|
2. SEMANGAT BARAT
Dalam pasal yang lalu telah diusahakan memberikan suatu
garis besar dasar moral Islam. Kita sadari dengan mudah
bahwa peradaban Islam adalah theokrasi dalam bentuk yang
paling sempurna. Di sini pertimbangan religius mengatasi
segala-galanya dan mendasari segala-galanya. Apabila kita
bandingkan ini dengan sikap peradaban Barat, kita beroleh
kesan yang kuat akan adanya perbedaan pandangan yang sangat
besar.
Dalam kegiatan-kegiatan dan usaha-usahanya peradaban
Barat dikuasi oleh pertimbangan kemanfaatan praktis dan
ekspansi dinamik saja. Tujuannya selalu adalah membuat
eksperimen-eksperimen dengan kemungkinan-kemungkinan
daripada hidup dan penemuan potensialitas-potensialitas
hidup itu, tanpa memberikan sifat realitas moral sendiri
pada hdiup ini. Bagi Eropa dan Amerika modern masalah arti
dan tujuan hidup telah sejak lama kehilangan kepentingan
praktisnya. Yang penting bagi mereka hanya pertanyaan
bentuk-bentuk apa yang dapat diambil kehidupan dan apakah
ummat manusia seperti itu sedang maju menuju penguasaan
terhadap alam. Pertanyaan terakhir ini dijawab Barat modern
dengan membenarkannya, dan dalam hal ini sejalan dengan
Islam. Dalam al-Qur'an Allah berfirman perihal Adam dan
ummatnya:
"Sesungguhnya Aku akan menempatkan khalifah di
muka bumi," (Qur'an Suci, 2:30).
Ini jelas berarti bahwa manusia ditakdirkan untuk
berkuasa dan maju di atas dunia. Tetapi ada perbedaan antara
pandangan-pandangan Barat tentang sifat perkembangan
manusia. Barat modern percaya akan kemungkinan perbaikan
spiritual yang progresif dari ummat manusia dalam pengertian
kolektifnya, dengan capaian-capaian praktis dan perkembangan
pemikiran ilmiah. Tetapi pandangan Islam bertentangan
seratus delapan puluh derajat dengan konsepsi kemanusiaan
Barat yang materialistik dinamik ini. Islam memandang
kemungkinan-kemungkinan keseluruhan kolektif "ummat manusia"
sebagai satu kuantitas statik; seperti sesuatu yang telah
diletakkan secara definitifif seperti itu dalam susunan alam
itu sendiri. Islam tidak pernah membenarkan bahwa alam
insani --dalam pengertian supe-rindividualnya secara umum--
akan mengalami suatu proses perubahan maju dan perbaikan
dalam cara yang serupa seperti tumbuhnya pohon: karena dasar
dari alam insani itu, jiwa manusia, bukanlah kuantitas
biologik. Kekeliruan fundamental dari pikiran Eropa modern,
yang memandang pertambahan pengetahuan dan kesenangan
material sebagai identik dengan perbaikan spiritual dan
moral ummat manusia, hanya mungkin karena kesalahan
fundamental yang sama dalam menerapkan hukum-hukum biologik
pada fakta-fakta non-biologik. Pada akarnya terletak
ketidakpercayaan Barat akan adanya apa yang kita gambarkan
sebagai "ruh". Islam yang berdasar atas konsepsi kerohanian
memandang ruh sebagai satu realitas yang tidak perlu
diragukan atau diperdebatkan. Walaupun tidak mesti saling
bertentangan, kemajuan material dan kemajuan spiritual
tidaklah satu dan sama; walaupun saling berhubungan,
keduanya adalah aspek-aspek dari hidup manusia yang jelas
berbeda; dan dua bentuk kemajuan ini tidak mesti saling
bergantung. Memang mungkin, tetapi tidak selalu keduanya
harus berkembang serentak.
Sementara dengan jelas mengakui kemungkinan itu dan
menegaskan dengan keras wajarnya kemajuan lahir, yaitu
kemajuan material ummat manusia sebagai satu badan kolektif,
sejelas itu pula Islam tidak membenarkan kemungkinan
perbaikan spiritual manusia sebagai satu keseluruhan dengan
jalan hasil-hasil capaian kolektifnya. Unsur dinamika dari
perbaikan spiritual terbatas pada makhluk perorangan dan
satu-satunya batas waktu yang mungkin dari perkembangan
spiritual dan moral manusia adalah antara kelahiran dan
matinya orang individu secara perseorangan. Kita tidak
mungkin maju menuju kesempurnaan sebagai badan kolektif.
Setiap orang harus berjuang menuju tujuan spiritual itu
sebagai individu perseorangan; dan setiap orang harus mulai
dan mengakhirinya dengan dirinya sendiri.
Pandangan individualistik yang tegas tentang tujuan
spiritual manusia ini diimbangi dan dikuatkan secara
langsung, dengan konsepsi sosial Islam yang keras serta
kerjasama kemasyarakatan. Kewajiban masyarakat ialah
mengatur kehidupan lahir dalam cara demikian rupa sehingga
individu orang seorang mendapat halangan seminimal mungkin
dan mendapat dorongan semaksimal mungkin dalam perjuangan
spiritualnya. Inilah sebabnya, maka hukum Islam, syari'ah,
berurusan dengan kehidupan manusia dalam segi spiritual
maupun materialnya, dan keduanya dengan aspek-aspek
individual dan aspek-aspek sosialnya.
