|
BAB 5. SUNAH NABI MUHAMMAD SAW.
Pengumpulan dan penerbitan naskah Quran resmi ialah
langkah pokok dalam perkembangan Islam. Karya tadi tentu
akan dikerjakan pada waktu dekat atau kemudian, tetapi yang
menarik perhatian ialah karya tersebut dilaksanakan demikian
cepat dan tegas. Tindakan tadi juga sesuai dengan sikap
pikiran yang mengarahkan pandangan dan harapan, sebagai
akibat kegiatan generasi muslimin yang terdahulu. Suatu
sikap yang berpegang pada adat kebiasaan, sikap ahli sunah.
Ahli sunah sebagai mukmin menerima Islam sebagai suatu agama
sederhana dan praktis. Apabila ia seorang sarjana, maka ia
menganggap sebagai tugasnya untuk mengumpulkan sebanyak
mungkin ajaran-ajaran dan tingkah laku Nabi saw. Idamannya
ialah akan hidup menurut contoh Nabi saw., tanpa membahas
apa sebab dan tujuannya.
Dengan jiwa demikian, masyarakat Madinah yang terdahulu
dan murid-muridnya menerima pelajaran Quran dan warisan
Muhammad saw. dengan kegiatan yang tidak dikaburkan oleh
pandangan filsafat. Gambaran dalam Quran yang demikian
realistis tentang Tuhan, hubungan antara manusia dan Tuhan,
serta upacara dan ajaran peradaban yang diberikan oleh Nabi
saw. terus-menerus, telah cukup untuk iman dan ibadat
mukminin yang sederhana dan bertakwa. Diantara para pemimpin
Islam intelektual, pelajaran tadi hanya memberikan suatu
tahap kesalehan yang sederhana, primitif, yang dalam abad
berganti-ganti menjadi suatu tahap susunan secara sistem
pada waktu ilmu ketuhanan yang terurai diperbaiki dengan
pertolongan berbagai cara dan pengertian yang dapat masuk
akal.
Dalam abad pertama, ciri utama kegiatan keagamaan ialah
pengumpulan, penyiaran, dan penyerahan pasal-pasal yang
kecil tentang hidup dan amal Muhammad saw., khusus yang
bersangkutan dengan wahyu-wahyunya dan perkembangan umat
Islam. Karena pengaruh besar yang ditinggalkan oleh Nabi
saw. kepada penganutnya, kegiatan tadi adalah kegiatan yang
terjadi dengan sendirinya, tidak disebabkan oleh pengaruh
luar. Pusat pelajaran-pelajaran tadi tentu Madinah, tempat
tinggal tetap para sahabat dan paling pasti akan diperoleh
keterangan dari sumber asli.
Dalam zaman jahiliyah, adat istiadat juga telah memiliki
peranan penting dalam pergaulan penghidupan di tanah Arab.
Tiap suku bangga akan sunnah, adat istiadat leluhur yang
menurunkannya, dan akan kepatuhannya pada sunah tadi. Quran
menyebut sunah Allah yang tidak berubah dan mencela orang
Mekkah yang berpegang teguh pada sunah bapaknya. Umat Islam
juga mengembangkan sunahnya sendiri, dengan sistem yang
seharusnya tentang kebiasaan sosial dan hukum baik yang
diambil dari adat istiadat lama maupun yang telah diadakan
oleh Nabi saw. Dalam arti yang sebenarnya istilah itu hanya
dipakai untuk adat kebiasaan yang tidak difirmankan dalam
Quran. Sunah, dalam paham Islam, bermakna adat istiadat umat
yang telah ditinggalkan dengan lisan, untuk membedakannya
dari Kitab yakni buku tertulis.
Setelah penaklukan-penaklukan, maka sunah mulai
berkembang dalam pelbagai arah yang terpencar di
masing-masing tempat kedudukan orang Arab yang baru.
