|
BAB 7. PAHAM ORTODOKS DAN PERPECAHAN DALAM
ISLAM
Berdampingan dengan kesempurnaan yang terurai dari rangka
hukum menurut pendapat akal --yang telah diterangkan dalam
bab di muka-- dilaksanakan usaha mendalam dan melebar bagi
ilmu kalam ortodoks. Juga usaha ini merupakan karya beberapa
generasi Islam, sebagaimana telah kita lihat, keluar dari
Arabia sebagai akidah yang berpautan, tetapi perumusan
secara ilmu ketuhanan masih berada dalam keadaan yang cair.
Dapat juga karena daerah penyiaran Islam tadi amat luas
menyebabkan akidah tersebut liat untuk waktu yang lebih lama
daripada seharusnya, bertalian dengan banyaknya jenis
pikiran dan pengalaman agama yang dipengaruhi dan yang
mempengaruhinya.
Dalam seluruh propinsi di Asia Barat, kita lihat Islam
mula-mulanya mempunyai sifat yang agak nyata, bergantung
kepada derajat pengaruh yang diterima dari suasana setempat.
Dalam kota-kota di Hijaz, pertemuan ini menerbitkan bentuk
generasi-generasi awal yang saleh dan praktis, lepas dari
renungan; di Siria, Islam mulai dipengaruhi oleh pikiran
Kristen Yunani; di Irak, Islam telah ketularan beberapa
akidah ilmu kebatinan. Diantara suku-suku penggembala Arab
dari daerah-daerah perbatasan Islam menjadi alat kelobaan
dan kegemaran merampas dimuliakan menjadi kefanatikan. Dalam
beberapa distrik Persia, Islam diterima sebagai selimut bagi
dualisme yang diubah. Bagi seorang yang hidup pada waktu itu
sulit untuk meramalkan bentuk mana yang akhirnya akan keluar
sebagai bentuk ortodoks, bentuk "resmi" kepercayaan Islam,
kecuali akidah-akidah kefanatikan suku-suku tadi, semuanya
mula-mula agak dibiarkan saja. Tidak ada orang yang mengakui
keesaan Allah dan utusan Muhammad saw. sebagai nabi,
dikeluarkan dari umat Islam.
Pembentukan sistem ortodoks adalah proses yang
bertingkat-tingkat. Kegiatan politik memainkan peranan yang
besar dalam pembentukan sistem tadi (sebagaimana dalam
pembinaan segala sistem ortodoks), meskipun acap kali
mengukuhkan daripada menentukan kecondongan yang utama.
Faktor pertama yang membantu ialah perasaan kebesaran akhlak
yang besar dari orang Arab dalam kerajaan Islam, suatu
keagungan akhlak yang berlangsung lebih lama daripada
keagungan politiknya. Pada beberapa tempat terdengar
sanggahan terhadap orang Arab, tetapi dalam pikiran
keagamaan suara-suara ini tidak berarti terhadap martabat
kearabian, cita-cita Arab. Sejarah peradaban Islam tidak
dapat dipahami, apabila fakta ini tidak diinsafi sepenuhnya
dan diberikan tempat yang wajar.
Madinah adalah pusat cita-cita Arab. Dari pusat itulah
Islam dikembangkan dan Madinah terutama merupakan markas
besar ajaran-ajaran agama Islam yang awal mula. Di Madinah,
Quran menerima bentuknya yang akhir; di Madinah, hadis-hadis
dikumpulkan, dan untuk pertama kali ilmu bahasa dan sejarah
digunakan dalam penelaahan sumber-sumber agama Islam. Sejak
awal sekali sarjana semua negara, baik yang dilahirkan dalam
keluarga muslim atau penganut Islam baru maupun Arab asli
atau bukan Arab, berduyun-duyun datang ke Madinah dan
menerima akidah-akidah murni agama baru dari sahabat-sahabat
Nabi Muhammad saw. dan dari orang-orang yarg paling dekat
dengan sahabat-sahabat tersebut. Perguruan di negara-negara
lain hanya memiliki kepentingan setempat; Madinah merupakan
satu-satunya perguruan yang universal.
Keunggulan itu dikuatkan oleh faktor lain; dalam teori
agama Islam "Gereja" dan "negara" adalah satu dan tidak
boleh dipisahkan. Pertalian akhlak dan keagamaan yang halus
yang dipakai oleh khalifah-khalifah terdahulu untuk
mengawasi badan politik Islam telah dipatahkan dengan
kekerasan empat puluh tahun setelah hijrah. Selanjutnya,
diganti oleh kekuasaan militer. Jadi dalam prakteknya
"Gereja" dan "negara" telah dipisahkan. Di Madinah fakta itu
tidak pernah diakui. Madinah tetap menjadi markas besar
perlawanan keagamaan yang menolak segala penghianatan idaman
pemerintah agama, dan perebutan kekuasaan oleh pemerintah
keduniawian. Sebagian besar pendapat kaum Mutakallimun dalam
kerajaan menyetujui perasaan tersebut. Sikap alim ulama di
Madinah menaikkan kewibawaannya; bahkan juga dalam kalangan
mereka yang tidak sepenuhnya menganut paham ketuhanan
konservatif, akidah Yunani tentang logos, akal.
