|
|
Selama kaum Muslimin memandang kebudayaan Barat sebagai satu-satunya kekuatan yang dapat meregenerasi kebudayaannya yang macet, maka mereka menghancurkan kepercayaan kepada diri mereka sendiri dan secara tidak langsung menopang penegasan Barat bahwa Islam adalah satu "kekuatan yang telah habis dikerahkan." Dalam pasal-pasal sebelumnya telah diberikan beberapa alasan bagi pendapat bahwa Islam dan peradaban Barat, karena didirikan di atas konsepsi-konsepsi hidup yang bertentangan sama sekali, tidak dapat dipertemukan dalam jiwanya. Karena demikian halnya, betapa kita dapat mengharapkan bahwa pendidikan angkatan muda Islam atas garis-garis Barat, satu sistem pendidikan yang seluruhnya didasarkan atas pengalaman-pengalaman dan nilai-nilai kultural Eropa, akan tetap bebas dari pengaruh-pengaruh anti-Islam? Kita tidak dibenarkan untuk mengharapkan ini. Kecuali dalam hal-hal yang jarang dimana pikiran cemerlang yang istimewa dapat menang atas hal-hal yang bersangkutan dengan pengaruh pendidikan, pendidikan Barat bagi angkatan muda Islam tentu akan membuang kemauan mereka untuk percaya pada risalah Nabi, membuang kemauan mereka untuk memandang diri mereka sebagai orang-orang yang mewakili kebudayaan Islam yang khas itu. Dapat dipastikan bahwa kepercayaan religius dengan pesat telah kehilangan tempat berpijak di kalangan inteligensia yang dididik menurut garis-garis Barat. Tentu saja ini tidak berarti bahwa Islam telah mempertahankan kemurniannya sebagai agama praktis di kalangan tidak terpelajar; tetapi betapapun juga, pada umumnya dari golongan ini kita mendapatkan sambutan sentimentil yang jauh lebih besar terhadap panggilan Islam --dalam jalan pengertian mereka yang sederhana-- daripada di kalangan kaum inteligensia yang telah dibaratkan. Menyingkirnya kaum inteligensia hasil pendidikan Barat ini tidaklah berarti bahwa ilmu pengetahuan, yang telah dihidangkan untuk santapan mereka telah memberikan argumentasi ilmiah --menentang kebenaran-kebenaran ajaran-ajaran agama kita, tetapi bahwa suasana intelektual peradaban Barat modern demikian keras anti agama, sehingga ia menekan sebagai beban maut atas kemungkinan-kemungkinan religius dari generasi muda Islam. Kepercayaan dan ketidakpercayaan religius sangat jarang yang hanya merupakan masalah argumentasi. Dari beberapa hal salah satunya diperoleh melalui jalan intuisi, atau marilah kita namakan dia "budi." Tetapi kebanyakan ia tersalur pada manusia melalui lingkungan kulturalnya. Ingatlah bahwa seorang anak yang sejak permulaan usianya secara sistematik mendengarkan lagu-lagu yang dibunyikan dengan sempurna, pendengarannya menjadi biasa untuk membeda-bedakan nada ritme dan harmoni: dalam usianya yang lebih lanjut ia akan sanggup, apabila tidak untuk mencipta lagu atau melagukannya, sekurang-kurangnya ia akan dapat memahami musik yang sulit sekalipun. Tetapi anak yang selama usia mudanya tidak pernah mendengar apapun yang menyerupai musik, di kemudian hari akan merasa sukar untuk menilai sekalipun hanya unsur-unsurnya saja. Demikian pula halnya dengan asosiasi-asosiasi religius. Seperti mungkin ada individu yang tidak beroleh "telinga" untuk musik, demikianlah --mungkin tetapi tidak bakal-- ada individu-invidu yang "tuli" sama sekali terhadap suara agama. Tetapi bagi bagian yang terbesar sekali dari makhluk manusia yang normal alternatif antara percaya dan ketidakpercayaan religius ditentukan oleh suasana di mana mereka dibesarkan. Itulah maka Nabi bersabda: "Setiap anak dilahirkan dalam kesucian asli; orang