Abu Bakr As-Siddiq

oleh Muhammad Husain Haekal

Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

XIII. ANTARA IRAK DENGAN SYAM (1/2)

Rumawi berjaga-jaga terhadap pasukan Muslimin - 238; Terpikir hendak menyerang Syam - 239; Rumawi dan Arab di perbatasan Syam - 239; Surat pertama kepada Abu Bakr - 240; Abu Bakr meminta pendapat beberapa tokoh - 241; Pendapat Abdur-Rahman bin Auf - 241; Sikap Muslimin atas seruan menyerang Syam - 242; Sikap Abu Bakr mengenai keadaan sekitarnya - 243; Kebijaksanaannya setelah Perang Riddah dan kemenangan di Irak - 244; Mengabdi sepenuhnya untuk kepentingan negara - 245; Faktor-faktor kemenangan dalam penilaian Abu Bakr - 246; Surat Abu Bakr kepada Yaman 248; Perjalanan tentara ke Syam - 249; Panglima pasukan Muslimin pertama ke Syam - 250; Permulaan pembebasan Syam - 251.

Rumawi berjaga-jaga terhadap pasukan Muslimin

Di mana-mana orang bicara tentang Khalid bin Walid dan peranannya di kawasan Arab Irak, serta kemenangan pasukan Muslimin melawan Persia di setiap medan pertempuran. Berita-berita ini bergema juga di Syam sampai ke daerah-daerah pedalaman. Hal ini menggugah Kaisar Bizantium, yakni Imperium Rumawi Timur dan sangat mempengaruhi pikirannya. Banu Gassan yang berada dalam protektoratnya di Syam, juga pihak Arab seperti Banu Lakhm, Banu Taglib, Banu Iyad, Banu Namir dan yang lain yang tinggal di perbatasan Irak, dan mereka ini menyusup jauh ke daerah Mesopotamia. Kabilah-kabilah seperti Banu Bakr, Banu Uzrah, Banu Adawan dan Banu Buhrah, letak pemukiman mereka berbatasan dengan Banu Gassan dan pedalaman Syam itu. Bukankah sudah wajar jika pasukan Muslimin mulai juga memikirkan untuk menyerang kawasan Arab Syam seperti halnya dengan kawasan Arab Irak? Pihak Rumawi perlu sekali berhati-hati dalam soal ini, juga perbatasan Syam dengan negeri-negeri Arab perlu diperkuat dan dijadikan benteng pertahanan sehingga dapat menahan pasukan Muslimin dari pikiran hendak menyerang kekuasaan Rumawi yang mana pun.

Sekarang politik Rumawi diarahkan ke sana. Suasana yang tadinya tenang sekarang harus benar-benar waspada. Pada masa Rasulullah dulu perhatian Muslimin akan memperkuat perbatasan Arab di utara karena khawatir adanya agresi pihak Rumawi yang dihasut oleh kaum Yahudi dan Nasrani, yang oleh agama baru ini sudah dikeluarkan dari daerah Semenanjung. Tetapi sekarang Rumawi sendiri yang perlu memperkuat perbatasan mereka di selatan itu karena khawatir adanya serangan pasukan Muslimin kepada mereka dengan kekuatan imannya dan dengan segala kemenangan yang sudah dijamin oleh keimanan ini.

Terpikir hendak menyerang Syam

Pikiran yang kini sedang berkecamuk dalam benak Heraklius tidak pula lepas dari pemikiran Abu Bakr. Bahkan sejak tanda-tanda kemenangan mulai berkibar mengiringi bendera pasukan Muslimin dalam perang Riddah, sudah berulang kali timbul dalam hatinya. Tetapi ia masih maju mundur hendak melaksanakannya sebelum menyelesaikan peperangan itu, karena dikhawatirkan orang-orang Arab masih akan mengadakan pemberontakan lagi. Sungguhpun begitu, setelah al-Musanna bin Harisah asy-Syaibani dapat menenteramkan keadaan di Irak, dan setelah Khalid bin Walid dapat menyapu bersih pasukan Persia dan kabilah-kabilah Arab di pedalaman dan dapat menguasai Hirah sehingga dijadikan ibu kotanya, soal Syam ini makin banyak menyita pikiran Abu Bakr.

