|
BAB 3. QURAN
Quran merupakan catatan resmi ucapan-ucapan dan wejangan
yang diterima oleh Muhammad saw. beserta
penganut-penganutnya sebagai wahyu langsung. Paham Islam
ortodoks menganggapnya kata demi kata kalam Allah, yang
dibawakan dengan perantaraan Malaikat Jibrail. Kata-kata
dikutip dengan pengantar: "Difirmankan oleh Tuhan";
perkataan "Sabda Nabi saw." hanya dipakai bagi ucapan
Muhammad saw. yang dihimpun dalam hadis. Keyakinan Muhammad
saw. sendiri yang juga mutlak dianut oleh umatnya bahwa
wejangan-wejangan tadi merupakan bagian dari "ummul Kitab"
yang diturunkan kepada beliau dalam salinan Arab, tidak
sebagai suatu keseluruhan, tetapi dalam bagian yang layak
panjangnya berangsur-angsur berkenaan dengan keadaan
sewaktu-waktu.
Dalam bentuk lahir, Quran merupakan mushaf berhalaman
kurang lebih 300 kaca, terbagi dalam 114 Surah, yang diatur
semata-mata menurut panjangnya, kecuali doa pendek yang
merupakan Surah ke-I. Surah ke-II mengandung 286 ayat, surah
ke-III: 200 ayat, dan demikian seterusnya, hingga surah yang
terakhir hanya meliputi tiga hingga lima ayat yang pendek.
Oleh karena surah-surah yang diturunkan di Madinah lebih
panjang, maka urutannya bukan urutan menurut tarikhnya: dan
kesukaran untuk mengatur lagi surah-surah tersebut menurut
tarikh ditambah dengan fakta, bahwa sebagian besar dari
ayat-ayat yang diturunkan di Madinah dan yang diturunkan di
Mekkah terjalin, berisikan wejangan pada waktu yang
berlainan dijadikan satu. Kecuali beberapa penunjukkan
peristiwa-peristiwa sejarah tanggal kejadiannya, bukti-bukti
utama yang dijadikan batu ujian didapat dari gaya bahasa dan
isinya.
Pada awal Muhammad saw. menyiarkan agama,
wejangan-wejangan dikeluarkan dalam gaya orakel yang ngotot,
berbentuk kalimat pendek bersajak, kerap kali samar, dan
kadang-kadang didahului oleh satu atau beberapa sumpah
menurut adat. Gaya demikian diakui dan digunakan oleh para
kahin atau juru tenung, peramal Arab. Tidak mengherankan
bahwa lawan-lawan Muhammad saw. telah menuduh beliau seorang
kahin belaka. Oleh karena itu, gaya bahasa beliau lambat
laun terurai dalam bentuk prosa yang lebih sederhana, akan
tetapi masih menggunakan kata-kata yang muluk. Ketika ejekan
sosial dan penglihatan khayal tentang hari kiamat diganti
oleh riwayat sejarah, dan waktu di Madinah diganti dengan
perundang-undangan dan wejangan tentang hal-hal yang sedang
hangat, hanya sedikit yang masih ketinggalan dari sifat gaya
bahasa asli yaitu sajak atau asonansi sebagai tanda akhir
tiap ayat yang terdiri dari, sepuluh hingga enam puluh
kata.
Pendapat Carlyle tentang Quran ialah: "pembacaan yang
paling memayahkan, menjemukan, ceroboh, campur aduk, tidak
teratur. Suatu kewajiban yang dapat mendorong seorang Eropa
membaca seluruhnya. Pernyataan tersebut dengan singkat
menggambarkan pendapat dari para pembaca. Tetapi, pembahasan
secara cermat bertahun-tahun menguatkan pendapatnya
kemudian, bahwa dalam mushaf "terdapat suatu kebajikan lain
dari nilai kesusasteraan. Apabila suatu buku keluar dari
hati nurani, buku tadi akan menciptakan, mencapai hati orang
lain; segala kesenian dan kepandaian penggubah tidak berarti
di sampingnya." Tentu saja soal nilai kesusasteraan tidak
boleh dipertimbangkan begitu saja atas dasar a priori (yang
belum dibuktikan), akan tetapi bertalian dengan bakat utama
bahasa Arab. Tidak ada orang dalam jangka seribu lima ratus
tahun telah memainkan alat yang bernada dalam ini dengan
tenaga, keberanian, dan begitu luas hasil kerenjanaan
sebagaimana Muhammad saw.
