|
BAB 8. SUFI
Para sarjana dan para ahli sejarah lazim melakukan
kesalahan (khusus dalam membahas keadaan negeri-negeri
Timur) menduga bahwa suatu perintah, suatu akidah, atau
suatu peraturan, karena telah dituliskan dengan sendirinya
memperoleh kekuatan sebagai hukum, usul, atau upacara. Tidak
ada suatu persangkaan yang lebih jauh daripada kebenaran.
Usaha pembentukan hukum doktrin yang mendalam meletakkan
suatu ukuran teori, yang lambat laun dan sebagian telah
didekati dalam beberapa hubungan tertentu, akan tetapi tidak
pernah dilaksanakan dengan sempurna. Demikian juga perumusan
kalam ortodoks ialah karya dan --hanya
menggiatkan--perhatian sejumlah kecil sarjana. Umat Islam
sebagian besar bangunan semesta doktrin dari sejak dahulu
merupakan --dan (boleh ditambahkan di sini) sekarang masih
-- hal yang tidak dipedulikan kaum awam karena tidak
semata-mata rasa acuh tidak acuh atau kebodohan. Boleh jadi
yang menjadi salah satu sebabnya bahwa sistem-sistem kalam
yang lebih dikembangkan sebagian besar negatif dan hanya
dapat memberikan pembicaraan mujarad dan tanpa kepribadian
tentang tanggapan-tanggapan mantik sebagai gantinya
perhubungan perseorangan antara Allah dan manusia seperti
digambarkan dalam Quran. Tidak boleh diharapkan datangnya
rangsangan perasaan agama --ataupun apabila sentimen
demikian telah ada, dikobar-kobarkan-- misalnya, pemecahan
soal sifat-sifat Ilahi oleh kaum ortodoks, sebagaimana
tertera dalam salah satu buku pelajaran baru tentang iman:
"Mereka itu bukanlah Dia, tetapi mereka itu tidak lain dari
Dia".
Sistem kalam yang terurai itu sama sekali tidak
menjelmakan kepercayaan agama praktis dari rakyat, dan
nyatanya sebagian besar para alim ulama memiliki anggapan
kuat, bahwa sistem tadi tidak harus dihidangkan kepada
rakyat. Sistem juga tidak menguasai pertalian sejumlah besar
kaum cerdik pandai buat beberapa abad setelah pertikaian
dengan kaum Muktazilah. Jiwa Yunani, meskipun telah dibuang
dari kalangan ortodoks, masih lama mempengaruhi pikiran
orang --yang lantas dinamakan zindik-- hingga bencana
politik dan ekonomi menghentikan semua kegiatan pikiran
kecerdasan mereka. Pengaruh pelajaran filsafat merupakan
suatu faktor yang mengurangi perkembangan Islam pada waktu
yang akan datang. Seyogyanya kita menelaah agama diantara
khalayak ramai untuk memahami jalannya.
Pergerakan agama populer dalam Islam erat hubungannya
dengan sejarah pertapaan dan mistik Islam. Profesor
Massignon dalam pembahasannya tentang seluruh sudut alam
mistik Islam yang terdahulu1
telah mencoba membuktikan bahwa pergerakan mistik ialah
warisan langsung penetapan Islam yang diambil dari Quran dan
perbuatan Nabi Muhammad saw. Meskipun itu benar juga, harus
diingat bahwa dasar-dasar pertapaan dalam Quran sesuai
dengan pertapaan kekristenan di Timur, dan karena itu dalam
perkembangan Islam di luar tanah Arabia kedua sistem itu
tidak selamanya dapat diceraiberaikan. Paling sedikit bahwa
arti mistik "kehadiran Tuhan" yang tercantum dalam kegiatan
Muhammad saw. sebagai nabi tidak menemukan perhatian pada
penganutnya di Arab yang terdahulu bersifat realistik
berdasarkan hal-hal yang berguna, dan tidak suka menyelidiki
diri sendiri. Tetapi sebaliknya, ketekunan beragama mereka
sebaik-baiknya adalah hasil pengalaman jiwa mendalam
didorong oleh ajaran Muhammad saw. tentang hari kiamat.
Dari semua agama Asia Barat yang besar, Islamlah yang
umumnya dipandang sebagai yang paling bersifat keduniawian
dan paling kurang bersifat pertapaan. Banyaklah alasan yang
boleh dikemukakan untuk pertimbangan tadi, misalnya,
pengutukan pembujangan, ketiadaan para pendeta dengan tugas
kerohanian, dan paling penting kompromi permulaan dengan
kebutuhan yang besar berkenaan dengan kehidupan politik
--yang oleh kekristenan baru dicapai setelah berdiri tiga
abad-- sedang oleh Islam dapat dicapai seumur hidup
pembangunannya Nabi Muhammad saw. Diantara generasi-generasi
muslimin yang paling terdahulu di bagian mana pun dunia
Islam terdapat banyak orang yang membawa semangat kebaktian
dalam kegiatannya sehari-hari, dan bagi mereka Islam
merupakan ketertiban jiwa dan bukannya semata-mata
sekumpulan upacara lahir. Imannya adalah iman pertapaan yang
keras, yang menganjurkan tiap-tiap orang bergiat selalu
dengan ketakutan akan ancaman hukuman Ilahi, yang
mengingatkan bahwa dunia sekarang ini adalah tempat kediaman
sementara dan segala hadiah yang diterima berupa kekuasaan,
kekayaan, kesenangan, pengetahuan, kebahagiaan mempunyai
anak adalah kehampaan dan godaan --yang memang tidak perlu
ditolak atau dihindarkan-- akan tetapi digunakan dengan rasa
mendalam tentang tanggung jawab yang mahaberat. Tipe contoh
tertinggi pertapaan yang terdahulu ialah Hasan dari Basrah
(647-728 M.) yang kenang-kenangannya tetap harum hingga
kini.
