|
XIII. ANTARA IRAK DENGAN SYAM
(2/2)
Mengabdi sepenuhnya untuk kepentingan
negara
Tanggung jawabnya yang makin besar tidak mengubah
kehidupannya sendiri yang serba dalam kekurangan, bahkan ia
makin menjauhi segala yang akan membawa kesenangan
pribadinya. Dulu ketika masih tinggal di Sunh (di luar kota
Medinah) ia dapat menikmati hidup enak sebagai basil jerih
payah usahanya. Pagi ia pergi ke Medinah, barangkali dengan
menaiki kudanya, dengan mengenakan pakaian warna coklat lalu
ia mengimami salat. Kadang bila ia sedang istirahat di Sunh,
Umar yang bertindak sebagai imam. Menjelang tengah hari pada
hari Jumat ia tinggal di rumah mencat rambut dan janggutnya,
kemudian pergi ke Medinah untuk berkhutbah dan mengimami
salat Jumat. Tetapi sejak ia bertempat tinggal di Medinah -
karena beban negara yang makin berat - ia sudah sepenuhnya
mencurahkan tenaga dan perhatiannya pada persoalan-persoalan
umat, kendati yang demikian akan menghilangkan waktu
istirahatnya. Dengan bertambah banyaknya beban ini pun ia
tak juga punya pembantu rumah tangga, baik di rumah ataupun
dalam tugas negara. Bila sedang di mesjid, ia duduk di
tempat yang dulu diduduki oleh Rasulullah. Ia menyampaikan
apa yang perlu disampaikan kepada jemaah, berbicara dengan
mereka, meminta pendapat mereka serta memberikan pendapatnya
kepada mereka pula. Lalu ia menyelesaikan berbagai masalah
yang disampaikan mereka kepadanya.
Dalam keadaan hidup pribadinya yang serba kekurangan itu,
ia masih selalu mau berbakti kepada fakir miskin dan kaum
duafa. Ia membeli pakaian lalu dibagikan kepada janda-janda
di musim dingin. Dengan diam-diam ia menyantuni sendiri
fakir miskin itu, tanpa diketahui orang. Pernah Umar bin
Khattab mau mengurus dan memberikan bantuan kepada seorang
perempuan buta di Medinah, tetapi ketika ia datang melihat
segala keperluannya sudah teratasi. Suatu hari ketika Umar
menunggu, ternyata Abu Bakr-lah yang memberikan santunan
untuk keperluan hidupnya itu, tanpa menghiraukan
kedudukannya sebagai Khalifah dan besarnya beban yang harus
dipikul. Kata Umar ketika melihatnya: "Oh kiranya
engkau...!?"
Rasanya tak perlu disebutkan lagi, bahwa teladan yang
diberikan Abu Bakr ini telah menjadi panutan para
pembantunya di kawasan Semenanjung itu. Penduduk Arab merasa
puas dengan keadilan dan persamaan yang diterapkannya,
dengan bakti dan kasih sayangnya serta kebijakan dan
kecekatan politiknya itu. Inilah beberapa faktor yang sangat
menentukan keberhasilan politik Abu Bakr.
Faktor-faktor kemenangan dalam penilaian
Abu Bakr
Dari pihaknya, hati Abu Bakr merasa lega dengan
keberhasilan yang sudah dicapainya itu. Allah telah
menjanjikan kepada Rasul-Nya untuk menolong agama-Nya, dan
janji Allah itu memang benar. Allah telah memberikan
pertolongan kepada pasukan Muslimin dalam perang Riddah.
Kita lihat pasukannya di Irak selalu mendapat kemenangan,
disertai perolehan rampasan perang, sehingga membuat
kabilah-kabilah Arab bersemangat mau juga ikut berperang.