Dalam percobaan menemukan sumber dan perkembangan
angan-angan keagamaan yang terurai didalam Quran, kami masih
menjumpai beberapa soal yang belum dipecahkan. Harus diingat
di sini bahwa pekerjaan tadi dalam pandangan para muslimin
tanpa arti dan tidak patut. Para sarjana terdahulu menerima
sebagai dalil suatu sumber Yahudi dengan tambahan Kristen.
Penyelidikan belakangan ini, membuktikan dengan pasti bahwa
pengaruh utama dari luaran (termasuk bahan dari kitab
Taurat) berasal dari kekristenan Siria.
Sekarang telah diketahui bahwa diantara masyarakat di
negeri Arabia bagian Utara, Selatan, dan Timur, terdapat
Gereja Yahudi dan Kristen yang teratur. Kota Arab Hira di
pinggir sungai Efrates merupakan tempat kedudukan Uskup kaum
Nestorius yang hampir dipastikan memimpin semacam penyiaran
agama di Arabia. Dalam syair-syair Arab purba terdapatlah
beberapa petunjuk tentang pertapa yang hidup dalam bilik
sepi di padang belantara. Di zaman pergerakan Yahudi, atau
yang bercorak Yahudi, yang disokong oleh pemerintah kerajaan
setempat telah dijatuhkan orang Yaman yang beragama Kristen
dengan pertolongan Abesinia dalam tahun 525 M. Mengingat
hubungan perdagangan yang erat antara Yaman dan Mekkah
diduga bahwa beberapa cita-cita keagamaan telah didatangkan
ke Mekkah oleh kafilah-kafilah yang memuat rempah-rempah dan
kain tenunan. Juga dalam perbendaharaan kata Quran terdapat
beberapa pasal yang menguatkan persangkaan ini. Dari Quran
teranglah bahwa angan-angan tentang keesaan Tuhan telah
dikenali di Arabia bagian Barat. Adanya Tuhan Yang
Mahaagung, Allah, telah diakui sebagai dalih oleh Muhammad
saw. maupun oleh lawannya Quran tidak pernah mempersoalkan
pokok ini. Didalilkan bahwa Tuhan hanya satu-satunya dan
Esa, La ilaha illa'llah 'Tidak ada Tuhan melainkan
Allah'.
Lebih disangsikan apakah paham ini harus dianggap sebagai
endapan ajaran Kristen ataupun Yahudi. Dalam Quran pokok ini
dihubungkan dengan tradisi yang amat berlainan, suatu
tradisi Arab yang samar, diwakili oleh ahli hanif, orang
Arab pra-Islam yang percaya kepada keesaan Tuhan, yang
menurut julukannya dianggap oleh orang Siria sebagai tidak
Kristen (kata Siria hanpa --penyembah berhala). Muhammad
saw. yang "bukan Yahudi, bukan Kristen". Bahkan dalam salah
satu qiraat (cara pembacaan Quran) terdahulu dari salah satu
ayat Quran (S. III a. 17) terdapat suatu petunjuk, bahwa
pada suatu masa Hanifiyah dipakai untuk sebutan itikad yang
diajarkan oleh Muhammad saw. yang kemudian diganti dengan
nama Islam.
Petunjuk lain dari hikayat nabi Arabia Utara tadi
terdapat dalam ayat-ayat yang tertua dalam Quran,
mengingatkan atau menceriterakan kembali perutusan nabi-nabi
yang terdahulu. Dalam riwayat tersebut, beberapa tokoh Arab
yang samar --Hud, Sju'aib as., dan lain-lainnya-- menempati
tingkat yang sedikit-sedikitnya setaraf dengan tingkat
nabi-nabi dalam kitab Taurat. Petunjuk-petunjuk yang paling
awal, menimbulkan dugaan bahwa riwayat nabi-nabi itu telah
diketahui oleh yang mendengarkan ajaran Muhammad saw. Satu
atau dua diantara riwayat tersebut terdapat juga dalam
syair-syair pra-Islam.
Tradisi Arab asli tentang keesaan Tuhan boleh dianggap
sebagai unsur yang lengkap dan pokok dari latar belakang
angan-angan Muhammad saw. Itikad yang paling kuat menguasai,
memikat beliau (dan yang kemudian oleh beliau dicamkan
paling dalam di alam pikiran Islam sepanjang masa yang akan
datang) adalah itikad tentang hari kiamat. Telah nyata
itikad ini bukan nukilan (petikan) dari tradisi Arab,
melainkan dari sumber Kristen. Cara kawan sekolahnya
menerima itikad tadi dengan ketidakpercayaan dan kata-kata
yang pedas penuh ejekan membuktikan, bahwa paham tadi asing
bagi penduduk Mekkah. Pada pihak lain --kecuali itikad
tentang kebangkitan badan wadag dan kehidupan di akhirat --
masih banyak pasal kecil tentang cara menjatuhkan keputusan
pengadilan, bahkan gambaran kesukacitaan di Sorga dan
siksaan di Neraka, serta beberapa istilah yang terdapat
dalam Quran berdekatan sejajar dengan tulisan padri-padri
dan rahib-rahib Kristen Siria.