Seperti telah dikatakan sebelumnya, konsepsi seperti itu
hanya mungkin atas dasar kepercayaan positif akan adanya ruh
manusia, dan sehubungan dengan itu kepercayaan akan tujuan
transendental daripada kehidupan manusia. Tetapi bagi Barat
modern dengan sikap mengabaikan dan setengah menolak adanya
ruh, masalah-masalah tujuan hidup tidak lagi mengandung
kepentingan praktis. Barat telah meninggalkan segala
pemikiran dan pertimbangan-pertimbangan kerohanian.
Apa yang kita namakan sikap religius selalu berdasarkan
atas kepercayaan bahwa ada suatu hukum moral kerohanian yang
mencakup segala-galanya dan bahwa makhluk manusia harus
tunduk kepada perintah-perintah hukum moral itu. Peradaban
Barat modern tidak mengakui perlunya penyerahan manusia
kepada apapun kecuali tuntutan-tuntutan ekonomi, sosial dan
kebangsaan. Dewanya yang sebenarnya bukanlah kebahagiaan
spiritual melainkan keenakan, comfort. Dan falsafahnya yang
nyata dan hidup dilahirkan dalam kemauan untuk berkuasa demi
untuk kekuasaan itu sendiri. Keduanya diwarisi dari
peradaban Romawi Kuno.
Dengan menyebut peradaban Romawi --sekurang-kurangnya
sedikit banyak-- secara genetik mewariskan materialisme
Barat Modern, mungkin kedengaran ganjil bagi orang-orang
yang telah mendengar perbandingan berulang-ulang tentang
imperium Romawi dan imperium Islam. Bagaimana mungkin
terdapat perbedaan yang tegas antara konsepsi Islam yang
fundamental dan konsensi Barat modern apabila dalam jaman
lampau ekspresi-ekspresi antara keduanya bersamaan?
Jawabannya yang sederhana adalah: keduanya sebenarnya tidak
bersamaan. Perbandingan populer yang demikian seringnya
dikutip adalah salah satu dari lagu lama sejarah yang
sumbang; dengan pengetahuan dangkal dan palsu anggapan itu
mengisi pikiran generasi sekarang. Tidak ada persamaan
antara imperium Islam dan imperium Romawi kecuali bahwa
keduanya membentang di atas wilayah-wilayah luas dan
bangsa-bangsa yang aneka ragam --karena selama kehidupannya
kedua imperium ini diarahkan oleh tenaga-tenaga penggerak
yang sama sekali berbeda dan barus memenuhi tujuan-tujuan
historik yang sama sekali berbeda dan harus memenuhi
tujuan-tujuan historik yang berbeda. Bahkan dalam segi
terbentuknya kita melihat perbedaan yang besar sekali antara
imperium Islam dan imperium Romawi. Imperium Romawi
memerlukan waktu hampir seribu tahun untuk tumbuh ke arah
keluasan wilayah yang besar dan ke arah kematangan politik;
sedang imperium Islam meloncat dan tumbuh hingga
kepenuhannya dalam waktu singkat yang hanya memakan waktu
sekitar delapan puluh tahun. Tentang hal kemundurannya
masing-masing, perbedaan itu malah lebih terang. Keruntuhan
imperium Romawi, yang akhirnya ditutup sama sekali oleh
migrasi bangsa-bangsa Hun dan Goth, hanya berlangsung selama
satu abad saja --dan berlangsung demikian sempurnanya
sehingga tidak ada sesuatu daripadanya yang tinggal kecuali
karya kesusasteraan dan arsitektur. Imperium Byzantium, yang
biasanya dianggap pewaris tunggal dari kebudayaan Romawi,
hanyalah ahli waris sejauh ia terus memerintah atas sebagian
dari wilayah yang dahulu merupakan bagian dari imperium
Romawi. Struktur sosial dan organisasi politiknya hampir
tidak berhubungan sama sekali. Sebaliknya imperium Islam,
seperti tercakup dalam kekhalifahan, memang mengalami
kerusakan dan perubahan bentuk dinasti dalam perjalanan
kehidupannya yang panjang, tetapi strukturnya pada
hakekatnya tetap sama. Serangan-serangan dari luar, bahkan
serangan-serangan orang Mongol --yang jauh lebih ganas
daripada yang dialami imperium Romawi di tangan
bangsa-bangsa Hun dan Goth-- tidaklah sanggup untuk
menggoncangkan organisasi kemasyarakatan dan kehidupan
politik yang tidak terpatahkan dari imperium
khalifah-khalifah, walaupun jelas bahwa hal itu turut
menyebabkan kemacetan ekonomi dan intelektual pada masa-masa
kemudiannya. Berlainan dengan masa satu abad yang diperlukan
untuk kehancuran imperium Romawi, imperium Islam dari
khalifah-khalifah itu memerlukan waktu hampir seribu tahun
dalam kemunduran yang perlahan-lahan hingga kehancuran
politik terakhir dengan lenyapnya Kekhalifahan Usmaniyah,
diikuti oleh kebobrokan sosial yang sedang kita saksikan
sekarang.
