|
3. BAYANGAN PERANG SALIB
Terlepas dari ketidaksesuaian spiritual antara Islam dan
Barat modern, masih ada satu sebab lagi mengapa kaum
Muslimin harus mengelakkan diri dari meniru peradaban Barat
modern; pengalaman sejarahnya diwarnai oleh sikap permusuhan
yang aneh terhadap Islam.
Dalam ukuran tertentu masalah ini juga adalah warisan
dari Eropa lama. Orang-orang Yunani dan Romawi menganggap
diri mereka sendiri sajalah yang "beradab," sedang segala
sesuatu yang asing, khususnya segala yang tinggal di bagian
timur Laut Tengah, diberi cap "barbar" atau biadab. Sejak
masa itu orang-orang Barat percaya bahwa kelebihan ras
mereka diatas segala bangsa manusia lainnya merupakan bukti
yang tak terbantah; dan pandangan yang bernada melecehkan
ras-ras atau bangsa-bangsa bukan Eropa adalah salah satu
segi yang menonjol dari sifat peradaban Barat.
Tetapi ini saja tidak cukup untuk menerangkan
perasaan-perasaan Eropa terhadap Islam. Rasa ketidaksenangan
mereka terhadap Islam lebih pekat dari perasaan
ketidaksenangan mereka terhadap berbagai agama dan kultur
asing lainnya. Perasaan ini telah merupakan suatu kebencian
yang berakar dalam dan hampir fanatik; dan ini tidak
bersifat intelektual melulu tetapi mengandung warna
emosional yang tebal. Eropa mungkin tidak menerima
doktrin-doktrin falsafah Budha dan Hindu, tetapi Eropa
selalu akan mempertahankan pemikiran reflektif yang
berimbang berhubung dengan sistem-sistem itu. Namun, segera,
apabila ia menghadapi Islam maka keseimbangan itu terganggu
dan suatu prasangka emosional segera menjalar masuk. Dengan
sangat sedikit pengecualian, bahkan orientalis-orientalis
Eropa yang paling menonjolpun terlibat dalam sikap memihak
yang tidak ilmiah dalam penulisan-penulisan mereka tentang
Islam. Dalam penyelidikan-penyelidikan mereka hampir selalu
tampak seakan-akan Islam tidak dapat diperlakukan sebagai
bahan obyek penyelidikan ilmiah saja, tetapi sebagai seorang
tertuduh yang berdiri di hadapan hakim-hakimnya. Sebagian
dari orientalis-orientalis itu memainkan peranan penuntut
umum yang bersikeras mempertahankan tuduhannya; yang lainnya
seperti dewan pembela yang secara peribadi telah yakin bahwa
klientnya bersalah dan hanya dengan separuh-separuh hati
membela untuk "hal-hal yang meringankan." Teknik
deduksi-deduksi dan kesimpulan-kesimpulan yang dianut oleh
kebanyakan orientalis Eropa itu selalu mengingatkan kita
kepada sistem pengadilan inquisisi yang terkenal
kejahatannya itu, yang didirikan oleh gereja terhadap
lawan-lawannya pada zaman abad-abad pertengahan; mereka
hampir tidak pernah menyelidiki fakta-fakta historik dengan
pikiran terbuka, tetapi hampir dalam segala hal mereka mulai
dengan kesimpulan-kesimpulan sebelumnya yang telah
didiktekan oleh prasangka. Mereka memilih bukti-bukti sesuai
dengan kesimpulan yang secara a priori hendak mereka capai.
Apabila tidak mungkin memiliki bukti semacam itu, mereka
memotong-motong bagian-bagian bukti dari rangkaian
konteksnya atau "menafsirkan" pernyataan-pernyataannya dalam
semangat kejahatan yang tidak ilmiah tanpa memberikan
sedikit perhatian pada penyaksian pihak lain, yaitu kaum
Muslimin sendiri.
