|
1. JALAN ISLAM YANG TERBUKA
Salah satu slogan yang paling khas dari zaman kita ini
adalah "menaklukkan ruang". Alat-alat perhubungan telah
dikembangkan jauh melampaui impian generasi-generasi
sebelumnya; dan alat-alat baru ini telah menggerakkan
peralihan barang-barang yang jauh lebih cepat dan jauh lebih
luas daripada yang pernah dikenal dalam sejarah ummat
manusia sebelumnya. Perkembangan ini menyebabkan saling
bergantungnya bangsa-bangsa dalam bidang perekonomian. Tidak
ada satu bangsa atau satu golongan sekarang yang dapat
bertahan untuk tetap terpencil dari bagian dunia lainnya.
Perkembangan ekonomi tidak lagi terbatas secara lokal;
sifatnya telah menjadi seluas dunia. Sekurang-kurangnya
dalam kecenderungannya mengabaikan batas-batas politik dan
jarak-jarak geografis. Ini membawa dengan sendirinya --dan
boleh jadi ini bahkan lebih penting daripada, segi material
masalah itu-- keperluan yang terus bertambah dari suatu
penyaluran bukan saja barang-barang dagangan tetapi juga
pikiran dan nilai-nilai kultural. Tetapi sementara kedua
kekuatan itu, kekuatan ekonomik dan kultural, sering
berjalan bergandengan, ada perbedaan dalam hukum
dinamikanya. Hukum-hukum dasar ekonomi menuntut bahwa
pertukaran barang antara bangsa-bangsa berlaku timbal balik;
ini berarti bahwa tidak ada satu bangsa yang dapat berlaku
sebagai pembeli saja sedang bangsa-bangsa lain tetap sebagai
penjual; lambat laun masing-masing dari bangsa itu harus
melakukan dua peranan sekaligus, saling memberi dan
menerima, baik secara langsung atau melalui perantaraan
pelaku-pelaku lain dalam panggung kekuatan-kekuatan
ekonomik. Tetapi dalam bidang kultural hukum besi pertukaran
ini tidak mesti berlaku, sekurang-kurangnya tidak selalu
tampak; ini berarti bahwa penyaluran idea-idea dan
pengaruh-pengaruh kultural tidak mesti berdasar di atas
prinsip memberi dan menerima. Adalah berhubungan dengan
sifat manusia bahwa bangsa-bangsa dan peradaban yang secara
politik dan ekonomi lebih kuat menjadi suatu penarik yang
kuat atas golongan yang lebih lemah atau kurang aktif dan
mempengaruhinya dalam bidang intelektual dan kemasyarakatan,
sedang yang kuat itu sendiri tidak terpengaruh. Demikianlah
keadaan sekarang mengenai perhubungan antara Barat dan dunia
Islam.
Dari sudut pandangan peninjau historik pengaruh yang kuat
dan sepihak yang dilakukan peradaban Barat atas dunia Islam
pada saat ini sama sekali tidak mengherankan, karena ini
merupakan hasil suatu proses sejarah yang panjang; untuk itu
kami berikan beberapa analogi di bagian lain. Tetapi
sementara ahli sejarah itu mungkin puas sekedar itu, bagi
sebagian kita masalah ini tetap tidak terpecahkan. Bagi kita
yang bukan hanya sekedar penonton-penonton yang tertarik
tetapi merupakan pelaku-pelaku yang sebenarnya dari drama
ini, bagi kita yang memandang diri kita sebagai
pengikut-pengikut Nabi Muhammad saw., masalah ini sebenarnya
mulai dari sini. Kita percaya bahwa Islam, tidak seperti
agama-agama lain, Islam bukan hanya sikap spiritual,
daripada jiwa yang dapat diterapkan pada berbagai-bagai
bingkai kultural yang berbeda-beda, tetapi merupakan satu
orbit yang lengkap dan satu sistem kemasyarakatan dengan
pandangan-pandangan yang mempunyai batasan yang terang.
Apabila, seperti halnya sekarang, suatu peradaban asing
meluaskan pengaruhnya ke tengah-tengah kita dan menyebabkan
perubahan-perubahan tertentu dalam tubuh kultural kita
sendiri, kita wajib menerangkan pada diri kita apakah
pengaruh asing itu berjalan ke arah kemungkinan-kemungkinan
kultural kita sendiri atau bertentangan; apakah pengaruh
asing itu berperan sebagai serum yang menguatkan tubuh
kultur Islam atau sebagai racun.