Segala ini memaksakan kesimpulan pada kita bahwa kekuatan
batin dan kesehatan sosial dari dunia Islam lebih tinggi
daripada segala yang pernah dialami ummat manusia hingga
saat ini dengan jalan organisasi sosial. Bahkan peradaban
Cina yang tiada ragu telah memperlihatkan kekuatan-kekuatan
bertahan selama berabad-abad tidak dapat dipergunakan
sebagai perbandingan di sini. Cina terletak di ujung satu
benua yang hingga pada akhir abad yang lalu --yaitu sehingga
kebangkitan Jepang modern-- berada di luar capaian kekuatan
apapun; peperangan dengan orang Mongol pada jaman Jengis
Khan dan keturunan-keturunannya hampir tidak menyentuh
imperium Cina; tetapi imperium Islam membentang hingga tiga
benua dan sepanjang masa itu dikelilingi oleh
kekuatan-kekuatan yang memusuhi dengan gaya hidup yang
besar. Sejak permulaan sejarah bagian bumi yang dinamakan
Timur Tengah dan Timur Dekat merupakan gunung api dari
pertentangan-pertentangan tenaga-tenaga rasial dan
kebudayaan; tetapi pertahanan organisasi Islam tidak
terpadamkan, sekurang-kurangnya hingga pada saat ini. Kita
tidak perlu mencari keterangan yang jauh tentang pemandangan
yang mengagumkan ini: ajaran agama dari al-Qur'an-lah yang
memberi dasar yang kuat, dan teladan hidup Nabi Muhammad
saw.-lah yang menjadi pita baja yang melingkari struktur
sosial yang agung itu. Imperium Romawi tidak memiliki unsur
spiritual semacam itu untuk mempertahankan kesatuannya, dan
oleh karena itu ia runtuh demikian cepat.
Tetapi masih ada satu perbedaan lagi antara kedua
imperium lama itu. Sementara dalam imperium Islam tidak ada
bangsa yang diistimewakan, dan kekuasaan ditundukkan kepada
penyiaran idea yang dianggap oleh pembawa-pembawa suluhnya
sebagai kebenaran agamawi yang luhur, idea yang mendasari
imperium Romawi adalah penaklukan demi kekuasaan dan
eksploitasi atas bangsa-bangsa lain untuk kepentingan negara
induk sendiri.
Untuk meningkatkan kehidupan yang lebih baik bagi
golongan yang diistimewakan, tidak ada keganasan yang
terlalu buruk bagi bangsa Romawi, tidak ada ketidakadilan
yang terlalu keji: "Keadilan Romawi" yang terkenal itu
adalah keadilan bagi orang-orang Romawi saja. Jelaslah sikap
semacam itu hanya mungkin atas dasar satu konsepsi hidup dan
peradaban yang sama sekali materialistik --tentulah
materialisme yang diperindah oleh rasa intelektual, tetapi
betapapun juga tetap asing bagi segala nilai-nilai
spiritual. Orang-orang Romawi dalam kenyataannya tidak
pernah mengenal agama. Dewa-dewa mereka yang tradisional itu
adalah tiruan samar dari mitologia Yunani, hanyalah roh-roh
samar yang diterima dengan diam-diam untuk kepentingan
konvensi sosial. Dewa-dewa itu sama sekali tidak
diperkenankan campur tangan dalam kehidupan nyata. Apabila
ditanyai, dewa-dewa itu harus memberikan orakel melalui
perantaraan-perantaraan pendeta-pendeta mereka; tetapi
dewa-dewa itu tidak pernah, diharapkan untuk menentukan
hukum-hukum moral pada manusia atau untuk mengarahkan
tindakan-tindakan manusia. Dari bumi inilah tumbuh
kebudayaan Barat. Tiada diragukan bahwa ia banyak menerima
pengaruh-pengaruh lain dalam rentangan perkembangannya, dan
hal itu secara alami mengubah dan mengalihkan bentuk warisan
kebudayaan Romawi dalam lebih dari satu segi pandangan.
Tetapi kenyataan tetap tinggal bahwa segala apa yang nyata
dalam etika dan pandangan hidup Barat sekarang langsung
dapat diikuti jejaknya hingga kepada peradaban Romawi kuno
karena suasana intelektual dan sosial Romawi kuno sepenuhnya
bersifat utilitarian dan anti agama --dalam kenyataannya,
apabila bukan dalam pengakuan terbuka-- demikianlah suasana
Barat modern. Tanpa memiliki bukti yang menyangkal agama
ketuhanan, dan bahkan tanpa mengakui perlunya bukti semacam
itu, pemikiran Barat modern, sementara bersikap toleran dan
bahkan kadang-kadang menekankan perlunya agama sebagai satu
konvensi sosial pada umumnya, melepaskan etika agamawi dari
wilayah pertimbangan praktis. Peradaban Barat tidak dengan
tegas menyangkal adanya Tuhan tetapi hanya tidak ada tempat
dan tiada manfaat adanya Tuhan dalam sistem intelektualnya
sekarang. Dunia Barat telah mengambil keuntungan dari
kesulitan intelektual manusia --yaitu ketidaksanggupannya
menggenggam keseluruhan hidup. Tampaknya Barat modern hanya
akan memberikan sifat kepentingan praktis atas idea-idea
yang terletak dalam bidang pengetahuan-pengetahuan empiris
atau sekurang-kurangnya diharapkan untuk mempengaruhi
hubungan-hubungan sosial manusia dalam cara yang dapat
dirasakan. Dan tentang pertanyaan akan adanya Tuhan secara
prima facie tidak termasuk pada salah satu dari kedua
kategori ini. Pikiran Barat pada prinsipnya cenderung untuk
mengesampingkan Tuhan dari wilayah pertimbangan praktis.