Kita sudah melihat rampasan perang yang diperoleh pasukan
Muslimin di Irak, yang hanya seperlimanya dikirimkan kepada
Khalifah, sedang yang empat perlima dibagi-bagikan kepada
anggota-anggota pasukan di medan perang. Keluarga prajurit
dari berbagai kabilah itu mendapat pula bagian dari sang
suami, suatu hal yang juga menggoda mereka. Karena tak ingin
ketinggalan cepat-cepat mereka ikut ke medan perang agar
mendapat bagian semacam itu, buat dia dan buat keluarganya,
di samping keinginan mati syahid yang memang sudah
ditanamkan Islam ke dalam hati orang.
Itu sebabnya Abu Bakr merasa aman dengan ikut sertanya
para kabilah itu berperang, kalau diperlukan. Tak
segan-segan mereka berkorban, bahkan ingin cepat-cepat,
karena tertarik ingin mati syahid dan terdorong ingin
memperoleh kemenangan. '
Abu Bakr sudah tahu benar; pengaruh ingin mati syahid
dalam hati kebanyakan mereka itu tak dapat diukur dengan
keinginan untuk memperoleh rampasan perang. Kita masih ingat
bagaimana teriakan pahlawan-pahlawan yang terjun ke medan
pertempuran Yamamah dulu itu. Mereka tidak ragu bahwa mereka
akan bertemu Tuhan. Dengan pertemuan itu mereka merasa
sungguh bahagia. Ingin mati syahid itu juga yang telah
mengisi jiwa Khalid bin Walid ketika menulis kepada Ormizd,
"Aku datang kepadamu dengan pasukan yang cinta mati, seperti
juga kalian yang cinta hidup." Mereka menyambut sekali
kematian itu, sebab itulah jalan ke surga, sebab itulah
Allah akan mengampuni segala dosa orang yang berjuang fi
sabilillah. Setiap ada seorang kawan yang dilihatnya sudah
direnggut maut di medan perang, maka kematiannya yang
sebagai mati syahid itu adalah suatu tanda keridaan Allah
kepadanya. Maka dia juga bercita-cita ingin memperoleh
keridaan Allah serupa itu. Begitu besar keinginan mereka
menerima kematian, wajar sekali jika yang mereka terima
justru hidup dengan kehormatan yang sangat tinggi, dan hati
Khalifah Rasulullah pun merasa tenteram dengan kemenangan
itu, lalu mengirimkan pasukan untuk membebaskan Syam seperti
saudara-saudaranya yang sudah membebaskan Irak.
Sungguhpun begitu, dorongan untuk memperoleh rampasan
perang juga hal yang bukan tak penting buat mereka. Yang
demikian ini sudah menjadi bawaan orang-orang badui sejak
lahir, dan akan tetap demikian untuk selamanya. Sudah kita
lihat Khalid bin Walid usai perang Ullais di Irak berdiri di
depan pasukannya dan berkata:
"Kalaupun yang ada di Irak ini hanya kekayaan yang besar
dan rampasan perang, yang di negeri Arab dianggap sebagai
sebuah impian, perang itu saja pun sudah cukup
merangsang."
Kabilah-kabilah yang dulu pernah murtad, kini menggigit
jari menyesali perbuatan mereka itu karena tak diperbolehkan
ikut berperang di Irak. Di seluruh Semenanjung itu orang
yang tetap teguh dengan keislamannya masih cukup banyak.
Mereka tak akan pernah ragu memenuhi seruan jihad bila
memang diminta oleh Khalifah, dan bila sudah menyerang Syam
ternyata mereka adalah pahlawan-pahlawan yang dapat
diandalkan.
Surat Abu Bakr kepada Yaman
Karena itu, semua niat Abu Bakr untuk menyerbu Syam tiada
berubah ketika mengajak sahabat-sahabat untuk bersiap-siap.
