Abu Bakr As-Siddiq

oleh Muhammad Husain Haekal

Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

XIII. ANTARA IRAK DENGAN SYAM (2/2)

Mengabdi sepenuhnya untuk kepentingan negara

Tanggung jawabnya yang makin besar tidak mengubah kehidupannya sendiri yang serba dalam kekurangan, bahkan ia makin menjauhi segala yang akan membawa kesenangan pribadinya. Dulu ketika masih tinggal di Sunh (di luar kota Medinah) ia dapat menikmati hidup enak sebagai basil jerih payah usahanya. Pagi ia pergi ke Medinah, barangkali dengan menaiki kudanya, dengan mengenakan pakaian warna coklat lalu ia mengimami salat. Kadang bila ia sedang istirahat di Sunh, Umar yang bertindak sebagai imam. Menjelang tengah hari pada hari Jumat ia tinggal di rumah mencat rambut dan janggutnya, kemudian pergi ke Medinah untuk berkhutbah dan mengimami salat Jumat. Tetapi sejak ia bertempat tinggal di Medinah - karena beban negara yang makin berat - ia sudah sepenuhnya mencurahkan tenaga dan perhatiannya pada persoalan-persoalan umat, kendati yang demikian akan menghilangkan waktu istirahatnya. Dengan bertambah banyaknya beban ini pun ia tak juga punya pembantu rumah tangga, baik di rumah ataupun dalam tugas negara. Bila sedang di mesjid, ia duduk di tempat yang dulu diduduki oleh Rasulullah. Ia menyampaikan apa yang perlu disampaikan kepada jemaah, berbicara dengan mereka, meminta pendapat mereka serta memberikan pendapatnya kepada mereka pula. Lalu ia menyelesaikan berbagai masalah yang disampaikan mereka kepadanya.

Dalam keadaan hidup pribadinya yang serba kekurangan itu, ia masih selalu mau berbakti kepada fakir miskin dan kaum duafa. Ia membeli pakaian lalu dibagikan kepada janda-janda di musim dingin. Dengan diam-diam ia menyantuni sendiri fakir miskin itu, tanpa diketahui orang. Pernah Umar bin Khattab mau mengurus dan memberikan bantuan kepada seorang perempuan buta di Medinah, tetapi ketika ia datang melihat segala keperluannya sudah teratasi. Suatu hari ketika Umar menunggu, ternyata Abu Bakr-lah yang memberikan santunan untuk keperluan hidupnya itu, tanpa menghiraukan kedudukannya sebagai Khalifah dan besarnya beban yang harus dipikul. Kata Umar ketika melihatnya: "Oh kiranya engkau...!?"

Rasanya tak perlu disebutkan lagi, bahwa teladan yang diberikan Abu Bakr ini telah menjadi panutan para pembantunya di kawasan Semenanjung itu. Penduduk Arab merasa puas dengan keadilan dan persamaan yang diterapkannya, dengan bakti dan kasih sayangnya serta kebijakan dan kecekatan politiknya itu. Inilah beberapa faktor yang sangat menentukan keberhasilan politik Abu Bakr.

Faktor-faktor kemenangan dalam penilaian Abu Bakr

Dari pihaknya, hati Abu Bakr merasa lega dengan keberhasilan yang sudah dicapainya itu. Allah telah menjanjikan kepada Rasul-Nya untuk menolong agama-Nya, dan janji Allah itu memang benar. Allah telah memberikan pertolongan kepada pasukan Muslimin dalam perang Riddah. Kita lihat pasukannya di Irak selalu mendapat kemenangan, disertai perolehan rampasan perang, sehingga membuat kabilah-kabilah Arab bersemangat mau juga ikut berperang. Kita sudah melihat rampasan perang yang diperoleh pasukan Muslimin di Irak, yang hanya seperlimanya dikirimkan kepada Khalifah, sedang yang empat perlima dibagi-bagikan kepada anggota-anggota pasukan di medan perang. Keluarga prajurit dari berbagai kabilah itu mendapat pula bagian dari sang suami, suatu hal yang juga menggoda mereka. Karena tak ingin ketinggalan cepat-cepat mereka ikut ke medan perang agar mendapat bagian semacam itu, buat dia dan buat keluarganya, di samping keinginan mati syahid yang memang sudah ditanamkan Islam ke dalam hati orang.