Apa pun saluran yang membawa angan-angan tadi kepada
Muhammad saw., ketakutan terhadap "kemurkaan Allah yang akan
datang" menguasai hidupnya kemudian. Bagi beliau kepercayaan
kepada kemurkaan Tuhan yang akan datang tidak hanya
semata-mata suatu senjata untuk mengancam lawannya, tetapi
merupakan pendorong ke segala rupa amal saleh dan kebajikan.
Ciri seorang yang beriman ialah senantiasa takut terhadap
Tuhan, dan sebaliknya ialah "kealpaan, kelengahan" dan
"kemewahan". Pertentangan ini tidak pernah meninggalkan hati
Muhammad s.a.w., dan merupakan alasan penggerak serba tapa
pada taraf permulaan; dalam hal ini membayangkan unsur pusat
ajarannya. Asas ibadat dan kesusilaan Islam ialah pengakuan
bahwa Allah ialah Tuhan Yang Mahakuasa dan manusia
ciptaannya yang selalu dalam bahaya kejatuhan murkanya.
Ampunan hanya diperoleh dengan rahmat Tuhan. Manusia tidak
dapat memperoleh ampun baginya karena kebajikan. Tetapi,
untuk patut memperoleh ampun, manusia harus dengan tidak
henti-henti menguasai diri dan berbakti terhadap Allah
dengan amal saleh, khusus dengan menunaikan salat dan
zakat.
Nabi-nabi bukannya ahli ilmu kalam. Tidak patutlah kita
mengharapkan penjelasan dari Muhammad saw., tentang itikad
harus cermat dan tepat secara ilmu kalam. Quran bergoyang
antara paham kadar dan paham karsa (kemauan) bebas yang
bergantung dari golongan yang ditujukan ayat-ayat, kaum awam
yang alpa, ataupun para mukminin. Kelalaian orang yang suka
keduniawian ialah sumber yang tidak membingungkan Muhammad
saw., sebagaimana juga kebanyakan orang beragama. Rupanya
hal ini hanya dapat dijelaskan sebagai tindakan Tuhan.
Tetapi, dirasakan perlu mengadakan suatu perumusan tentang
kadar yang sedikit lunak untuk memperhitungkan jasa
berkenaan dengan penunaian kewajiban susila dan ibadat, dan
untuk menggiatkan para mukminin terus menjalankannya.
Muhammad saw. tidak hanya mengajarkan suatu itikad
perkutukan oleh Tuhan Yang Mahakuasa dan cemburu.
Pelajarannya membawa juga warta baik tentang pengharapan.
Tatkala umatnya yang mula-mula kecil bertambah besar, maka
dengan tidak henti-hentinya diajarkan belas kasihan Tuhan.
Pada suatu waktu, Muhammad saw. memilih nama bagi Tuhan yang
menurut prasasti-prasasti pra-Islam telah terkenal di Arabia
--ar-Rahman "Yang Mahakasih". Istilah itu hidup kembali
dalam kalimat yang mendahului tiap-tiap surah Quran (dan
menurut dugaan, lafal pembukaan semua wejangannya),
bismi'llah ir-rahman ir-rahim" Dengan nama Allah Yang Maha
Pengasih dan Maha Penyayang."
Sementara itu, pertentangan dengan lawan-lawannya
penduduk Mekkah memaksakan beliau mengembangkan isi
wejangan-wejangannya. Oleh karena mereka tetap tuli, tidak
mau mendengarkan tuntutan-tuntutan beliau, bahwa beliau
telah diutus untuk mengingatkan mereka akan murka Tuhan pada
hari kiamat, dan anjuran-anjurannya supaya tobat akan
kesalahan-kesalahan dan dosa mereka, maka nada beliau
bertambah berdalil. Beliau telah memperdalam
penjelasan-penjelasannya dengan bukti-bukti yang terdapat di
alam semesta tentang adanya Tuhan dan kuasa Tuhan, dan
perutusan nabi-nabi yang mendahuluinya. Sekarang tidak hanya
pembalasan akhir pada hari kiamat yang dititikberatkan,
tetapi juga penderitaan suatu bencana besar dalam hidup
sekarang sebagai hukuman penolakan pemberi ingatannya.