Hasil dari cara semacam itu adalah gambaran tentang Islam
dan hal-hal yang bersangkutan dengan Islam yang telah
dirusak secara dahsyat yang kita baca dalam
penulisan-penulisan orientalis-orientalis Barat. Kegiatan
merusak itu tidak terbatas pada sesuatu negara Eropa
tertentu: hal semacam itu terdapat di Inggris dan Jerman, di
Rusia dan Perancis, di Italia dan negeri Belanda
--singkatnya dari negeri mana saja orientalis-orientalis
Eropa memalingkan matanya kepada Islam. Tampaknya mereka
seperti dikilik-kilik oleh semacam perasaan kebencian yang
menyenangkan bilamana saja ada kesempatan --secara nyata
atau khayali-- menimbulkan kritik melawan Islam. Dan karena
orientalis-orientalis itu bukanlah suatu ras istimewa dari
Eropa tetapi hanyalah wakil-wakil peradaban dan alam sekitar
mereka, kita hanya dapat sampai pada satu kesimpulan bahwa
pikiran Eropa, pada keseluruhannya, karena sesuatu sebab,
berprasangka terhadap agama dan kebudayaan Islam. Salah satu
dari sebab-sebab itu mungkin berasal dari pandangan kuno
yang membagi-bagi seluruh dunia ini menjadi "Eropa" dan
"barbar"; dan sebab lain, yang lebih langsung berhubungan
dengan Islam, dapat diperoleh dengan melihat ke belakang, ke
masa silam sejarah zaman abad-abad pertengahan.
Tabrakan besar yang pertama antara sekutu Eropa di satu
pihak dan Islam di pihak lain, yaitu peperangan Salib,
terjadi bersama-sama dengan awal permulaan peradaban Eropa.
Pada waktu itu peradaban Eropa masih dalam persekutuan
dengan gereja, baru saja mulai melihat jalannya sendiri
sesudah abad-abad gelap yang telah mengikuti kejatuhan
Romawi. Kesusasteraan pada saat itu baru melalui suatu masa
berkuncup di musim semi. Kesenian mulai bangun
perlahan-lahan dari ketidurannya yang disebabkan
migrasi-migrasi peperangan bangsa-bangsa Goth, Hun dan Avar.
Eropa baru muncul dari keadaan-keadaan kasar permulaan
abad-abad pertengahan; Eropa baru beroleh suatu kesadaran
kultural baru, dan mulai saat itu baru memperoleh cita rasa
yang meningkat. Dan tepat pada masa yang sangat kritis
sekali itu peperangan peperangan salib membawanya ke dalam
kontak permusuhan dengan dunia Islam. Sesungguhnyalah telah
ada peperangan-peperangan antara kaum Muslimin dan Eropa
sebelum zaman perang Salib itu: orang-orang Arab menaklukkan
Sisilia dan Spanyol serta menyerang Perancis Selatan. Tetapi
peperangan-peperangan itu terjadi sebelum kebangkitan Eropa
kepada kesadaran kultural yang baru, dan oleh karena itu
pada waktunya sekurang-kurangnya dari segi pandangan Eropa,
mengandung karakter aliran setempat dan belum dipahami
sepenuhnya dalam segala kepentingannya. Peperangan Salib
adalah yang pertama dan paling utama yang menentukan sikap
Eropa terhadap Islam untuk abad-abad panjang kemudian.
Peperangan salib itu menentukan karena hal itu terjadi pada
masa kanak-kanaknya Eropa, suatu masa dimana segala gaya
kulturalnya yang khas sedang menegaskan dirinya untuk
pertama kalinya dan masih dalam proses pembentukan. Seperti
halnya pada individu perorangan; demikian pula pada
bangsa-bangsa, kesan dahsyat dari masa kanak-kanak bertahan,
dalam sadar atau tidak sadar, sepanjang hidupnya kemudian.