Bertentangan dengan takrif ini, ahli hadis tetap pada
pendapatnya bahwa istilah sunah hanya dapat dipakai
semestinya untuk kebiasaan yang dijalankan oleh Muhammad
saw. sendiri dalam bentuk anjuran, larangan yang tegas,
ataupun dengan contohnya. Akhirnya, tanggapan ahli hadis itu
yang unggul, walaupun masih ada bekas dari makna lama
terdapat dalam nama para Sunni atau ahl-sunnah 'penganut
sunah', yang dipakai bagi keseluruhan kelompok muslimin
ortodoks yang patuh, pada "adat istiadat umat" lawan mereka,
ahli Syiah, pengikut Ali ra. patuh juga pada. 'sunah Nabi
saw., tetapi berpendapat bahwa tingkah laku umat telah
melanggar hukum. Lawan sunnah adalah bid'ah atau pendapat
baru juga lebih mengandung pengertian penyelewengan adat
istiadat umat tertentu daripada penyelewengan kebiasaan Nabi
saw., walaupun tidak boleh disangsikan bagi kebanyakan ahli
sunah, keduanya adalah satu dan sama.
Sunah Nabi saw. telah ditinggalkan dalam bentuk riwayat
pendek yang diterangkan oleh salah seorang sahabat.
Misalnya,
"Uqbah bin Amir berkata: ''Seorang telah
mempersembahkan Jubah sutera kepada Nabi saw. yang
dipakainya waktu sembahyang; setelah salat selesai,
beliau menanggalkan jubah tersebut dengan keras dan
perasaan mual, seraya bersabda "Pakaian ini adalah tidak
patut bagi orang yang bertakwa!"
Riwayat demikian dinamakan hadis pernyataan. Hadis ialah
alat pengantar sunah, dan seluruh kumpulan sunah yang
dicatat dan disiarkan dalam bentuk hadis umumnya dinamakan
al-Hadith.
Dalam hadis sejarah tentang Muhammad saw., penyiaran,
pengoperan seorang kepada orang lain tidak begitu
diperhatikan, sebab isinya lebih penting daripada bentuk
kata-kata yang tepat. Perpindahan dari mulut ke mulut tidak
boleh dielakkan karena keadaan tulisan Arab primitif pada
waktu itu, walaupun beberapa oknum mungkin juga membuat
catatan tertulis hadis-hadis untuk keperluan mereka sendiri.
Adapun dalam dua atau tiga generasi sejumlah besar hadis
beredar meriwayatkan pernyataan-pernyataan Nabi saw. tentang
masalah hukum dan doktrin. Perhimpunan-perhimpunan keagamaan
dan politik menunjukkan kesediaan yang luar biasa untuk
menerbitkan pernyataan-pernyataan Nabi saw. bagi pembelaan
kepercayaannya yang khas, dan makin lama
pernyataan-pernyataan tadi bertambah mutlak dan mengenai
soal-soal kecil.
Teranglah bahwa sebetulnya hadis telah kebanjiran
pemalsuan; kadang-kadang dengan penerbitan dan penambahan
hadis-hadis lama yang asli, kerap kali dengan penemuan
sendiri. Para penganut pura-pura tidak melihat kejahatan
ini, lagi pula orang-orang saleh tidak segan-segan
memberikan kepercayaan kepada kata-kata yang menegaskan soal
akhlak dan doktrin. Ahli hadis mengembara hingga jauh
kemana-mana "untuk mengejar ilmu dan jumlah hadis bertambah
sesuai permintaan. Pepatah hukum, bahan Yahudi dan Kristen,
bahkan juga pepatah filsafat Yunani diriwayatkan telah
disabdakan oleh Nabi saw. Tidak ada batas dalam usaha
menghasilkan hadis-hadis.