Dalam abad kedua hijrah, dari barisan para pertapa telah
muncul penyiar-penyiar agama populer, seakan-akan penjelmaan
baru dari semangat misi kaum Nestorius yang lama dan
merupakan penyiar agama sejati diantara rakyat. Nama
penyiar-penyiar agama ini qussas 'pendongeng' menunjukkan
cara bekerjanya. Dalam bentuk khotbah atau tafsir ayat-ayat
Quran mereka isikan hati nurani pendengar-pendengarnya
dengan bahan-bahan yang diambil dari aneka warna sumber
dongeng Arab kuno, hikayat-hikayat Kristen, Majusi, dan
Budha, bahan-bahan dari Injil dan Haggadah Yahudi, dan semua
pelajaran lama dari Siria dan Babilonia. Diantara
bahan-bahan tersebut, paling utama adalah kekristenan dan
kebatinan. Sumbangan itu telah dicetak dalam tuangan Islam,
walaupun bertentangan dengan angan-angan primitif. Diantara
cangkokan-cangkokan yang ditambahkan pada pohon Islam yang
paling menarik perhatian ialah perubahan penjelmaan kedua
dari Isa as. dalam satu doktrin tentang kedatangan al-Mahdi
yang terpimpin benar akan melaksanakan kemenangan Islam
terakhir dengan jalan bencana Ilahi. Lain cangkokan yang
sama pentingnya bagi hari kemudian pikiran keagamaan Islam
ialah kemajuan tentang doktrin kepribadian Muhammad saw.
Kita telah melihat bahwa pengaruh-pengaruh Syi'ah telah
membantu kemajuan itu. Disamping penghormatan para mukminin
terhadap pribadi Nabi Muhammad saw. diletakkan beberapa
angan-angan Kristen tentang pribadi Isa as.
Banyak mukjizat dan kata-kata dalam Injil dan dongengan
Gereja Timur yang didatangkan dari pembangun agamanya, telah
dipindahkan kepada Muhammad saw. Didalam mistik Islam yang
terdahulu di luar tanah Arabia Isa as. masih menempati
kedudukan disamping Muhammad saw. dan kalau kurang, hanya
kurang sedikit saja. Lambat laun tokoh Muhammad saw.
melampaui yang lain, hingga pada akhir abad ketiga kami
menemukan dalam karya mistik besar al-Hallaj suatu mazmur
dipersembahkan kepada Nabi Muhammad saw. yang menyatupadukan
dengan megah gambaran Kristen dan Makrifat.
"Semua cahaya nabi-nabi terbit dari cahaya-Nya;
la adalah yang terdahulu, Nama-Nya yang pertama dalam
Kitab Nasib; la telah dikenal sebelum semua barang, semua
wujud, dan akan berlangsung setelah semua berakhir.
Dengan Pimpinan-Nya, maka semua mata dapat melihat
Semua pengetahuan merupakan satu tetes dari samudera-Nya.
Semua kebijaksanaan seteguk dari sungai-Nya, semua masa
satu jam dari hidup-Nya."
Bukannya dalam ajaran-ajaran mujarad para ahli kalam
terdapat jiwa Islam yang sungguh-sungguh, dan Arabia tidak
memberikan sumbangannya selain kewujudan Muhammad saw. dalam
sejarah. Terpisah dari doktrin-doktrin dan
kepercayaan-kepercayaan, betapa kuatnya melekat kebiasaan
Kristen, meskipun telah berganti agama. Hingga akhir abad
pertengahan, perayaan Kristen berlangsung --di samping
perayaan Islam yang resmi-- sebagai perayaan umum yang besar
dari dunia Islam.
Di sini dengan ringkas dapat diterakan permulaan
pergerakan mistik dalam Islam yang dikenal dengan nama Sufi.
Asal istilah Sufi adalah majemuk, tetapi umumnya bertalian
dengan pemakaian pakaian dari bulu domba (suf) yang belum
dicat. Asal mula pakaian ini bukannya pakaian seragam, akan
tetapi suatu tanda penebusan dosa perseorangan, dan sejumlah
kaum pertapa mengutuk pakaian tadi. Ibn Sirin (m. 729 M.)
mengeluarkan kecaman terhadap sejumlah pertapa yang
berpakaian suf seakan-akan meniru Isa as. (berkatalah ia):
"Aku lebih suka meniru contoh Nabi Muhammad saw. yang
mengenakan pakaian kain kapas." Sejumlah pertapa istimewa
dari Kufah dalam abad kedua, umumnya dinamakan al-Sufiyah.