Beliau dengan tidak jemu-jemu mengingatkan kepada
bencana-bencana yang telah dijatuhkan atas orang Mesir,
"kaum Lut as.", "kaum Nuh as." dan suku-suku Arab yang telah
menolak nabi-nabi sebelumnya. Riwayat nabi-nabi --antara
lain riwayat, Jusuf, Jahja as., "Dhu'lqarnain", "Tujuh orang
tertidur" (ashabu'lkahf wa'rraqim), dan beberapa tokoh lain
dari ceritera-ceritera turun-temurun yang sukar dipercayai,
dan hikayat dongengan Iskandar -- ditambahkan pada bahan
pidato ataupun untuk memperlihatkan sumber gaib
pengetahuannya.
Penduduk Mekkah masih menuntut suatu amal mukjizat dari
beliau. Dengan keberanian yang luar biasa dan kepercayaan
pada pribadi sendiri, Muhammad saw. mengemukakan Quran
sebagai bukti yang utama dari perutusannya. Seperti orang
Arab seluruhnya penduduk Mekkah penggemar bahasa dan seni
pidato. Oleh karena itu, apabila dikatakan bahwa Quran
adalah ciptaannya sendiri, barang tentu orang lain dapat
menandinginya. Mereka diminta menggubah sepuluh ayat seperti
isi Quran. Apabila mereka tidak sanggup (dan kentara, bahwa
mereka tidak dapat), hendaklah mereka menerima Quran sebagai
mukjizat, suatu bukti yang tidak ada taranya.
Tahun-tahun yang terakhir Muhammad saw. berada di Mekkah,
umumnya merupakan masa kekecewaan dan kemacetan beliau,
hampir tidak ada dorongan segar yang dapat meluaskan
lapangan pengajarannya. Dalam surah yang diturunkan dalam
masa ini, pokok-pokok lama diulangi; nada umum suram, ada
kalanya terdapat kalimat-kalimat penuh dengan renungan yang
merawankan dan mengharukan. Tahun-tahun tersebut adalah
tahun-tahun yang besar artinya untuk perkembangan umat
Islam. Kerenjanaan keagamaan yang waktu itu menghadapi
permusuhan yang bertubi-tubi, dan yang dikurung diantara
tembok-tembok sempit, menggali suatu saluran ke lubuk hati.
Tuntutan penuduhan dan rintangan-rintangan sosial yang
memusnahkan pemeluk yang serba lemah, menggembleng inti
kesungguhan moral, yang kemudian akan sanggup menjadi
kekuatan pendorong dan penolong utama serta perlindungan
terakhir pergerakan Islam setelah Nabi saw. wafat.
Hendaknya dianggap bahwa ibadat salat telah disempurnakan
dalam masa tersebut. Hadis kerap kali menunjukkan pada salat
di muka umum atau sendirian dari Muhammad saw., dan
penganutpenganutnya. Surah-surah Makkiyah hanya menyebutkan
salat pagi, petang, dan salat tersendiri selama malam hari.
Quran di mana pun tidak mengatur dengan tegas salat lima
waktu ataupun upacara-upacara sujud. Pada waktu itu, belum
ada perintah tentang kehakiman dan kesosialan yang tepat.
Walaupun pemberian sedekah, misalnya, dianjurkan terus
menerus, nasihat-nasihat dalam hal itu hanya diberikan dalam
perumusan wajib kesusilaan sebagai jalan membersihkan diri,
bukannya dalam bentuk suatu lembaga. Inilah yang menjadi
ciri nada umum surah-surah Makkiyah.
Di Madinah semua itu berubah. Adanya masyarakat baru
mengharuskan pengumuman perundang-undangan, penertiban
sosial, dan juga perluasan pelajaran tentang kesusilaan.
Perubahan-perubahan ini dilakukan tahap demi tahap. Perintah
pertama Muhammad saw., yang merupakan undang-undang memuat
dasar-dasar politik sosial untuk masyarakat tergabung di
Madinah, tidak dimasukkan dalam Quran. Undang-undang tadi
bukannya diumumkan sebagai wahyu, tetapi sebagai ikhtiarnya
sendiri. Kejadian ini dapat menerangkan garis-garis
perbedaan antara wahyu dan usahanya sendiri yang dianut oleh
beliau dan penganut-penganutnya. Misalnya, yang menarik
perhatian diberikan dalam wejangannya pada waktu beliau
menunaikan "Haji al-Wida" (haji perpisahan, haji mohon
diri), waktu beliau berziarah di Mekkah buat terakhir
kalinya. Biarpun isinya mengenai keagamaan, dan peristiwa
itu merupakan upacara penuh khidmat, namun wejangan tersebut
tidak dimasukkan dalam Quran.