tuanyalah yang membuat dia menjadi Yahudi, Masehi atau Majusi " (Hadits shahih Bukhari). Perkataan "orang tua" yang dipergunakan dalam hadits di atas secara logis dapat diartikan secara umum sebagai alam sekitar --kehidupan keluarga, sekolah, masyarakat dan sebagainya-- yang menentukan perkembangan permulaan si anak. Tidak dapat disangkal bahwa dalam keadaan kemunduran sekarang, suasana agama pada kebanyakan rumah tangga kaum Muslimin demikian rendah, menurun secara intelektual, sehingga dapat menimbulkan rangsangan pertama bagi si anak yang sedang tumbuh untuk membelakangi agama. Tentu ada kemungkinan demikian; tetapi dalam hal pendidikan pemuda-pemuda Muslimin menurut garis-garis Barat, efeknya bukan saja mungkin, tetapi sangat boleh jadi sekali, akan menimbulkan sikap anti agama dalam kehidupannya di kemudian hari. Tetapi dari sini datang pertanyaan besar: bagaimanakah mestinya sikap kita terhadap pengajaran modern? Protes terhadap pendidikan ala Barat bagi kaum Muslimin sama sekali tidak berarti bahwa Islam menentang pendidikan ilmu pengetahuan. Lawan-lawan menuduh bahwa Islam tidak mempunyai dasar theologik maupun historik. Kitab suci al-Qur'an penuh dengan penegasan-penagasan seperti: "supaya kamu jadi bijaksana", "supaya kamu berpikir", "supaya kamu tahu". Dikatakan di bagian permulaan kitab suci al-Qur'an: "Dan Ia mengajarkan Adam akan segala nama-nama itu." (Qur'an Suci, 2: 21) dan ayat-ayat bersangkutan dengan itu, menunjukkan bahwa karena pengetahuannya tentang "nama-nama" itu maka dalam pandangan tertentu manusia bahkan lebih tinggi derajatnya dari malaikat. "Nama-nama" di sini merupakan pernyataan simbolik untuk kemampuan memberi definisi yang khas bagi makhluk manusia, yang memungkinkan dia, dalam kata-kata al-Qur'an, untuk menjadi khalifah Allah di atas bumi. Dan untuk membuat penggunaannya secara sistematik, manusia harus belajar. Dan sehubungan dengan itu Nabi s.a.w. bersabda: "Apabila seseorang pergi dalam jalan menuntut ilmu pengetahuan, Allah akan memudahkan bagi dia jalan ke surga." (Hadits shahih Muslim) "Kelebihan orang berilmu pengetahuan atas orang yang (hanya) bersembahyang saja seperti kelebihan derajat bulan pada malam apabila (bulan) itu penuh atas segala bintang-bintang." (Musnad Ibn Hambal, Jami' At-Tirmidzi, Sunan Abi Da'ud, Sunan Ibnu Majah, Sunan ad-Darimi). Tetapi sebenarnya bahkan tidak perlu mengutip ayat-ayat al-Qur'an dan Hadits Nabi untuk membela sikap Islam terhadap penuntutan ilmu pengetahuan. Sejarah Islam membuktikan di luar batas kemungkinan ragu bahwa tidak ada agama yang pernah memberikan dorongan semangat bagi kemajuan ilmiah seperti yang diberikan Islam. Dorongan semangat yang diperoleh penyelidikan ilmu pengetahuan dan pendidikan dari agama Islam berhasil dalam bentuk capaian kultural yang cemerlang dalam zaman Umayyah dan Abasiyyah dan zaman pemerintahan Islam di Spanyol. Eropa harus benar-benar mengetahui bahwa kulturnya tidak kurang berhutang kepada Islam daripada hutangnya pada renaissance sesudah berabad-abad dalam kegelapan. Saya tidak menyebut ini supaya kita kaum Muslimin boleh membanggakan diri dalam kenangan-kenangan jaya itu pada zaman ketika dunia Islam telah meninggalkan tradisinya sendiri dan jatuh ke dalam kebutaan dan kemiskinan intelektual ini. Dalam kemelaratan kita sekarang ini kita tidak punya hak untuk membanggakan kejayaan-kejayaan kita di masa lalu. Tetapi kita harus menyadari bahwa karena kelalaian kaum Musliminlah, dan bukan karena kekurangan dalam ajaran-ajaran Islam, yang