Timbul pertanyaan: bagaimana sikap semacam itu dapat
dipertemukan dengan jalan pikiran Kristen? Bukankah agama
Kristen --yang dianggap sumber pokok peradaban Barat-- suatu
kepercayaan yang berdasarkan etika transendental? Tentu saja
agama Kristen berdasarkan etika transendental. Namun adalah
satu kekeliruan yang sangat besar sekali apabila orang
memandang peradaban Barat bersumber dari agama Kristen.
Dasar intelektual yang real dari Barat modern harus
diperoleh dari konsepsi hidup Romawi sebagai satu dasar
pandangan akan perlunya melulu, tanpa sesuatu pandangan
kerohanian. Ini dapat dinyatakan sebagai berikut: "Karena
kita tidak tahu apapun yang definitif --yaitu dengan jalan
eksperimen dan pemikiran ilmiah-- tentang asal kehidupan
manusia, maka lebih baik kita memusatkan segala tenaga untuk
perkembangan kemungkinan-kemungkinan material dan
intelektual kita tanpa mengizinkan diri kita dihalangi oleh
etika kerohanian dan dalil-dalil moral atas dasar
anggapan-anggapan yang menantang bukti ilmiah." Tidak akan
terdapat keraguan bahwa sikap ini, yang demikian khas dalam
peradaban Barat modern, adalah sama tidak dapat diterima
bagi agama Kristen maupun bagi Islam atau agama apapun,
karena pandangan itu tidak religius dalam hakekatnya
sendiri. Oleh karena itu untuk menggambarkan hasil-hasil
capaian peradaban Barat modern atas kekuatan yang dianggap
dari ajaran-ajaran Kristen adalah sangat memalukan. Agama
Kristen telah memberikan sangat sedikit sumbangan pada
perkembangan ilmiah dan material dimana kebudayaan Barat
sekarang mengatasi segala sesuatu lainnya. Sesungguhnya
hasil-hasil capaian itu timbul dari perjuangan intelektual
Barat melawan gereja Kristen dan pandangan hidup
Kristen.
Selama berabad-abad semangat Barat ditekan oleh sistim
religus yang menganut permusuhan terhadap alam. Nada
kepertapaan yang memenuhi Bibel dari ujung ke ujung,
tuntutan untuk menyerah secara pasif atas kesalahan yang
menimpa, penyangkalan terhadap seks sebagai sesuatu yang
berdasar atas kejatuhan Adam dan Hawa di surga, dosa warisan
dan penebusannya melalui penyaliban Yesus, segala ini menuju
pada satu penafsiran hidup manusia tidak atas dasar jenjang
positif tetapi hampir sebagai kejahatan yang tak terelakkan
--sebagai penghalang "edukatif" pada jalan kemajuan
spiritual. Teranglah bahwa kepercayaan semacam itu tidak
membangkitkan gairah bersemangat untuk usaha-usaha berhubung
dengan ilmu pengetahuan dan perbaikan syarat-syarat
kehidupan duniawi. Dan sesungguhnya selama masa yang sangat
panjang intelek Eropa ditaklukkan oleh konsepsi kehidupan
manusia yang muram itu. Selama abad-abad pertengahan ketika
gereja sedang berkuasa, Eropa tidak memiliki gaya hidup dan
tiada tempat apapun bagi dunia penyelidikan ilmiah. Eropa
masa itu bahkan kehilangan hubungan dengan hasil-hasil
capaian falsafah Romawi dan Yunani dari mana kultur Eropa
dahulu bersumber. Intelek Eropa berontak lebih dari satu
kali; tetapi berulang-ulang pemberontakan intelek itu
dipatahkan oleh gereja. Sejarah jaman abad-abad pertengahan
penuh dengan perjuangan sengit antara genius Eropa dan
semangat gereja.
Pembebasan pikiran Eropa dari belenggu intelektual yang
telah dipasang gereja Kristen terjadi dalam jaman
renaissance dan sangat besar sekali disebabkan oleh
dorongan-dorongan dan ide-ide kultural baru yang telah
disalurkan Islam ke Barat selama beberapa abad.