Jawaban atas pertanyaan ini hanya dapat diperoleh melalui
analisa. Kita harus menemukan kekuatan-kekuatan dasar dari
kedua peradaban ini --peradaban Islam dan Barat modern-- dan
kemudian menyelidiki sejauh mana kerja sama antara keduanya
dapat dilaksanakan. Dan karena peradaban Islam pada
hakekatnya adalah peradaban agama, pertama-tama kita harus
berusaha memberikan definisi pengaruh umum agama dalam
kehidupan manusia.
Apa yang kita namakan "sikap agamawi" adalah akibat alami
dari konstitusi intelektual dan biologik. Manusia tidak
sanggup menerangkan pada dirinya sendiri rahasia hidup,
rahasia lahir dan mati, rahasia ketidakterbatasan dan
keabadian. Pemikirannya terhenti di hadapan dinding-dinding
yang tak tertembus. Oleh karena itu ia hanya dapat melakukan
dua hal. Yang satu adalah meninggalkan segala usaha untuk
memahami hidup secara keseluruhan. Dalam hal ini manusia
akan bersandar atas bukti pengalaman-pengalaman lahir saja
dan akan membatasi kesimpulan-kesimpulannya pada bidangnya.
Dengan demikian ia hanya sanggup mengerti fragmen-fragmen
tunggal daripada hidup, yang mungkin bertambah jumlahnya dan
bertambah jelasnya secepat atau selambat pertambahan
pengetahuan manusia tentang alam, tetapi bagaimanapun juga
selalu hanya akan tetap tinggal fragmen-fragmen --cakupan
dari keseluruhannya tetap di luar perlengkapan metodik
pemikiran manusia. Inilah jalan yang ditempuh ilmu-ilmu
pengetahuan alam. Kemungkinan lainnya --yang mungkin
bergandengan dengan jalan ilmiah-- adalah jalan agama.
Agama membimbing manusia dengan jalan pengalaman batin,
kebanyakan secara intuitif, kepada penerimaan keterangan
yang seragam tentang hidup pada umumnya atas dasar pandangan
bahwa ada satu Kuasa Kreatif yang maha tinggi yang mengatur
alam semesta menurut suatu rencana sebelumnya di atas dan di
luar kesanggupan pengertian manusia. Seperti baru
dikatakan, konsepsi ini tidak perlu menjauhkan manusia dari
penyelidikan tentang fakta-fakta dan fragmen-fragmen hidup
seperti yang dapat disaksikan dengan peninjauan lahir. Tidak
mesti ada suatu antagonisme antara pengertian lahir yang
ilmiah dan penerimaan pengertian batin yang religius. Tetapi
yang disebut penerimaan pengertian religius dalam
kenyataannya adalah satu-satunya kemungkinan pemikiran untuk
memahami seluruh hidup sebagai kesatuan esensi dan kekuatan
dasar; singkatnya, sebagai satu keseluruhan yang berimbang,
yang harmonis. Kata "harmonis" walaupun sudah sangat sering
disalahgunakan, adalah sangat penting dalam hubungan ini
karena ia mencakup sikap yang bersangkutan dalam manusia
sendiri. Orang religius tahu bahwa segala apa yang terjadi
padanya dan dalam dirinya tidak pernah dapat merupakan hasil
permainan buta dari kekuatan-kekuatan tanpa
kesadaran-kesadaran dan tujuan; ia percaya bahwa itu datang
dari kehendak Tuhan yang sadar semata-mata dan oleh karena
itu secara organik terpadu dengan rencana semesta alam.
Dalam jalan ini manusia diberi kesanggupan untuk memecahkan
pertentangan pahit antara wujud manusia --self-- dan dunia
obyektif tentang fakta-fakta dan wajah-wajah lahir yang
disebut alam. Makhluk manusia dengan segala mekanisma
jiwanya yang rumit, dengan segala hasrat-hasrat dan
ketakutan-ketakutannya, perasaan-perasaan dan ketidakpastian
spekulatifnya, melihat dirinya dihadapkan pada suatu alam di
mana kemurahan dan kekejaman, bahaya dan ketenteraman,
tercampur aduk dalam satu cara yang dahsyat yang tak
teruraikan dan seperti bekerja atas garis-garis yang
tampaknya berbeda dari metoda-metoda dan struktur pikiran
manusia. Falsafah intelektual murni atau ilmu pengetahuan
eksperimental melulu tidak pernah sanggup memecahkan konflik
ini. Inilah justeru titik di mana agama melangkah
masuk.