Dalam abad keempat, pakaian dari bulu domba telah menjadi
lencana biasa dari para Sufi di Irak dan nama Sufi dipakai
bagi semua ahli mistik. Dugaan bahwa nama Sufi telah
dinukilkan dari kata Yunani Sophos atau Sophia sangat
khayali.
Dalam abad kedua, jejak pertama untuk membentuk
organisasi bersama dijalankan dalam kelompok-kelompok kecil
untuk membicarakan tentang kesalehan. Biara-biara pertama,
sekumpulan bilik kecil meniru pertapaan kaum Melki, atau
gua-gua meniru kaum Nestorius. Kelompok-kelompok pertama
bertemu untuk membaca Quran dan lain-lain bacaan, keagamaan
dan pembacaan ini lambat laun bersifat dhikir, berkembang ke
jurusan sama (konser kebatinan) dengan bahaya kegairahan
yang mengikutinya. Perkembangan kemudian dari dikir akan
diberikan keterangan lebih lanjut, tetapi al-Hallaj
menganggap perlu mengutuk unsur kebangkitan yang dimuat di
dalamnya.
- "Engkaulah yang melemparkan daku ke dalam kegairahan,
bukannya dhikr.
- Jauh dari hatikulah pikiran bersatu padu pada
dhikrku,
- Dhikr, mutiara penggalan kerongkongan yang
menyembunyikan Dikau dari mataku".
Dalam waktu yang sama terjadilah perubahan pada sifat
umum pertapaan ini. Mula-mula dasarnya ialah ketakutan
terhadap Tuhan dan balasan yang akan datang; ketakutan yang
sama yang mengilhami Muhammad saw. Apabila unsur mistik
cinta tidak ada sama sekali, hanya merupakan barang yang
tergolong kedua dan tidak ditekankan. Dalam kata-kata
seorang wali wanita, Rabi'ah al-Adawiyah (m. 801 M.)
dinyatakan bahwa sumber utama mistik adalah cinta kasih:
"Cinta kasih terhadap Tuhan telah menyerap ke dalam diriku
demikian hingga tidak ada tempat dalam hatiku bagi cinta
kasih maupun dendam kepada orang lain atau barang." Dalam
sajak-sajaknya yang tersohor, ia membedakan hidup yang
bersinar daripada hidup yang termenung; dan ia memilih yang
pertama:
- "Aku cinta akan Dikau dengan dua asmara, asmara
kebahagiaanku; dan asmara sempurna, mencintai Dikau,
sebagai patut bagimu; asmara kebahagiaanku hanya
memikirkan Dikau;
- mengesampingkan semua lain yang ada;
- tetapi asmara paling murni, yang patut bagi-Mu;
- apabila kudung yang menyembunyikan Dikau tanggal dan
kudapat memandang-Mu;
- bukan pujian bagiku, karena ini atau itu;
- bukan, bagi-Mulah pujian bagi kedua, asmara dan
ini."2
Akhirnya cinta kasih mistik itulah yang demikian rapat
pikiran dan bahasanya pada mistik Kristen primitif, yang
telah mendorong alasan ketakutan pertapa ke tempat kedua,
dan meletakkan dasar bagi Sufi.
Perubahan dalam sifat mistik Islam itu bertalian juga
dengan perubahan dalam pimpinannya. Pada mula-mulanya,
pemimpinnya dari golongan alim ulama atau guru-guru agama
ortodoks. Dalam abad ketiga tempatnya diduduki oleh
tokoh-tokoh yang tidak terdidik dalam ketertiban agama yang
menjadi kebiasaan, tetapi termasuk sebagian besar pada
golongan pertengahan yang rendah dan golongan pertukangan di
kota-kota, khusus pendidik Baghdad yang campuran setengah
Persia, setengah Arab Aram. Pada waktu yang sama, beberapa
kesulitan tertentu bersifat sosial mulai masuk dalam
pergerakan yang hingga waktu itu adalah khusus --dan
terutama-- bersifat keagamaan. Pergerakan tadi seraya
menjauhi tujuan-tujuan politik revolusioner
propagandis-propagandis Syi'ah meliputi suatu protes
terhadap keburukan-keburukan sosial dan politik yang
dibiarkan oleh alim ulama sunah resmi. Program perubahan
pergerakan bertalian dengan kebangunan suara hati keagamaan
dari oknum-oknum dan reaksi yang menjadi akibatnya dari
kebangkitan semangat atas organisasi sosial masyarakat.
Keruwetan sosial ini rupanya diteguhkan anggota golongannya
sendiri, dan juga usaha-usaha mereka sebagai penyiar agama
dalam bidang lain. Sebarang waktu dan di mana-mana negeri,
para pertapa dan Sufi merupakan propagandis yang paling giat
untuk Islam.