Kabilah-kabilah Arab di sana seperti di Irak. Kabilah-kabilah Irak itu sebagian sudah ada yang bergabung dengan pasukan Muslimin dan ikut memerangi Persia kendati mereka tetap dalam agama Nasraninya. Sudah tentu kabilah-kabilah di Syam akan melakukan hal yang sama. Rumawi adalah pihak yang berkuasa atas Syam. Mereka berbeda bangsa dan bahasa dengan kabilah-kabilah Arab yang ada di sana, sama dengan Persia dengan orang-orang Arab yang ada di pantai-pantai Sungai Tigris dan Furat. Jika pihak Arab di Syam dapat mengalahkan pasukan Rumawi, Arab Syam itu akan bergabung dengan saudara sepupunya dari Semenanjung. Karena adanya penggabungan ini pasukan Muslimin bertambah yakin akan dapat mengalahkan musuh, dan akhirnya akan dapat menikmati kestabilan bersama saudara-saudara sepupunya di negeri yang subur ini. Jika pada suatu waktu mereka masuk Islam mereka akan mendapat hak dan kewajiban yang sama dengan kaum Muslimin.

Rumawi dan Arab di perbatasan Syam

Keraguan itu hilang dari pikiran Abu Bakr tatkala Dumat al-Jandal sudah menyerah dan membuka pintu bagi pasukan Muslimin. Tetapi mengingat kesibukan pasukan Muslimin di Irak dan menghadapi kaum murtad di selatan Semenanjung, maka dalam menghadapi pihak Rumawi lebih baik bersikap mempertahankan diri. Tak akan menyerang lebih dulu kecuali bila mereka yang memulai. Perintah yang dikeluarkan Abu Bakr ketika itu kepada para panglimanya di perbatasan Syam sudah cukup tegas. Pihak Rumawi tidak akan menanggung risiko dengan menyeberangi perbatasan itu sementara mereka sudah tahu pasukan Muslimin dalam setiap pertempuran mendapat kemenangan. Itu sebabnya masingmasing pihak tetap berhati-hati, jangan sampai terjebak ke dalam pertempuran.

Yang membuat pihak Rumawi lebih menyukai sikap demikian mengingat angkatan bersenjata Muslimin yang dikirimkan Abu Bakr - selesai pelantikannya - ke utara Semenanjung untuk menumpas kaum murtad dan melindungi perbatasan, tetap utuh, samasekali tak terganggu. Kabilah-kabilah di sana sudah kembali patuh kepada kekuasaan Medinah tanpa ada pihak yang mau mengobarkan perang lagi, kecuali Dumat al-Jandal yang masih gigih membangkang. Mereka mengadakan perlawanan kepada Iyad dan tetap bertahan dalam benteng sampai kemudian Khalid datang menghancurkan pertahanan mereka. Kekuatan bersenjata Rumawi itu terdiri dari penduduk Palestina dan orang-orang Arab pedalaman yang tinggal berdekatan dengan daerah pemukiman. Untuk memerangi pihak Arab mereka tak punya dorongan batin yang akan membuat mereka mau mati membela kebenaran atau mewujudkan suatu cita-cita yang luhur.

Komandan pasukan Muslimin di perbatasan itu Khalid bin Sa'id bin al-As. Konon setelah Abu Bakr membentuk brigade-brigade untuk menghadapi kaum murtad, salah seorang yang diangkat itu Khalid. Tetapi Umar bin Khattab keberatan orang itu memegang pimpinan militer dengan mengatakan: "Dia lamban, pandangannya lemah."

Umar terus mendesak agar ia dicopot, sehingga akhirnya Abu Bakr menempatkannya sebagai pasukan pembantu di Taima' di perbatasan dengan Syam, bukan lagi untuk bertempur melawan kaum murtad.

Surat pertama kepada Abu Bakr

Khalid bin Sa'id bermarkas di Taima' dan Abu Bakr berpesan jangan meninggalkan tempat itu, dan supaya mengajak kabilah-kabilah di sekitarnya bergabung dengan dia, kecuali mereka vang membangkang. Jangan menyerang kecuali diserang lebih dulu sampai ada perintah dari Abu Bakr. Segala perintah Khalifah itu dilaksanakan oleh Khalid. Ketika itu banyak kelompok yang bergabung kepadanya sehingga markas pasukannya membengkak.