Dalam sinar persepsi religius dan pengalaman, wujud
manusia yang sadar-diri dan alam yang bisu yang tampaknya
tampaknya tidak bertanggungjawab dibawa ke dalam satu
hubungan harmonis spiritual: karena keduanya, kesadaran
individu manusia dan alam yang melingkungi dia serta yang
ada dalam dirinya, tidaklah lain daripada
manifestasi-manifestasi yang setara, kalaupun berbeda, dari
Kehendak Kreatif yang Satu dan sama. Maka manfaat besar
yang diberikan agama seperti itu atas manusia adalah
penyadaran bahwa ia selalu, dan tidak pernah dapat terlepas,
dari satu kesatuan yang terencana baik dari gerak abadi
Pencipta: suatu bagian tertentu dalam organisme yang tidak
terbatas dari bagan Rencana Universal. Konsekuensi
psikologik dari konsepsi ini adalah suatu perasaan yang
dalam dari kepastian spiritual --yang berimbang antara harap
dan takut yang membedakan manusia religius yang positif
-apapun agamanya- dari manusia tidak religius.
Posisi dasar ini sama-sama terdapat pada seluruh
agama-agama besar, apapun doktrin-doktrin spesifiknya; dan
yang sama pula bagi semua agama-agama besar itu adalah
panggilan moral kepada manusia untuk menyerahkan dirinya
kepada Kehendak Tuhan yang nyata itu. Tetapi Islam, dan
hanya Islam saja, melampaui penerangan dan dorongan teoritik
ini. Islam tidak saja mengajarkan kepada kita bahwa hidup
pada keseluruhannya adalah satu dalam hakekatnya
--karena berasal dari Tuhan Yang Maha Esa-- tetapi Islam pun
menunjukkan kepada kita jalan praktis betapa setiap orang
dari kita dapat berkembang, dalam batas-batas individualnya,
kesatuan pikiran dan tindakan, baik dalam wujudnya maupun
dalam kesadarannya. Untuk mencapai tujuan hidup yang
tertinggi itu, dalam Islam, manusia tidak dipaksa untuk
menyangkali dunia; tidak ada kekerasan dituntut untuk
membuka pintu rahasia menuju pemurnian spiritual, tidak
ada penekanan atas pikiran untuk percaya pada dogma-dogma
yang tak dapat dimengerti untuk menjamin penyelamatan.
Hal-hal semacam itu sama sekali asing bagi Islam karena
Islam bukanlah doktrin mistik dan bukan pula falsafah. Islam
adalah program hidup sesuai dengan hukum-hukum alam yang
telah ditetapkan Allah atas penciptaan-Nya; dan hasil
capaiannya yang paling tinggi ialah koordinasi yang sempurna
daripada aspek-aspek spiritual dan material kehidupan
insani. Dalam ajaran-ajaran Islam kedua aspek ini bukan saja
"dipertemukan" satu sama lain dalam pengertian tidak
meninggalkan konflik yang menempel antara kehidupan jasadi
dan moral manusia, tetapi kenyataan dari kerjasamanya dan
paduannya yang tak dapat dipisahkan ditekankan sebagai basis
hidup yang alami.
Ini, saya pikir, adalah hikmah dari bentuk shalat yang
khas dalam Islam, dimana konsentrasi spiritual dan gerak
jasmani tertentu saling terkordinasi. Kritikus-kritikus yang
bersifat bermusuhan terhadap Islam selalu menilik cara
shalat itu sebagai bukti atas tuduhan mereka bahwa Islam
adalah agama formalisma dan lahiriah. Dan dalam kenyataannya
ummat agama lain, yang memisahkan "rohani" dan "jasadi"
hampir dalam cara yang sama sebagai tukang susu memisahkan
krim dari susu, tidak mudah memahami bahwa dalam susu Islam
asli, yang tidak dicedok, kedua unsur itu walaupun berbeda
dalam konstitusinya, namun sama-sama hidup secara harmonis
dan sama menyatakan dirinya. Dalam kata-kata lain shalat
dalam Islam terdiri dari konsentrasi mental dan gerak-gerik
jasadi karena kehidupan insani sendiri adalah paduan semacam
itu, dan karena kita diharapkan untuk mendekati Allah
melalui keseluruhan dari segala karunia yang telah
dianugerahkan-Nya kepada kita.