Tetapi mereka lalu diam ketika Abdur-Rahman bin Auf berkata:
"...Mereka itu Rumawi dan orang kulit putih! Mereka tangkas
dan pertahanan mereka sangat kuat!" Bahkan ia mulai meminta
bantuan Yaman dengan menulis surat mengatakan:
"Amma ba'du, Allah telah mewajibkan kepada orang-orang
beriman untuk berjuang dan memerintahkan mereka berangkat
dengan segala perlengkapan, ringan atau berat, dan
berjuanglah dengan harta dan jiwamu di jalan Allah. Berjihad
adalah suatu kewajiban yang sudah ditentukan Allah, dan
pahalanya dalam pandangan Allah sangat besar. Dari pihak
kami, kami sudah memanggil kalangan Muslimin untuk berjuang
menghadapi Rumawi di Syam. Mereka cepat-cepat menyambutnya
dan segera berkumpul. Dengan niat baik mereka berangkat.
Wahai hamba Allah, marilah kita tunaikan kewajiban kita
kepada Allah."
Seruan ini mendapat sambutan hangat. Begitu utusan
Khalifah membacakan surat itu, Zul-Kula' al-Himyari segera
menyiapkan kuda dan senjatanya. Kemudian ia ikut mengerahkan
jemaahnya dan kabilah-kabilah yang sudah bergabung dengan
dia. Mereka pun berangkat menuju Medinah. Begitu juga Qais
bin Hubairah al-Muradi dari kabilah Mazhij, Jundub bin Amr
ad-Dausi dari Azd dan Habis bin Sa'd at-Ta'i dari
Tayyi'.
Sementara utusan Abu Bakr sudah sampai di Yaman dan
tinggal di sana sambil berbincang-bincang dengan orang-orang
Yaman, dan sementara orang-orang Yaman sendiri sudah siap
dan akan berangkat, Abu Bakr memanggil semua kaum Muhajirin
dan Ansar yang ada di sekitarnya, juga penduduk Mekah dan
yang lain, agar berkumpul untuk dikirim ke Syam.
Sumber-sumber memang tidak sama: kapan Abu Bakr mulai
memberangkatkan pasukan-pasukan itu, dan mana yang lebih
dulu, dan siapa-siapa yang memegang pimpinan mereka yang
sudah berkumpul itu dan siapa pula pimpinan yang berada di
sana, kemudian diberangkatkan ke Syam memenuhi perintah
Khalifah dengan sukarela. Kacaunya sumber-sumber mengenai
soal Syam ini lebih kacau dari sumber mengenai pembebasan
Irak dan perang Riddah.3
Perjalanan tentara ke Syam
Sumber-sumber itu kebanyakan berpendapat bahwa pasukan
pertama yang berangkat ke Syam itu sepulang Abu Bakr dari
haji, yakni pada akhir tahun dua belas atau awal tahun tiga
belas Hijri. Sumber-sumber lain berpendapat bahwa Abu Bakr
memberangkatkan Khalid bin Sa'id al-As ke perbatasan Syam
itu saat Khalid bin Walid diberangkatkan ke Irak tahun dua
belas. Menurut hemat saya, Khalid bin Walid berangkat ke
Irak lalu menyerahkan komando tertingginya kepada Musanna
dan anak buahnya sebelum pasukan Muslimin selesai menghadapi
perang Riddah di Yaman, Kindah dan Hadramaut, dan bahwa
Khalid bin Sa'id - kalaupun ia berangkat waktu itu atau
sebelumnya - keberangkatannya itu untuk menjaga perbatasan,
bukan untuk menyerang. Juga menurut hemat saya Abu Bakr baru
memikirkan hendak menyerang Syam itu setelah pasukan
Muslimin mendapat kemenangan dalam perang Riddah di Yaman
dan sekitarnya, dan setelah Khalid bin Walid memasuki kota
Hirah dan dirasakan keadaan sudah tenang, juga sesudah Dumat
membukakan pintu dan jalan Wadi Sirhan ke Syam sudah
aman.