Dengan jalan demikian, perguruan di Madinah dengan tegas
menyokong menyelamatkan keutuhan seragam umum diantara
perguruan-perguruan agama setempat yang kecil-kecil; paling
penting di Irak. Lebih-lebih perguruan di Madinah telah
mencamkan atas jamaah universal, yang baru dilahirkan akhlak
kesalehan yang praktis. Ada pula hal yang barangkali tidak
kurang pentingnya: memisahkan agama Islam dari organisasi
politik, Islam tetap di atas lapangan politik, dan tidak
turut merobohkan keunggulan politik Arab.
Alim ulama di Madinah menerima ganjarannya, waktu
kerajaan Bani Abbas memperoleh keunggulan dan memindahkan
ibu kota kerajaan ke Irak. Serba ortodoks keluaran Madinah
menjadi salah satu prinsip Bani Abbas. Khalifah-khalifah
giat memberikan sedikit-dikitnya bantuan moral pada ajaran
Madinah. Ada yang memberikan lebih dari bantuan moral saja
dengan memulai semacam penuntutan tegas terhadap keburukan
kebatinan dan dualisme. Lambat laun takrif paham ortodoks
mulai menjadi rapat. Mula-mula pentafsiran fanatik orang
suku-suku (akidah kaum Khawarij yang lebih ekstrim) telah
ditolak sebagai paham yang berlawanan dengan paham resmi,
selanjutnya ditolak sebagai pentafsiran kebatinan dan
dualistik yang lebih ekstrim. Kedua aliran yang akhir ini
dapat dipertahankan, akan tetapi sebagai aliran yang
menyeleweng tegas (sebagaimana akan kami kupas di belakang).
Selain itu masih ada pentafsiran-pentafsiran lain dan pada
khususnya suatu pentafsiran yang sukar diasingkan dan
diberantas. Pentafsiran tadi ialah pentafsiran Yunani yang
dipertahankan oleh mazhab Muktazilah. Selama dua abad,
pergelutan antara dua anggapan itu merupakan masalah pokok
di dunia Islam ortodoks.
Masalah yang menjadi urusan berdasarkan ilmu metafisika
(ilmu ilahiyat dan makulat). Filsafat Timur tidak pernah
dapat menghargai dasar cita-cita keadilan dalam filsafat
Yunani. Wakil-wakil pentafsiran Yunani mencoba memasukkan
cita-cita tersebut ke dalam Islam. Mazhab-mazhab yang lebih
saksama berpegang pada anggapan Timur yang memandang Allah
sebagai Kuasa, Kasih, dan Penyayang yang tidak terbatas;
kaum Muktazilah menciptakan Allah sebagai Keadilan yang
terbatas. Lawan-lawan mereka memandang itu sebagai membatasi
kekuasaan Allah --pembatasan sewenang-wenang-- sebab
kebutuhan keadilan mutlak telah dinyatakan dalam kata-kata
yang dikeluarkan dari akal manusia. Perdebatan ini
dikristalkan dari tahap filsafat ke tahap ilmu kalam dalam
masalah kehendak bebas dan takdir. Dalam masalah tersebut,
kedua pihak dapat menunjukkan ayat-ayat Quran untuk
menyokong pembicaraannya, sebagaimana telah kami paparkan
dalam salah satu bab di muka.
Kedua, perguruan Yunani dengan latihan filsafatnya yang
Lebih berkembang memandang akidah ortodoks tentang sifat
Allah (Yang Dengar, Bicara, Lihat, Hendak, dan lain
sebagainya) membahayakan, apabila dalam kenyataan tidak
berlawanan dengan keesaan-Nya. Di sini perdebatan berpusat
pada pasal sabda Allah; dan karena Quran adalah sabda Allah
dalam satu arti, maka (sepanjang pandangan pertama) ia
merupakan bentuk ketuhanan yang agak ganjil yaitu menguatkan
di pihak ortodoks dan menolak di pihak lain, bahwa Quran
bukan ciptaan dan abadi, dengan akibat yang lebih aneh bahwa
lawan-lawan filsafat Yunani, tanpa menginsafi telah
menguatkan akidah Yunani tentang logos, akal.