Suatu gambaran lebih lanjut dari sikap ini dapat dilihat
dalam ibadah thawaf, upacara mengelilingi Ka'bah di Makkah.
Karena upacara itu termasuk dalam upacara wajib bagi setiap
orang yang menjalankan ibadah haji ke kota suci itu tujuh
kali mengelilingi Ka'bah, dan karena pelaksanaan ibadah ini
adalah satu dari ketiga pokok terpenting dari ibadah haji,
maka patutlah kita bertanya: Apa hikmahnya ini? Apakah perlu
kita menyatakan pengabdian kita dalam cara formal semacam
itu?
Jawabannya sangat jelas. Apabila kita bergerak mengikuti
satu lingkaran, maka dengan begitu kita menempatkan obyek
itu sebagai titik pusat tindakan kita. Ka'bah, ke mana
setiap Muslim menghadapkan mukanya setiap shalat,
melambangkan keesaan Tuhan. Gerak jasadi orang-orang yang
menjalankan ibadah haji dalam thawaf itu melambangkan
aktivitas hidup manusia, bukan saja pikiran-pikiran
pengabdian kita tetapi juga kehidupan praktek kita, tindakan
dan usaha-usaha kita, harus mengandung idea tentang Allah
dan keesaan-Nya sebagai pusatnya --sesuai dengan kata-kata
al-Qur'an:
"Tidak Aku ciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka mengabdi kepada-Ku." (Qur'an Suci, 51: 56).
Jadi konsepsi-konsepsi ibadah dalam Islam berbeda dari
konsepsi agama-agama lain. Di sini konsepsi ibadah itu tidak
dibatasi pada praktek-praktek yang bersifat ibadah murni
seperti shalat, puasa, tetapi juga mencakup seluruh praktek
kehidupan manusia. Apabila tujuan hidup kita adalah mengabdi
kepada Allah maka perlulah kita memandang hidup ini, dalam
keseluruhan aspek-aspeknya, sebagai satu tanggung jawab
moral yang kompleks. Maka seluruh tindakan kita, bahkan yang
tampaknya kecil, harus dilakukan sebagai tindakan
pengabdian, yaitu dilakukan dengan sadar sebagai bagian dari
rencana universal Tuhan. Hal-hal semacam ini merupakan suatu
ideal jauh bagi manusia yang berkesanggupan biasa; tetapi
bukankah tujuan agama adalah memberikan ideal-ideal kedalam
kehidupan nyata?
Posisi Islam dalam pandangan ini tidak mungkin keliru.
Islam pertama-tama mengajarkan kepada kita bahwa pengabdian
permanen kepada Allah dalam segala tindakan yang aneka ragam
dari kehidupan manusia adalah maksud sesungguhnya daripada
hidup ini; dan kedua, bahwa maksud ini tetap tidak akan
mungkin tercapai selama kita membagi hidup kita dalam dua
bagian, yaitu yang spiritual dan material: keduanya harus
terpadu bersama-sama dalam kesadaran dan tindakan kita,
kedalam satu keseluruhannya yang harmonis. Pengertian kita
tentang keesaan Allah harus direfleksikan kedalam perjuangan
kita ke arah kordinasi dan penyeragaman dari berbagai aspek
kehidupan kita.
Suatu konsekuensi logis dari sikap ini adalah perbedaan
selanjutnya antara Islam dan semua sistem agama yang dikenal
lainnya. Ini akan diperoleh dalam kenyataan bahwa Islam,
sebagai satu ajaran, menjamin untuk memberi batasan bukan
saja hubungan metafisik antara manusia dan Penciptanya
tetapi juga --dan dengan tekanan yang hampir tidak kurang
kuatnya-- hubungan duniawi antara individual dan lingkungan
masyarakatnya. Kehidupan duniawi tidaklah hanya dianggap
sebagai kulit kerang kosong, sebagai bayangan tidak berarti
dari hari akhirat yang akan datang, tetapi sebagai satu
keseluruhan positif yang padu. Allah sendiri adalah Satu dan
Esa, bukan saja dalam hakekat tetapi juga dalam tujuan; dan
oleh karena itu ciptaan-ciptaan-Nya adalah satu kesatuan,
mungkin dalam hakekatnya, tetapi pasti dalam tujuannya.