Datang waktunya bagi, para ahli hadis yang
bersungguh-sungguh menyelenggarakan suatu sistem guna
mengawasi penyaringan hadis-hadis asli daripada jumlah besar
hadis-hadis palsu. Langkah pertama ialah minta kepada
periwayat (perawi) hadis untuk menyatakan sumbernya. Kalau
sumbernya bukan ia sendiri, seorang diantara para sahabat
diminta menerangkan sumber yang telah meneruskan riwayat
kepadanya. Tiap-tiap hadis didahului oleh serangkaian
tokoh-tokoh (sanad) yang kembali pada periwayat asli, dan
proses ini dinamakan isnad atau 'bantuan.' Hadis yang
dikutip diatas, misalnya, terdapat dalam dewan baku
al-Bukhari dengan isnad berikut:
Telah diriwayatkan kepada kami oleh Abdullah ibn
Jusuf, yang berkata, telah diriwayatkan kepada kami oleh
al-Laith, yang menerima ini dari Jazid yang menerima ini
dari Abu'I-Chair, yang menerima ini dari Uqbah ibn Amir
-- katanya
Berdasarkan asas tersebut, setapak demi setapak telah
dibangun suatu ilmu pengetahuan hadis dalam abad kedua dan
ketiga. Pimpinan, bagian mula dari perkembangan ini dipegang
oleh para alim ulama berhubung dengan keperluan mengadakan
landasan kuat bagi perumusan syariat, sebagaimana kemudian
akan kita lihat. Penelaahan secara ilmu kalam dan ilmu fiqih
tentang hadis-hadis dalam masa pertama bergandengan; tetapi
akhirnya berpencar hingga batas tertentu.
Keperluan pertama bagi ilmu baru itu adalah
keterangan-keterangan yang cukup tentang riwayat hidup para
perawi hadis, dengan perhatian khas akan tanggapan doktrin
mereka, dan hubungan mereka sebagai kawan hidup semasa.
Keterangan-keterangan tadi menerbitkan kepustakaan berjilid
banyak tentang para sahabat dan generasi-generasi sarjana
kemudian dalam bentuk kamus riwayat hidup, yang biasa diatur
menurut "golongan" yaitu muslimin generasi pertama
(sahabat), muslimin golongan generasi kedua (Tabi'in),
muslimin golongan generasi ketiga (Tabi'in dari Tabi'in),
dan lain sebagainya. Karya sejenis yang berpengaruh adalah
Buku Besar tentang Golongan-golongan oleh Ibu Sa'ad (m. 844.
M.) dalam delapan jilid. Setelah itu, tiap-tiap abad
diselenggarakan kamus riwayat hidup tidak hanya tentang ahli
hadis, akan tetapi juga tentang ahli fiqih, para kari, dan
para sarjana hampir semua jurusan.
Penggunaan khusus bahan-bahan riwayat hidup ini bagi
keperluan pembahasan hadis-hadis adalah tujuan suatu cabang
ilmu yang dinamakan "ilmu jarhi wa't-ta'dil" ilmu membantah
(penyaksian) dan membenarkan. Ilmu tersebut menyelidiki
keadaan jurusan perawi sifat akhlaknya, ketulusan hati, dan
kekuatan menghafalkan. Tidak boleh tidak penyelidikan itu
dimasuki oleh unsur subyektif, hingga pendapat pelbagai
tokoh seringkali tidak sesuai, dan boleh dikatakan hanya
sedikit perawi yang keluar dari pembahasan ini dengan
keterangan seluruhnya bersih dan baik. Cara meriwayatkan
dari perawi ke perawi dibahas juga di bawah pengawasan bahan
riwayat hidup. Dalam isnad yang dikutip diatas, misalnya,
dapat dicatat bahwa hanya dua perawi yang terakhir dapat
membuktikan penerimaan pribadi yang langsung dari seorang ke
seorang, sedang ketiga perawi dimukanya hanya "memperoleh
ini dari," atau "atas keterangan" si Anu, yang mengandung
kemungkinan adanya sela.
Akhirnya, sebagai hasil pembahasan tersebut diatas, maka
hadis-hadis digolongkan dalam salah satu dari derajat
berikut: sehat (sahih), baik (hasan), dan lemah (da'if).