Dalam jumlah besar kitab-kitab pelajaran baku yang
modern, kaum Muktazilah digambarkan sebagai rasionalis
(pengguna akal) bahkan sebagai Free-thinker, Freidenker,
'pemikir bebas'. Hal ini telah diketahui sebagai gambaran
yang salah besar. Hingga baru-baru ini keterangan yang kita
dapat, selalu dari sumber ortodoks (yakni yang bersikap
bermusuhan). Kaum Muktazilah dipandang semata-mata sebagai
suatu partai agama pertentangan-pertentangan doktrin.
Penemuan beberapa karya Muktazilah mulai menempatkan mereka
dalam cahaya baru sebagai sekelompok pemikir dan guru yang
telah memberikan jasanya --yang tidak ternilai-- untuk
kepentingan Islam diantara penduduk negara yang telah
ditundukkan Arab. Antara akidah-akidah sederhana dari
kesalehan Madinah dan tradisi kebudayaan Yunani lama dan
ilmu kebatinan di Asia Barat adalah suatu celah yang sulit
dijembatani. Adanya celah ini menimbulkan perbedaan besar
dari paham-paham berlawanan dengan paham resmi (khusus di
Irak,) selama abad pertama dan kedua. Celah ini akhirnya
ditutup oleh kaum Muktazilah terdahulu, pada suatu waktu
merupakan muslimin tulus dan sanggup merumuskan kepercayaan
Islam dalam kata-kata yang dapat diterima oleh para cerdik
pandai bukan Arab.
Pergerakan Muktazilah pada akhir abad pertama mulai
sebagai suatu reaksi kesusilaan terhadap ekses-ekses doktrin
dan praktek kaum Khawarij yang fanatik pada satu pihak, dan
terhadap kelengahan kesusilaan para ulama yang menyesuaikan
diri dengan politik (dikenal dengan nama kaum Murjiah) pada
pihak lain. Kedudukan doktrin mereka yang pertama
digambarkan sebagai "manzilah baina manzilatain" (kedudukan
antara dua kedudukan). Sedang mereka menolak desakan kaum
Khawarij atas "amal" sebagai satu-satunya ukuran iman,
mereka menekankan tanggung jawab mukmin terhadap
penitik-beratan kaum Murjiah atas kecukupan iman tanpa
mengindahkan amal. Hal itu menyebabkan mereka menekan keras
atas ayat-ayat Quran yang mendesak tanggung jawab manusia
dan kuasa memilih sebab tegasnya kaum Murjiah mencari
perlindungan di bawah akidah qadar. Dalam asal mulanya
pemimpin-pemimpin Muktazilah merupakan orang yang berkeras
agama dan sederhana, lebih merupakan orang yang menggunakan
akal. Ajaran-ajaran mereka sama sekali sepadan dengan (dan
memang berdasarkan) Quran. Kira-kira kita tidak akan luput
memandang mereka sebagai bagian paling giat dan bersemangat
antara guru-guru ahli sunah ortodoks di Irak. Kadang-kadang
menimbulkan sumber kebingungan bagi lawan ortodoks kaum
Muktazilah bahwa Wali besar al-Hasan dari Basrah dan ahli
fiqih ternama Abu Hanifah, kedua-duanya menunjukkan suatu
sindiran dalam kaidah-kaidahnya yang kemudian dinamakan
kecenderungan Muktazilah.
Sepanjang abad kedua, kami hanya dapat melihat kaum
Muktazilah sekelibatan saja. Membukakan tabir karena
menunjukkan kaum Muktazilah sebagai pemimpin-pemimpin
gerakan misi yang bersemangat ditujukan khusus terhadap
aliran dualisme (thanawiyah) atau bid'ah-bid'ah kaum Mani
(Manichae) yang tersebar luas diantara penduduk Arab dan
penduduk Aram di Irak. Besar kemungkinannya bahwa perjuangan
dengan kaum "thanawiyah" itu yang membawakan kaum Muktazilah
berkenalan dengan ilmu mantik dan filsafat Yunani. Gerakan
besar menerjemahkan karya-karya Yunani dalam bahasa Arab,
khusus pada permulaan abad ketiga, waktu selama dua puluh
lima tahun pengaruh Muktazilah unggul di istana. Semua
perguruan filsafat Muktazilah adalah dari abad ketiga, dan
rupanya hasil kegiatan tadi.
Itulah segi aliran Muktazilah yang kami kenal dan
menyebabkan mendapat bentuk gerakan ahli penggunaan akal.
Perubahan dalam sifatnya yang pokok tidaklah demikian besar.
Aliran masih merupakan bidang kesusilaan dan ibadat mazhab
kaum beragama sederhana asli yang menjadi lebih positif dan
kaku dalam sikapnya, waktu pertengkaran dengan ahli qadar
memuncak. Setelah Bani Umayah jatuh, perdebatan qadar mulai
kehilangan kepentingan politiknya yang langsung dan mulai
bersifat perdebatan ilmu kalam dengan jumlah terbesar
condong padanya, serta melawan kedudukan Muktazilah.