Berita-berita tentang pasukan di perbatasan mereka itu sampai juga ke pihak Rumawi. Sekarang Heraklius harus mengambil kepastian untuk mengusir mereka. Ia mengeluarkan perintah agar mengadakan persiapan. Berita ini pun sampai pula kepada Khalid. Maka cepat-cepat ia mengirim surat ke Medinah disertai pendapatnya dengan harapan Khalifah akan memberi izin ia terjun menghadapi Rumawi dan kabilah-kabilah Arab di Syam yang bergabung dengan mereka. Yang dikhawatirkannya, mereka akan lebih dulu menyerang secara mendadak.

Lama sekali Abu Bakr merenungkan surat Khalid bin Sa'id itu. Berita-berita yang sampai dari bagian selatan .Semenanjung semuanya bagus. Ikrimah bin Abi Jahl dan Muhajir bin Abi Umayyah sudah berhasil menumpas kaum murtad di sana. Tak lama lagi Ikrimah dan pasukannya akan kembali pulang dan tinggal Muhajir sebagai gubernur di Yaman. Bilamana pasukan Muslimin itu sudah kembali akan mudah mengirim bala bantuan ke Syam. Tetapi! Cukupkah anggota pasukan itu untuk memerangi Rumawi dan menyerang Syam, padahal Abu Bakr sudah cukup mengetahui jumlah pasukan Rumawi dan perlengkapannya itu, serta kemenangan Rumawi sebelumnya dalam menghadapi Persia? Tidakkah lebih baik meminta bantuan pihak selatan yang masih teguh keislamannya untuk dikirimkan ke Syam, dan kalau mereka bersedia, Rumawi tidak akan lebih mampu bertahan daripada Persia di Irak?

Abu Bakr meminta pendapat beberapa tokoh

Suatu hari Abu Bakr mengundang Umar, Usman, Ali, Talhah bin Zubair, Abdur-Rahman bin Auf, Sa'd bin Abi Waqqas, Abu Ubaidah bin Jarrah, Mu'az bin Jabal, Ubai bin Ka'b, Zaid bin Sabit serta tokoh-tokoh Muhajirin dan Ansar dari veteran perang Badr dan yang lain. Setelah mereka berkumpul ia berkata kepada mereka dengan menyebutkan bahwa Rasulullah dulu pernah mengarahkan perhatiannya ke Syam, tetapi setelah Rasulullah wafat, ia ingin melanjutkan kehendaknya itu.

"Orang-orang Arab itu seibu sebapa dan aku ingin meminta bantuan mereka menghadapi pihak Rumawi di Syam. Jika di antara mereka ada yang tewas, mereka akan mati syahid. Apa yang dari Allah, itulah yang lebih baik bagi mereka yang berbakti. Dan barang siapa masih hidup di antara mereka, hidup mereka mempertahankan agama. Allah swt. akan memberi pahala kepada mereka sebagai mujahid."

Ketika Abu Bakr meminta pendapat mereka, Umar berkata:

"Setiap kami ingin berlomba untuk kebaikan ternyata engkau sudah lebih dulu dari kami. Aku sebenarnya ingin menemuimu justru untuk membicarakan pendapat yang kausebutkan itu. Apa yang sudah ditentukan Allah untuk itu, itu pula yang kausebutkan. Allah telah membimbingmu ke jalan yang benar. Kirimkanlah berturut-turut pasukan berkuda, perwira demi perwira dan prajurit demi prajurit. Allah 'azza wa jalla akan membela agama-Nya, akan memperkuat Islam dan penganutnya dan menunaikan apa yang sudah dijanjikan kepada Rasul-Nya."