Hadis yang sahih adalah hadis yang sanadnya kembali tanpa
sela hingga seorang sahabat dengan suatu rangkaian perawi
yang masing-masingnya dapat dipercayai. Hadis hasan adalah
hadis yang sanadnya, walaupun lengkap, memiliki suatu
sambungan yang lemah, akan tetapi dikuatkan oleh salinan
lain. Dalam tiap-tiap derajat diadakan pembaganan pula.
Sebenarnya ukuran untuk penilaian "hiasan" sangat berbeda.
Seluk beluk pembagian derajat tadi tidak perlu diuraikan di
sini. Kebanyakan dari karya tersebut ialah pekerjaan
generasi ahli hadis yang kemudian, setelah ilmu pembahasan
hadis telah kehilangan harganya guna sehari-hari, dan telah
berkembang menjadi latihan bagi orang sombong akan
pengetahuannya dengan cara mencari-cari.
Pendewaan hadis pertama secara tertulis sebetunya telah
dilakukan bagi tujuan hukum, bukan untuk pelajaran hadis.
Dalam tahun-tahun awal abad Islam yang ketiga, maka
pelajaran hadis membebaskan diri hingga batas tertentu dari
kebutuhan madrasah-madrasah syariat, dan tumbuh menjadi
suatu tata tertib pengajaran yang bebas. Hasil-hasil
pembahasan tadi digunakan secara segar dalam hukum. Akibat
pemusatan baru syariat dan hadis ialah penerbitan dalam
pertengahan abad yang sama dari dua himpunan pembahasan
hadis, keduanya menuntut gelar al-Sahih. Pengarangnya
masing-masing ialah al-Bukhari (m. 870 M.) dan Muslim (m.
875 M.). Kedua hasil karya tersebut dengan cepat mendapat
kewibawaan sebagai undang-undang agama. Kitab Sahih
al-Bukhari khususnya (meskipun kurang kritis), sejak itu
mendapat penghargaan dan kehormatan yang hanya dikalahkan
oleh Quran.
Berhubung dengan tempat yang diduduki oleh Kitab Sahih
al-Bukhari dalam perpustakaan agama Islam, hendaknya berguna
juga untuk menggambarkan kitab itu lebih mendalam. Karya
tersebut dibagi dalam 97 kitab, yang dibagi pula dalam 3.450
bab tiap kitab membahas satu soal umum dan luas tentang
iman, ibadat, muamalat, sebagai: salat, puasa, zakat,
warisan, jual beli, jaminan, perkawinan. Tiap-tiap bab (atau
pintu) memuat satu hingga lima atau enam hadis, beserta
kepala atau petunjuk pokok atau maksud isinya, dan acap kali
ditambahi ayat-ayat Quran atau kutipan dari hadis lain.
Kadang-kadang terdapat pula satu bab tanpa hadis, atau
dengan hadis tanpa petunjuk.
Tujuan al-Bukhari sebenarnya ialah menyediakan bagi ahli
fiqih dan tauhid hadis-hadis sahih yang telah disaring dan
dibahas dengan saksamanya tentang semua persoalan iman dan
tingkah laku yang disusun demikian hingga telah siap untuk
dikutip. Jumlah hadis yang didewankan kurang lebih 7.300
buah. Oleh karena beberapa diantaranya diulangi lebih satu
kali dengan kalimat lain, dapat diperhitungkan sejumlah
2.762 buah. Kemudian ada hadis yang meriwayatkan bahwa
al-Bukhari telah memilih jumlah tadi dari 200.000 hadis,
tanpa memperhitungkan puluhan ribu atau ratusan ribu yang
telah ditolaknya tanpa pembahasan --suatu keterangan yang
membuka rahasia (meskipun rupanya jumlah tersebut telah
dibesar-besarkan)-- tentang jumlah hadis palsu yang
banyak.