Itu sebabnya Abu Bakr merasa aman dengan ikut sertanya para kabilah itu berperang, kalau diperlukan. Tak segan-segan mereka berkorban, bahkan ingin cepat-cepat, karena tertarik ingin mati syahid dan terdorong ingin memperoleh kemenangan. '

Abu Bakr sudah tahu benar; pengaruh ingin mati syahid dalam hati kebanyakan mereka itu tak dapat diukur dengan keinginan untuk memperoleh rampasan perang. Kita masih ingat bagaimana teriakan pahlawan-pahlawan yang terjun ke medan pertempuran Yamamah dulu itu. Mereka tidak ragu bahwa mereka akan bertemu Tuhan. Dengan pertemuan itu mereka merasa sungguh bahagia. Ingin mati syahid itu juga yang telah mengisi jiwa Khalid bin Walid ketika menulis kepada Ormizd, "Aku datang kepadamu dengan pasukan yang cinta mati, seperti juga kalian yang cinta hidup." Mereka menyambut sekali kematian itu, sebab itulah jalan ke surga, sebab itulah Allah akan mengampuni segala dosa orang yang berjuang fi sabilillah. Setiap ada seorang kawan yang dilihatnya sudah direnggut maut di medan perang, maka kematiannya yang sebagai mati syahid itu adalah suatu tanda keridaan Allah kepadanya. Maka dia juga bercita-cita ingin memperoleh keridaan Allah serupa itu. Begitu besar keinginan mereka menerima kematian, wajar sekali jika yang mereka terima justru hidup dengan kehormatan yang sangat tinggi, dan hati Khalifah Rasulullah pun merasa tenteram dengan kemenangan itu, lalu mengirimkan pasukan untuk membebaskan Syam seperti saudara-saudaranya yang sudah membebaskan Irak.

Sungguhpun begitu, dorongan untuk memperoleh rampasan perang juga hal yang bukan tak penting buat mereka. Yang demikian ini sudah menjadi bawaan orang-orang badui sejak lahir, dan akan tetap demikian untuk selamanya. Sudah kita lihat Khalid bin Walid usai perang Ullais di Irak berdiri di depan pasukannya dan berkata:

"Kalaupun yang ada di Irak ini hanya kekayaan yang besar dan rampasan perang, yang di negeri Arab dianggap sebagai sebuah impian, perang itu saja pun sudah cukup merangsang."

Kabilah-kabilah yang dulu pernah murtad, kini menggigit jari menyesali perbuatan mereka itu karena tak diperbolehkan ikut berperang di Irak. Di seluruh Semenanjung itu orang yang tetap teguh dengan keislamannya masih cukup banyak. Mereka tak akan pernah ragu memenuhi seruan jihad bila memang diminta oleh Khalifah, dan bila sudah menyerang Syam ternyata mereka adalah pahlawan-pahlawan yang dapat diandalkan.

Surat Abu Bakr kepada Yaman

Karena itu, semua niat Abu Bakr untuk menyerbu Syam tiada berubah ketika mengajak sahabat-sahabat untuk bersiap-siap. Tetapi mereka lalu diam ketika Abdur-Rahman bin Auf berkata: "...Mereka itu Rumawi dan orang kulit putih! Mereka tangkas dan pertahanan mereka sangat kuat!" Bahkan ia mulai meminta bantuan Yaman dengan menulis surat mengatakan:

"Amma ba'du, Allah telah mewajibkan kepada orang-orang beriman untuk berjuang dan memerintahkan mereka berangkat dengan segala perlengkapan, ringan atau berat, dan berjuanglah dengan harta dan jiwamu di jalan Allah. Berjihad adalah suatu kewajiban yang sudah ditentukan Allah, dan pahalanya dalam pandangan Allah sangat besar. Dari pihak kami, kami sudah memanggil kalangan Muslimin untuk berjuang menghadapi Rumawi di Syam. Mereka cepat-cepat menyambutnya dan segera berkumpul. Dengan niat baik mereka berangkat. Wahai hamba Allah, marilah kita tunaikan kewajiban kita kepada Allah."