Ibadah kepada Allah dalam pengertian yang luas yang
diterangkan di atas, menurut Islam, memberi arti hidup
manusia. Dan konsepsi ini saja yang menunjukkan kepada kita
kemungkinan bagi manusia mencapai kesempurnaan dalam
kehidupan duniawi manusia individual. Dari segala sistem
agama hanya Islam saja yang menyatakan bahwa kesempurnaan
individual dapat dicapai dalam kehidupan duniawi kita. Islam
tidak menangguhkan menepati ini hingga sesudah penindasan
apa yang disebut hasrat-hasrat 'jasadi' seperti ajaran
Kristen; tidak pula Islam menjanjikan suatu rangkaian
belenggu reinkarnasi atas tingkat yang terus menaik seperti
dalam Hinduisme; tidak pula Islam setuju dengan ajaran
Budhisme yang mengajarkan bahwa penyempurnaan dan
penyelamatan hanya dapat dicapai melalui pemusnahan wujud
individual dan hubungan emosionalnya dengan dunia. Tidak,
Islam memberi tekanan dalam penegasan bahwa manusia dapat
mencapai kesempurnaan dalam kehidupan duniawi individualnya
dan dengan membuat kegunaan penuh dari segala
kemungkinan-kemungkinan duniawi dari hidupnya.
Untuk menjauhkan salah pengertian, kata "sempurna" harus
diberi batasan dalam pengertian yang dipergunakan di sini.
Sejauh berhubungan dengan makhluk manusia, yang terbatas
secara biologik, kita tidak dapat memandang idea
kesempurnaan yang "mutlak" karena segala yang mutlak hanya
termasuk milik sifat Allah saja. Kesempurnaan manusia dalam
pengertian psikologik dan moral harus mengandung arti
relatif dan individual. "Sempurna" di sini tidak berarti
memiliki segala sifat-sifat yang dapat dibayangkan, bahkan
tidak pula mengandung arti pengambilan secara progresif akan
sifat-sifat baru dari luar, tetapi semata-mata pengembangan
sifat-sifat dari individual yang telah ada dan positif dalam
cara demikian rupa sehingga membangkitkan kekuatan-kekuatan
yang ada dalam dirinya yang apabila tidak demikian akan
tetap tidur. Berhubung dengan aneka ragam yang alami dari
gejala-gejala hidup, sifat-sifat asli manusia berbeda dalam
setiap diri individual. Oleh karena itu maka akan keliru
apabila kita menganggp bahwa seluruh makhluk manusia harus
atau bahkan dapat berjuang ke arah tipe kesempurnaan yang
satu dan sama --tepat sebagaimana akan keliru untuk
mengharapkan seekor kuda pacuan sempurna dan seekor kuda
beban sempurna akan memiliki sifat-sifat yang sama. Keduanya
mungkin sempurna dan memuaskan secara individual, tetapi
keduanya akan berbeda, karena karakter aslinya berbeda.
Demikian pula halnya dengan makhluk manusia. Apabila
kesempurnaan harus diberi ukuran dalam tipe tertentu
--seperti Kristen memberi ukuran dalam tipe pertapa suci--
manusia akan harus menyerah atau mengubah atau menindas
perbedaan-perbedaan individual mereka. Tetapi ini jelas akan
memperkosa hukum Ilahi tentang aneka ragam individual yang
menempati segala kehidupan di atas muka bumi ini. Oleh
karena itu Islam, yang bukan agama penindasan, memberikan
kepada manusia, suatu wilayah yang sangat luas dalam
kehidupan perorangan dan kemasyarakatan, sehingga
sifat-sifat yang aneka ragam itu, tabiat-tabiat dan
kecenderungan psikologik dari individu-individu yang
berbeda-beda akan mendapatkan jalannya ke arah perkembangan
positif sesuai dengan pembawaan individualnya masing-masing.