Dua hal tersebut di atas yaitu --dengan setapak demi
setapak-- melepaskan diri dari pengawasan kaum ortodoks dan
kesulitan-kesulitan sosial baru, menyebabkan pergerakan,Sufi
mulai dicurigai oleh alim ulama ortodoks dan
pembesar-pembesar, lebih-lebih oleh kaum Syi'ah. Kecurigaan
ini bertambah besar, setelah pemimpin-pemimpin Sufi lebih
"maju" dalam pandangannya dan lebih berani menyatakan
pendapatnya. Celah antara kaum Sufi dan kaum ortodoks
menjadi lebih lebar. Beberapa usaha telah dijalankan untuk
mendamaikan mereka. Setelah usaha-usaha itu gagal, maka
diberikan contoh pada tokoh mereka yang paling ternama yaitu
seorang penggaru bulu domba, Mansur al-Hallaj, yang telah
didakwa menyeleweng dari paham resmi karena telah
mempersamakan dirinya dengan Tuhan. Ia dihukum mati dengan
kejam pada permulaan abad keempat. Harus diterangkan dengan
tegas di sini bahwa hukuman tadi telah dijatuhkan bukan oleh
para fanatik yang berkeras, tetapi oleh penegak-penegak
agama yang lama bertakwa sebagai Ali ibn Isa, "wazir yang
baik."
Penindasan itu tidak berguna. Pergerakan Sufi telah
didasarkan dengan teguh atas Quran dan ajaran-ajaran akhlak
Islam, dan tidak mudah diruntuhkan. Biarpun pandangan
sejumlah tokoh yang telah maju condong mengabaikan peraturan
ibadat Islam, pengaruh luar yang berlawanan dengan pandangan
Islam yang lazim, kekuatannya terletak dalam kepuasan yang
diberikan kepada naluri keagamaan rakyat. Naluri hingga
batas tertentu telah beku dan mati karena ajaran-ajaran
ortodoks yang mujarad dan tidak langsung mengenai
perseorangan dan sekarang menemukan kelegaan dalam ajaran
para Sufi secara langsung mengenai kepribadian dan dapat
merangsangkan perasaan keagamaan. Sangat penting mencamkan
dalam pikiran kita sifat dan panggilan Sufi yang populer ini
tumbuh dari golongan rakyat dan menarik perhatian rakyat,
yang bacaan utamanya dahulu dan sekarang hanya berupa
hikayat-hikayat pendek dari wali-wali, sering kali berisikan
pekerjaan mukjizat. "Usaha para mistik dan qussas yang
diedarkan adalah yang memberikan Islam cirinya yang kekal
seperti kita kenal sekarang. Pergerakan mereka secara
serentak ... merupakan apologetik dan kategetik yang pertama
dalam Islam."3
Oleh karena itu, pergerakan Suli selama abad keempat dan
kelima bertambah kuat, meskipun masih tidak disukai oleh
para alim ulama, dan selaras mengembangkan bentuk jamaah
yang lebih nyata. Kira-kira pada waktu itulah dhikr dan
sama' dan pembacaan dan renungan Quran jamaah sederhana
mulai menunjukkan kecenderungan doa umum (liturgi) yang
lebih pasti, istimewa karena melagukan nyanyian dan doa.
Bukan hal ini saja yang membedakan pergerakan Sufi dari
ibadat ortodoks, karena pada waktu itu pun di dalam
mesjid-mesjid dilakukan upacara pendoaan bersama-sama oleh
umat Islam. Rasa permusuhan para alim ulama sebagian
disebabkan karena ketakutan bahwa dhikr Sufi mungkin akan
menyaingi atau lebih lagi menggantikan mesjid sebagai pusat
hidup keagamaan. Pada dasarnya terdapat sebab yang lebih
dalam dari pertentangan tersebut.
Tuntutan para alim ulama akan pimpinan keagamaan
didasarkan atas fakta, bahwa mereka memiliki pengetahuan
ilmu usul fiqih, dan kedudukan mereka sebagai tokoh tunggal
dari doktrin-doktrin Islam. Sebagaimana telah kita maklumi,
ilmu-ilmu tadi telah didirikan dengan susah payah tidak
terhingga, dan untuk memperolehnya dibutuhkan pelajaran yang
lama dan berat. Merekalah yang dapat menyelamatkan pokok
iman penyelewengan "bid'ah-bid'ah" dalam doktrin dan
usaha-usaha pembesar keduniawian yang menolak hak dan
kewajibannya. Para alim ulama patut membanggakan sistemnya
dan cemburu mempertahankan kekuasaannya. Mereka berpendapat
bahwa hanya sistem tadi yang dapat menjamin kebenaran atau
kenyataan tentang barang dapat diperoleh dan diselamatkan.
Tiap pengenduran akan membuka jalan bagi penyelewengan dan
kekeruhan, spiritual, dan material. Tuntutan-tuntutan itu
ditolak mentah-mentah, disertai dengan ejekan para Sufi.
Menurut tanggapan mereka hanya jalan tunggal untuk
pengetahuan; bukannya pengetahuan yang masuk akal, --dan
diterima orang lain dari madrasah-madrasah yang dinamakan
"ilmu"-- akan tetapi pengalaman yang langsung dan pribadi
"makrifah", yang memuncak dalam persatuan atau serapan
sementara kedalam kelihaian. Ilmu usul membantu proses ini
sebenarnya merupakan rintangan. Pertentangan antara para
alim ulama yang beritikad dan penganut dari "cahaya
kebatinan" ialah tentang asas, dan tidak dapat
didamaikan.