Adapun perguruan-perguruan filsafat semuanya atau
sejumlah besar terdiri dari kelompok-kelompok kecil murid
ahli kalam perseorangan, yang tidak tentu mewakili suatu
himpunan akidah umum. Ahli fikir ini dengan pertolongan ilmu
mantik Yunani telah mengembangkan sistem kalam baru untuk
mempertahankan kedudukan itikadnya. Lama-kelamaan dengan
keberanian mereka menempuh jalan ke medan metafisika. Mereka
membawa bagian yang maju dari alim ulama ortodoks
bersama-sama pada sebagian jalan mereka, tetapi para alim
ulama ortodoks tadi berhenti. Waktu ekstremis Muktazilah
mulai memaksakan doktrin Islam ke dalam tuangan paham Yunani
dan mulai mendalilkan kalam metafisika Yunani, bukannya dari
Quran.
Masih masuk akal bahwa sebab-sebab reaksi yang berhasil
dari kaum ortodoks terhadap kaum Muktazilah hanya sedikit
sekali mengenai semboyan-semboyan lahir tentang Qadar dan
Quran yang tidak tercipta. Penyebab keruntuhannya yaitu
kepanjangan tiga doktrin mereka. Pertama, dinamakan doktrin
janji dan ancaman, menguasai ajaran peradaban praktis
tentang tanggung jawab perseorangan. Karena sifat kekakuan
doktrin dan usaha mereka menggunakann paksaan untuk
memenangkan tujuannya, mereka menimbulkan aliran oposisi
kuat yang siap sedia mengikat alasan yang dibuat-buat untuk
memburukkan namanya. Banyaklah dalih yang diterbitkan oleh
perkembangan filsafat dari dua doktrin mereka lainnya yang
utama yakni doktrin "kesatuan" dan "keadilan". Dalam
usahanya menyingkirkan segala bayangan apa pun juga paham
Tuhan sebagai manusia, ahli pikir Muktazilah terpaksa
memilih diantaranya suatu yang mirip kepada ajaran tentang
manusia Tuhan dalam kekristenan atau suatu sistem
penyangkalan niskala (abstrak) yang tidak memberikan
pegangan apa pun juga kepada mukminin biasa, serta sangat
bertentangan dengan gambaran pribadi Allah dalam Quran.
"Dilemparkan ke dalam samudera luas dan
kebebasan penuh pikiran Yunani, angan-angan mereka telah
memuai hingga titik meletus, dan lebih lagi seorang ahli
metafisika Jerman, mereka kehilangan pegangan dasar
kehidupan biasa dengan kemungkinan-kemungkinan yang patut
dan dilepaskan ayun-terayun dalam suatu pemburuan yang
galak akan keberanian terakhir dengan takrif-takrif dan
qiyas mantiqi (silogisme) sebagal senjata
mereka."1
Bertambah-tambah karena permulaan prinsip keadilannya
mereka membina tanggapan yang belum dibuktikan ke dalam
suatu paham yang mutlak, bahkan tentang Allah.
Dengan demikian, titik perpecahan telah tercapai. Dalam
praktek agama sehari-hari mereka telah memperkenalkan
dirinya berpegang keras pada doktrin, berkurang akan
kedermawanan, kerelaan kemanusiaan, dan keluasan pikiran
kepercayaan Islam yang sederhana, bahkan suka menuntut dan
mengejar lawannya dalam zaman kejayaannya. Dalam ilmu
ketuhanan, mereka telah menghasilkan suatu vakum, suatu
kehampaan, dan lebih buruk lagi --telah menyetujui--
memberikan hasil-hasil akal manusia suatu nilai mutlak di
atas kalam Allah. Kaum ortodoks dengan wajar menolak
tuntutan mereka, sebab dalam agama antroposofi merupakan
obat pelarut yang lebih buruk daripada antropomorfisma.
Sayap kanan kaum Muktazilah dalam penyelidikannya menemukan
semacam perpaduan filsafat dengan doktrin ortodoks setapak
demi setapak telah berpencar dari sayap kiri yang terdiri
dari kaum rasionalis, menggabungkan Yunani untuk menyokong
Quran dan hadis, mereka membeberkan perguruan ilmiah
ortodoks baru dan mengalahkan kaum Muktazilah atas
gelanggangnya sendiri.
