada Abu Bakr dan Umar, dan kedua orang ini bersama-sama
dengan yang lain datang dan menyerbu rumah itu. Ketika Ali
keluar membawa pedang, yang di sambut oleh Umar, maka
terjadi pertarungan. Pedang Ali dipatahkan dan mereka
menyerbu masuk ke dalam rumah. Saat itu Fatimah ke
luar dengan mengatakan:
"Keluarlah kalau tidak rambutku akan kuperlihatkan dan
aku akan berseru kepada Allah.8"
Mereka keluar, juga orang-orang yang berada dalam rumah
itu. Keadaan demikian berjalan selama beberapa hari.
Kemudian satu demi satu mereka memberikan ikrar - kecuali
Ali yang baru membaiat setelah Fatimah wafat, yakni sesudah
enam bulan. Sumber lain menyebutkan bahwa ia membaiat
sesudah empat puluh hari. Disebutkan lagi bahwa Umar bin
Khattab telah menimbun kayu di sekeliling rumah Fatimah
dengan maksud hendak membakar rumah itu atau Ali harus
membaiat Abu Bakr.
Sebab-sebabnya Ali terlambat
membaiat
Tetapi sumber-sumber yang terkenal dan lebih umum
mengenai terlambatnya Ali dan Banu Hasyim itu ialah seperti
yang diuraikan oleh Ibn Qutaibah dalam al-Imamah was-Siyasah
dan sumber-sumber serupa, baik yang sezaman atau yang datang
kemudian, yakni selesai memberikan ikrar kepada Abu Bakr,
Umar dan rombongan berangkat menemui Banu Hasyim. Mereka
diminta agar juga datang memberikan ikrar seperti yang lain.
Ketika itu Banu Hasyim di rumah Ali. Baik Ali maupun yang
lain menolak ajakan Umar itu. Malah Zubair bin al-Awwam dan
sahabat-sahabatnya keluar menemui Umar dengan membawa
pedang. Kepada sahabat-sahabatnya Umar berkata, "Awas orang
itu dan ambil pedangnya!"
Mereka merampas pedang itu dari tangannya. Kemudian ia
pun pergi dan membaiat. Ketika kepada Ali bin Abi Talib
dikatakan: Baiatlah Abu Bakr, ia menjawab: "Aku tidak akan
membaiat, karena dalam hal ini aku lebih berhak daripada
kalian. Kamulah yang lebih pantas membaiat aku. Kamu telah
mengambil kekuasaan itu dari Ansar dengan alasan kalian
kerabat Nabi saw. dan kalian mengambil dari kami ahlulbait
secara paksa. Bukankah kalian mengatakan kepada Ansar bahwa
kalian lebih berhak daripada mereka dalam hal ini karena
Muhammad dari kalian, lalu pimpinan dan kekuasaan diserahkan
kepada kalian! Sekarang aku akan menuntut kepada kalian
sebagaimana kalian menuntut kepada Ansar. Kami lebih berhak
terhadap Rasulullah selama masih hidup dan sesudah mati.
Jika kamu beriman berlaku adillah terhadap kami, kalau tidak
berarti de ngan sengaja kamu berlaku zalim."
"Kau tak akan dibiarkan sebelum membaiat," kata Umar.
"Dalam bertindak orang harus berlaku adil. Umar, sungguh
aku tidak dapat menerima kata-katamu itu dan aku tidak akan
membaiat," kata Ali bersemangat dan dengan nada keras.
Dikhawatirkan dialog itu akan jadi semakin panas, maka
Abu Bakr segera campur tangan dengan katanya:
"Kalau engkau memang tidak mau membaiat, aku tidak akan
memaksamu."
Abu Ubaidah segera mendekati Ali seraya katanya dengan
nada lembut:
"Sepupuku, engkau masih muda, dan mereka itu orang
tua-tua kita. Tentu dalam bidang ini engkau tidak punya
pengalaman dan pengetahuan seperti mereka. Menurut hematku
Abu Bakr lebih mampu dari engkau dan lebih dapat mengatasi
segala persoalan. Serahkanlah pimpinan itu kepada Abu Bakr.
Jika engkau masih akan panjang umur, maka engkaulah kelak
yang pantas memegang pimpinan ini semua, mengingat jasamu,
ketaatanmu dalam agama, amalmu, pengetahuanmu, kedinianmu
dalam Islam, nasabmu serta hubunganmu sebagai menantu."