Pembahasannya akan berkepanjangan mengenai semua pengaruh
luaran dan doktrin-doktrin yang telah memasuki Sufi selama
abad-abad pembentukan. Berikut ini akan diuraikan dua
contoh. Pertapaan Quran yang sebenarnya mengutuk kewadatan,
kebujangan: "bahwa yang belum kawin harus kawin" adalah
perintah yang terang dalam Quran (S. XXIV, a. 32). Pertapaan
Kristen sebaliknya mengutuk perkawinan, tetapi menghadapi
seluruh jiwa Islam tidak dapat memutarbalikkan doktrin Islam
tadi. Walaupun demikian, senantiasa menyebabkan peredarannya
hadis-hadis Nabi saw. yang menguraikan penolakan wanita
sebagai sifat pertapaan kuno. Lambat laun paham ini
mempengaruhi praktek Sufi. Dalam abad ketiga semua para Sufi
kawin, itu dalam abad kelima salah seorang tokoh Sufi telah
menulis: "adalah pendapat sepakat dari pemimpin-pemimpin
doktrin ini bahwa Sufi yang paling baik dan paling ternama
adalah mereka yang tidak kawin, apabila hatinya belum
ternoda dan pikirannya bebas dari dosa dan hawa
nafsu."4
Doktrin lain yang hampir sedikit saja dari pemuliaan
Muhammad saw. menentukan nasib hari kemudian Islam ialah
penghormatan yang diberikan oleh murid-murid kepada syekhnya
Sufi selama hidupnya dan pengangkatan syekh yang terdahulu
hingga martabat "wali". Angan-angan itu paling asing bagi
cita-cita Islam yang bersahaja. Bertentangan dengan Quran,
sunah, rasionalisme, dan kalam ortodoks (yang memandang
seruan doa kepada "wali-wali" sebagai pelanggaran "syirk"'
karena menyeleweng pemujaan Allah yang Tunggal), pemujaan
wali-wali lambat laun masuk ke dalam Islam dan akhirnya
menyapu barang yang ada di muka " Ketahuilah", kata
pengarang yang sama, "bahwa patokan dan dasar Sufi, serta
pengetahuan tentang Allah terletak pada
kewalian"5
Tetapi, pemuliaan wali-wali itu tibalah doktrin makrifat
Kristen lain yang tidak kurang hebatnya menentang paham
ortodoks yakni kepercayaan kepada susunan bertingkat dari
para wali yang memuncak hingga Quth, ujung pangkal dari
jagat, dengan wakil-wakil dan tentaranya wali-wali menguasai
dan mengawasi bumi, merupakan Demiourgos dalam pandangan
Islam. Hingga hari ini tetamu pada bab Zuwela di Kairo akan
melihat pintu tersebut ditutupi dengan potongan-potongan
kain yang ditempelkan pada paku pada pintunya oleh
orang-orang yang meIengkapi Quth tersebut.
Dengan demikian, maka sepanjang masa unsur-unsur tidak
Islam yang populer tadi merebut kedudukan yang bertambah
kuat dalam lapisan Islam, bukannya berkurang ataupun lenyap
dibawah pengaruh perlawanan alim ulama. Karena kesombongan
mazhab-mazhab ortodoks, maka orang-orang yang berjiwa
keagamaan lebih terdorong kepada golongan mistik; orang
tidak mencari ilmu metafisik tentang agama, tetapi makrifat
yang hidup dari Allah. Selama abad kelima, terdapat celah
terang antara para Sufi dan sejumlah ahli pikir yang paling
pandai; dicarinya suatu prinsip buat suatu kompromi, yang
menyiapkan jalan untuk revolusi yang akan datang mendadak
dan mengejutkan pada kira-kira penghabisan abad yang sama.
Gejala yang menarik perhatian dari perubahan sikap tadi
diberikan oleh ulama yang masyhur al-Qusyairi (m. 1072 M.)
dalam sebuah risalahnya. Ia mendesakkan kepentingan Sufi
yang atasan dan menyarankan penerimaan doktrin Sufi tentang
berjamaah bergairah dengan Ilahi.
Nama yang bertalian dengan revolusi tadi ialah nama
al-Ghazali, (m. 1111 M.), seorang tokoh yang bermartabat
setingkat dengan Augustinus dan Luther dalam paham keagamaan
dan kegiatan kecerdasan. Hikayat tentang ibadat hajinya
adalah suatu hikayat yang mempersona dan penuh dengan
pelajaran; bagaimana ia menemukan dirinya sendiri,
memberontak terhadap cara pikirnya ahli kalam. Ia berusaha
menemukan kenyataan yang akhir dengan jalan semua sistem
agama dan filsafat Islam dari zamannya. Diriwayatkan
bagaimana ia akhirnya setelah perjuangan lama badaniah,
rohaniah, dan akaliah, jatuh kedalam keingkaran filsafat
murni berdasarkan makrifat pribadi tentang Allah, dan
menemukan dalam jalan Sufi. Karya al-Ghazali dan pengaruhnya
telah diuraikan oleh Profesor Mac Donald dalam kata-kata
yang indah sekali
"Pertama, ia telah memimpin kembali orang dari
usaha mutakallimun tentang doktrin usul pada hubungan yang
hidup dengan pembahasan dan penafsiran Kalam Allah dan
sunah. Apa yang terjadi di Eropa waktu belenggu
skolastisisme abad pertengahan telah diputuskan, terjadi
dalam Islam di bawah pimpinannya.