Yang memperkuat pendapat ini, seperti kita sebutkan di
atas, adanya seruan Abu Bakr kepada kabilah-kabilah di
Yaman. Tentu ia tak akan meminta bantuan mereka sebelum
dapat menumpas kaum murtad di sana Di samping itu Ikrimah
bin Abi Jahl dan Zul-Kula' al-Himyari tak akan tinggal di
Yaman sesudah seluruh kawasan itu benar-benar tenang. Mereka
bahkan bersama-sama dengan Muhajir bin Abi Umayyah berangkat
hendak menumpas kaum murtad di Kindah dan Hadramaut. Sesudah
keadaan di selatan seluruhnya aman dan tiba saatnya Ikrimah
kembali ke Medinah, pasukan yang berjuang dengan dia itu
didemobilisasi - diistirahatkan. Kemudian ia membentuk
pasukan lain menggantikan tempatnya. Rasanya tidak sulit
kita memperkirakan waktu yang digunakan untuk kembali pulang
dari Yaman ke Medinah, kemudian berangkat dari Medinah ke
Syam. Kita tahu bahwa perjalanan pada waktu itu dari Mekah
ke Medinah dengan unta ditempuh lebih dari sepuluh hari, dan
kafilah yang pergi ke Syam memerlukan waktu perjalanan
secara terus-menerus, sebulan pergi dan pulang sebulan.
Panglima pasukan Muslimin pertama ke
Syam
Juga perbedaan sumber-sumber itu mengenai siapa panglima
pasukan yang akan diberangkatkan ke Syam ketika pertama kali
terpikir oleh Abu Bakr hendak menyerbu Rumawi? Disebutkan
bahwa panglima yang akan dikirim itu adalah Khalid bin Sa'id
bin al-As al-Umawi. Di atas sudah kita singgung bahwa pada
permulaan perang Riddah itu Khalid dikirim ke Taima' di
perbatasan Rumawi hanya sebagai pasukan pembantu. Ada lagi
sumber di luar yang dua itu bahwa Khalid pernah di Yaman
sebagai utusan Rasulullah, dan dia datang ke Medinah sebulan
kemudian setelah Rasulullah wafat. Ketika bertemu dengan Ali
bin Abi Talib dan Usman bin Affan ia berkata: "Keluarga Abdu
Manaf,4 kalian rela meninggalkan suatu masalah
diurus oleh orang yang bukan dari kalian."
Setelah Abu Bakr memberangkatkan pasukan itu ke Syam,
yang diangkat di sana adalah Khalid bin Sa'id. Lalu kata
Umar kepada Abu Bakr: "Dia yang kauangkat padahal dia sudah
berbuat yang tidak semestinya dan mengatakan yang
bukan-bukan?"
Karena keadaan demikian itu ia mencopot Khalid dan
menggantikannya dengan Yazid bin Abi Sufyan. Sebuah sumber
menyebutkan bahwa mengenai Khalid ini Umar berkata kepada
Abu Bakr: "Dia suka membanggakan diri, ingin menang sendiri
dan fanatik."
Ada juga dikatakan bahwa kepergian Khalid bukan sebagai
panglima pasukan melainkan ia ikut dalam pasukan Abu Ubaidah
bin al-Jarrah. Lepas dari sumber-sumber yang masih
simpang-siur itu kita lebih cenderung mengatakan bahwa
keberangkatan Khalid itu hanya sebagai pasukan pembantu di
Taima', dan dia tinggal di sana. Ketika Abu Bakr mengadakan
mobilisasi untuk menghadapi perang Rumawi, dia tak ada di
Medinah. Seruannya itu justru memenuhi permintaan Khalid
ketika ia mengirim orang kepadanya meminta bantuan dan
melaporkan mengenai bergeraknya pihak Rumawi yang telah
mendorong Khalifah sendiri untuk menyerang Syam.