Pendapat Abdur-Rahman bin Auf

Tetapi Abdur-Rahman bin Auf tampaknya lebih berhati-hati dan menghindari cara-cara yang sifatnya mengadu untung. Ia berdiri dan berkata:

"Ya Khalifah Rasulullah, mereka itu Rumawi dan orang kulit putih! Mereka tangkas dan pertahanan mereka sangat kuat! Aku berpendapat pasukan berkuda jangan mengadakan serangan sekaligus. Pasukan berkuda supaya menyerang daerah yang dekat-dekat saja; lalu serang lagi kemudian kembali kepada kita, serang lagi, lalu kembali lagi kepada kita. Jika yang demikian diulang-ulang, buat musuh akan lebih berbahaya. Dari daerah yang dekat-dekat itu kita akan mendapat rampasan perang untuk memperkuat diri dalam memerangi mereka. Kemudian kita meminta kepada Yaman yang jauh dan kabilah-kabilah Rabi'ah dan Mudar yang jauh-jauh untuk bergabung dengan kita semua. Sesudah itu, kalau dianggap perlu, engkau sendiri dapat bersama-sama menyerang mereka, atau mengirim yang lain untuk menyerang mereka."

Setelah menyampaikan pendapatnya itu ia duduk kembali. Semua yang hadir diam. Keadaan sunyi sejenak. Setelah itu kemudian Abu Bakr mengajukan pertanyaan kepada hadirin:

"Bagaimana pendapat kalian? Semoga Allah melimpahkan rahmatNya kepada kalian."

"Aku berpendapat," kata Usman kemudian, "engkau adalah penasihat umat ini, engkau mencintai mereka. Kalau engkau berpendapat ada jalan yang lebih baik dan bermanfaat buat mereka, maka teruskanlah apa yang sudah kautentukan. Bagi mereka engkau bukan orang yang kikir atau diragukan."

Hadirin semua setuju dengan pendapat Usman.

"Apa yang kaupandang baik teruskanlah," kata mereka. "Kami patuh kepadamu. Kami tidak akan melanggar perintahmu, kami tidak meragukan engkau, kami siap memenuhi panggilan dan ajakanmu."

Abu Bakr berdiri dan mengajak mereka bersiap-siap untuk menghadapi pihak Rumawi di Syam, seraya katanya:

"Aku akan mengangkat beberapa pemimpin atas kalian dan pemegang hak kuasa mereka atas kalian. Maka taatlah kalian kepada Allah, dan janganlah melanggar perintah pemimpin-pemimpin kalian. Hendaklah kalian berniat baik dan memperbaiki perilaku kalian. Sungguh Allah bersama orang yang bertakwa dan berbuat baik."

Sikap Muslimin atas seruan menyerang Syam

Akan timbulkah semangat orang yang mendengar seruan itu? Adakah Khalifah mau memenuhi permintaan mereka yang ingin berjihad?! Keadaan pihak Rumawi yang begitu hebat membuat mereka diam. Tetapi saat itu Umar berteriak kepada mereka:

"Kaum Muslimin sekalian, mengapa kalian tidak menjawab seruan Khalifah yang mengajak kalian untuk hal yang akan menghidupkan iman kalian?"

Dengan teriakan itu mereka tersentak. Sekarang mereka menerima seruan jihad itu meskipun yang mereka utamakan agar Khalifah meminta bantuan Yaman dan Semenanjung untuk menghadapi musuh.1

Tidak heran hal ini membuat Abu Bakr lama sekali merenung dan menyita perhatiannya melebihi yang lain, mengingat sikap Muslimin demikian itu. Jarir bin Abdullah adalah salah seorang yang bersama-sama berangkat ke Syam dengan Khalid bin Sa'id. Ia meminta izin kepada Khalid untuk menemui Abu Bakr guna membicarakan keselamatan kaumnya dan untuk mengajak mereka bergabung dengan dia; mereka itu di kalangan Arab merupakan kelompok-kelompok yang terpencar-pencar. Oleh Khalid ia diizinkan, dan ia menghadap Abu Bakr. Ia bercerita tentang janji Nabi dan dikemukakannya janji itu dengan beberapa bukti dan dia minta kepada Abu Bakr agar dilaksanakan. Mendengar apa yang dikatakannya itu Abu Bakr marah, seraya katanya: "Kau mengganggu kami dalam keadaan kami sekarang mau menolong pasukan Muslimin yang sedang menghadapi dua singa raksasa, Persia dan Rumawi. Di samping itu kau mau membebani aku dengan pekerjaan yang tak akan mendapat rida Allah dan Rasul-Nya. Baiklah, sekarang kau pergi kepada Khalid bin Walid sambil menunggu ketentuan Allah mengenai kedua persoalan ini."