Kedua, dalam ajarannya dan anjurannya dalam bidang
akhlak, ia memperkenalkan kembali unsur ketakutan. Menurut
pendapatnya bukanlah waktunya penyiaran agama yang manis
mulut beserta penuh pengharapan. Kengerian neraka harus
selalu.diterangkan dengan nyata kepada orang; ia sendiri
telah mengalaminya.
Ketiga, karena pengaruhnyalah Sufi memperoleh
kedudukan.yang kokoh dan terjamin dalam Jamaah Islam.
Keempat, ia telah membawa filsafat dan usul
filsafat dalam lingkaran pikiran orang biasa.
Dari empat tingkat karya al-Ghazali tadi, maka yang
pertama dan yang ketiga, tanpa keragu-raguan. adalah yang
terpenting. Ia telah memasyhurkan namanya karena memimpin
kembali Islam ke fakta-fakta azasi dan sejarah, serta
memberikan tempat:dalam sistem Islam buat kehidupan
keagamaan yang penuh dengan perasaan hati.
Ia bukan seorang sarjana yang merintiskan suatu jalan
baru, tetapi merupakan seorang tokoh dengan kepribadian yang
berguna dan bersemangat memasuki rintisan yang telah dibuka,
dan membuat rintisan tadi suatu jalan
raya."6
Karya hidup al-Ghazali menunjukkan banyak persamaan
menyolok dengan karya hidup al-Asy'ari. Keduanya pada suatu
zaman tatkala keortodokan bertengkar dengan aliran pikiran
lain yang dengan kuat menarik pikiran dan kehendak ahli
pikir agama, telah menempa persatupaduan yang memberikan
kesempatan prinsip-prinsip pokok dari gerakan lain itu
ditempatkan dalam sistem ortodoks. Al-Asj'ari sendiri
seorang Muktazilah telah dapat mengukuhkan Islam ortodoks
dengan menempatkan ilmu kalamnya atas asas-asas yang dapat
masuk akal. Al-Ghazali, seorang murid al-Asj'ari dapat
membina kembali ilmu usul atas dasar pengalaman mistik
pribadi. Janganlah dikira bahwa ia dengan menggunakan
"jalan" Sufi telah menolak ilmu usulnya yang lama; karena
keyakinan-keyakinan pengalaman pribadi yang memungkinkan
al-Ghazali menghubungkan dengan keberanian dan keyakinan
sistem cita-cita usul filsafat dan mistik yang hingga pada
waktu itu terpecah-pecah dan berlawanan.
Tambahan pula, seperti dalam pelajaran al-Asj'ari
kumpulan cita-cita baru tadi setelah diresapkan, berkembang
dalam lapisan ortodoks sebagai suatu unsur pokok dari
pikiran Islam, bahkan mengubah sifat dasarnya. Sekarang
jalan mistik yang telah mendapat cap pengesahan dari ijmak
dan diterima sebagai ortodoks membuka tahap baru dalam
sejarah perkembangan agama Islam. Beberapa tujuan
(sebagaimana juga terjadi dengan pelajaran Asj'ari) yang
diambil dalam masa perkembangan tersebut adalah di luar
harapan dan menggelisahkan.
Bukan karena semata-mata tidak adanya persesuaian mantiki
antara paham Sufi dan ilmu kalam al-Asj'ari. Pemikir Timur
walaupun suka memaksakan suatu dalil menjadi kesimpulan
dengan --yang menurut pendapat kami kepercayaan yang
berlebih-lebihan cara menarik kesimpulan-- menggunakan akal,
tidak merasa terganggu oleh pertentangan diantara
kesimpulan-kesimpulan yang diambilnya dan dari dalil-dalil
yang diterima. Dengan kecurigaannya yang biasa terhadap
kecerdasannya manusia, ia telah puas menerima
kesimpulan-kesimpulan tadi satu persatu sebagai keputusan
suatu segi kebenaran yang terakhir, yang hanya dapat
disatupadukan dalam pikiran Ilahi. Lebih penting adalah
gejala bahwa paham ortodoks dan mistik condong mengikuti
jalan yang berpencar: sekarang, walaupun mereka telah saling
terikat, jalannya tetap berlainan. Dengan demikian
mendatangkan akibat yang membahayakan. Paham ortodoks
biarpun keras dan skolastik, senantiasa mempertahankan
akhlak dan ukuran kecerdasan yang tinggi dan menolak
membiarkan (dalam masalah iman dan ibadat) bid'ah-bid'ah dan
kebiasaan yang menyeleweng kemurnian doktrin yang dahulu.