Kemenangan tadi tergabung dengan nama-nama al-Asj'ari
menyesuaikan doktrin qadar dengan keperluan keadilan
mendirikan atas ayat-ayat Quran tertentu suatu doktrin
"pendapatan, perolehan", orang memperoleh tanggung jawab
perbuatan-perbuatannya, meskipun perbuatan tadi dikehendaki
dan diciptakan oleh Tuhan. Sifat Ilahi, alim ulama tetap
pada doktrin keabadiannya, tetapi hanya dengan menggunakan
prinsip Muktazilah tentang penyangkalan paham
antropomorfisme. Kekakuan keadaban Muktazilah dilunakkan
dengan lebih menekankan doktrin perantaraan dan aspek
kepercayaan bahwa semua yang berfaedah baik, ditentang ulang
pernyataan kebebasan Allah yang mutlak untuk menghukum atau
mengganjar sekehendak-Nya. Akhirnya mengakui bahwa dengan
"adat" Ilahi biasanya menyusul sebab-sebab tertentu, mereka
menyingkirkan pembatasan yang diletakkan oleh doktrin
pertalian sebab akibat dalam alam atas kemutlakan. Kuasa
Tuhan dengan jalan suatu teori atomis yang kusut,
mengingkari kemestian pertalian antara sebab dan akibat.
Barangkali baik juga buat Islam bahwa rasionalisme
Muktazilah, setelah menunaikan karyanya dan tidak tahu
dimana berhenti, telah dikalahkan. Seandainya Muktazilah
unggul, disangsikan apakah gerakan rakyat yang akan kita
baca dalam bab yang menyusul, menelorkan pembaharuan Islam,
akan mungkin dibiarkan --sekurang-kurangnya-- diberi
kesempatan dalam rangka alam ortodoks, alam kerasyidunan.
Segera atau lambat kesatuan kebudayaan Islam akan mengalami
perpecahan dan Islam sendiri boleh juga akan hancur karena
pukulan musuh-musuhnya. Kaum Muktazilah tidak lenyap dengan
sekaligus. Penganut-penganutnya masih ada, masih dikenali
dengan ketegasan dalam praktek ibadatnya terutama di Basrah
dan Persia Timur. Beberapa doktrin menemukan kelonggaran
segar dalam masyarakat Syi'ah yang besar.
Dalam pada itu, kaum ortodoks telah memecahkan diri dalam
dua golongan, kaum mutakallimun dan "ahli Hadis". Ilmu
filsafat dan mantik dicurigai dalam kebaktian ortodoks.
Perguruan Madinah yang lama dalam perumusan mazhab Maliki
dan mazhab Syafi'i yang lebih lunak, dan dalam sayap yang
ekstrim dan fanatik terdiri atas murid-murid Ahmad ibn
Hambal masih tetap bersikap bermusuhan terhadap
pelajaran-pelajaran yang dicemarkan oleh keaslian asing dan
pertalian dengan filsafat. Di Baghdad kaum mutakallimun
kadang-kadang takut pada jiwanya, hingga satu setengah abad
kemudian, --lebih kurang pada tahun 1065 M.-- sistem Asy'ari
ditetapkan sebagai ilmu kalam Islam sunah yang diakui,
terutama karena pengaruh Wazir Persia yang besar Nizan
ul-Mulk.
Barangkali, ahli sunah lebih bijaksana daripada mereka
sendiri menginsafi karena salah satu hasil pemasukan
dialektik Yunani (ialah pemusatan karya para sarjana dan
ulama atas doktrin-doktrin dan rumus-rumus) dengan
kehilangan unsur penting yaitu agama perseorangan. Apabila
waktu itu tidak ada barang lain yang menyalakan api lagi,
paham ortodoks tentu akan binasa sendiri dalam
kemenangannya. Satu hasil tambahan perkenalan mutakallimun
itu masih harus dibentangkan. Hasil tambahan tersebut
memungkinkan kegiatan serentetan para ahli filsafat Arab
yang tersohor pada zaman abad pertengahan: al-Kindi (m. 873
M.), al-Farabi (m. 950 M.), Ibn Sina (Avicenna, m. 1037 M.),
Ibn Badja (Avempace, m. 1138 M.) dan Ibn Rusjd (Averroes, m.
1198 M.) ialah beberapa diantara Sarjana-sarjana luar biasa.
Walaupun banyak diantaranya jauh dari ortodoks, pekerjaannya
ialah sebuah diantara karya gemilang dari peradaban Islam.
Tidak perlu kiranya di sini diterangkan jasa mereka bagi
Eropa zaman abad pertengahan untuk pikiran filsafat yang
langsung dan dengan perantaraan penerjemahan filsafat
Yunani.