Jarir pergi untuk menemui Khalid di Hirah.

Sikap Abu Bakr mengenai keadaan sekitarnya

Juga tidak heran jika perhatian Abu Bakr ke soal perang, yang selalu berkecamuk sejak ia dilantik. Makin lama terasa makin genting dan berbahaya. Semua ini sangat memerlukan banyak perhatian dan harus selalu waspada. Pasukan yang tersebar di Irak, dan yang siaga di perbatasan Syam, perlukah mendapat bala bantuan? Mana yang lebih memerlukan bantuan? Dan penduduk Medinah, Mekah dan Ta'if, yang ditinggalkan anggota keluarganya pergi ke medan perang, mungkinkah mereka juga sedang dalam kekurangan?! Dan kabilah-kabilah dari utara sampai ke selatan, bagaimana keadaan mereka? Bagaimana perasaan mereka terhadap Medinah dan terhadap Khalifah? Berita-berita yang datang dari medan perang kadang berisi kemenangan, kadang pula mengecewakan, seperti halnya dengan Iyad bin Ganm di Dumat, bagaimana harus diimbangi, dan dengan cara bagaimana pula harus diumumkan kepada orang ramai? Semua ini dan segala yang bertalian ini memang membuat Abu Bakr sangat sibuk. Kendatipun tokoh-tokoh pemikir di sekitarnya merupakan orang-orang kepercayaannya dan membuatnya merasa tenteram. tetapi dialah yang menjadi tumpuan terakhir dan di tangannya pula keputusan segala masalah itu. Di masa-masa perang demikian jika pengarahannya tidak terpadu, dikhawatirkan akan terjadi kekacauan dan akan membawa akibat yang tak diinginkan. Atas segala kejadian itu Khalifah adalah orang pertama yang bertanggung jawab kepada mereka yang telah membaiatnya, dan pertanggungjawaban yang lebih besar lagi kepada Allah, kepada hati nuraninya sendiri dan kepada semua orang.

Perasaan Abu Bakr dengan segala pertanggungjawaban besar ini sangat dalam. Itulah yang memaksanya ia tetap tinggal di Medinah sejak pecah perang Riddah, supaya dapat ia menekuni persoalan negara, tak terganggu oleh yang lain-lain. Bahwa problemanya sekarang makin berlipat ganda dan perang meluas sampai ke Persia, dan hampir pula menjangkau Rumawi, orang ini sudah melupakan segalanya untuk mengkhususkan diri pada masalah-masalah tersebut, kendati dia harus kehilangan segala kesenangannya. Dengan demikian keberhasilan Muslimin dan kemenangan untuk agama Allah akan dia tanggung, dia akan tetap melangkah di jalan yang sudah digariskan oleh Rasulullah, tak akan menyimpang dan tak akan meninggalkannya.

Kebijaksanaannya setelah Perang Riddah dan kemenangan di Irak

Kebijaksanaan Abu Bakr adalah jaminan terbaik untuk memperoleh kemenangan dan keberhasilan. Dalam pemerintahannya nilai keadilan dan kasih sayang itu menyatu. Seperti halnya dengan keteguhan hatinya yang tak kenal mundur, tak kenal rasa lemah dari mana pun datangnya. Begitu negeri-negeri Arab itu kembali kepada agama Allah, masing-masing mereka dibiarkan dengan kemerdekaannya sendiri seperti yang dulu dilakukan oleh Rasulullah, tak ada tuntutan apa pun selain zakat yang harus ditunaikan pada masa Nabi dulu. Sebagian besar zakat itu dikeluarkan untuk kepentingan negeri itu sendiri dan untuk kaum fakir miskinnya di bawah pengawasan para wakilnya yang bertanggung jawab atas semua itu, dan yang menjadi ukurannya ialah keadilan dan persamaan. Dengan demikian penduduk Arab itu semua jadi tenang hidupnya, dan tak ada kekhawatiran akan memberontak.