Di sini Ali berontak seraya berkata:
"Hebat sekali kalian ini Muhajirin! Janganlah kalian
mencoba mengeluarkan kekuasaan Muhammad atas orang-orang
Arab itu dari keluarganya dan dari dalam rumahnya ke
keluarga dan ke dalam rumah kalian lalu mengenyahkan
kedudukan dan hak keluarganya dari rakyat. Demi Allah,
Saudara-saudara Muhajirin, kamilah yang lebih berhak dari
semua orang, karena kami adalah keluarganya, kami ahlulbait.
Dalam pimpinan ini kami lebih berhak dari kalian. Dari
kalangan kamilah yang membaca Qur'an, yang mengetahui
hukum-hukum agama, mengenal benar sunah Rasulullah,
mengikuti perkembangan rakyat serta melindungi mereka dari
hal-hal yang tidak baik. Kami yang mengadakan pemerataan
dengan mereka. Dia adalah dari kami. Janganlah kamu
memperturutkan hawa nafsu, kalian akan sesat dari jalan
Allah dan akan lebih jauh menyimpang dari kebenaran."
Menurut beberapa sumber, ketika itu Basyir bin Sa'd juga
hadir. Mendengar kata-kata itu ia berkata:
"Ali, kalau kata-katamu itu didengar oleh Ansar sebelum
pengukuhan terhadap Abu Bakr, aku pun tak akan berbeda
pendapat dengan kau."
Dengan marah Ali keluar. Ia pergi menemui Fatimah dan
keluar rumah bersama-sama. Dengan dinaikkan di atas binatang
beban malam itu Fatimah berkeliling menemui
kelompok-kelompok Ansar meminta dukungan. Mereka itu
berkata:
"Putri Rasulullah, baiat kami atas orang itu sudah
selesai. Sekiranya suamimu dan sepupumu itu yang lebih dulu
menemui kami sebelum Abu Bakr, tentu kami tak akan
menyamakannya."
Jawaban ini menambah kemarahan Ali dan ia berkata
lagi:
"Apa aku akan meninggalkan Rasulullah di rumah tanpa
dimakamkan dan keluar memperebutkan kekuasaan?"
"Apa yang dilakukan Abu al-Hasan," sela Fatimah, "memang
yang sudah semestinya dilakukan. Tetapi apa yang mereka
lakukan, biarlah Allah nanti yang membuat perhitungan dan
yang menentukan."
Abu Bakr dikukuhkan secara aklamasi
Demikian inilah kesan yang masyhur (yang sudah umum)
mengenai sikap Ali bin Abi Talib dan sahabat-sahabatnya
sehubungan dengan baiat Abu Bakr itu. Beberapa sejarawan
dengan tegas sekali membantah kesan yang sudah umum mengenai
tertinggalnya Banu Hasyim dan beberapa kalangan Muhajirin
itu. Mereka menyebutkan bahwa sesudah Saqifah, Abu Bakr
dibaiat secara aklamasi tanpa ada yang ketinggalan. Tabari
menyebutkan sebuah sumber lengkap dengan isnadnya, bahwa
Sa'd bin Zaid ketika ditanya: Engkau menyaksikan kematian
Rasulullah saw.? Ya, jawabnya. Ditanya lagi: Kapan Abu Bakr
dibaiat? Dijawab: Ketika Rasulullah saw. wafat; mereka tidak
mau ada yang lowong sehari pun tanpa berada dalam satu
jamaah. Apa ada yang menentang? Tidak, katanya, tak ada,
kecuali mereka yang murtad atau orang-orang Ansar yang
nyaris murtad kalau tidak segera mendapat pertolongan Allah.
Ketika ditanya lagi: Apa ada dari Muhajirin yang tidak ikut?
Tidak, katanya. Kaum Muhajirin secara berturut-turut
memberikan baiat tanpa diminta.
Dalam sebuah sumber disebutkan, bahwa ketika itu Ali bin
Abi Talib sedang duduk-duduk di rumahnya tatkala ada orang
datang memberitahukan bahwa Abu Bakr sudah siap hendak
diikrarkan. Karena khawatir akan terlambat Ali keluar
cepat-cepat hanya mengenakan baju kemeja tanpa mantel dan
jubah. Kemudian ia pun membaiat. Sesudah itu ia duduk dan
menyuruh orang mengambilkan pakaiannya itu lalu dipakainya,
dan ia tetap duduk.