Mereka demikian terserap sehingga mereka hanya dapat dengan
susah payah, dan jarang sepenuhnya terlepas dari
pengalaman-pengalaman intelektual zaman kemudian yang lebih
reflektif dan lebih emosional. Demikianlah keadaannya dengan
peperang an Salib. Peperangan itu menghasilkan satu dari
kesan-kesan Eropa yang paling dalam dan paling permanen
dalam psikologi massa Eropa. Gairah universal yang
dibangkitkannya pada masanya tidak dapat dibandingkan dengan
segala yang pernah dialami Eropa sebelumnya, dan hampir tak
dapat dibandingkan dengan pengalaman-pengalamannya sesudah
itu. Suatu gelombang rangsangan menyapu seluruh benua itu,
suatu kegirangan yang melangkah ke luar batas-batas
negara-negara, bangsa-bangsa dan golongan-golongan,
sekurang-kurangnya pada satu waktu. Masa itulah yang
pertama-tama dalam sejarahnya Eropa merasa satu --dan itulah
persatuan melawan dunia Islam. Dengan tidak hendak terseret
kepada kelebih-lebihan yang tidak patut, kita dapat
mengatakan bahwa Eropa modern lahir dari semangat peperangan
Salib. Sebelum waktu itu terdapat Anglo-Saxon dan Jerman,
Perancis dan Normandia, Italia dan Denmark; tetapi selama
peperangan Salib konsep baru dari "peradaban Eropa," satu
tujuan sama bagi seluruh bangsa-bangsa Eropa, telah
diciptakan: dan kebencian terhadap Islamlah yang tegak
seperti tuhan-bapak di balik ciptaan baru itu ".
Adalah satu dari ironi besar sejarah bahwa bapak pertama
kesadaran kolektif dari dunia Barat ini, konstitusi
intelektual kita namakan dia, disebabkan oleh
gerakan-gerakan yang ditopang sepenuhnya tanpa reserve oleh
gereja Kristen, sedang hasil-hasil yang diperoleh karena itu
oleh dunia Barat hanya mungkin melalui pemberontakan
intelektual menentang hampir segala sesuatu yang telah
ditegakkan dan sedang ditegakkan gereja. Hal itu merupakan
suatu perkembangan tragik, baik dari segi pandangan gereja
Kristen sendiri maupun dari segi pandangan Islam. Tragik
bagi gereja karena sesudah permulaan yang menyilaukan,
gereja kehilangan pegangannya terhadap alam pikiran Eropa.
Dan tragik bagi Islam karena Islam harus menanggung api
peperangan Salib itu, dalam aneka bentuk dan dalam berbagai
samaran, selama abad-abad panjang kemudian.
Dan kekejaman-kekejaman yang tak terpikirkan,
penghancuran dan penghinaan yang dilakukan oleh
pahlawan-pahlawan Salib yang "suci-suci" itu pada
negeri-negeri Islam, mereka menaklukkannya dan sesudah itu
mereka kalah, timbullah bibit-bibit beracun dari permusuhan
panjang yang mulai saat itu memahitkan hubungan antara Timur
dan Barat. Kalau tidak demikian maka tidak ada satu
keperluan terpadu pada perasaan semacam itu. Walaupun
kebudayaan Islam dan kebudayaan Barat seluruhnya berbeda
dalam dasar-dasar spiritual dan tujuan-tujuan sosialnya,
keduanya tentu sanggup bersikap toleran dan hidup
berdampingan dalam hubungan bersahabat. Kemungkinan ini
bukan saja diberikan dalam teori tetapi juga dalam
kenyataan. Di pihak kaum Muslimin selalu ada harapan ikhlas
untuk toleransi dan respek. Ketika khalifah Harun al-Rasyid
mengirimkan dutanya kepada Kaisar Karel, terutama ia
terdorong oleh hasrat ini dan bukan untuk mengambil
keuntungan material dari persahabatan dengan orang-orang
Frank. Pada masa itu Eropa terlalu primitif dalam kulturnya
untuk dapat menilai kesempatan ini secara penuh, tetapi
jelas mereka tidak memperlihatkan rasa tidak suka. Tetapi
kemudian, secara tiba-tiba, peperangan Salib muncul di
cakrawala dan menghancurkan hubungan antara Islam dan Barat.
Bukan karena hal-hal ini lumrah sebagai akibat peperangan:
demikian banyak peperangan telah berlangsung antara
bangsa-bangsa dan kemudian dilupakan dalam perjalanan
sejarah ummat manusia, dan sekian banyak permusuhan telah
berubah menjadi persaudaraan. Tetapi setan yang ditimbulkan
peperangan Salib tidak terbatas pada gemerencing pedang:
setan itu pertama dan terutama berupa setan intelektual.