menyebabkan kemunduran kita sekarang. Islam tidak pernah jadi penghalang bagi kemajuan ilmu pengetahuan. Islam menghargai kegiatan intelektual manusia sampai tingkat demikian tinggi sehingga menempatkan dia di atas derajat malaikat. Tidak ada agama yang sampai sejauh itu dalam menegaskan dominasi akal pikiran, dan sebagai konsekuensinya, juga atas ilmu pengetahuan, diatas segala manifestasi-manifestasi hidup lainnya. Apabila kita berpegang teguh pada prinsip-prinsip agama ini, kita tidak dapat berkehendak untuk melenyapkan pengetahuan modern dari kehidupan kita. Kita harus punya kemauan untuk belajar dan untuk maju dan menjadi efisien seperti bangsa-bangsa Barat dalam bidang ilmu pengetahuan dan ekonomi. Tetapi yang tidak boleh dikehendaki oleh kaum Muslimin adalah melihat dengan mata Barat, berpikir dengan pikiran Barat; mereka tidak boleh, kalau mereka berhasrat untuk tetap Muslim, berkehendak untuk menukar peradaban spiritual Islam dengan eksperimen-eksperimen Barat yang materialistik. Pengetahuan itu sendiri tidak Barat dan tidak Timur; pengetahuan itu universal --tepat sebagaimana fakta-fakta alam itu universal. Tetapi sudut pandangan dari mana fakta-fakta dapat dipandang dan disuguhkan berbeda-beda menurut tabiat kebudayaan bangsa-bangsa. Biologi atau fisika sendiri umpamanya, tidak materialistik dan tidak spiritual dalam cakupan dan tujuannya; ilmu pengetahuan itu bersangkutan dengan observasi, koleksi dan defenisi dari fakta-fakta dan pengambilan hukum-hukum umum daripadanya. Tetapi kesimpulan-kesimpulan ini --yaitu falsafah ilmu pengetahuan-- tidak didasarkan atas fakta-fakta dan observasi-observasi saja, tetapi dipengaruhi dengan sangat luasnya oleh sikap intentif dan sikap temperamental yang ada sebelumnya kepada hidup dan problema-problema hidup. Filosof besar Jerman, Kant, mengatakan: "Tampaknya mengherankan pada mulanya, tetapi sama sekali tidak kurang pastinya, bahwa pemikiran kita tidak menarik kesimpulan dari alam, tetapi menerapkan pemikiran kita padanya." Singkatnya hanyalah segi pandangan subyektif yang menjadi soal di sini karena hal itu dapat mengubah seluruh penafsiran kita tentang alam semesta, interpretasi-interpretasi yang mungkin spiritual atau materialistik sesuai dengan pembawaan kita. Barat, walaupun intelektualismenya sangat indah, telah terbawa dalam arus materialistik dan oleh karena itu anti-agama dalam konsepsi-konsepsi dan pengiraan-pengiraan fundamentalnya; dan demikianlah wajarnya sistem pendidikan Barat pada keseluruhannya. Dengan kata lain, bukan studi tentang pengetahuan empirik yang merugikan pada realitas kultural Islam, tetapi jiwa peradaban Barat yang ditempuh kaum Muslimin dalam mendekati ilmu- lmu pengetahuan itu. Sangat tidak beruntung bahwa sikap tak acuh kita dan kelalalaian kita berabad panjang sejauh berhubungan dengan penyelidikan ilmiah, telah membuat kita seluruhnya bergantung pada sumbersumber pengetahuan Barat. Kalau kita selalu mengikuti prinsip yang menetapkan kewajiban belajar dan menuntut ilmu pengetahuan pada setiap Muslim, sekarang kita tidak harus mencari ilmu pengetahuan modern dari Barat dan dalam cara yang sama seperti orang yang sedang sekarat kehausan di padang pasir melihat bayangan air di cakrawala. Tetapi karena telah meninggalkan kemungkinan-kemungkinan kita sendiri selama waktu panjang, maka kita telah jatuh kedalam kebodohan dan kemiskinan, sementara Eropa melangkah maju dengan pesat. Akan makan waktu lama untuk menjembatani perbedaan ini, sehingga kita secara alami akan