Abu Bakr tidak pernah menyisakan hasil zakat itu untuk dirinya atau dari seperlima hasil rampasan perang selain yang ditentukan baginya oleh kaum Muslimin. Sebagian besar pengeluaran untuk penyediaan keperluan jihad angkatan bersenjatanya, dan sisanya dibagikan kepada fakir miskin dan orang yang dalam perjalanan serta orang yang berhak menerima dari baitulmal. Tempat baitulmal itu di Sunh, di rumah Abu Bakr. Sesudah Abu Bakr pindah ke Medinah, baitulmal itu dipindahkan ke rumahnya. Ada yang berpendapat mengenai rampasan perang yang dari Persia, tidakkah diperlukan penjagaan untuk baitulmal itu. Abu Bakr menjawab: Tidak, sebab semua yang ada dalam baitulmal itu dikeluarkan sehingga tak ada lagi yang tinggal yang memerlukan penjagaan. Hal itu tak hanya terbatas pada hasil zakat dan seperlima rampasan perang. Selama masa kekhalifahannya sudah ditemukan tambang emas di daerah Banu Sulaim dekat Medinah, yaitu bijih emas2 yang pada masa kita sekarang banyak dimanfaatkan.

Dalam mengadakan pembagian itu oleh Abu Bakr disamaratakan antara -mereka yang mula-mula dalam Islam dan yang kemudian, yang merdeka dan hamba, laki-laki dan perempuan. Ada orang yang menanyakan: "Mengapa orang yang sudah lebih dulu (dalam Islam) tidak diutamakan sesuai dengan kedudukan mereka?"

"Mereka sudah berserah diri kepada Allah," kata Abu Bakr, "dan mereka patut mendapat ganjaran, yang akan diberikan-Nya kelak kepada mereka di akhirat; kehidupan di dunia ini hanya suatu peringatan."

Ia memperlakukan keadilan kepada semua orang dan demi ketenangan semua orang. Kemauan Abu Bakr yang keras dan tegas, yang dilaksanakan dengan tanggung jawab sepenuhnya, membuat dia sangat disegani dan dihormati. Umar bin Khattab adalah orang yang paling dekat di hatinya sebagai penasihat dan pendapatnya paling cocok buat dia. Ia sangat menghargai dan menghormati Usman, Ali, Talhah, Zubair dan yang lain. Tak pernah ia memutuskan suatu masalah sebelum bermusyawarah dengan mereka. Sungguhpun begitu, ia tak mau menggeser tanggung jawab kepada mereka, atau jika ada kesalahan, untuk membela diri lalu bersembunyi di balik konsultasi mereka. Kita sudah melihat ia menentang pendapat orang banyak ketika hendak mengirim pasukan Usamah, dan bagaimana pula ia memperlihatkan kebulatan niat serta keteguhan hatinya ketika akan memerangi kaum murtad sehingga membuat semua penasihatnya kemudian mengakui ketepatan pendapatnya itu serta pandangannya yang jauh. Juga kita lihat Khalid bin Walid sehubungan dengan terbunuhnya Malik bin Nuwairah, dan bagaimana pula ia beristikharah kepada Allah dalam segala hal, dan kalau Allah sudah memberikan pilihan mengenai suatu masalah, ia tak pernah mundur atau mau mencari yang lain.

(sebelum, sesudah)


Abu Bakr As-Siddiq - Yang Lembut Hati
Sebuah Biografi dan Studi Analisis tentang Permulaan Sejarah Islam Sepeninggal Nabi
 
oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
 
Penerbit P.T. Pustaka Litera AntarNusa
Jln. Arzimar III, Blok B No. 7A, Tel./Fax. (0251) 330505, Bogor 16152.
Jln. Rukem I-19, Rawamangun, Tel./Fax. (021) 4722889, Jakarta 13220.
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang No. 7/1987
ISBN 979-8100-29-8
Anggota IKAPI.
Setting dan kulit luar oleh Litera AntarNusa
Dicetak oleh P.T. INTERMASA, Jakarta.
 
Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team