Sumber jalan tengah
Ada pula beberapa sumber mengenai Ali dan ikrarnya itu
yang mengambil jalan tengah dari apa yang kita kemukakan
itu. Di antaranya seperti dituturkan, bahwa setelah selesai
pengukuhan itu Abu Bakr naik ke mimbar dan ketika melihat di
antara hadirin Zubair tidak tampak, dipanggilnya. Ketika
Zubair datang ia berkata: "Oh sepupu Rasulullah saw. dan
pembantu dekatnya, engkau mau menimbulkan perpecahan di
kalangan Muslimin?"
"Tak ada cacat apa-apa ya Khalifah Rasulullah," katanya,
lalu ia bangun dan membaiat Abu Bakr.
Kemudian Abu Bakr melihat kepada hadirin. Ia tidak
melihat Ali. Bila Ali datang setelah dipanggil ia bertanya:
"Sepupu Rasulullah saw. dan menantunya, engkau mau
menimbulkan perpecahan di kalangan Muslimin?"
"Tak ada cela apa-apa ya Khalifah Rasulullah," katanya,
lalu ia pun bangun dan membaiat Abu Bakr.
Pendapat sekitar sikap Banu
Umayyah
Ada juga beberapa sumber yang mengatakan, bahwa Banu
Umayyahlah yang memang ingin menimbulkan ketegangan antara
Banu Hasyim dengan Abu Bakr. Setelah orang datang berkumpul
hendak mengikrarkan Abu Bakr, konon datang pula Abu Sufyan
mengatakan: Sungguh, hanya darah yang akan dapat memadamkan
sumpah ini. Hai Keluarga Abdu Manaf mengapa mesti Abu Bakr
yang memerintah kamu? Mana kedua orang yang dihina itu, yang
diperlemah, Ali dan Abbas!
Tetapi sumber-sumber yang menyebutkan peristiwa yang
dihubungkan kepada Abu Sufyan ini hampir semua sepakat,
bahwa Ali menolak ajakannya itu. Malah ia berkata kepadanya:
"Engkau memang mau membuat fitnah dengan cara itu. Selalu
kau mau membawa Islam ke dalam bencana." Atau katanya juga:
"Abu Sufyan, engkau selalu mau memusuhi Islam dan
pemeluknya. Tetapi engkau tak akan berhasil. Aku
berpendapat, Abu Bakr memang pantas untuk itu."
Abbas dan Fatimah menuntut
warisan
Orang-orang yang menafikan terlambatnya Ali memberikan
baiat berpendapat bahwa cerita-cerita tentang keterlambatan
itu dibuat orang kemudian. Bahkan mereka menekankan bahwa
cerita-cerita itu dibuat pada masa kekuasaan Banu Abbas
untuk maksud-maksud politik, dan lebih jauh mereka
mengatakan bahwa cerita itu dikaitkan dengan suatu peristiwa
yang sebenarnya memang sudah sama-sama disepakati, namun
samasekali tak ada hubungannya dengan peristiwa baiat itu.
Peristiwa itu ialah bahwa Fatimah putri Rasulullah dan Abbas
pamannya menemui Abu Bakr setelah ia menjadi Khalifah.
Mereka menuntut warisan tanah Rasulullah yang di Fadak dan
bagian Abbas di Khaibar. Kepada mereka itu Abu Bakr
berkata:
"Aku mendengar Rasulullah berkata: 'Kami, para nabi,
tidak mewariskan; apa yang kami tinggalkan buat sedekah.'
Tetapi keluarga Muhammad boleh makan dari harta itu. Demi
Allah, setiap sesuatu yang dikerjakan oleh Rasulullah pasti
akan kukerjakan."
Fatimah marah karenanya. Ia menjauhi Abu Bakr dan tidak
mengajaknya bicara sampai ia wafat. Oleh Ali ia dikebumikan
malam hari dan Abu Bakr tidak diberi tahu. Fatimah masih
hidup enam bulan lagi setelah ayahanda wafat. Karena
kemarahan Fatimah itu Ali juga marah kepada Abu Bakr.
Sesudah Fatimah wafat ia cenderung berbaik kembali dan Abu
Bakr pun menerimanya.
Demikianlah cerita mengenai Fatimah dan Ali serta
pemboikotannya terhadap Abu Bakr setelah pengukuhannya itu.