Kejahatan itu terjadi dari peracunan pikiran Barat terhadap
dunia Islam melalui penyalahtafsiran yang dilakukan dengan
sengaja yang ditempa oleh gereja terhadap ajaran-ajaran
Islam. Pada masa peperangan Saliblah pengertian memalukan
tentang Islam sebagai satu agama sensualisme yang kasar dan
keganasan keji, agama upacara-upacara formalitas --alih-alih
dari agama pembersihan hati-- memasuki pikiran Eropa dan
tinggal tetap dalam pikiran mereka; pada waktu itulah
pertama kalinya Nabi Muhammad saw. disebut "Mahound" (nabi
palsu) di Eropa.
Benih permusuhan telah ditaburkan. Gairah peperangan
Salib segera beroleh kelanjutannya di mana-mana di Eropa: ia
memberi semangat pada orang-orang Kristen Spanyol untuk
berjuang melepaskan negeri itu dari "belenggu orang-orang
biadab". Penghancuran terhadap Spanyol Islam meminta waktu
berabad-abad untuk diselesaikan. Tetapi justru karena sebab
lama berlangsungnya peperangan itu, perasaan anti Islam dari
Eropa diperdalam dan tumbuh menjadi permanen. Ini berakibat
pada pelenyapan unsur Muslimin di Spanyol sesudah
penghukuman-penghukuman paling buas dan paling keji yang
pernah disaksikan dunia dan kemenangan ini digemakan oleh
kegembira-riaan Eropa --walaupun efeknya kemudian adalah
kehancurkan kultur yang paling jaya dan penindasannya oleh
kebodohan dan kekasaran zaman abad-abad pertengahan.
Sebelum peristiwa-peristiwa itu beroleh waktu untuk
hilang, peristiwa yang penting sekali, yang memperburuk
hubungan antara dunia Barat dan Islam: kejatuhan
Konstantinopel ke tangan orang Turki. Bagi mata orang Eropa
di Konstantinopel masih ada gemerlap palsu Yunani dan Romawi
yang diwariskan pada Byzantium, dan kota ini dipandang
sebagai kubu terhadap "orang-orang barbar" dari Asia. Dengan
akhir kejatuhan pintu gerbang itu, Eropa terbuka bagi arus
pasang Islam. Dalam abad-abad penuh peperangan yang
menyusulnya, permusuhan Eropa terhadap Islam bukan saja
menjadi soal kultural tetapi juga kepentingan politik; dan
ini memperkuat intensitas permusuhan ini.
Eropa beroleh keuntungan yang lumayan dari semua kontak
dan konflik-konflik ini. Renaissance, kebangkitan kebudayaan
dan pengetahuan Barat, berhutang besar pada sumber-sumber
Islam, terutama dari orang-orang Arab, yang bagian besarnya
disebabkan karena kontak material antara Timur dan Barat.
Eropa yang beroleh untung daripadanya dalam lapangan kultur,
jauh lebih banyak daripada yang pernah diperoleh Islam;
tetapi Eropa tidak pernah mengakui hutangnya kepada kaum
Muslimin dengan mengurangi kebencian lamanya terhadap Islam.
Sebaliknya kebencian itu timbul bersama perjalanan waktu dan
diperkeras menjadi adat. Ia membayangi perasaan umum dimana
saja kata-kata "Islam" disebut, ia memasuki wilayah
peribahasa populer, ia dipatri ke dalam hati setiap orang
Eropa laki-laki dan perempuan. Dan yang paling menonjol, ia
hidup terus melewati segala perubahan-perubahan kultural.
Waktu timbul reformasi, ketika perpecahan-perpecahan membagi
Eropa dan sekte-sekte saling berperang: kebencian terhadap
Islam sama bagi mereka semua. Suatu masa pernah datang
ketika perasaan keagamaan mulai lenyap di Eropa: tetapi
kebencian terhadap Islam tinggal menetap. Adalah satu fakta
yang paling khas bahwa filosof dan pujangga besar Perancis,
Voltaire, satu dari musuh-musuh keras gereja dan agama
Kristen dalam abad kedelapan belas, pada saat yang sama juga
adalah pembenci fanatik terhadap Islam dan Nabinya. Beberapa
puluh tahun kemudian datanglah waktu di mana orang-orang
terpelajar Barat mulai mempelajari kultur-kultur asing dan
untuk mendekatinya secara simpatik: tetapi dalam perkara
Islam, cemoohan tradisional menjalar sebagai prasangka tidak
rasional kedalam penyelidikan-penyelidikan ilmiah mereka,
dan jurang kultural yang sayangnya telah diletakkan sejarah
antara Eropa dan dunia Islam tetap tak beroleh jembatan.