Contoh-contoh tersebut menyangsikan kami untuk menerima
pendapat yang sering terdengar bahwa Muhammad s.a.w., dengan
sengaja menggunakan "wahyu" sebagai alat untuk memaksakan
kehendaknya pada masyarakat, ataupun memecahkan
persoalan-persoalan yang dihadapi beliau. Benar juga
beberapa jumlah besar ayat-ayat dari surah Madaniyah
mengenai segala perkara urusan politik dan rumah tangga,
memberikan bahan untuk dugaan tadi. Diantara hadis-hadis
yang sahih banyak mengenai peristiwa-peristiwa semacam dan
khotbah-khotbah yang menyerupai itu. Apapun juga penjelasan
dalam bidang kejiwaan, memang sukar untuk menolak kesimpulan
bahwa istilah "wahyu" dipakai khusus bagi ujaran yang dengan
tidak sadar diberikan dan diawasi oleh Nabi saw. dan rupanya
baginya telah diwahyukan dengan perantaraannya dari
luar.
Selama tahun pertama di Madinah, Muhammad saw., telah
mengutip. beberapa kebiasaan Yahudi untuk kaum muslimin,
misalnya, puasa Asyura pada hari kesepuluh bulan pertama
(sesuai dengan hari penebusan dosa), salat lohor, berkiblat
ke arah Darusalam. Tidak lama kemudian beliau bertengkar dan
berselisih dengan suku-suku Yahudi. Bagian-bagian dari
perbantahan yang terdapat dalam Quran menunjukkan dengan
terang sifat yang umum. Orang Yahudi ternyata menolak
tuntutan Muhammad saw., sebagai nabi dan "mensahkan Kitab
Taurat." Mulanya penyangkalan menjadi ejekan. Dalam pada
itu, Muhammad saw., yang yakin pada perutusan ketuhanan
mendakwa mereka telah memalsukan kitab-kitab mereka, dan
menyembunyikan isinya yang benar. Atas kecaman mereka
terhadap riwayat-riwayat nabi yang diberikannya dengan
sederhana, tetapi dengan tegas dijawab olehnya "Apakah kamu
lebih mengetahui daripada Allah?" (S. II, a. 134). Celahnya
melebar, dari wejangan pembujukan Quran beralih memberikan
celaan, tegoran yang tajam, dan akhirnya penolakan dan
ancaman; yang (mengherankan) menggunakan banyak pikiran
penulis-penulis Kristen terdahulu dalam perbantahan mereka
terhadap orang Yahudi.
Meskipun salah satu dari sejumlah tuntutan berulang-ulang
dilemparkan kepada orang Yahudi adalah penolakan mereka akan
"al-Masih Isa, putra Marjam ra", Quran menarik juga kaum
Kristen dalam perdebatan. "Dan orang Yahudi berkata:
"Tiadalah orang Nasrani atas sesuatu" dan berkata orang
Nasrani: "Tiadalah orang Yahudi atas sesuatu," padahal
masing-masing membaca Kitab." (S. II, .a. 107). Khusus
itikad tentang Ilahi keayahan Isa as. ditentang dengan
tegas, dalam istilah-istilah yang menunjukkan betapa itikad
tadi telah disajikan dengan tanggapan Tuhan sebagai manusia
kepada orang Arab ataupun telah diterima oleh orang Arab
sendiri. Sebuah surah Makkiyah yang terdahulu (S. CXII),
menurut dugaan aslinya ditujukan menentang tanggapan tentang
Tiga Dewi Mekkah sebagai "puteri Allah", terang juga dapat
ditujukan terhadap itikad Kristen tentang Trinitas, Tiga
Senyawa: "Katakanlah! Ia adalah Allah,
Tunggal1 Allah
yang Abadi, Ia tidak berputera, pun Ia tidak diperanakkan.
Dan tiada satu pun menyamai Dia." Tetapi, kelahiran perawan
dan kandungan bersih dinyatakan kembali. Pada pihak lain,
penyaliban Isa as. dinyatakan fitnahan orang Yahudi, dan
ditolak. Seorang lain menyerupai beliau telah disalib
sebagai pengganti beliau, dan Isa as., sendiri telah berubah
wujud. Teranglah bahwa sebenarnya menurut seluruh isi Quran,
Muhammad saw., tidak memiliki pengetahuan yang langsung
tentang itikad Kristen.