Dengan demikian seseorang mungkin bersifat pertapa, atau ia
boleh menikmati ukuran penuh dari kemungkinan-kemungkinan
penyaluran nafsunya dalam batas-batas yang dibenarkan oleh
hukum; ia mungkin seorang pengembara di padang-padang gurun
tanpa bekal makanan untuk hari esok atau seorang kaya yang
dikelilingi harta kekayaannya. Selama ia secara jujur dan
sadar patuh pada hukum-hukum perintah dan larangan Allah, ia
bebas membentuk hidup individualnya ke arah bentuk apa yang
diarahkan oleh alam insaninya. Kewajibannya adalah membuat
dirinya sebaik mungkin sehingga ia dapat menghormati
anugerah hidup yang dikaruniakan Penciptanya kepadanya, dan
menolong hidup sesamanya dengan jalan perkembangan dirinya
sendiri, dalam usaha-usaha spiritual, sosial dan material
mereka. Tentang bentuk dari kehidupan individualnya
sekali-kali tidak dipastikan oleh suatu ukuran. Ia bebas
membuat pilihannya dari antara segala
kemungkinan-kemungkinan halal yang tidak terbatas yang
terbuka baginya.
Basis dari "liberalisme" ini dalam Islam terdapat dalam
konsepsi bahwa alam insani asli pada hakekatnya baik,
berlawanan dengan idea Kristen bahwa manusia dilahirkan
dengan dosa, atau ajaran Hindu bahwa manusia asalnya rendah
dan tidak suci dan terpaksa dengan pahitnya melalui rantai
transmigrasi-transmigrasi reinkarnasi yang panjang menuju
tujuan terakhir kesempurnaan, ajaran Islam menegaskan bahwa
manusia dilahirkan suci dan --dalam pengertian yang
diterangkan di atas-- sempurna secara potensial. Ini
dikatakan dalam al-Qur'an:
"Sesungguhnya telah Kami ciptakan manusia dalam
struktur yang sebaik-baiknya,"
tetapi dalam nafas yang sama ayat itu dilanjutkan:
"dan kemudian kami turunkan dia pada kerendahan
yang serendah-rendahnya; kecuali mereka yang beriman dan
beramal shaleh
" (Qur'an Suci, 95: 4-6).
Dalam ayat ini dilahirkan doktrin bahwa manusia pada
aslinya baik dan suci dan dinyatakan pula bahwa ketiadaan
iman kepada Allah dan tidak adanya amal baik akan
menghancurkan kesempurnaan aslinya. Sebaliknya manusia dapat
mempertahankan atau memperoleh lagi kesempurnaan asli
individual itu apabila ia menyadari dengan insaf akan
keesaan Allah dan berserah diri pada Hukum-hukum Ilahi. Jadi
menurut Islam kejahatan itu sama sekali bukan hakiki atau
asli; kejahatan itu adalah akibat yang diperoleh dari
kehidupan manusia kemudiannya, dan disebabkan oleh
penyalahgunaan sifat-sifat asli dan positif yang telah
dikaruniakan Allah pada setiap individu makhluk manusia.
Sifat-sifat itu adalah, seperti telah dikatakan lebih
dahulu, berbeda dalam diri setiap diri individu tetapi
selalu sempurna secara potensial dalam diri sendiri; dan
perkembangannya yang penuh adalah mungkin dalam jangka waktu
kehidupan manusia individu di muka bumi ini. Kita memang
membenarkan bahwa kehidupan sesudah mati, berhubung dengan
kondisinya yang diubah tentang perasaan-perasaan kesadaran,
akan memberikan pada kita sifat-sifat dan
kesanggupan-kesanggupan lain yang sama sekali baru yang
masih memungkinkan suatu kemajuan baru bagi jiwa manusia,
tetapi ini hanya menyangkut kita dalam kehidupan kita di
hari kemudian saja. Dalam kehidupan di dunia ini juga,
ajaran Islam secara definitifif menegaskan, bahwa kita
--setiap orang dari kita-- dapat mencapai ukuran
kesempurnaan yang penuh dengan jalan mengembangkan
sifat-sifat yang secara positif memang telah ada, yang
membentuk individualitas-individualitas.
Dari segala agama hanya Islam yang memberikan kemungkinan
bagi manusia untuk menikmati ukuran sepenuhnya kehidupan
duniawinya tanpa sekejap pun meninggalkan tujuan
spiritualnya. Betapa berbeda hal ini dari konsepsi Kristen.