Kebencian terhadap Islam telah menjadi bagian pokok --dari
pikiran Eropa. Memang orientalis-orientalis pertama di zaman
modern adalah dari misionari Kristen yang beroperasi di
negeri-negeri Islam, dan gambar yang telah dirusak yang
mereka tarik dari ajaran dan sejarah Islam diperhitungkan
untuk mempengaruhi Eropa dalam sikap mereka terhadap
"orang-orang biadab" itu: tetapi penyimpangan pikiran ini
menetap bahkan hingga pada zaman sekarang ini ketika
pengetahuan orientalism telah lama dilepaskan dari
pengaruh-pengaruh misionari dan tidak memiliki semangat
religius sebagai landasannya. Prasangka mereka terhadap
Islam hanyalah naluri warisan, suatu keganjilan pandangan
berdasarkan kesan yang disebabkan peperangan Salib dengan
segala akibat pada pikiran Eropa awal itu.
Tetapi bagi ahli ilmu jiwa penyeretan semacam itu sama
sekali tidak mengejutkan. Ahli ilmu jiwa tahu dengan pasti
sekarang bahwa seseorang dapat dengan sempurna kehilangan
kepercayaan-kepercayaan agamanya yang telah diberikan
kepadanya pada masa kanak-kanaknya sedang sesuatu takhyul
aneh yang mulanya berhubungan dengan kepercayaan-kepercayaan
yang sekarang telah dikesampingkan tetap kuat dan menantang
segala keterangan rasional sepanjang hidup orang itu.
Demikianlah halnya sikap Eropa terhadap Islam. Walaupun asal
akarnya adalah perasaan religius, kebencian anti Islam
terseret kepada pandangan hidup yang lebih materialistik,
sehingga kebencian lama itu sendiri menetap sebagai faktor
bawah sadar dalam pikiran Eropa. Tingkat kekuatannya tentu
saja berbeda-beda pada setiap individu, tetapi adanya tidak
dapat dibantah. Jiwa peperangan salib --dalam bentuk yang
pasti sangat dilancungkan-- masih berkelana di Eropa, dan
sikap peradabannya terhadap dunia Islam mengandung
jejak-jejak yang nyata dari hantu yang tidak mau mati
itu.
Dalam lingkungan-lingkungan Islam kita sering mendengar
penegasan bahwa kebencian Eropa terhadap Islam karena
konflik-konflik dahsyat di masa lampau sedang berkurang
berangsur-angsur pada zaman kita ini. Bahkan dikira bahwa
Eropa sudah menunjukkan tanda-tanda kecenderungan kepada
Islam sebagai ajaran agama dan ajaran sosial dan banyak kaum
Muslimin yang dengan sangat sungguh-sungguh percaya bahwa
masuknya orang-orang Eropa secara besar-besaran ke dalam
Islam segera akan terjadi. Kepercayaan ini bukan tidak
beralasan bagi kita yang berpegangan bahwa dari segala
sistem-sistem agamawi hanya Islam saja yang dapat tegak
dengan jaya di hadapan ujian kritik yang adil. Lagi pula
telah dikatakan oleh Nabi bahwa akhirnya Islam akan diterima
oleh seluruh ummat manusia. Tetapi di pihak lain, tidak ada
bukti yang kecil sekalipun bahwa hal ini akan terjadi di
waktu akan datang yang dapat dirasakan. Sejauh berhubungan
dengan peradaban Barat, hal itu hanya mungkin terjadi
sesudah serentetan gejolak sosial dan mental yang dahsyat
yang akan menghancurkan penipuan-diri kultural Eropa
sekarang dan mengubah mentalitasnya sehingga memungkinkan ia
menjadi cakap dan sedia menerima keterangan religius tentang
kehidupan. Sekarang dunia Barat masih tenggelam seluruhnya
dalam pemujaan hasil-hasil capaian materialnya dan dalam
kepercayaan bahwa keenakan, dan hanya keenakan saja, yang
merupakan tujuan yang patut diperjuangkan. Materialismenya,
penolakannya terhadap pandangan pikiran religius tentulah
sedang bertambah kuat dan tidak berkurang seperti hendak
dipercayakan oleh sebagian peninjau Muslimin yang
optimis.