terpaksa menerima ilmu pengetahuan modern melalui media pendidikan Barat. Tetapi satu-satunya alat yang harus kita terima adalah hal-hal dan metoda-metoda ilmiah, dan tidak lain. Dengan kata lain kita tidak harus ragu-ragu untuk mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan eksakta atas garis-garis Barat, tetapi tidak boleh kita memasukkan falsafah mereka walaupun sebagian kecil, dalam pendidikan generasi muda Islam. Tentu saja orang dapat mengatakan bahwa sekarang ini kebanyakan dari ilmu-ilmu pengetahuan eksakta, fisika atom umpamanya, telah maju melampaui batas penyelidikan empiris melulu dan telah memasuki bidang falsafah; dan dalam banyak hal sukar luar biasa untuk menarik garis batas antara ilmu pengetahuan empiris dan falsafah spekulatif. Ini benar. Tetapi pada segi lain, inilah justeru tepatnya titik dimana kultur Islam harus mengesahkan idenditas dirinya lagi. Menjadi kewajiban dan merupakan kesempatan bagi ahli ilmu pengetahuan Muslimin, ketika sekali mereka mencapai garis batas penyelidikan ilmiah itu, untuk menggunakan kemampuan mereka sendiri dalam wilayah pemikiran spekulatif dengan tidak bergantung pada teori-teori falsafah Barat. Dari sikap mereka sendiri --yang islami-- boleh jadi mereka akan tiba pada kesimpulan-kesimpulan yang berbeda dari kesimpulan-kesimpulan ahli ilmu pengetahuan Barat modern. Tetapi apapun yang mungkin disuguhkan oleh masa depan, pastilah mungkin, bahkan sekarang juga, untuk mempelajari dan mengajarkan ilmu pengetahuan tanpa penyerahan membudak pada sikap intelektual Barat. Yang paling mendesak dari yang diperlukan dunia Islam sekarang bukanlah pandangan filosofs tetapi sekedar perlengkapan ilmiah dan teknik modern. Kalau saya harus membuat usul-usul untuk dewan pendidikan ideal yang dikuasai oleh pertimbangan-pertimbangan Islam saja, saya akan mendesakkan bahwa dari segala hasil-hasil capaian intelektual Barat hanya ilmu-ilmu pengetahuan alam (dalam sikap terbatas seperti tersebut di atas) dan ilmu pasti saja yang harus diajarkan di sekolah-sekolah Islam, sedang pendidikan falsafah Barat harus bersih dari permulaannya. Dan tentang kesusasteraan Eropah, tentu saja tidak boleh diambil seluruhnya, tetapi harus ditempatkan pada posisi-posisi falsafahnya yang semestinya. Cara kesusasteraan ini diajarkan sekarang di negeri-negeri Islam terang-terang berat sebelah. Membesar-besarkan nilai-nilainya secara tidak terbatas, secara alami membawa pikiran muda dan belum matang untuk menghirup semangat peradaban Barat dengan sepenuh hati sebelum aspek-aspek negatifnya dapat dinilai dengan cukup. Dan dengan demikian bumi telah dipersiapkan bukan saja bagi pemujaan platonik tetapi juga peniruan praktis peradaban Barat --yang tidak mungkin dapat berjalan bersama jiwa Islam. Peranan kesusasteraan Eropa di sekolah-sekolah kaum Muslimin sekarang harus diambil alih oleh mata pelajaran kesusasteraan Islam yang berpandangan tajam dan layak, dengan suatu orientasi untuk memberikan kesan kepada pelajar dengan kedalaman dan kekayaan kultur Islam, dan dengan demikian untuk meresapkan kedalam dirinya harapan baru bagi masa depannya. Apabila mata pelajaran kesusasteraan, dalam bentuk yang sekarang lazim pada kebanyakan lembaga-lembaga Islam, turut membantu pengasingan pemuda-pemuda Muslim dari Islam, maka dalam ukuran yang jauh lebih besar sama benarlah itu dengan interpretasi Eropa tentang sejarah dunia. Dalam interpretasi Eropa tentang sejarah jelas disuguhkan kepada kita sikap kuno "Romawi lawan barbar." Interpretasi sejarah