Walaupun paham ortodoks telah meminjam senjata mantik
Yunani, keortodokan telah menggunakan senjata tadi
seluruhnya untuk mempertahankan kedudukannya terhadap
cita-cita Yunani. Hal ini memperlihatkan segi lemah karena
memberikan sifat aristokrat atau sifat khas sampai batas
tertentu menjauhkan diri dari pengertian dan hati
rakyat.
Sebaliknya Sufi, walaupun idaman keagamaannya luhur,
hampir dari permulaannya kurang berpilih-pilih dan lebih
bersedia untuk memasukkan kebiasaan dan cita-cita asing,
apabila itu dapat memperoleh hasil baginya. Dalam barisan
para mistik terdapat susunan derajat yang luas bedanya,
meliputi tokoh-tokoh dengan kepandaian kecerdasan dan watak,
yang memperoleh pengalaman kerohanian yang kaya dari mistik
tadi yang memperkokoh pegangan mereka akan kebenaran
agamanya kebawah, sehingga orang-orang yang menemukan dalam
ilmu mistik suatu kepuasan emosi dan moril, dan yang tidak
mempedulikan apakah amalnya dan dalil-dalilnya selaras atau
tidak dengan doktrin Islam. Dalam beberapa kalangan,
kegiatan untuk mencapai keadaan kegairahan telah
mempengaruhi dikir yang bersahaja dan telah dimasukkan dalam
ibadat upacara tambahan, misalnya tari-tarian dan mengoyak
pakaian. Pemimpin-pemimpin Sufi telah memandang acuh tidak
acuh pemasukan unsur-unsur agama yang populer ini, meskipun
mereka barangkali mengharap bahwa hubungan lebih erat dengan
paham ortodoks, praktek Sufi dengan sendirinya akan
dibersihkan dari tambahan-tambahan yang disangsikan.
Hasil pertama memberikan pengharapan. Jamaah ortodoks
disegarkan dan dikukuhkan, serta memperoleh sifat yang lebih
populer dan suatu kekuatan baru untuk menarik perhatian.
Selama satu abad sesudah al-Ghazali, Sufi telah dapat
menarik sebagian besar penduduk Asia Barat dan Afrika Utara
yang hingga pada waktu itu menunggu-nunggu saja. Syiah
sedang menderita suatu kekelaman, dan telah banyak
kehilangan pengaruhnya, kecuali beberapa perbentengan di
pegunungan dan di jumbai-jumbai Teluk Persia. Hasil tadi
hanya tampak di negara-negara Islam yang lama; di daerah
baru (Asia Kecil, Asia Tengah, India, Indonesia, Afrika
Tengah) yang pada waktu itu sedang digabungkan kepada dunia
Islam. Sejumlah besar penduduknya telah diislamkan biarpun
adanya perbedaan yang lebar dan lama tentang anggapan
keagamaan.
Dalam gerakan massa ini terdapat gejala-gejala yang hanya
diterima dengan perasaan prasangka oleh alim ulama yang
lebih cermat. Apa yang tidak dapat diramalkan oleh
al-Ghazali (dan ia tidak boleh mempertanggungjawabkan) bahwa
lantaran rekah pecahan yang dibuatnya masuk dengan deras
bagaikan air pasang amal agama yang populer, dan
tanggapan-tanggapan intelektual yang menyeleweng, menghina
idamannya, dan dapat mengganggu doktrin ortodoks. Penerimaan
Sufi itu tidak dapat dibatasi hingga suatu kompromi yang
sederhana. Sekarang, setelah Sufi mendapat cap ortodoks,
tidak mungkin memegang garis-garis tua yang kuat dan kaku,
yang dahulu telah dipasangkan antara apa yang boleh dan apa
yang tidak diperbolehkan, serta merupakan rintangan terhadap
pemasukan amal yang populer. Kompromi telah menjadi
penyerahan diri! Sufi bergerak dengan cepat di seluruh dunia
Islam dan dengan paku kaki kudanya menonjol melompati,
walaupun tidak dapat mencekik perlawanan para mutakallimun
seluruhnya. Hasil baik penyiaran Sufi itu barangkali
merupakan salah satu sebab utama gengsi mereka yang demikian
tinggi, dan juga demikian banyaknya sokongan yang didapat
dari pembesar-pembesar keduniawian, hingga hampir tidak ada
pengharapan bagi alim ulama untuk membendung air pasang yang
populer ini. Jelas sekali dalam. pendirian pemegang
pemerintah Turki (sebagai Timur misalnya), yang lahirnya
menghormati alim ulama, tetapi dengan pasti merendahkan diri
pada syekh-syekh Sufi.
Sebelum keadaan mencapai tingkat tadi, kaum ortodoks
telah berusaha untuk melayani tantangan tersebut. Perjuangan
yang dahulu terhadap pengaruh-pengaruh Yunani dan
aliran-aliran yang menyeleweng telah menunjukkan nilai
susunan dan pengawasan perguruan tinggi kepada kaum ulama.