Dilihat sebagai keseluruhan, Kitab Sahih adalah suatu
karya kesarjanaan yang penting dan teliti. Hadis yang
berbunyi lain dicatat dengan saksama, hal-hal yang meragukan
atau sukar dalam sanad atau matn, isi hadis, semua diberi
tafsiran. Tiap-tiap pelajar yang waspada mendapat kesan luar
biasa dari kejujuran beserta kesalehan pembuatnya. Boleh
jadi, seperti telah dianjurkan, bahwa penghargaan umum
terhadap Sahih al-Bukhari itu disebabkan oleh fakta bahwa ia
telah mengumpulkan hadis-hadis yang diterima dalam kalangan
agama sebagai hasil proses penyelidikan secara kritis yang
dilakukan sebelumnya. Hal ini tidak dapat menyingkirkan
unsur jasa pribadi yang seakan-akan telah memberikan cap
kejujuran, pengesahan pada himpunan hadisnya.
Beberapa bagian Kitab Sahih telah diterjemahkan dalam
bahasa Inggris, tetapi satu-satunya terjemahan yang. lengkap
dalam satu bahasa Eropa ialah yang dibuat oleh Houdas dan
Marcais dalam bahasa Perancis. Boleh juga berguna untuk
memberikan ikhtisar isi kitab pertama yang hanya memuat satu
bab, walaupun, hal ini bukannya menjadi teladan buat
kitab-kitab lainnya. Petunjuknya berbunyi: "Bagaimana
permulaan wahyu telah sampai kepada utusan Tuhan dan firman
Allah (Mahatinggilah Nama-Nya): "Sesungguhnya Kami telah
mewahyukan kepada kamu, sebagaimana Kami telah mewahyukan
kepada Nuh. dan nabi-nabi sesudahnya." Tetapi langsung
setelah itu dan sebelumnya memasukkan hadis yang berkenaan
dengan petunjuk, diselipkan hadis masyhur yang dapat
dikembalikan dengan rangkaian perawi pada khalifah kedua,
Umar ra.
"Kudengar Rasul Allah bersabda: "Amal orang akan
diadili karena niatnya, dan untuk tiap-tiap orang hanya
apa yang telah dimaksudkannya. Barang siapa telah
berpindah yakni meninggalkan sukunya untuk menggabungkan
diri dengan umat Madinah untuk barang keduniawian, untuk
memperoleh barang tersebut, untuk seorang wanita guna
diperistri, maka perpindahannya (akan dihitung) hanya
bagi maksud, waktu ia akan berpindah."
Keperluan garis kurung ialah untuk memperingatkan ahli
hadis terhadap penggunaan arti kata hadis secara lahir dan
mekanis tanpa memperhatikan jiwanya yang terkandung di
dalamnya. Selanjutnya diberikan lima hadis; tiga buah yang
pendek sedikit dari A'isjah ra. istri Nabi saw. dan anak
saudaranya Ibn Abbas yang menggambarkan pengalaman dan wujud
lahir Nabi saw. waktu menerima dan membacakan wahyu-wahyu.
Hadis yang panjang dari A'isjah ra., dalam mana Muhammad
saw. memberitahukan permulaan tugasnya dengan penglihatan
Jibril dan kata-kata pertama dari wahyu; kemudian sebuah
hadis yang lebih panjang lagi dari Ibn Abbas merupakan suatu
bagian yang menjadi ciri hikayat kuno Islam terdahulu,
menghikayatkan suatu wawancara antara Kaisar Rum Heraklius
dan kepala-kepala penduduk Mekkah penyembah berhala tentang
Muhammad saw.
Janganlah dikira bahwa dengan terbitnya Sahih al-Bukhari
dan Muslim pengampulan hadis lantas dihentikan, sebaliknya
terjadi. Uraian sedalam-dalamnya tentang sistem hukum
membutuhkan ahli dalam jumlah besar persoalan, yang tidak
diatur baik dalam Quran maupun dalam Kitab Sahih yang dua
tadi. Para ahli kemudian mengumpulkan hadis-hadis, walaupun
kadang-kadang mereka harus melemahkan peraturan-peraturan
keras dan tegas tentang pembahasan hingga satu batas
tertentu. Lagi pula memasukkan beberapa hadis, yang diakui
kurang sahih ataupun yang (meskipun sebagai pengecualian)
lemah. Empat karya dari generasi yang menyusul kemudian
diterima sebagai perundang-undangan agama. Karya-karya itu
ada lah "Sunan empat" dari Abu Dawud (m. 888 M.), al-Nasa'i
(m. 915 M.), al-Tirmidhi (m. 892 M.), dan Ibn Madjah (m. 896
M.), yang dengan Sahih dua buah merupakan "Enam Kitab."