Seruan ini mendapat sambutan hangat. Begitu utusan Khalifah membacakan surat itu, Zul-Kula' al-Himyari segera menyiapkan kuda dan senjatanya. Kemudian ia ikut mengerahkan jemaahnya dan kabilah-kabilah yang sudah bergabung dengan dia. Mereka pun berangkat menuju Medinah. Begitu juga Qais bin Hubairah al-Muradi dari kabilah Mazhij, Jundub bin Amr ad-Dausi dari Azd dan Habis bin Sa'd at-Ta'i dari Tayyi'.

Sementara utusan Abu Bakr sudah sampai di Yaman dan tinggal di sana sambil berbincang-bincang dengan orang-orang Yaman, dan sementara orang-orang Yaman sendiri sudah siap dan akan berangkat, Abu Bakr memanggil semua kaum Muhajirin dan Ansar yang ada di sekitarnya, juga penduduk Mekah dan yang lain, agar berkumpul untuk dikirim ke Syam. Sumber-sumber memang tidak sama: kapan Abu Bakr mulai memberangkatkan pasukan-pasukan itu, dan mana yang lebih dulu, dan siapa-siapa yang memegang pimpinan mereka yang sudah berkumpul itu dan siapa pula pimpinan yang berada di sana, kemudian diberangkatkan ke Syam memenuhi perintah Khalifah dengan sukarela. Kacaunya sumber-sumber mengenai soal Syam ini lebih kacau dari sumber mengenai pembebasan Irak dan perang Riddah.3

Perjalanan tentara ke Syam

Sumber-sumber itu kebanyakan berpendapat bahwa pasukan pertama yang berangkat ke Syam itu sepulang Abu Bakr dari haji, yakni pada akhir tahun dua belas atau awal tahun tiga belas Hijri. Sumber-sumber lain berpendapat bahwa Abu Bakr memberangkatkan Khalid bin Sa'id al-As ke perbatasan Syam itu saat Khalid bin Walid diberangkatkan ke Irak tahun dua belas. Menurut hemat saya, Khalid bin Walid berangkat ke Irak lalu menyerahkan komando tertingginya kepada Musanna dan anak buahnya sebelum pasukan Muslimin selesai menghadapi perang Riddah di Yaman, Kindah dan Hadramaut, dan bahwa Khalid bin Sa'id - kalaupun ia berangkat waktu itu atau sebelumnya - keberangkatannya itu untuk menjaga perbatasan, bukan untuk menyerang. Juga menurut hemat saya Abu Bakr baru memikirkan hendak menyerang Syam itu setelah pasukan Muslimin mendapat kemenangan dalam perang Riddah di Yaman dan sekitarnya, dan setelah Khalid bin Walid memasuki kota Hirah dan dirasakan keadaan sudah tenang, juga sesudah Dumat membukakan pintu dan jalan Wadi Sirhan ke Syam sudah aman.