Segala sesuatu yang terbaik dari kultur Yunani kuno dan
masa Hellenisma kemudian telah dihidupkan oleh orang-orang
Arab dalam usaha penyelidikan mereka dan diperbaiki dalam
abad-abad setelah berdirinya awal imperium Islam. Saya tidak
mengatakan bahwa penyerapan pikiran Hellenistik itu berupa
manfaat yang tidak dapat disanggah terhadap bangsa Arab dan
kaum Muslimin pada umumnya --karena keadaannya tidak
demikian. Tetapi sementara segala jerih payah orang-orang
Arab menghidupkan kembali kultur Hellenisma itu mungkin
menyebabkan kerugian bagi kaum Muslimin pada umumnya dengan
jalan memperkenalkan falsafah Aristoteles dan neoplatonisme
ke dalam theologia dan yurisprudensi Islam, hal itu justru
merupakan dorongan yang sangat besar bagi Eropa. Zaman
abad-abad pertengahan telah menyia-nyiakan kekuatan-kekuatan
produktif Barat. Ilmu pengetahuan macet, tahyul berkuasa
paling tinggi, kehidupan moral primitif dan rendah sehingga
hampir tidak dapat diterima akal pada zaman ini. Pada titik
itu pengaruh kultural dunia Islam --mula-mula melalui
pengalaman perang salib di Timur dan universitas-universitas
Islam yang cemerlang di Spanyol dan kemudian melalui
hubungan-hubungan perdagangan yang dibangun Republik Genua
dan Venesia-- mulai berkumandang di pintu peradaban Eropa
yang terkunci. Di hadapan mata sarjana-sarjana dan ahli-ahli
pikir Eropa yang silau muncul suatu kebudayaan baru --indah,
progresif, penuh gairah hidup dan penuh memiliki
perbendaharaan kultural yang telah lama dihilangkan dan
dilupakan Eropa. Yang telah dilakukan oleh orang-orang Arab
itu jauh melebihi pembangkitan kembali kebudayaan Yunani
kuno saja. Mereka telah menciptakan suatu dunia ilmiah
mereka sendiri yang sama sekali baru dan memperkembangkan
hingga pada masa itu jalan-jalan penelitian ilmiah dan
falsafah. Semua ini mereka salurkan melalui berbagai saluran
ke dunia Barat. Dan tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa
zaman ilmu pengetahuan modern dalam masa kita ini tidak
dilahirkan di kota-kota Eropa Kristen tetapi di pusat-pusat
Islam seperti di Damsyik, Baghdad, Kairo, Kordoba, Nishapur,
Samarkand.
Akibat pengaruh ini atas Eropa sangat besar. Dengan
kedatangan peradaban Islam fajar intelektual baru bersinar
di dunia Barat dan diresapi dengan hidup segar serta
kehausan akan kemajuan. Bukan saja penghargaan atas nilainya
maka ahli sejarah Eropa menamakan regenerasi itu renaissance
--yakni kelahiran kembali. Renaisans itu sebenarnya adalah
kelahiran kembali Eropa.
Arus regenerasi yang memancar dari kebudayaan Islam
menimbulkan otak-otak Eropa yang terbaik untuk berjuang
dengan kekuatan baru melawan supremasi gereja Kristen yang
berbahaya.
Pada permulaannya pertandingan ini mengandung pandangan
lahir dari gerakan-gerakan reformasi, yang timbul hampir
serentak di berbagai negara Eropa dengan tujuan untuk
menerapkan jalan pemikiran Kristen kepada tuntutan-tuntutan
hidup yang baru ini. Gerakan-gerakan ini sehat dalam caranya
dan apabila mereka beroleh sukses spiritual yang nyata
mungkin mereka menghasilkan suatu kesesuaian antara ilmu
pengetahuan dan pemikiran religius di Eropa. Tetapi
sebagaimana yang terjadi, kesalahan yang disebabkan oleh
gereja zaman abad-abad pertengahan sudah terlalu jauh untuk
dapat diperbaiki oleh reformasi saja yang lagi pula dengan
cepat menurun menjadi perjuangan-perjuangan politik antara
golongan-golongan yang berkepentingan. Alih-alih daripada
beroleh perbaikan yang sebenarnya, agama Kristen hanya
terdesak pada sikap bertahan dan berangsur-angsur terpaksa
mengambil sikap apologetik. Gereja --baik Katholik maupun
Protestan-- sebenarnya tidak pernah melepaskan komedi-komedi
mentalnya, dogma-dogma yang tak dapat dipahami, sikap
menghinanya terhadap dunia, dukungannya pada
kekuasaan-kekuasaan yang ada atas kerugian ummat manusia
yang tertindas; gereja hanya mencoba memalsukan
kegagalan-kegagalan yang parah ini dan dengan demikian
"menerangkannya" dengan jalan keterangan-keterangan kosong.
Tidaklah mengherankan bahwa ketika tahun-tahun dan abad-abad
itu maju, pegangan dan pemikiran religius menjadi makin lama
makin lemah di Eropa, hingga pada abad ke delapan belas
kekuasaan gereja dengan tegas dilemparkan ke luar gelanggang
oleh revolusi Perancis dan akibat-akibat kultural di
negara-negara lain.