Menurut konsepsi Kristen, manusia jungkir balik dalam
belenggu dosa warisan yang dilakukan oleh Adam dan Hawa dan
oleh karena itu seluruh hidup dianggap --sekurang-kurangnya
dalam teori dogmatik-- sebagai lembah sengsara dan
kesedihan. Hidup merupakan medan pertempuran dua kekuatan:
kejahatan yang diwakili oleh setan, dan kebaikan yang
diwakili oleh Yesus Kristus. Setan berusaha dengan segala
godaan-godaan jasadi untuk menghalang kemajuan jiwa menuju
terang abadi; jiwa adalah milik Kristus sedang jasad adalah
lapangan tempat pengaruh setan. Orang dapat menerangkan
dengan cara lain: dunia materi pada hakekatnya adalah jahat
sedang dunia ruh adalah Ilahi dan baik. Segala sesuatu dalam
alam insani yang material, --atau "carnal", seperti istilah
yang lebih disukai dalam theologia Kristen-- adalah hasil
langsung dari penyerahan Adam kepada nasihat Pangeran Gelap
dan Jasadi dari neraka. Oleh karena itu maka untuk
memperoleh keselamatannya manusia harus memalingkan hatinya
dari dunia daging ini ke arah hari kemudian, dunia
spiritual, dimana "dosa manusia" ditebus oleh pengorbanan
Kristus di tiang salib.
Sekalipun umpamanya dogma ini tidak ditaati dalam
prakteknya --dan tidak pernah dipraktekkan-- adanya ajaran
ini saja cenderung untuk menghasilkan suatu perasaan
permanen dari kesadaran buruk dalam diri orang yang punya
kecenderungan religius. Ia dilemparkan kedalam suatu
gelanggang perjuangan antara panggilan penting untuk
meninggalkan dunia dan desakan alami dari hatinya untuk
menikmati hidup ini. Idea tentang dosa yang tak terelakkan
karena diwariskan, dan tentang penebusan dosa --yang tidak
dapat dipahami oleh pikiran umum-- melalui penderitaan Yesus
di tiang salib, menegakkan tembok pemisah antara hasrat
spiritual manusia dan hasratnya yang sejati untuk hidup.
Dalam Islam kita tidak mengenal dosa warisan; kita
memandang hal itu tidak sesuai dengan idea keadilan Allah.
Allah tidak membuat seorang anak bertanggungjawab atas
perbuatan-perbuatan ayahnya dan betapa Ia akan membuat
generasi-generasi ummat manusia yang tak terhitung jumlahnya
akan bertanggungjawab atas dosa karena pelanggaran yang
dilakukan oleh nenek moyangnya yang jauh? Tidaklah diragukan
bahwa tidak mungkin menyusun keterangan falsafah tentang
anggapan aneh ini, tetapi bagi pikiran yang menjangkau jauh
hal itu akan tetap sebagai hal yang dibuat-buat dan tidak
akan memuaskan seperti konsepsi tentang Tritunggal itu
sendiri. Dan karena tidak ada dosa warisan maka tidak ada
pula penebusan dosa universal dalam ajaran Islam. Setiap
Muslim adalah penebus dosanya sendiri; ia memiliki segala
kemungkinan-kemungkinan sukses dan kegagalan spiritual dalam
dirinya sendiri.
Dikatakan dalam al-Qur'an tentang keperibadian
manusia:
"Bagi dia apa yang telah diterimanya, dan
terhadap dia kejahatan yang dilakukannya." (Qur'an Suci,
2: 286)
Ayat lainnya mengatakan:
"Tidak ada yang akan diperhitungkan bagi
manusia, selain yang telah diusahakannya." (Qur'an Suci,
53:39).