Yang memperkuat pendapat ini, seperti kita sebutkan di atas, adanya seruan Abu Bakr kepada kabilah-kabilah di Yaman. Tentu ia tak akan meminta bantuan mereka sebelum dapat menumpas kaum murtad di sana Di samping itu Ikrimah bin Abi Jahl dan Zul-Kula' al-Himyari tak akan tinggal di Yaman sesudah seluruh kawasan itu benar-benar tenang. Mereka bahkan bersama-sama dengan Muhajir bin Abi Umayyah berangkat hendak menumpas kaum murtad di Kindah dan Hadramaut. Sesudah keadaan di selatan seluruhnya aman dan tiba saatnya Ikrimah kembali ke Medinah, pasukan yang berjuang dengan dia itu didemobilisasi - diistirahatkan. Kemudian ia membentuk pasukan lain menggantikan tempatnya. Rasanya tidak sulit kita memperkirakan waktu yang digunakan untuk kembali pulang dari Yaman ke Medinah, kemudian berangkat dari Medinah ke Syam. Kita tahu bahwa perjalanan pada waktu itu dari Mekah ke Medinah dengan unta ditempuh lebih dari sepuluh hari, dan kafilah yang pergi ke Syam memerlukan waktu perjalanan secara terus-menerus, sebulan pergi dan pulang sebulan.

Panglima pasukan Muslimin pertama ke Syam

Juga perbedaan sumber-sumber itu mengenai siapa panglima pasukan yang akan diberangkatkan ke Syam ketika pertama kali terpikir oleh Abu Bakr hendak menyerbu Rumawi? Disebutkan bahwa panglima yang akan dikirim itu adalah Khalid bin Sa'id bin al-As al-Umawi. Di atas sudah kita singgung bahwa pada permulaan perang Riddah itu Khalid dikirim ke Taima' di perbatasan Rumawi hanya sebagai pasukan pembantu. Ada lagi sumber di luar yang dua itu bahwa Khalid pernah di Yaman sebagai utusan Rasulullah, dan dia datang ke Medinah sebulan kemudian setelah Rasulullah wafat. Ketika bertemu dengan Ali bin Abi Talib dan Usman bin Affan ia berkata: "Keluarga Abdu Manaf,4 kalian rela meninggalkan suatu masalah diurus oleh orang yang bukan dari kalian."

Setelah Abu Bakr memberangkatkan pasukan itu ke Syam, yang diangkat di sana adalah Khalid bin Sa'id. Lalu kata Umar kepada Abu Bakr: "Dia yang kauangkat padahal dia sudah berbuat yang tidak semestinya dan mengatakan yang bukan-bukan?"

Karena keadaan demikian itu ia mencopot Khalid dan menggantikannya dengan Yazid bin Abi Sufyan. Sebuah sumber menyebutkan bahwa mengenai Khalid ini Umar berkata kepada Abu Bakr: "Dia suka membanggakan diri, ingin menang sendiri dan fanatik."

Ada juga dikatakan bahwa kepergian Khalid bukan sebagai panglima pasukan melainkan ia ikut dalam pasukan Abu Ubaidah bin al-Jarrah. Lepas dari sumber-sumber yang masih simpang-siur itu kita lebih cenderung mengatakan bahwa keberangkatan Khalid itu hanya sebagai pasukan pembantu di Taima', dan dia tinggal di sana. Ketika Abu Bakr mengadakan mobilisasi untuk menghadapi perang Rumawi, dia tak ada di Medinah. Seruannya itu justru memenuhi permintaan Khalid ketika ia mengirim orang kepadanya meminta bantuan dan melaporkan mengenai bergeraknya pihak Rumawi yang telah mendorong Khalifah sendiri untuk menyerang Syam.

Beralasan juga jika pihak Rumawi mulai bersiap-siap, dan persiapannya itu makin ditingkatkan. Berita-berita yang sampai kepada mereka tentang kemenangan pasukan Muslimin di Irak serta ditumpasnya pemberontakan yang terjadi di negeri-negeri Arab, datang berturut-turut. Mereka belum dapat melupakan Muhammad dan sahabat-sahabatnya yang begitu berani mempertaruhkan diri menyerang mereka, berkurangnya daerah-daerah teritorial mereka serta kerukunan yang diadakan dengan para kabilah yang tinggal di perbatasan mereka itu. Sekarang pengikut-pengikutnya justru tinggal di tempat itu. Terpikir oleh mereka akan menerobos semua perbatasan itu. Atas dasar itu pihak Rumawi mengundang kabilah Gassan dan kabilah-kabilah lain yang tinggal di pedalaman Syam untuk mengadakan pertahanan bersama membendung pasukan Muslimin. Dalam jumlah besar kabilah-kabilah yang berkumpul itu tak kurang besarnya dengan mereka yang berada di sekitar Khalid bin Sa'id. Kedua pihak sudah saling berhadapan, yang satu di tanah Arab, yang lain di tanah Syam, masingmasing menunggu kesempatan hendak menyerang.