Pada waktu itu lagi tampak seakan-akan kebudayaan
spiritual baru yang bebas dari kegelapan tirani theologia
skolastik abad-abad pertengahan beroleh kesempatan tumbuh di
Eropa. Dan kenyataannya pada akhir abad ke delapan belas dan
awal abad ke sembilan belas kita bertemu dengan beberapa
tokoh spiritual Eropa yang terbaik dan paling kuat dalam
bidang falsafah, kesenian, kesusasteraan dan ilmu
pengetahuan. Tetapi konsepsi hidup spiritual religius ini
tetap terbatas pada beberapa orang perorangan. Massa besar
orang-orang Eropa, sesudah demikian lama terpenjara dalam
dogma-dogma agama yang tidak ada hubungan dengan usaha-usaha
alami manusia, tidak dapat dan tidak mau mendapatkan jalan
mereka kembali kepada orientasi religius setelah sekali
belenggu-belenggu itu dihancurkan.
Barangkali faktor intelektual yang paling penting yang
menghalangi regenerasi religius di Eropa adalah konsepsi
yang ada pada waktu itu bahwa Yesus adalah Anak laki-laki
Tuhan. Orang-orang Kristen yang berpikiran filosofis tentu
saja tidak pernah menerima ide keanakan itu dalam pengertian
harfiahnya; mereka mengartikan keanakan Yesus itu sebagai
manisfestasi dari rahmat Tuhan dalam bentuk manusia. Tetapi
sayang tidak setiap orang berpikiran filosofis. Bagi
sebagian terbesar dari orang-orang Kristen ungkapan "anak"
mengandung arti yang langsung, walaupun selalu ada bau
mistik yang ditempelkan ke situ. Bagi mereka keanakan Yesus
itu dengan sangat alaminya menuju kepada kepercayaan akan
Tuhan sebagai manusia, yang mengambil rupa orang tua yang
baik dengan janggut putih yang lebat: dan bentuk ini,
diabadikan dalam lukisan-lukisan yang tak terhitung
banyaknya yang bernilai seni yang tinggi, tinggal mengesan
dalam bawah-sadar pikiran orang-orang Eropa. Sepanjang masa
ketika dogma gereja paling berkuasa di Eropa tidak banyak
kecenderungan untuk mempersoalkan konsepsi aneh ini. Tetapi
dengan hancurnya belenggu intelektual abad-abad pertengahan,
cara berpikir orang-orang Eropa tidak dapat mempertemukan
dirinya dengan satu Tuhan-Bapak yang dimanusiakan;
sebaliknya pemanusiaan Tuhan itu telah menjadi satu faktor
penghalang yang tegak dalam konsepsi rakyat umum tentang
Tuhan. Sesudah suatu masa kebangunan pemikiran, ahli-ahli
pikir Eropa secara naluri mundur lagi dari konsepsi tentang
Tuhan seperti yang digambarkan dalam ajaran gereja, dan
karena ini adalah satu-satunya konsepsi yang mereka kenal,
maka mereka mulai menolak ide tentang Tuhan sendiri dan
bersama dengan itu mereka menolak agama.
Lagi pula fajar zaman industri dengan kecemerlangan
kemajuan material yang menyilaukan mulai mengarahkan manusia
kepada kepentingan-kepentingan baru dan dengan demikian
menyumbangkan kekosongan religius yang mengikutinya di
Eropa. Dalam masa lowong itu perkembangan peradaban Barat
beroleh giliran tragik-tragik dari sudut pandangan setiap
orang yang memandang agama sebagai realitas yang paling kuat
dalam kehidupan manusia. Setelah terbebas dari bentuk
penghambatan dahulunya berupa agama Kristen, pikiran Eropa
modern melangkahi batas itu dan membentengi dirinya dengan
berangsur-angsur dalam suatu sikap tegas menentang setiap
bentuk tuntutan atas manusia. Dari ketakutan bawah sadar
kalau-kalau sekali lagi dilimpahi dengan kekuatan-kekuatan
yang menuntut kekuasaan spiritual, Eropa menjadi juara dari
segala sesuatu yang anti agama dalam prinsip dan dalam
tindakan. Eropa kembali kepada warisan Romawi lama.
Oleh karena itu orang tidak dapat disalahkan atas
bantahan bahwa bukanlah superioritas potensial dari agama
Kristen atas kepercayaan-kepercayaan lain yang memungkinkan
Barat untuk mencapai hasil-hasil materialnya yang cemerlang:
karena hasil-hasil yang dicapai ini tidak dapat dipikirkan
tanpa perjuangan historik kekuatan-kekuatan intelektual
Eropa melawan prinsip-prinsip gereja Kristen sendiri.
Konsepsi hidup materialisme sekarang ini adalah pembalasan
dendam Eropa terhadap "kerohanian" gereja yang telah kesasar
dari kebenaran kebenaran hidup alami.