Dalam memutalaahkan pergerakan aliran-aliran harus
ditekankan bahwa dengan kata "aliran" diartikan
sistem-sistem doktrin dan iman Islam yang umumnya ditolak
oleh kaum rasyidun dan aliran lain sebagai berlawanan dengan
paham resmi. Dalam masyarakat ortodoks (rasyidun) sendiri
dahulu dan sekarang masih juga terdapat beberapa "mazhab"
yang berlainan (Hanafi, Maliki, Sjafi'i, dan Hambali),
semuanya saling mengakui. Sebagai tambahan pembagian ini
yang agak menurut hukum dalam paham ortodoks telah merembes
sejumlah kebiasaan dan upacara, meskipun tidak selalu tanpa
perlawanan; boleh dikatakan sebagai aturan umum. Prinsip
sunah telah dipakai untuk meluaskan perbatasan kelelaan
seluas mungkin. Tidak ada masyarakat keagamaan satu pun
memiliki semangat Katolik ataupun lebih bersedia memberikan
kebebasan luas kepada anggota-anggotanya dengan syarat bahwa
mereka mengakui --sedikit-sedikitnya secara lahir--
kewajiban-kewajiban minimal kepercayaannya. Rasanya kami
tidak melampaui batas kebenaran, apabila kami menerangkan
disini bahwa sebenarnya tidak ada seorang dari golongan
aliran tadi yang pernah dikeluarkan dari masyarakat Islam
ortodoks, kecuali mereka yang menghendakinya sendiri, dan
karena itu- mengasingkan dirinya sendiri.
Hal tersebutlah pasal yang menjadi cirinya kaum "aliran"
(mustajilah) dalam Islam terdahulu dinamakan ahli khawarij
(yang memisahkan diri). Dalam asli itikadnya mereka berbeda
dengan golongan terbesar ahli sunah dalam soal-soal yang
tidak penting. Mereka memisahkan diri karena praktek. Telah
diperintahkan kepada tiap-tiap muslim untuk mendesak
teman-temannya berbuat ke bajikan dan meninggalkan barang
berdosa. Kaum ortodoks --yakni masyarakat sebagai
keseluruhan-- menerima kewajiban itu dengan syarat bahwa
harus dipertimbangkan keadaan-keadaan dalam melaksanakan
perintah tadi. Ahli Khawarij --yang terdiri sebagian besar
orang nomad dan semi nomad di Mesopotamia dan daerah
perbatasan Irak-- menolak syarat tadi, dan menuntut supaya
perintah dilaksanakan dalam musim dan di luar musim, bahkan
dengan mengorbankan jiwa sendiri. Dengan perkataan lain,
mereka merupakan ekstremis keagamaan dan sifat fanatik
mereka menyebabkan pendapat mereka bahwa muslimin
menanti-nantikan waktu baik, memerosotkan agama, dan
mengingkari agama, sama sekali bukan orang muslim, dan hanya
merupakan muslimin sejati. Bersenjata dengan prinsip ini,
mereka memerangi masyarakat. Dengan demikian menempatkan
diri mereka sendiri di luar batas kerasyidunan. Nasib ahli
Khawarij yang terdahulu tidak mengenai kita di sini, tetapi
tokoh-tokoh mereka yang lebih lunak merumuskan sistem-sistem
yang hingga sekarang masih terdapat dalam masyarakat
beragama sederhana dan asli Aljazair Selatan, Uman, dan
Zanzibar. Sejak dahulu, Islam menolak doktrin sikap fanatik
dalam agama. Kemudian dalam abad kedelapan belas dan
permulaan abad kesembilan belas, kita akan menemukan ajaran
yang sama dikukuhkan atas, pembaru-pembaru Wahhabi di
Arabia.
Aliran lain yang penting dalam Islam --sebenarnya
satu-satunya aliran yang memisahkan diri-- berlainan. Syi'ah
mulai sebagai pergerakan politik diantara orang Arab
sendiri. Ali ra., --putra mantu Nabi saw. dan khalifah
keempat dari sejarah Islam-- memilih Kufah di Irak sebagai
ibu kotanya. Waktu beliau mangkat, pusat politik Islam
dipindahkan ke Siria. Oposisi Arab di Kufah terhadap Arab di
Siria mengambil bentuk penghasutan orang-orang yang menuntut
hak, bertujuan memulihkan hak keluarga Ali ra. atas
khalifah. Lambat laun angan-angan politik itu menciptakan
untuk dirinya sendiri suatu dasar doktrin yang berlawanan
dengan doktrin yang diakui masyarakat yakni doktrin tentang
hak yang khas mutlak dari keluarga Ali ra. atas khalifah.
Doktrin itu meliputi penolakan tiga khalifah pertama, Abu
Bakar, Umar, dan Uthman ra. yang dipandang sebagai perampas
kuasa. Pengingkaran tiga orang sahabat yang paling dijunjung
dan dihormati itu selamanya tetap merupakan dosa utama ahli
Syi'ah dalam pandangan ahli ortodoks. Semua urusan lain
berkenaan dengan hukum baik dalam kalam maupun ibadat,
Syi'ah belum juga memiliki doktrin nyata. Syi'ah yang
tersebut terdahulu meninggalkan bekas-bekas hingga sekarang
di Maroko, Syi'ah dalam tata tertib politiknya, tetapi sunah
ortodoks dalam kalam dan hukumnya.