Sebaliknya apa yang ditambahkan orang dalam cerita ini,
bahwa Ali menolak dan baru membaiat setelah Fatimah wafat
dan bahwa Abu Bakr menemui Ali di rumahnya dan dijumpainya
ia di rumah Banu Hasyim, dan bahwa ketika itu Ali berdiri
seraya berkata: Kami tidak berkeberatan mengukuhkan engkau,
hany saja dalam hal ini kami berpendapat bahwa kamilah yang
berhak tetapt kalian memperkosa hak-hak kami, dan bahwa Abu
Bakr menyebutkan dalam jawabannya: "Demi Allah, aku menahan
harta ini hanya untuk kebaikan kita bersama." Semua tambahan
ini membantah tertundanya Ali memberikan baiat karena
peristiwa itu tak ada hubungannya dengan soal harta
peninggalan, dan bahwa Fatimah dan Abbas tidak pula menuntut
kepada Abu Bakr sebelum semua kaum Muslimin memberikan ikrar
kepadanya, sebab sebelum itu ia pun tidak memberikan
pendapat mengenai hal itu.
Sebagian besar mereka yang menolak cerita tertundanya
pemberian ikrar itu menegaskan bahwa cerita-cerita demikian
dibuat-buat orang pada masa kekuasaan Abbasi untuk
maksud-maksud-maksud politik. Yang lain menegaskan bahwa
cerita itu sudah dibuat orang sebelumnya, yaitu setelah
timbul pertentangan antara Banu Hasyim dengan Banu Umayyah
selama pecah perang antara Ali dengan Muawiyah.
Mereka mengatakan bahwa terjadinya perluasan Islam ke
Irak dan Persia menyebabkan sekelompok orang-orang Persia
mengarang-ngarang cerita semacam itu. Setelah pihak Banu
Umayya mendapat kemenangan perhatian kelompok itu dicurahkan
untuk memberi kesempatan kepada Abu Muslim al-Khurasani
bersiap-siap, dan orang inilah yang telah berhasil membuat
sejarah lahirnya dinasti Banu Abbas.
Alasan mereka yang berpendapat tentang
tertundanya baiat
Sebaliknya mereka yang mengatakan bahwa tertundanya Ali
dan Banu Hasyim memberikan ikrar sampai empat puluh hari
atau sampai enam bulan - dan pendapat ini yang masyhur
sebagaimana sudah dikemukakan - mereka berpegang pada
sumber-sumber di atas, dan disebutkan bahwa Ali dan
orang-orang yang tak hadir itu tidak ikut dalam pasukan
Usamah; padahal Ali dalam pertempuran di berbagai peperangan
bersama-sama dengan Nabi, keberanian dan ketangkasannya
sudah cukup terkenal. Juga kedua sikap demikian ini dalam
segala perjuangan hidupnya sesudah itu, cukup pula terkenal.
Mereka ini menolak pendapat orang yang tidak mengakui
keterlambatan dalam baiat itu karena alasan kaum Muhajirin
kepada Ansar mengenal kekuasaan bahwa pertalian mereka lebih
dekat kepada Nabi, bahwa orang-orang Arab itu hanya mengenal
Kuraisy karena mereka adalah penjaga-penjaga Ka'bah dan
bahwa perhatian orang semua di Semenanjung itu pun hanya
ditujukan kepada mereka.
Inilah alasan satu-satunya yang menjadi pegangan Banu
Hasyim untuk tampil ke depan sebagai pengganti Rasulullah.
Tidak heran bilamana ini yang menjadi pegangan mereka dan
membuat mereka tidak hadir waktu pengukuhan (baiat) Abu Bakr
itu. Itulah yang telah dilakukan oleh Ali dan itu pula
alasannya dan alasan sahabat-sahabatnya. Kalaupun mereka
kemudian mau juga membaiat, hanya karena mereka tidak
menginginkan timbulnya fitnah yang akibatnya akan merusak
persatuan kaum Muslimin. Terutama setelah kemudian timbul
gejala-gejala kemurtadan di kalangan orang-orang Arab
pinggiran, dan setelah mereka membangkang terhadap kekuasaan
Medinah dengan akibat hampir-hampir mengancam penyebaran
Islam yang dibawa Muhammad sebagai wahyu Allah itu.