Latar belakang perdebatan tersebut dengan agama Kristen
adalah samar karena menurut kenyataan dilakukan bersamaan
waktunya dengan beberapa petunjuk yang bersifat persahabatan
terhadap kaum Kristen. Perdebatan tadi terjadi sebelum
pertikaian dengan suku-suku di Barat daya yang telah memeluk
agama Kristen. Tidak perlu disangsikan bahwa paham tadi
termasuk juga dalam ajaran Muhammad saw., dari permulaan,
tetapi baru dikeluarkan setelah terjadinya saingan dengan
gerakan pembaharuan agama yang pada waktu sama terjadi
dibawah pengaruh kaum Nestorius di oase-oase Nejd Timur,
yang dinamakan Jamamah. Adapun dua gerakan tadi mulai
berebutan mati-matian, setahun setelah Muhammad saw.
wafat.
Bagaimanapun juga, akibatnya ialah membuka jalan bagi
Muhammad saw., untuk kami sebutkan teori sejarah Islam.
Sejak agama Yahudi telah ditetapkan sebagai agama Musa as.,
dan agama Kristen agama Isa as., beliau menemukan seorang
tokoh sebelumnya kedua nabi tersebut yakni Ibrahim as.,
"dari para Hanif". Karena Ibrahim as. bukan orang Yahudi
maupun Kristen, Ibrahim as. cocok dalam tanggapan Muhammad
saw. tentang keesaan Tuhan yang primitif yang belum dipulas
selalu dihidupkan kembali oleh nabi berturut-turut, dan
beliau sendiri merupakan nabi yang terakhir waris sejati
dari Ibrahim as, yang membersihkan agama dari
kesalahan-kesalahan orang Yahudi dan orang Kristen. Boleh
juga hal tersebut ialah warisan dari riwayat nabi Arab asli
yang hanya meninggalkan petunjuk-petunjuk samar saja kepada
kita.
Terlebih pula dengan perantaraan Ismail a.s., telah
dihubungkan dengan orang Arab oleh agama-agama yang memiliki
kitab, dan (karena surah Madaniyah yang paling dahulu telah
menyebutkan "makam Ibrahim" di Mekkah sebagai tempat yang
telah dikenali umum), jelaslah bahwa Ibrahim dan Ismail as,
dalam tradisi bangsa Arab telah dianggap sebagai pembina
tempat suci Kaabah. Jadi, agama Islam bukannya muncul
sebagai agama baru, akan tetapi sebagai penjelmaan baru dari
keesaan Tuhan Ibrahim as., yang murni telah dibersihkan
daripada tambahan-tambahan Yahudi dan Kristen, dan yang
mengganti kedua agama tadi sebagai wahyu terakhir.
Semuanya itu bukan berarti bahwa Islam merupakan suatu
bentuk Arab yang khusus tentang keesaan Tuhan. Sebagaimana
kita nanti akan melihat dalam bab yang akan datang,
satu-satunya lembaga Arab yang pasti ditinggalkan dalam
Islam adalah fardu haji, tetapi dengan tafsiran baru dari
upacara-upacara haji; ibadat haji telah diberikan arti
kesusilaan yang asing dalam sifat Arabnya. Oleh karena itu,
walaupun Islam merupakan agama yang berpusat di Mekkah,
bukannya agama Arab maupun bukan merupakan keesaan Yahudi
dan Kristen yang disesuaikan dengan kebutuhan Arab; dengan
demikian berarti penurunan penilaian agama Yahudi dan agama
Kristen Siria hingga suatu taraf alam pikiran Arab, diduga
lebih rendah kedudukannya. Sebaliknya, tugas Islam semesta
ialah menjunjung tanggapan-tanggapan agama Arab dan bukan
Arab, serta ukuran-ukuran penilaian kesusilaan pada taraf
yang telah diberikan dalam ajaran para nabi terdahulu.
Sebagai akibatnya, walaupun masih berbantahan dengan
orang Yahudi, unsur-unsur Madinah yang tidak begitu
bersemangat dan memihak pada yang berkuasa (didalam Quran,
orang demikian dinamakan "al-munaqun walladhina fi qulubihim
marad"), dan orang suku Badui yang tidak tetap pendiriannya
mengisi bagian yang cukup besar dalam surah-surah yang
diwahyukan di Madinah. Diutamakan ialah mengajarkan
kewajiban agama, kesusilaan, dan kesosialan. Oleh karena
pasal-pasal itu nanti akan dibahas dalam bab yang akan
datang, di sini cukup dijelaskan sifat umumnya.