Telah dikatakan bahwa pengetahuan modern mulai mengakui
adanya satu kesatuan tenaga kreatif dibalik kerangka alam
yang tampak; dan ini dalam anggapan orang-orang yang optimis
itu adalah fajar kesadaran religius baru di dunia Barat.
Tetapi dugaan ini hanya mengungkapkan rahasia suatu salah
paham pikiran ilmiah Eropah.
Tidak ada ahli ilmu pengetahuan yang sungguh-sungguh
pernah menolak atau dapat menolak bahwa semesta alam ini
disebabkan pada asalnya oleh satu sebab dinamik yang
tunggal. Tetapi masalahnya selalu adalah sifat-sifat yang
dapat diberikan pada "sebab" itu. Segala sistem kerohanian
religius menegaskan bahwa itulah tenaga yang memiliki
kesadaran dan budi mutlak, suatu kekuatan yang menciptakan
dan mengatur semesta alam ini sesuai dengan satu rencana dan
tujuan, tanpa ia sendiri dibatasi oleh hukum apapun:
singkatnya, adalah Allah. Tetapi ilmu pengetahuan modern
semacam itu tidak dipersiapkan dan tidak cenderung untuk
maju sejauh itu (dan memang ini bukan wilayah sains) dan
meninggalkan soal kebebasan dan tidak bergantung --dalam
kata lain, soal keilahian-- dari tenaga kreatif itu sangat
terbuka. Sikapnya kira-kira begini: "Mungkin demikian,
tetapi aku tidak mengetahuinya dan aku tidak punya jalan
ilmiah untuk mengetahuinya."
Di masa depan falsafah ini barangkali akan berkembang
menjadi semacam agnotisisme pantheistik dimana ruh dan
benda, tujuan dan wujud, pencipta dan ciptaan, dianggap satu
dan sama. Sukarlah untuk mengakui bahwa kepercayaan semacam
itu dapat dianggap satu langkah maju menuju konsepsi Islam
yang positif tentang Tuhan: karena hal itu tidak merupakan
suatu perpisahan dengan materialisme, tetapi hanya satu
peningkatannya pada taraf intelektual yang lebih tinggi dan
lebih muluk.
Sebagai kenyataan Eropa tidak pernah lebih jauh dari
Islam daripada di masa sekarang ini. Permusuhan aktifnya
terhadap agama kita mungkin sedang mundur; tetapi ini bukan
karena suatu penilaian terhadap ajaran-ajaran Islam,
melainkan karena kelemahan kultural dan perpecahan dari
dunia Islam yang sedang tumbuh. Eropa sekali pernah takut
kepada Islam dan ketakutan ini memaksa Eropa mengambil sikap
permusuhan terhadap segala sesuatu yang bercorak Islam
bahkan dalam soal-soal spiritual dan sosial pun juga. Tetapi
pada saat ketika Islam telah kehilangan segala peranannya
sebagai satu faktor yang berhadap-hadapan dengan
kepentingan-kepentingan politik Eropa, sangatlah alami bahwa
dengan berkurangnya ketakutan itu Eropa sewajarnya pula
menghilangkan sebagian intensitas perasaan anti Islamnya.
Kalau hal-hal ini telah menjadi kurang menonjol dan kurang
aktif, ini tidak harus membawa kita pada kesimpulan bahwa
Eropa dalam batinnya sedang datang lebih mendekat pada
Islam: ini hanya menunjukkan sikap tidak acuhnya pada
Islam.