Pada tingkat awal mulanya nama Syi'ah dipakai untuk
menutupi sejumlah kegiatan yang sungguh-sungguh berlainan
dan dipakai sebagai selimut untuk memperkenalkan dalam Islam
semua macam kepercayaan Timur yang lama dari Babilonia,
Persia, bahkan India. Pengislaman sejumlah penduduk asli
negara-negara yang ditaklukkan mau tidak mau menerbitkan
kebingungan kepercayaan agama yang luas. Hal tersebutlah
yang memajukan penyebaran aliran-aliran kebatinan dan
menyebabkan pergulatan agama dari abad-abad yang mula.
Unsur-unsur Yunani biasanya menghubungkan diri pada oknum
sunah yang merupakan partai terbesar, sedang
kepercayaan-kepercayaan Asia yang lebih tua condong
menggabungkan diri kepada oknum Ali ra. Sebagaimana dapat
diduga kepercayaan-kepercayaan demikian dipeluk dan
disiarkan terutama oleh orang bukan Arab, dan lebih khas
oleh penduduk campuran dari Irak. Petunjuk-petunjuk bahwa
Syi'ah dalam abad yang mula-mula diantara rakyat lebih
merupakan panji-panji revolusi sosial terhadap ahli sunah
yang berkuasa daripada panji-panji oposisi keagamaan
terhadap doktrin-doktrin sunah. Harus diterangkan selekas
mungkin bahwa pendapat yang masih kebanyakan terdapat bahwa
Persia merupakan tempat asli Syi'ah adalah tanpa dasar sama
sekali. Perlu dicatat bahwa penganut-penganut baru bekas
Majusi umumnya lebih suka memilih kepercayaan ahli sunah
daripada aliran Syi'ah.
Prinsip-prinsip yang lazim dianut umum oleh hampir semua
anggota golongan yang mengakui Syi'ah bahwa sejajar dengan
tafsir lahir Quran didapat tafsir gaib dan sekumpulan ilmu
rahasia. Itulah yang ex hypothesi (berdasarkan hipotese)
diserahkan oleh Muhammad saw. kepada Ali ra., dan oleh Ali
ra. kepada warisnya. Aliran-aliran yang berpanca ragam tadi
berbeda dalam menetapkan siapa yang berhak menjadi waris Ali
ra. Menarik perhatian bahwa hampir tidak ada diantara
aliran-aliran tersebut menggabungkan diri kepada garis
keturunan langsung dari Muhammad saw. menjadi pengganti Ali
ra. dalam pandangan kaum Syi'ah Arab yang menuntut hak di
Kufah, akan tetapi lebih tertarik pada keturunan lain dari
Ali ra. Tambahan pula, kaum Syi'ah Arab memisahkan diri dari
masyarakat karena soal pimpinan politik Islam, aliran-aliran
gaib lebih-lebih lagi memberikan kepada Imam --gelar yang
diberikan kepada kepala umat-- suatu tugas rohani yang
selamanya tidak disetujui oleh kaum ortodoks bagi khalifah.
Dalam Islam ortodoks khalifah tidak memiliki tugas sebagai
penafsir dan tidak dapat menentukan doktrin; ia adalah
pemimpin politik dan keagamaan umat saja. Bagi orang yang
berpendapat bahwa tafsir gaib hanya diketahui khusus oleh
deretan imam, sumber doktrin resmi dan yang sah adalah imam
sendiri. Pada suatu pihak, agamanya dipusatkan pada prinsip
kekuasaan perseorangan yang mutlak; yang asing bagi teori
ortodoks baik dalam urusan politik maupun urusan agama. Pada
pihak lain, agamanya mengizinkan lebih luas suatu
perkembangan dan penyesuaian keadaan-keadaan dari generasi
yang berturut-turut di bawah pedoman teori iman yang
diilhami Ilahi.
Setapak demi setapak akidah keimanan itu mengkristal
menjadi bentuk kalam yang pasti. Para imam memperoleh sifat
melebihi manusia, berkat keahlian gaib yang dimilikinya.
Sesuai dengan filsafat cahaya dari Babilonia Lama, sifat
tadi dirumuskan oleh akidah bahwa dalam para imam telah
menjelma cahaya Ilahi yang turun melalui generasi-generasi
nabi berturut-turut sejak zaman Adam as. Bahkan beberapa
aliran Syaih sampai berani memandang Ali ra. dan para imam
sesudahnya sebagai penjelmaan Ilahi sendiri, walaupun masih
terdapat di beberapa bagian dunia Islam. Aliran-aliran tadi
boleh dipandang di sini sebagai tanggapan yang
berlebih-lebihan, dan yang tidak mewakili. Sisa-sisa yang
serupa terdapat dari satu akidah lawan yang memberikan
sifat-sifat yang hampir sama besarnya kepada Khalifah Bani
Umayah, Jazid, dan Narwan; khusus aliran Jazidi di Irak
Utara. Lebih penting ialah akibat yang dikeluarkan dari
doktrin asal mula yaitu imam tanpa dosa dan tanpa salah,
sebab doktrin tadi merupakan salah satu doktrin asasi
kelompok Syi'ah yang lebih besar hingga dewasa ini.