Dalam pada itu berita-berita tentang Khalid bin Walid sudah meraung-raung di udara Persia, di Rumawi dan di seluruh tanah Arab. Anbar sudah membuka pintu, Ain Tamr prajurit-prajuritnya yang berperang sudah terbunuh dan kaum perempuan sudah menjadi tawanan perang, sedang rampasan perang yang diperoleh pasukan Muslimin tak terkira banyaknya. Akan tinggal diamkah saudara-saudara mereka seagama di rumah masing-masing di Taima', tak mau menyerbu Syam sebagaimana Khalid bin Walid dan pasukannya dulu yang telah menerobos Irak?

Permulaan pembebasan Syam

Sekali lagi Khalid bin Sa'id menulis surat kepada Khalifah. Ia melaporkan tentang pasukan Rumawi dan kabilah-kabilah yang cepat-cepat bergabung dengan pasukan itu, yang terdiri dari Bahra', Kalb, Tanukh, Lakhm, Juzam dan Gassan, dan meminta izin untuk ikut memerangi mereka. Sedang Abu Bakr ketika itu sudah mempersiapkan pasukannya untuk menyerbu Rumawi. Karenanya ia menulis kepada Khalid bin Sa'id: "Majulah dan jangan mundur, mintalah pertolongan Allah!"

Kata-kata itu merupakan pembebasan Syam yang pertama.

Catatan kaki:

  1. Berbeda dengan at-Tabari, Ibn Khaldun dan Ibn al-Asir, al-Azdi menyebutkan, bahwa Khalid bin Sa'id ketika itu hadir dalam pertemuan, dan bahwa dia yang pertama menyambut untuk bersiap-siap dengan keluarga dan anak buahnya. Kita lebih cenderung pada sumber Tabari bahwa Khalid ketika itu ada di Taima' dan tidak menghadiri pertemuan tersebut.
  2. 'Irq az-zahab dalam bahasa nama sejenis perdu (ipecac, ipecacuanha); dalam istilah kata 'irq diartikan lapisan dalam bumi atau bahan mentah tambang (A).
  3. Sumber-sumber menurut at-Tabari banyak sekali. Sumber-sumber yang menurut Balazuri sebagian ada yang cocok dengan sumber-sumber Tabari dan ada pula yang samasekali berbeda. Al-Azdi lain lagi sumber-sumbernya, baik dengan Tabari maupun dengan Balazuri. Al-Waqidi dalam beberapa hal sama dengan mereka dan dalam hal yang lain berbeda. Sebaliknya Ibn al-Asir dan Ibn Khaldun lebih dekat kepada Tabari, sehingga ada dugaan mereka mengambil dari sumber-sumber itu.
  4. Ali dari Banu Hasyim dan Usman dari Banu Umayyah, keduanya seketurunan dari Abd Manaf bin Qusai, moyang Kuraisy. (A).

(sebelum, sesudah)


Abu Bakr As-Siddiq - Yang Lembut Hati
Sebuah Biografi dan Studi Analisis tentang Permulaan Sejarah Islam Sepeninggal Nabi
 
oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
 
Penerbit P.T. Pustaka Litera AntarNusa
Jln. Arzimar III, Blok B No. 7A, Tel./Fax. (0251) 330505, Bogor 16152.
Jln. Rukem I-19, Rawamangun, Tel./Fax. (021) 4722889, Jakarta 13220.
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang No. 7/1987
ISBN 979-8100-29-8
Anggota IKAPI.
Setting dan kulit luar oleh Litera AntarNusa
Dicetak oleh P.T. INTERMASA, Jakarta.
 
Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team