Beralasan juga jika pihak Rumawi mulai bersiap-siap, dan
persiapannya itu makin ditingkatkan. Berita-berita yang
sampai kepada mereka tentang kemenangan pasukan Muslimin di
Irak serta ditumpasnya pemberontakan yang terjadi di
negeri-negeri Arab, datang berturut-turut. Mereka belum
dapat melupakan Muhammad dan sahabat-sahabatnya yang begitu
berani mempertaruhkan diri menyerang mereka, berkurangnya
daerah-daerah teritorial mereka serta kerukunan yang
diadakan dengan para kabilah yang tinggal di perbatasan
mereka itu. Sekarang pengikut-pengikutnya justru tinggal di
tempat itu. Terpikir oleh mereka akan menerobos semua
perbatasan itu. Atas dasar itu pihak Rumawi mengundang
kabilah Gassan dan kabilah-kabilah lain yang tinggal di
pedalaman Syam untuk mengadakan pertahanan bersama
membendung pasukan Muslimin. Dalam jumlah besar
kabilah-kabilah yang berkumpul itu tak kurang besarnya
dengan mereka yang berada di sekitar Khalid bin Sa'id. Kedua
pihak sudah saling berhadapan, yang satu di tanah Arab, yang
lain di tanah Syam, masingmasing menunggu kesempatan hendak
menyerang.
Dalam pada itu berita-berita tentang Khalid bin Walid
sudah meraung-raung di udara Persia, di Rumawi dan di
seluruh tanah Arab. Anbar sudah membuka pintu, Ain Tamr
prajurit-prajuritnya yang berperang sudah terbunuh dan kaum
perempuan sudah menjadi tawanan perang, sedang rampasan
perang yang diperoleh pasukan Muslimin tak terkira
banyaknya. Akan tinggal diamkah saudara-saudara mereka
seagama di rumah masing-masing di Taima', tak mau menyerbu
Syam sebagaimana Khalid bin Walid dan pasukannya dulu yang
telah menerobos Irak?
Permulaan pembebasan Syam
Sekali lagi Khalid bin Sa'id menulis surat kepada
Khalifah. Ia melaporkan tentang pasukan Rumawi dan
kabilah-kabilah yang cepat-cepat bergabung dengan pasukan
itu, yang terdiri dari Bahra', Kalb, Tanukh, Lakhm, Juzam
dan Gassan, dan meminta izin untuk ikut memerangi mereka.
Sedang Abu Bakr ketika itu sudah mempersiapkan pasukannya
untuk menyerbu Rumawi. Karenanya ia menulis kepada Khalid
bin Sa'id: "Majulah dan jangan mundur, mintalah pertolongan
Allah!"
Kata-kata itu merupakan pembebasan Syam yang pertama.
Catatan kaki:
- Berbeda dengan at-Tabari, Ibn Khaldun dan Ibn
al-Asir, al-Azdi menyebutkan, bahwa Khalid bin Sa'id
ketika itu hadir dalam pertemuan, dan bahwa dia yang
pertama menyambut untuk bersiap-siap dengan keluarga dan
anak buahnya. Kita lebih cenderung pada sumber Tabari
bahwa Khalid ketika itu ada di Taima' dan tidak
menghadiri pertemuan tersebut.
- 'Irq az-zahab dalam bahasa nama sejenis perdu
(ipecac, ipecacuanha); dalam istilah kata
'irq diartikan lapisan dalam bumi atau bahan
mentah tambang (A).
- Sumber-sumber menurut at-Tabari banyak sekali.
Sumber-sumber yang menurut Balazuri sebagian ada yang
cocok dengan sumber-sumber Tabari dan ada pula yang
samasekali berbeda. Al-Azdi lain lagi sumber-sumbernya,
baik dengan Tabari maupun dengan Balazuri. Al-Waqidi
dalam beberapa hal sama dengan mereka dan dalam hal yang
lain berbeda. Sebaliknya Ibn al-Asir dan Ibn Khaldun
lebih dekat kepada Tabari, sehingga ada dugaan mereka
mengambil dari sumber-sumber itu.
- Ali dari Banu Hasyim dan Usman dari Banu Umayyah,
keduanya seketurunan dari Abd Manaf bin Qusai, moyang
Kuraisy. (A).
|