Bukanlah urusan kita untuk masuk lebih jauh ke dalam
hubungan intern antara agama Kristen dan peradaban Barat
modern. Saya hanya berusaha menunjukkan tiga dari
sebab-sebab, mungkin sebab-sebab utama, mengapa peradaban
Barat itu begitu sempurna anti agama dalam konsepsi-konsepsi
dan metoda-metodanya: pertama adalah warisan peradaban
Romawi dengan sikapnya yang sama sekali materialistik
berhubung dengan kehidupan manusia dan nilai-nilai yang
terpadu padanya; yang kedua, pemberontakan alam insani
melawan sikap benci pada dunia daripada agama Kristen dan
sikap Kristen menindas hasrat-hasrat alami dan usaha-usaha
yang halal daripada manusia (yang diikuti oleh sekutu-sekutu
gereja dengan pemegang-pemegang kuasa politik dan ekonomi
dan pengesahannya dengan diam-diam atas setiap eksploitasi
yang dapat dirancangkan pemegang-pemegang kuasa itu); dan
yang ketiga, konsepsi ketuhanan yang anthropomorfis.
Pemberontakan terhadap agama ini sepenuhnya berhasil
--demikian berhasilnya sehingga berbagai sekte dan gereja
Kristen berangsur-angsur terpaksa menyesuaikan beberapa
doktrin mereka dengan kondisi-kondisi sosial dan intelektual
Eropa. Alih-alih daripada mempengaruhi dan membentuk
kehidupan sosial dari penganut-penganutnya sebagai kewajiban
agama yang utama, agama Kristen telah mengundurkan diri
dalam peranan satu konvensi yang ditolerir dan menjadi jubah
bagi usaha-usaha politik. Bagi rakyat banyak agama Kristen
sekarang hanya mempunyai arti formal sebagaimana halnya
dengan dewa-dewa Romawi kuno yang tidak diizinkan dan tidak
pula dipandang mempunyai pengaruh nyata apapun atas
masyarakat. Tentu masih banyak individu di Barat yang merasa
dan berpikir secara religius dan berusaha mati-matian untuk
mempertemukan kepercayaan mereka dengan jiwa kebudayaannya
--tetapi mereka hanya pengecualian. Rata-rata orang Barat
--baik ia seorang demokrat atau fascis, kapitalis atau
komunis, seorang pekerja kasar atau intelektual-- hanya
mengenal satu "agama" yang positif yaitu pengabdian pada
kemajuan material, kepercayaan bahwa tidak ada tujuan lain
daripada hidup ini selain dari membuat hidup ini terus
menjadi mudah, seperti ungkapan orang sekarang, "bebas dari
alam." Kelenteng "agama" itu adalah pabrik-pabrik raksasa,
bioskop-bioskop, laboratorium-laboratorium kimia,
rumah-rumah dansa, karya-karya hydro-elektrik;
pendeta-pendetanya adalah bankir-bankir, insinyur-insinyur,
bintang-bintang film, industriawan-industriawan, ahli-ahli
penerbangan. Akibat yang tak terelakkan dari perburuan
terhadap kekuasaan dan kesenangan ini adalah terciptanya
golongan-golongan yang bermusuhan yang dipersenjatai hingga
ke gigi-giginya dan telah memutuskan untuk saling
menghancurkan kapan dan di mana saja kepentingan mereka
masing-masing berbenturan. Dan pada segi kebudayaan
akibatnya adalah penciptaan suatu tipe manusia yang
moralitasnya terbatas pada masalah kepentingan praktis
melulu dan kriterianya yang tertinggi tentang baik dan buruk
adalah sukses material.
Dalam transformasi yang seksama itu kehidupan sosial
Barat sekarang sedang mengalami moralitas utilitarian baru
yang makin lama makin tampak. Segala sifat-sifat kebajikan
yang mengandung arti langsung pada kesejahteraan material
masyarakat itu --umpamanya efisiensi teknik, patriotisme,
rasa kelompok nasional-- diangkat dan sering
dibesar-besarkan dengan kaburnya dalam nilainya; sedang
kebajikan-kebajikan yang hingga kini dinilai dari sudut
pandangan etika melulu, seperti kecintaan anak, kesetiaan
dalam perkawinan, dengan cepatnya kehilangan arti pentingnya
--karena hal itu tidak memberikan manfaat material yang
dapat dirasakan pada masyarakat. Zaman dimana dorongan atas
keakraban ikatan kekeluargaan adalah menentukan bagi
kesejahteraan golongan atau klan sedang diatasi di Barat
oleh satu zaman organisasi kolektif di bawah pokok-pokok
yang jauh lebih luas. Dan dalam suatu masyarakat yang pada
hakekatnya teknologik dan sedang diorganisir dalam
langkah-langkah yang terus bertambah cepat atas garis-garis
mekanik melulu, perilaku anak terhadap ayahnya tidak
mengandung arti sosial yang penting selama individu-individu
itu berperilaku dalam batas-batas kesopanan umum yang
diletakkan oleh masyarakat pada saling hubungan di antara
anggota-anggotanya. Akibatnya ayah Barat makin kehilangan
kekuasaan atas anaknya dan secara logis sekali si anak
kehilangan respek pada ayahnya. Hubungan timbal balik di
antara mereka perlahan-lahan diatasi dan --atas segala
tujuan-tujuan praktis-- menjadi lapuk oleh dalil-dalil
masyarakat ekonomi yang mempunyai kecenderungan untuk
menghapus segala hak-hak istimewa atas seorang individu
terhadap lainnya, dan --juga hak istimewa yang disebabkan
ikatan kekeluargaan.