Sekali-kali tidaklah peradaban Barat mengubah sikap
mentalnya yang khas. Eropa sekarang sama kuatnya menentang
kosepsi hidup religius sebagaimana sebelumnya; dan seperti
telah saya katakan, tidak ada bukti meyakinkan bahwa suatu
perubahan akan tampak terjadi dalam waktu singkat di masa
depan. Adanya misi Islam di Barat dan kenyataan bahwa
sebagian orang Eropa dan Amerika telah memeluk agama Islam
sama sekali bukan alasan. Dalam masa dimana materialisme
sedang jaya diatas segala basis, hanyalah alami saja bahwa
di sana-sini beberapa orang yang masih merindukan regenerasi
spiritual mendengar penuh semangat pada kepercayaan apapun
yang berdasarkan konsepsi-konsepsi religius. Dalam pandangan
ini misi Islam tidak berdiri sendiri di Barat. Di sana
terdapat sekte-sekte mistik Kristen yang tak terhitung
jumlahnya dengan tendensi-tendensi "revivalist", di sana ada
gerakan theosofi yang agak kuat, di sana ada
kelenting-kelenting Budha serta misi-misi dan ada
pemeluk-pemeluk agama baru pada berbagai kota-kota Eropa.
Justru dengan menggunakan argumen-argumen yang sama dengan
argumen dari misi-misi Islam itu, misi-misi agama Budha
dapat mengakui (dan memang mereka mengakui) bahwa Eropa
sedang "datang mendekat" pada Budhisme. Penerimaan agama
oleh beberapa orang kedalam Budhisme atau agama Islam
sekali-kali tidak membuktikan bahwa kedua aliran kepercayaan
itu sesungguhnya telah mulai mempengaruhi kehidupan Barat
dalam bandingan yang patut dinilai. Orang malah dapat maju
lebih jauh lagi bahwa tidak ada dari misi itu yang telah
sanggup membangkitkan lebih dari sekedar rasa ingin tahu
terutama karena perkosaan yang dibuat oleh
kepercayaan-kepercayaan atas pikiran-pikiran bangsa yang
cenderung pada romantika. Tentu saja ada
kekecualian-kekecualian dan sebagian dari pemeluk agama ini
adalah orang-orang yang dengan sungguh-sungguh mencari
kebenaran; tetapi kekecualian tidaklah cukup untuk mengubah
aspek satu peradaban. Sebaliknya apabila kita bandingkan
jumlah pemeluk-pemeluk baru yang terkecuali ini dengan
jumlah orang-orang Barat yang setiap hari mengalir masuk
pada kepercayaan-kepercayaan sosial materialistik seperti
Marxisme dan Fascisme, kita akan sanggup untuk menilai lebih
benar tentang kecenderungan-kecenderung kebudayaan Barat
modern.
Mungkin, seperti telah ditunjukkan sebelumnya, bahwa
ketegangan sosial dan ekonomi yang terus tumbuh dan mungkin
juga satu rangkaian baru dari peperangan-peperangan dunia
dalam dimensi-dimensi yang hingga kini belum dikenal serta
terror-terror ilmiah akan membawa sorotan dahsyat terhadap
penipuan diri materialistik dari peradaban Barat, sehingga
ummatnya akan mulai sekali lagi dalam kesederhanaan dan
kesungguhan, untuk mencari kebenaran-kebenaran spiritual;
dan kemudian memungkinkan khotbah Islam di Barat. Tetapi
perubahan-perubahan itu masih tersembunyi di balik cakrawala
masa depan; karena itu adalah optimisme menipu diri yang
berbahaya bagi kaum Muslimin untuk berbicara tentang
pengaruh Islam seakan-akan sedang dalam perjalanan untuk
menaklukkan semangat Eropa. Pembicaraan semacam itu pada
hakekatnya tidak lain daripada kepercayaan Mahdi kuno dalam
samarannya yang "rasional" --kepercayaan akan satu kekuatan
yang tiba-tiba muncul dan membuat bangunan Islam yang sedang
goncang tiba-tiba menjadi jaya. Kepercayaan itu berbahaya
karena enak dan mudah dan cenderung untuk meninabobokkan
kita, menjauh dari kenyadaran akan kenyataan bahwa secara
kultural kita belum sampai ke mana-mana, sedang pengaruh
Barat sekarang ini makin mencekam dalam dunia Islam; bahwa
kita sedang tidur sementara pengaruh-pengaruh Barat
membongkar dan menghancurkan masyarakat Islam di mana-mana.
Menghasratkan perluasan penyebaran Islam tidaklah sama
dengan membangun harapan palsu di atas hasrat itu.
Kita sedang memimpikan sinar Islam memancar ke
wilayah-wilayah jauh, sementara dalam wilayah sekitar kita
sendiri pemuda Islam sedang meninggalkan medan harapan
kita.
|