Sistem Muhammad saw. adalah tegar, pasti, dan tegas.
Kekakuan, kekerasan, tekanan khusus pada kewajiban penunaian
hukum dan ibadat, tuntutan kepatuhan yang mutlak, semuanya
dapat dijelaskan sebagai reaksi terhadap anarki, kekacauan
sosial, dan kebatinan di Arabia. Bangsa Arab bersifat
pemberontak, gemar mengacau segala pengawasan dari luar,
tanpa penertiban diri sendiri. Mereka membutuhkan sebatang
pengarah yang harus dipasang kuat-kuat pada tengkuk mereka;
apabila tidak demikian, pengarah tadi akan lepas.
"Berhidup Arab" berarti jatuh kembali dalam kelengahan
kerohanian suku-suku, sedangkan bagi Muhammad saw. bermakna
mundur kembali ke keadaan jahiliyah. Oleh karena itu, beliau
mencoba menempatkan penganutnya dari suku-suku dibawah
pengawasannya langsung. Suatu kenyataan dalam anjuran, bahwa
rukuk dan sujud bersama-sama dalam ibadat salat tiap hari
ialah usaha untuk melatih kepatuhan dan ketertiban badaniah
maupun untuk melatih disiplin kerohanian.
Pada pihak lain, dan sebagai reaksi terhadap pertapaan
dan kecenderungan untuk menjauhkan diri dari dunia menjadi
ciri khas kekristenan Timur, dari mula Muhammad saw.
menempatkan masyarakatnya di tengah-tengah dunia. Sabdanya
yang seringkali dikutip: "Tidak ada kerahiban dalam Islam",
tidak hanya berarti tiada kerahiban sebagai pencaharian
penghidupan, tetapi juga bahwa medan kegiatan agama Islam
ialah kehidupan manusia dalam arti yang seluas-luasnya.
Seluruh kegiatan sosial harus dimasukkan kedalam
lingkungannya dan diragikan dengan semangatnya. Hal itu
membawa akibat yang membahayakan. Pertemuan dan perkenalan
dunia luar dengan cara-cara keagamaan Islam telah mulai,
bahkan dalam masa hidup Nabi saw., dan juga diantara
sahabat-sahabat karibnya. Proses ini dipercepat dan
dipertebal oleh penaklukan daerah-daerah dalam tahun-tahun
berikut, dan memuncak dalam perang saudara dan pembentukan
Khilafah Bani Umayah di Damsyik hanya dua puluh delapan
tahun sesudah wafatnya. Penyerahan diri kepada dunia
merupakan jalan buat menyembuhkan kembali kerohanian Islam.
Dalam ibu kota lama Madinah yang telah ditinggalkan dan jauh
letaknya, berlangsung hidup tradisi Muhammad saw., bahkan
berkembang dan mendapat kekuatan untuk menolak dan mengatasi
bahaya --hingga suatu taraf, yang mula-mula dianggap tidak
mungkin -- yang didatangkan oleh kejayaan keduniawian
demikian cepat dan dahsyat. Tentang soal apakah Quran
seluruhnya telah dimaktubkan dalam jangka hidup Muhammad
saw. adalah beberapa hadis yang berbantahan. Riwayat yang
umumnya diterima, menerangkan bahwa beberapa tahun setelah
wafatnya dimulai mengumpulkan Quran dari "sobekan-sobekan
kertas kulit, potongan kulit, kepingan-kepingan batu,
pelepah kurma, tulang kibas, tulang rusuk unta, papan-papan,
dan dada orang." Itulah barangkali yang menyebabkan tidak
seimbangnya dan campur aduknya yang merupakan ciri dari
surah-surah yang panjang. Selain bahan-bahan yang tertulis
itu, beberapa diantara sahabat-sahabat Nabi saw., telah
hafal isi Quran, dan telah menyerahkan isinya dengan
beberapa perbedaan kecil. Khalifah ketiga Uthman ra., yang
telah menyelenggarakan naskah resmi di Madinah, salinannya
dikirimkan ke kota-kota terpenting.
Turunan-turunan tadi disalin dalam tulisan Arab lama yang
banyak kekurangannya dan harus disempurnakan dengan ingatan
yang terlatih dari beribu-ribu ahli Qiraat, ahli membaca
Quran. Untuk mengatasi kesulitan itu, diusahakan penambahan
dan perbaikan dalam ejaan naskah-naskah lama. Pada akhir
abad yang pertama, telah ditetapkan naskah sebagaimana
naskah yang kita miliki sekarang dengan pengecualian
beberapa pasal yang tidak berarti, walaupun dalam usaha
tersebut Quran telah disesuaikan dengan lafal umum yang
resmi, yang dalam beberapa hal kecil berbeda dengan ucapan
langgam Makkiyah Muhammad saw; namun, secara akal sehat
boleh dinyatakan bahwa tidak ada perubahan tentang isi pokok
yang ditambahkan, juga bentuk dan isi asli dari
wejangan-wejangan Muhammad saw. telah diselamatkan dengan
kecermatan yang saksama.