Beberapa lagi dilanjutkan pekerjaan pengumpulan hadis untuk
tujuan beraneka ragam, berbagai tingkat, dan rencana.
Beberapa diantara karya itu mendapat penghargaan dari para
sarjana, walaupun nilainya di bawah nilai dewan-dewan yang
disebutkan dahulu.
Bagi sarjana Barat rupanya teknik membahas hadis dengan
meneliti rangkaian perawi mempunyai beberapa kekurangan yang
penting. Kritik yang sering terdengar ialah cara memberikan
kemungkinan yang mudah untuk pemalsu membuat isnad, semudah
mereka menambahi atau mengurangi isi riwayat. Pandangan
demikian tidak memperhatikan kesukaran si pemalsu untuk
memperoleh isnad (dengan namanya pada akhir isnad) tadi
diterima dan diedarkan oleh para sarjana yang jujur dan
kenamaan. Harus diakui bahwa pembahas hadis-hadis tersebut
umumnya adalah orang jujur dan saleh, meskipun ada beberapa
muslimin sendiri yang menerangkan sebaliknya. Kritik yang
lebih beralasan bahwa teknik isnad hanya panjang lebar dalam
abad kedua. Apabila dilihat ajaran-ajaran al-Hasan dari
Basrah yang dibukukan merupakan contoh takwa seorang muslim
,pada akhir abad pertama, ternyata ia mengutip hadis-hadis
tanpa mengusahakan membuktikan keasliannya dengan isnad.
Luaslah buktinya yang menunjukkan bahwa caranya sendiri
telah tumbuh dari satu pertengkaran antara ahli hadis dan
alim ulama dari mazhab-mazhab yang lebih tua di Madinah dan
Irak, yang mematuhi sunah masyarakatnya sendiri. Selama
pertengkaran itu berjalan, banyaklah keputusan hakim dan
hadis-hadis yang diterima dan baru saja diedarkan, atau
diambil dari ahli-ahli yang kemudian, telah diberikan isnad
resmi yang kembali hingga Nabi saw. lebih kurang pemalsuan.
Ahli sejarah sebaliknya menggunakan cara yang sama untuk
memperbaiki isnad-isnad, bahan-bahan mereka yang berkenaan
dengan hidup dan gerak gerik Nabi saw. walaupun berlainan,
mereka kurang membutuhkan menambah hadis-hadis yang sudah
ada dengan penemuan yang baru.
Menghadapi fakta-fakta itu, sejumlah pembahas Eropa telah
mendukungh penolakan yang lebih kurang radikal dari seluruh
sistem sebagai ciptaan buatan dari perguruan keagamaan Islam
pada waktu kemudian. Tetapi sanggahan itu berlebih-lebihan.
Sanggahan tadi berdasarkan dugaan bahwa pembahasan hadis
berasaskan ukuran dan pertimbangan isnad. Sebenarnya bukan
demikian halnya. Dalam pada itu terdapat suatu persamaan
yang aneh antara pertumbuhan hadis dan naskah-naskah
(dokumen) Kristen tertua, yang boleh dinamakan (dalam bahasa
istilah Islam) hadis Kristen. Perbandingan antaranya
menghasilkan juga perbedaan penting. Sedang dalam peradaban
dengan kebiasaan kesusasteraan tertulis, tulisan-tulisan
Kristen yang terdahulu dan yang kemudian diterbitkan atas
nama pengarang yang sebenarnya ataupun menurut dugaan; di
dalam kesusasteraan Arab yang diedarkan dari mulut ke mulut
berkenaan dengan syair-syair, Quran (sebab Quran masih
diajarkan dengan lisan) dan hadis (satu-satunya cara untuk
menyiarkan perkembangan kemudian dan pengluasan doktrin yang
primitif adalah untuk mengenakannya pada hadis).