Tetapi apabila Islam tidak memiliki aspek hidup yang
suram seperti yang dilahirkan oleh Kristen, betapapun juga
Islam tidak mengajarkan kepada kita untuk memberikan pada
kehidupan duniawi nilai yang dilebih-lebihkan seperti yang
diberikan oleh peradaban Barat modern. Sementara pandangan
Kristen mengandung pengertian bahwa kehidupan duniawi adalah
buruk, Barat modern --seperti dibedakan dari Kristen--
memuja hidup dalam cara tepat sama seperti si rakus memuja
makannya; ia menelannya tetapi ia tidak punya respek
terhadapnya. Sebaliknya Islam memandang kehidupan duniawi
dengan tenang dan dengan respek. Ia tidak memujanya, tetapi
memandangnya sebagai suatu tangga dalam perjalanan menuju
kehidupan yang lebih tinggi. Tetapi justru karena ia adalah
tangga, dan tangga yang perlu pula, manusia tidak berhak
untuk menghinanya atau bahkan menganggap remeh nilai
kehidupan duniawinya. Perjalanan kita melintasi dunia ini
adalah satu bagian yang pasti dan positif dalam rencana
Allah. Oleh karena itu kehidupan manusia bernilai sangat
tinggi sekali; tetapi ia tidak boleh melupakan bahwa itu
hanyalah nilai instrumental, sebagai alat saja. Bagi Islam
tidak ada tempat bagi optimisme materialistik Barat modern
yang mengatakan "Kerajaanku hanya di dunia ini saja" --tidak
pula ada tempat bagi sikap benci pada hidup seperti ucapan
Kristen: "Kerajaanku bukanlah daripada dunia ini." Islam
menempuh jalan tengah; al-Qur'an mengajarkan manusia
berdoa:
"Tuhan kami, berikanlah kiranya kepada kami
kebaikan di dunia ini dan kebaikan di akhirat." (Quran
Suci, 2:201)
Demikianlah penilaian penuh tentang dunia ini dan
kebaikannya sama sekali bukan merupakan halangan bagi
usaha-usaha spiritual kita. Harta benda dikehendaki tetapi
bukan merupakan tujuan itu sendiri. Tujuan dari segala
kegiatan praktek kita selalu harus berupa penciptaan dan
pemeliharaan syarat-syarat perorangan dan sosial yang dapat
bermanfaat bagi perkembangan tingkat moral dalam diri
manusia. Sesuai dengan prinsip ini Islam membimbing manusia
ke arah kesadaran tanggung jawab moral dalam segala hal yang
dilakukannya, besar ataupun kecil. Perintah "Injil" yang
terkenal: "Berikan kepada Kaisar kepunyaan Kaisar dan
berikan kepada Tuhan kepunyaan Tuhan" tidak ada tempatnya
dalam struktur agama Islam, karena Islam tidak mengakui
adanya konflik antara tuntutan-tuntutan moral dalam
kehidupan kita. Dalam segala hal hanya ada satu pilihan:
pilihan antara benar dan salah, tidak ada lain. Dari situlah
datangnya desakan kuat atas perbuatan sebagai satu unsur
moralitas yang tidak dapat dilepaskan.
Setiap individu Muslim harus memandang dirinya secara
pribadi bertanggungjawab atas segala sesuatu yang terjadi di
sekitar dia dan berjuang untuk menegakkan kebenaran dan
memberantas kejahatan pada setiap saat dan pada setiap arah.
Dasar atas sikap ini terdapat dalam ayat al-Qur'an:
"Kamu adalah ummat terbaik yang telah dilahirkan
kepada ummat manusia: kamu menganjurkan kebenaran dan
mencegah kemungkaran, dan kamu beriman kepada Allah."
(Qur'an Suci, 3:110).
Inilah pembenaran moral terhadap peperangan Islam, suatu
pembenaran terhadap penaklukan-penaklukan Islam dan tentang
apa yang sering ditunjukkan sebagai "imperialisme". Islam
adalah "imperialisme" apabila anda akan memaksakan istilah
itu; tetapi "imperialisme" semacam ini tidak terdorong oleh
cinta akan kekuasaan, tidak ada hubungan dengan egoisme
ekonomi dan egoisme nasional, tidak ada sangkut paut dengan
keserakahan untuk memperbesar kesenangan kaum Muslimin atas
kerugian orang lain; tidak pula itu dimaksudkan sebagai
pemaksaan atas orang-orang tidak beriman ke dalam rangkulan
Islam. Sebagaimana halnya, itu hanya dimaksudkan untuk
pembangunan dunia demi perkembangan spiritual manusia sebaik
mungkin. Karena menurut ajaran Islam, pengetahuan moral
secara otomatis memaksakan tanggung jawab moral atas
manusia. Pemisahan platonik melulu antara baik dan buruk
tanpa desakan untuk mengangkat kebaikan dan memberantas
keburukan adalah immoralitas kasar dalam sendirinya. Dalam
Islam moralitas hidup dan mati bersama perjuangan manusia
untuk menegakkan kejayaan moralitas itu di muka bumi.
|