Hingga sekarang belumlah terang juga tingkat-tingkat apa
yang telah memadukan dua bentuk asli Syi'ah tadi yakni
Syi'ah Arab didukung oleh para penuntut hak dan Syi'ah
kebatinan. Tetapi abad ketiga dan keempat takwin hijrah
pemaduan telah jauh maju. Keahlian gaib istimewa para imam
telah diserahkan kepada keturunan Nabi Muhammad saw. dengan
perantaraan Ali ra. dan putri Nabi Muhammad saw., Fatimah
ra., doktrin kegaiban tadi diakui sebagai undang-undang
dasar aliran Syi'ah. Jumlah terbanyak dari penganut aliran
yang kecil-kecil, lenyap dan meninggalkan hanya tiga
kelompok Syi'ah utama.
Dari tiga kelompok itu, maka kaum Zaidi masih berpengaruh
di Yaman; berdiri paling dekat pada Syi'ah, kaum penuntut
hak yang lama dan pada kaum sunah yang ortodoks. Mereka
mengakui deretan imam yang tidak terputus, yang tidak
dikatakan memiliki keahlian gaib. Sebagian besar aliran
Imami yang sekarang menjadi agama resmi Iran dengan
penganut-penganut di India, Irak, dan Siria, mengakui dua
belas orang imam; yang terakhir ialah Muhammad al-Muntazar
(yang dinanti-nantikan) yang menghilang lebih kurang tahun
873, dan kedatangannya kembali masih tetap dinanti-nantikan.
Kelompok paling ekstrim, kaum Isma'illiyah memisahkan diri
karena soal penggantian Imam keenam. Dalam abad pertengahan
mereka diwakili oleh gerakan revolusioner populer, kaum
Qarmati, Khilafah Bani Fatimijah di Mesir (969-1171 M.), dan
cabangnya kaum Hasyasyun hingga sekarang masih mempunyai
penganut yang tidak banyak di India dan tersebar di
mana-mana.
Dalam waktu lampau, sistem imami tentang doktrin dan
hukum berserak sangat luas dari sistem ahli sunah. Kaum
Imami tentunya tidak menerima prinsip ijmak, dan apabila
ketiadaan imam, maka alim ulama terkemuka yang dinamakan
para Mujtahid (lihatlah halaman 73) menjalankan kekuasaan
besar dalam urusan agama dan hukum. Dalam hukum keistimewaan
mereka yang utama ialah memberikan izin perkawinan
sementara, dan dalam ibadat doktrin tentang taqiyah atau
penyamaran, suatu peninggalan kiranya dari zaman penuntutan
dan pengejaran dalam abad pertengahan. Berkenaan dengan
Rukun Islam, mereka hanya berbeda pada beberapa pasal kecil,
tidak penting dengan sendirinya, meskipun telah
dibesar-besarkan kepentingannya karena pertikaian selama
seribu tahun. Pada beberapa waktu telah diusahakan
memulihkan pemisahan berdasarkan pengakuan sistem imami
sebagai mazhab ortodoks kelima dengan nama mazhab Dja'fari
(menurut Dja'far al-Sadiq, imam keenam, yang kuasanya diakui
oleh ahli sunah), tetapi percobaan ini senantiasa gagal.
Meskipun doktrin-itikadnya sebagai keseluruhan telah
ditolak oleh ahli sunah, Syi'ah telah meninggalkan pengaruh
besar dalam beberapa bagian pikiran dan praktek ahli sunah.
Penghormatan Syi'ah terhadap Ali ra. dan keturunannya
dicerminkan dalam pendirian yang simpatik terhadapnya dalam
hadis-hadis secara ahli sunah. Doktrin cahaya Ilahi dan
ketanpa-dosaan imam telah diambil alih dan dipakai tidak
untuk Ali ra. sendiri, akan tetapi untuk pemimpinnya, Nabi
Muhammad saw. Dan digabungkan dengan sebab-sebab lain
memberikan dasar memuliakan Nabi Muhammad saw. secara
bersemangat, sepanjang masa merupakan salah satu pengaruh
rohani yang paling kuat dalam Islam Sunni. Saluran utama
pengaruh tersebut beserta kenang-kenangan Syi'ah merembes
kedalam sistem ortodoks merupakan pergerakan mistik yang
dikenal dengan nama Sufi.
Catatan kaki:
1 D.B. MacDonald.
Development of Muslim Theology, hlm. 140.
(sebelum,
sesudah)
|