Para sarjana Islam insaf akan hal itu. Dalam cara yang
khas, pengakuan itu dinyatakan oleh Nabi saw. sendiri dalam
beberapa hadis, misalnya, "Barang siapa yang telah dikatakan
tentang ucapan baik, itulah yang kami ucapkan", atau
"Sepeninggal kami maka kata-kata yang dikatakan diucapkan
oleh kami akan berlipat ganda
Barang apa juga yang
diberitahukan kepadamu sebagai ucapanku, bandingkanlah
dengan Kitab Allah; barang apa yang sesuai dengan Kitab itu
adalah dari kami, biarpun kami sebenarnya yang mengucapkan
ataupun tidak." Pada pihak lain banyaklah alim ulama yang
merasa cemas akan jalannya penemuan dan pemalsuan hadis.
Namun, mereka tidak dapat menemukan jalan untuk menyatakan
protesnya, selain dari menempatkannya dalam bentuk hadis
"Barang siapa akan mengulangi ucapan kami yang bukannya kami
ucapkan, akan ditempatkan di jalan Neraka"; suatu hadis yang
menemukan jalannya dalam waktu singkat masuk dalam kumpulan
dewan.
Dalam hal itu, sebagaimana acap kali terjadi dalam dunia
kesarjanaan Islam terdapatlah suatu kepincangan yang tidak
dinyatakan tertentu antara proses ke luar yang resmi dan
kenyataan-kenyataan ke dalam. Kritik atas isnad tidak boleh
diragukan memiliki unsur buatan, yang menyembunyikan (atau
lebih jelas mengurai menurut akal) suatu proses yang panjang
tentang kecaman isi hadis sendiri. Juga al-Bukhari telah
memasukkan dalam sahihnya sejumlah hadis yang tidak
mencukupi syarat-syarat resmi tentang keaslian. Pembenaran
yang nyata dari sistem tadi bersegi dua. Pertama, pembenaran
memberikan persetujuan resmi pada hasil-hasil yang telah
dicapai oleh para sarjana abad kedua dalam menyatakan apa
yang telah dirasa sebagai pendirian Islam dan doktrin.
Sewaktu melabuhkan sauh hasil-hasil tadi dengan jalan
menuliskannya sebagai asal dari Muhammad saw. Kedua,
pembenaran itu telah memberikan jaminan yang cukup buat hari
kemudian terhadap penyusunan hadis yang dicurigai. Apabila
isinya hanya mengenai hal akhlak dan khotbah belaka para
muhaddithun atau ahli dalam ilmu cabang yang baru ini
condong bermurah hati; tetapi peraturan penelaah dipakai
lebih teliti terhadap hadis yang berkenaan dengan masalah
tauhid, syariat, dan ibadat. Dalam masalah-masalah itu para
alim ulama patut curiga; dan ahli fiqih ortodoks yang
kemudian, sebagaimana kita telah ketahui (h. 72), harus
memperoleh sebaik-baiknya bahan yang diperlukan.
Benar juga pada lain pihak bahwa para sarjana dari abad
ketiga yang mendapatkan suatu hadis yang sempurna menurut
syarat-syarat yang diterima dalam kalangan alim ulama
umumnya sebagai asli, hanya dengan susah dapat menolak hadis
tadi atau menanyakan kejujurannya. Oleh karena itu, banyak
hadis yang telah dicurigai karena hal-hal lain (seperti
riwayat Heraklius dengan penduduk Mekkah) telah dimasukkan
dalam Kitab-kitab Sahih dan dalam karyanya lain mengenai
ilmu agama, misalnya, dalam tafsir Quran oleh at-Tabari.