Tak ada yang menentang Abu Bakr
sebagai Khalifah
Lepas dari soal perbedaan pendapat di kalangan para ahli
sejarah itu mengenai baiat serta ikut sertanya Keluarga
Hasyim dan pihak Muhajirin yang lain atau tidak ikut
sertanya sebagian mereka, yang sudah disepakati tanpa ada
perbedaan pendapat ialah, bahwa sepeninggal Rasulullah,
sejak hari pertama yang harus memegang pimpinan adalah Abu
Bakr. Dari mereka yang tertunda memberikan baiat itu tak ada
yang mengatakan bahwa dan kalangan Banu Hasyim atau yang
lain mencoba mengadakan perlawanan senjata atau berusaha
menggugat-gugat Khalifah yang pertama itu. Adakah itu karena
kedudukan Abu Bakr di mata Rasulullah, yang sampai
mengatakan: 'Kalau ada dari hamba Allah yang akan kuambil
sebagai khalil, maka Abu Bakr-lah khalil-ku.' Atau karena
dia diminta menemani Rasulullah dalam hijrah serta
jasa-jasanya yang begitu besar di samping kesiapannya selalu
membela Rasulullah dalam pelbagai kesempatan? Ataukah juga
karena Rasulullah memintanya mewakilinya dalam salat selama
dalam sakitnya yang terakhir?
Apa pun alasan yang menyebabkan kaum Muslimin memberikan
ikrar kepada Abu Bakr sebagai Khalifah setelah Rasulullah
berpulang, yang jelas tak seorang pun ada yang menentangnya,
juga tak ada yang bergabung kepada mereka yang belum ikut
membaiat. Ini merupakan suatu bukti, bahwa pandangan
Muslimin yang mula-mula itu tentang kekhalifahan tidak sama
dengan pandangan mereka yang datang kemudian, yakni sejak
masa kedaulatan dinasti Umayyah. Pandangan mereka lebih
dekat dengan nilai-nilai orang Arab asli di sekitar mereka,
dan yang memang sudah cukup dikenal di seluruh Semenanjung
itu sejak sebelum kerasulan Nabi alaihissalam. Sesudah
kawasan Islam bertambah luas dan masyarakat Arab bergaul
dengan bangsa-bangsa lain yang mereka datangi, gambaran
masyarakat Muslimin tentang konsep kekhalifahan itu juga
ikut berubah, sesuai dengan pengaruh pergaulan dan luasnya
kawasan pemerintahan Islam.
Kekhalifahan pada masa-masa kekuasaan
Arab
Kaum Muslimin berpikir tentang kekhalifahan itu menurut
pandangan Arab murni. Kebetulan pula Rasulullah saw. tidak
mewasiatkan kekhalifahan itu kepada siapa pun. Perselisihan
yang terjadi antara kaum Ansar dengan Muhajirin di Saqifah
Banu Sa'idah ketika Rasulullah wafat, serta perselisihan
yang agaknya juga terjadi antara Banu Hasyim dengan
Muhajirin yang lain sesudah baiat umum, tak ada alasan untuk
meragukan, bahwa sebenamya penduduk Medinah sudah cukup
bersungguh-sungguh dalam memikirkan pemilihan Khalifah
pertama itu, dan dasarnya memang tak terdapat, baik dalam
Qur' an maupun dalam Sunah. Maka mereka waktu itu memilih
penduduk yang tinggal di Medinah yang di kalangan Muslimin
dipandang lebih tepat untuk memegang pimpinan. Andaikata
masalah ini sampai melampaui batas ke luar Medinah, sampai
kepada suku-suku Arab di luar kota Medinah tentu soalnya
akan jadi lain. Dan pengukuhan Abu Bakr itu adalah suatu hal
tiba-tiba yang menguntungkan - memakai kata-kata Umar bin
Khattab.
Tradisi yang dipakai dalam memilih Abu Bakr bukan itu
pula yang dipakai dalam memilih kedua Khalifah sesudah itu -
Umar dan Usman. Sebelum meninggal Abu Bakr sudah berwasiat
agar memilih Umar bin Khattab. Kemudian pengganti berikutnya
oleh Umar diserahkan kepada enam orang yang nama-namanya
disebutkan,9 agar memilih seorang di antara
sesama mereka. Setelah Usman terbunuh serta timbul
perselisihan sesudah itu antara Ali dengan Muawiyah, pihak
Banu Umayyah melanjutkan kekuasaan itu secara turun-temurun
dengan warisan yang diterima anak dari bapak. Kalau demikian
sumber peristiwa itu tak ada alasan untuk mengatakan, bahwa
dalam menjalankan kekuasaan, dalam Islam sudah ada suatu
sistem yang baku. Tetapi yang ada ialah ijtihad yang
didasarkan kepada peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam
masyarakat Islam yang berubah-ubah dan didasarkan pada aneka
macam bentuk sesuai dengan per ubahan situasi.