Masih terdapat juga beberapa cara lain dalam pembacaan
dan pembubuhan tanda-tanda bacaan hingga akhirnya soal ini
harus dipecahkan dengan jalan persetujuan, kompromi yang
jadi ciri agama Islam, sebagaimana nanti akan kita jumpai
lagi. Mula-mula ada sepuluh orang, kemudian tujuh qari yang
mashur yang diakui resmi sebagai guru yang berwenang, dan
semua pembacaannya diterima sebagai pembacaan sunah.
Meskipun para cendekiawan menuntut hak menerima pembacaan
guru-guru yang lain, buat keperluan umum hanya diterima
salah satu "tujuh pembacaan" tadi. Sepanjang masa, beberapa
diantara pembacaan itu dilepaskan. Baru dalam abad yang
sekarang berjalan (berkat hasil penyebaran salinan Quran
dari Istambul dan Kairo, yang dicetak dan dicap batu) satu
pembacaan yang sama mendapat sambutan umum di dunia
Islam.
Di muka umum pembacaan Quran dilagukan atau dinyanyikan
dalam kalimat-kalimat yang pendek dan bernada. Kesenian ini
diajarkan sebagai mata pelajaran pada kuliah perguruan
Islam. Buku Modern Egyptians oleh E.W. Lane memuat contoh
bacaan tersebut. Dalam abad pertengahan, didapat nyanyian
bersama dari para qari. Walaupun kebiasaan ini telah lenyap
sendiri, pada zaman sekarang masih juga dibutuhkan ahli baca
Quran untuk peralatan umum atau keperluan pribadi.
Sebagaimana halnya semua kitab suci, dirasakan juga
kebutuhan akan pedoman bagi penafsiran dan penjelasan Quran.
Sejak permulaan, penyerahan naskah selalu disertai
catatan-catatan secara lisan tentang bahasa atau tafsirnya.
Catatan-catatan itu dalam dua, tiga abad pertama, lekas
bertambah banyak jumlahnya dan menambah keruwetan sebagai
akibat pertumbuhan perguruan-perguruan ilmu kalam dan ilmu
fiqih, pertikaian antara aliran-aliran dan jumlah besar
hadis populer yang meluaskan, ataupun maksudnya menjelaskan
petunjuk-petunjuk pribadi dan gambaran kiamat dan akhirat
dalam Quran. Kira-kira pada akhir abad ketiga, telah
dilakukan untuk pertama kali pengumpulan dan pembahasan
bahan-bahan tadi oleh ahli agama dan sejarah al-Tabari (m.
923 M). Karangannya yang besar dalam tiga puluh jilid adalah
satu monumen kesalehan kesarjanaan yang tidak ada taranya
dalam zamannya, dan pada jenisnya. Karyanya telah meletakkan
dasar-dasar yang dapat digunakan para sarjana pada hari
kemudian untuk mengarang tafsir-tafsir yang lebih mendalam.
Banyak diantara tafsir-tafsir itu memiliki keutamaan
sendiri, misalnya, karya ahli paramasastra al-Zamachsjari
(m. 1143 M.). Ahli filsafat al-Razi (m. 1209 M.) dengan
menggunakan sistem pembahasan yang berlainan, dengan cara
yang lebih subyektif telah menulis ikhtisar
perbantahan-perbantahan tentang menafsirkan Quran selama
tiga abad setelah al-Tabari. Satu abad kemudian, al-Baidawi
(m. 1286 M.) telah mengumpulkan perbendaharaan tafsiran yang
ada menurut ilmu lughah, ilmu kalam, usul fiqih, dan menurut
naskah dalam suatu tafsir yang ringkas, hingga dewasa ini
merupakan karya baku. Tafsir-tafsir sunah yang modern dan
terjemahan Eropa, semuanya berdiri atas pundaknya!
Catatan kaki:
1 Sebagaimana lebih
disukai ahli tafsir muslimin: "Katakanlah, Allah itu satu".
Kata yang diterjemahkan dengan abadi, juga ditafsirkan
berlainan.
(sebelum,
sesudah)
|