Dewan-dewan terdahulu telah memuat dasar tertentu dari
hikayat-hikayat kesalehan lama, dan banyak bahan tentang
peradaban dan wejangan baru yang tumbuh dalam masyarakat
Islam sebagai akibat perluasannya dan pertemuannya dengan
peradaban yang lebih tua di Asia Barat; namun sejumlah besar
hadis-hadis yang diajukan oleh aliran-aliran dalam abad
pertama dan kedua, hanya terdapat dalam himpunan-himpunan
yang kurang nilainya dan keamanannya. Pertimbangan dan
ukuran yang dipakai oleh ahli hadis terdahulu dengan
segala-galanya dapat dipandang sebagai kekurangan dalam cara
mereka, sedikit-dikitnya telah dapat menyisihkan dengan
tegas bagian terbesar hadis yang digunakan untuk propaganda
dalam abad pertama dan kedua, seperti hadis-hadis yang
menyokong doktrin kaum Syi'ah atau tuntutan Bani Abbas, atau
yang meramalkan kedatangan al-Mahdi.
Para sarjana dan himpunan-himpunan yang datang kemudian
adalah salah satu paradoks dalam sejarah ilmu pengetahuan
Islam, bahwa tepat pada waktu peraturan tata tertib dalam
penelitian hadis bertambah cermat, sifat kritis pengecam
kelompok besar dari alim ulama dan pengarang makin
berkurang. Dalam abad-abad selanjutnya penemuan yang paling
terjamin dikutip dan diterima tanpa kebimbangan. Keadaan itu
sebaliknya membawa pengaruh buruk dalam pembahasan secara
ilmiah. Akibatnya ialah bagi kumpulan-kumpulan terakhir,
alat isnad seluruhnya dibuang atau dikurangi hingga nama
perawi pertama, dan petunjuk apakah hadis tadi sehat, baik,
atau lemah belaka.
Tempat yang diduduki hadis dalam pembentukan syariat dan
tauhid akan diterangkan dalam bab-bab yang menyusul. Sebelum
mengakhiri pembicaraan tentang perkembangan hadis, perlu
dicatat segi lain dari proses ini. Sebagaimana juga dengan
naskah-naskah hadis Kristen, tugas kesarjanaan
pembahas-pembahas tidak hanya mengasingkan unsur-unsur
primitif dalam hadis, akan tetapi juga mengikuti
perkembangan pikiran dan amal (praktek) masyarakat Kristen
dalam generasi-generasi berturut-turut. Demikianlah
pembahasan hadis tidak hanya cukup dengan menetapkan sampai
mana hadis tadi menggambarkan ajaran dan amal Muhammad saw.
dan masyarakat Madinah yang sederhana dan tulen. Hadis itu
juga merupakan cermin yang memantulkan senjata-nyatanya
pertumbuhan dan perkembangan Islam sebagai suatu cara hidup
masyarakat Islam yang besar. Dari sudut sejarah, sebenarnya
unsur-unsur yang palsu dan penemuan baru dalam sejumlah
hadis yang terdahulu dan semua hadis yang kemudian,
memberikan hadis-hadis tersebut nilai istimewa sebagai
dokumen.
Oleh karena itu, sekarang terbuka kemungkinan mengikuti
dalam hadis perjuangan antara pengikut Bani Umayah dan
kelompok yang melawan di Madinah, pertumbuhan Syi'ah,
perpecahan dalam aliran-aliran, usaha Bani Abbas untuk
menegakkan haknya akan khilafah karena warisan, timbulnya
pertentangan dalam ilmu tauhid, dan permulaan ajaran pokok
ahli Sufi. Dalam dewan besar, ulama ortodoks Ahmad ibn
Hambal (m. 855 M.) yang berisikan lebih kurang 30.000 hadis,
semuanya dimasukkan. Kemudian berbagai pergerakan Islam
cenderung mengadakan kumpulan hadisnya sendiri-sendiri;
khusus orang Syi'ah dalam abad yang menyusul menyusun karya
bakunya sendiri, menolak hadis ahli sunah, serta hanya
mengakui hadis yang asalnya dari Ali ra. dan
penganut-penganutnya.
(sebelum, sesudah)
|