Sejajar dengan ini berjalanlah penghancuran terhadap
moralitas seksual "lama." Kejujuran seksual dan disiplin
seksual dengan cepatnya menjadi bagian dari masa lalu di
Barat modern, karena hal-hal itu terutama didasari oleh
etika, dan pertimbangan-pertimbangan etika tidak mengandung
pengaruh langsung yang dapat dirasakan dalam kesejahteraan
material daripada masyarakat itu. Dan dengan demikian
disiplin dalam hubungan-hubungan seksual dengan cepat
kehilangan arti pentingnya dan diganti oleh suatu moralitas
baru yang menyerukan kebebasan individual tidak terbatas
jasad manusia. Di masa depan batas seksual satu-satunya,
paling banyak, diambil dari pertimbangan-timbangan jumlah
penduduk dan perbaikan ras.
Bukanlah tanpa kepentingan untuk meninjau betapa evolusi
anti agama yang digambarkan di atas telah dibawa kepada
klimaksnya yang logis di Soviet Rusia, dimana dalam segi
kulturalnya tidak menunjukkan suatu perkembangan yang
berbeda secara hakiki dari dunia Barat lainnya. Sebaliknya
tampak bahwa eksperimen komunis tidak lain daripada puncak
dan pemenuhan dari hal-hal anti religius yang tegas dan
--pada akhirnya-- tendensi-tendensi anti spiritual dari
peradaban Barat modern. Bahkan mungkin pertentangan yang
tajam sekarang antara Barat kapitalis dan komunisme pada
akarnya hanya disebabkan oleh perbedaan langkah dimana
gerakan-gerakan paralel pada hakekatnya sedang menuju ke
tujuan yang sama. Persamaan isinya tiada ragu akan lebih
disebut-sebut di masa depan; tetapi bahkan tampak dalam
kecenderungan fundamental dari kapitalisme Barat maupun
komunisme untuk menaklukkan individualitas spiritual manusia
dan etikanya kepada tuntutan-tuntutan material melulu dari
jaringan mesin kolektif yang disebut "masyarakat" di mana
individu hanyalah berupa satu jeruji daripada satu roda.
Satu-satunya konklusi yang mungkin disimpulkan
daripadanya adalah bahwa peradaban semacam itu akan menjadi
racun maut bagi setiap kebudayaan yang berdasar nilai-nilai
keagamaan. Pertanyaan asal kita, apakah mungkin untuk
menerapkan jalan pemikiran dan jalan hidup Islam pada
tuntutan-tuntutan hidup peradaban Barat dan sebaliknya,
harus dijawab dengan "tidak." Dalam Islam tujuan pertama dan
paling utama adalah kemajuan moral manusia, dan oleh karena
itu pertimbangan-pertimbangan etika mengatasi
pertimbangan-pertimbangan kemanfaatan material. Di Barat di
mana pertimbangan-pertimbangan kemanfaatan material
menguasai segala manifestasi-manifestasi kegiatan manusia,
dan etika sedang diundurkan ke latar belakang yang kabur
dari kehidupan masyarakat dan dipojokkan kepada keadaan
teoritis melulu; tanpa sedikitpun kekuatan untuk
mempengaruhi masyarakat. Berbicara tentang etika --dalam
keadaan-keadaan semacam itu-- tidak jauh bedanya dari
bersikap munafik; dan dengan demikian orang-orang yang jujur
secara intelektual di antara pemikir-pemikir Barat secara
subyektif dibenarkan, apabila dalam pemikiran-pemikiran
mereka atas nasib peradaban Barat, mereka mengelakkan setiap
singgungan --pada etika kerohanian. Bagi orang-orang yang
kurang jujur --seperti juga orang-orang yang kurang tegas
dalam sikap moral mereka-- konsepsi etika kerohanian mereka
hidup terus sebagai satu faktor pemikiran yang tidak
rasional, sama halnya dengan seorang ahli matematika
terpaksa menggunakan angka-angka "tidak rasional" tertentu
yang dalam sendirinya tidak menunjukkan apapun yang dapat
dirasakan, tetapi betapapun juga diperlukan untuk
menjembatani celah kayalan karena batas-batas struktural
pikiran manusia.
Sikap penyimpangan kepada etika semacam itu tentu saja
tidak dapat dipertemukan dengan pandangan keagamaan; dan
oleh karena itu dasar moral kebudayaan Barat modern tidak
dapat dipertemukan dengan Islam.
Ini sama sekali tidak harus membuang kemungkinan bagi
kaum Muslimin untuk menerima dorongan-dorongan tertentu dari
Barat dalam bidang eksakta dan ilmu pengetahuan yang telah
diterapkan; tetapi hubungan kulturalnya harus mulai dan
berakhir di situ saja. Untuk melangkah lebih jauh dan meniru
jiwa kebudayaan Barat, mode hidup dan organisasi
kemasyarakatannya, tidaklah mungkin tanpa memberikan pukulan
maut terhadap kehidupan Islam sebagai bentuk pemerintahan
ketuhanan dan agama yang praktis.
|