Hingga pertengahan abad kelima, pendidikan telah diberikan
dalam cara tanpa tertib dan kepada seluruh swasta. Mesjid
merupakan pusat pendidikan dan tiap-tiap sarjana yang telah
menyempurnakan pelajaran, dalam sesuatu cabang ilmu
keagamaan menjadi pusat sekelompok murid. Dalam waktu
tertentu, murid-murid tadi diberikan ijazah; untuk
mengajarkan kepada orang lain apa yang telah diajarkan
kepada mereka. Permulaan pendidikan secara sistematik
bertalian dengan perjuangan menghadapi kaum Syi'ah, yang
telah mengeluarkan hasrat pertama mendirikan
madrasah-madrasah yang teratur (misalnya, al-Azhar,
didirikan oleh gubernur Kerajaan Bani Fatimijah di kota baru
Kairo dalam tahun 969 M.). Pada akhir abad kelima, timbul-
pergerakan di Persia yang menjalar ke Barat untuk membentuk
dan membiayai madrasah-madrasah dengan kedudukan resmi serta
guru-guru yang dibayar. Dalam beberapa madrasah diadakan
aturan guna perbelanjaan para murid sehari-hari. Dalam dua
atau tiga abad kemudian, ratusan madrasah telah didirikan di
seluruh wilayah Islam Timur dan di Mesir, dan pengawasan
perguruan tinggi itu bertambah-tambah ditempatkan dalam
tangan alim- ulama.
Dalam madrasah-madrasah tadi, golongan-golongan tingkat
tinggi dan semua cendekiawan menerima pelajaran yang
sungguh-sungguh dalam tertib sunah dan doktrin, serta
patokan-patokan dasar Islami --yang merintangi meskipun
hanya terbatas pada kalangan tertentu-- kecenderungan
melanggar hukum dan kelalaian yang timbul dalam beberapa
kalangan kaum Sufi. Dengan jalan demikian, maka diciptakan
dalam tiap-tiap negara sekumpulan orang yang berpengaruh
--yang ditugaskan untuk memimpin massa yang baru diislamkan
separuh-- lambat laun ke jurusan lapisan ortodoks. Meskipun
demikian, kami harus mengakui bahwa dalam pandangan kami
pengawasan itu acap kali menimbulkan akibat-akibat genting
bagi hari kemudian Islam. Keaslian dan kegiatan yang ulet,
lambat laun dipatahkan; bidang pelajaran dibatasi, kecuali
beberapa gelintir orang saja yang terpilih, pada lingkungan
pokok-pokok sunah yang terdapat dengan menghafalkan dan
tanpa akhir disalin kembali dalam tafsir tanpa gaya hidup.
Usul Islam sebagaimana diajarkan dalam madrasah tetap dalam
genggaman tangan mati, hingga menghidupkan dakwaan paham
abad pertengahan yang telah beku terhadap alim ulama, hampir
sampai dewasa ini.
Meskipun didapati juga sedikit kebenaran dalam tuduhan
tadi, terhadap alim ulama dilakukan barang yang tidak adil.
Ilmu usul yang telah berkembang dengan sepenuhnya tidaklah
mudah diubah atau dikesampingkan, selama ia masih dapat
mencukupi kebutuhan masyarakat yang memerlukannya. Paling
banyak ilmu tadi dapat dinyatakan kembali dalam kata-kata
dari bentuk pikiran masyarakat yang berubah. Dari abad
ketiga belas hingga abad kesembilan belas tidak ada
aliran-aliran baru memasuki masyarakat Islam untuk
memberikan semangat baru pada kecerdasan pikiran. Sebagian
disebabkan karena Islam telah mencapai suatu keseimbangan,
dan sebagian lain karena Islam telah diisolir dari pengaruh
Renaissance Barat. Tidak sebagaimana kadang-kadang diduga,
bahwa abad-abad tadi merupakan terhentinya kecerdasan yang
komplit, sebab didalam masyarakat terus berkobar
perselisihan antara monisme Sufi (atau panteisme) dan paham
para alim ulama ortodoks. Dalam bab berikut akan
dibentangkan kekuatan tantangan paham Sufi. Tantangan itulah
yang menentukan syarat-syarat kegiatan para ulama. Sedang
agama populer menaburkan biji-bijinya dalam bentuk tasawuf;
tugasnya adalah memberikan jangkar utama yang dapat mengikat
erat masyarakat kepada pokok-pokok iman dan menyelamatkan
kesatuannya. Tindakannya patut dibandingkan dengan sikap
yang telah diambil oleh Gereja Kristen dalam abad-abad
gelap, dan pantas diberikan penghargaan yang sama.
Catatan kaki:
1 Essai sur les Origines
du Lexique technique de la Mystique musulmane. Paris,
1922.
2 Diterjemahkan oleh R.A.
Nicholson, Literary History of the Arabs, hlm. 234.
3 D.B. MacDonald.
Encyclopaedia of Islam. (di bawah Kissa).
4 Al-Hujwir. Kasyf al
Mahjub. Terjemahan R.A. Nicholson, hlm. 363.
5 Ibid, hlm. 210.
6 D.B. McDonald.
Development of Muslim Theology. Hlm. 238 - 239.
(sebelum, sesudah)
|