Sistem pemerintahan dalam Islam
Sistem yang dijalankan oleh Abu Bakr dalam hal ini
menurut pola Arab yang murni. Hubungannya dengan masa Nabi
yang masih dekat, serta hubungan Abu Bakr sendiri secara
pribadi dengan Rasulullah dan pengaruhnya dalam dirinya
seperti yang sudah kita gambarkan di atas, memberi bekas
padanya yang kemudian mengalami perubahan karena situasi dan
meluasnya kawasan Islam. Perubahan dalam sistem pemerintahan
ini berlangsung mengikuti perkembangan lingkungan yang ada,
sehingga dengan demikian, sedikit pun tak terdapat persamaan
antara masa kekuasaan Abbasi dalam puncak kejayaannya dengan
masa Khalifah pertama Abu Bakr, juga antara masa Abu Bakr
dengan masa-masa Umar, Usman dan Ali.
Masa Abu Bakr dapat dikatakan masa yang sungguh unik.
Masa itu adalah masa transisi yang wajar saja dengan masa
Rasulullah, baik dalam politik agama maupun dalam politik
sekuler. Memang benar, ketika itu agama sudah sempurna, dan
tak ada lagi orang dapat mengubah-ubah atau menukar-nukar
apa yang sudah ada dalam agama itu. Tetapi begitu Nabi
wafat, orang-orang Arab pinggiran mulai berpikir-pikir mau
jadi murtad, atau memang sudah banyak kabilah yang murtad.
Maka tak ada jalan Abu Bakr harus bertindak menentukan
langkah demi mengatasi keadaan yang sangat genting itu.
Langkah itu sudah dimulai oleh Nabi sendiri ketika
mengadakan hubungan dengan negara-negara tetangga dalam
menjalankan politik dakwahnya itu. Jadi tak ada jalan lain
buat Abu Bakr daripada harus meneruskan langkah itu.
Bagaimana ia bertindak dalam menghadapi semua itu? Itulah
yang akan kita uraikan berikut ini.
Catatan Kaki:
- Dalam terjemahan ini dipakai kata-kata "pelantikan,"
"sumpah atau ikrar setia" atau "baiat" dalam
pengertian yang sama, yakni: bai'ah, atau
mubaya'ah yang di dalam Qur'an berarti 'saling
berjanji' (Mu'jam Alfazil Qur'anil Karim). Dalam
kamus-kamus bahasa: 'pengangkatan, pelantikan, sumpah
atau ikrar setia' (A).
- Saqifah, 'serambi beratap' (N)
(LA) atau 'ruangan besar beratap' (LA),
semacam balairung (A).
- Amir jamak umara', harfiah 'pangeran,'
'pemimpin,' -'yang memerintah, pemerintah' dapat
diartikan juga 'kepala negara.' wazir jamak
wuzara' 'yang memberi dukungan' (N),
'pendamping,' 'pembantu,' 'menteri' (A).
- Harfiah 'Saya kayu pasak tempat ternak bergerak dan
setandan kurma yang bertopang' (N), yakni 'saya
tempat orang yang mencari pengobatan dengan pendapatnya,
seperti unta mengobati sakit gatalnya dengan
menggaruk-garukkan badannya ke kayu pasak (N).
Perumpamaan Melayu di atas berarti 'saya yang memberi dua
pertolongan dalam perjalanan' (A).
- Faltatan, mengacu pada kata-kata Umar, yakni
sangat tiba-tiba, di luar dugaan (N) (A).
- Tajawaza 'an, 'afa 'an (N),
memaafkan (A).
- Kutipan sebagian ayat Qur'an, 9. 40 (A).
- 'Ajja, mengucapkan talbiah dengan suara keras
(N), (A).
Menurut beberapa sumber mereka itu ialah Ali bin Abi
Talib, Usman bin Affan, Abdur-Rahman bin Auf, Sa'd bin Abi
Waqqas, Zubair bin Awwam dan Talhah bin Ubaidillah (A).
|