mereka bertujuan --tanpa mengakui tujuan itu-- untuk membuktikan bahwa bangsa-bangsa Barat dan peradaban mereka lebih tinggi daripada apapun yang telah dihasilkan dunia; dan dengan demikian ia memberi semacam pembenaran moral bagi usaha Barat untuk menguasai seluruh bagian dunia lainnya. Sejak dari zaman Romawi bangsa-bangsa Eropa telah membiasakan diri memandang perbedaan-perbedaan Timur dan Barat dari titik pijak norma Eropa yang salah itu. Dalam pertimbangannya, mereka bekerja atas dasar anggapan bahwa perkembangan ummat manusia hanya dapat dinilai atas dasar pengalaman-pengalaman kultural Eropa. Sewajarnyalah apabila pandangan yang disempitkan semacam itu menghasilkan perspektif yang rusak dan makin jauh, garis-garis observasi menyimpang dari basis kebiasaan pandangan Eropa, makin sulit bagi orang-orang Eropa untuk menangkap wajah dan struktur sebenarnya dari obyek-obyek historik yang dipertimbangkannya. Karena sikap ego-sentrik dari orang-orang Eropa, sejarah deskriptif mereka tentang dunia, sekurang-kurangnya hingga waktu ini, dalam kenyataannya tidak lain dari sejarah Barat yang diperluas. Bangsa-bangsa bukan Eropa hanya diperhatikan sejauh adanya dan perkembangannya berhubungan langsung dengan nasib Eropa dalam detail-detailnya yang banyak dan dalam warna-warna hidup, dan hanya mengizinkan pandangan-pandangan sepintas lalu di sana-sini pada bagian dunia lainnya; pembaca cenderung untuk menyerah pada ilusi bahwa kebesaran hasil-hasil capaian Barat dalam pandangan sosial dan intelektual tidak dapat dibandingkan dengan seluruh bagian dunia lainnya. Maka nyaris tampak seakan-akan dunia ini diciptakan untuk Eropa dan peradabannya saja, sedang seluruh peradaban lainnya hanya dimaksudkan.untuk membentuk satu bingkai yang cocok bagi seluruh kejayaan Barat itu. Satu-satunya efek yang dapat dicapai pendidikan Barat semacam itu pada pikiran pemuda bukan Eropa adalah perasaan kurang-harga-diri sejauh berhubungan dengan kultur-kultur mereka, sejarah masa lalu mereka serta kemungkinan-kemungkinan masa depan mereka sendiri. Mereka dididik secara sistematik untuk memungkiri masa depan mereka sendiri --kecuali apabila masa depan mereka itu diserahkan pada ideal-ideal Barat. Demi untuk merintangi efek-efek kejahatan ini, pemimpin-pemimpin pemikir Islam yang bertanggungjawab harus berusaha sekuat mungkin untuk merevisi pelajaran sejarah dalam lembaga-lembaga Islam. Tentu saja ini satu tugas yang sukar, dan ini akan meminta satu penyelidikan dan penelitian sejarah sebelum dihasilkan sejarah dunia baru seperti dilihat dengan mata Muslim. Tetapi walaupun tugas ini sulit, sama sekali bukanlah mustahil, dan lebih-lebih lagi: hal ini wajib. Kalau tidak demikian maka generasi muda akan terus disuguhi dengan arus-bawah kebencian terhadap Islam: dan hasilnya akan memperdalam perasaan kurang-harga-diri. Perasaan kurang-harga-diri ini tentu saja pasti akan teratasi apabila kaum Muslimin bersedia mengasimilasi kultur Barat dalam keseluruhannya dan melenyapkan Islam dari kehidupan mereka. Tetapi apakah mereka bersedia melakukannya? Kita percaya, dan perkembangan Barat sekarang ini menguatkan lagi kepercayaan ini, bahwa etika Islam, konsep-konsepnya tentang moral, keadilan sosial dan perorangan, tentang kemerdekaan, tidak terbatas lebih tingginya, tidak terbatas lebih sempurnanya daripada konsep-konsep dan ide-ide yang berhubungan dengan itu dalam peradaban Barat. Islam telah melenyapkan kebencian rasial dan membuka jalan bagi persaudaraan dan persamaan sesama manusia, sedang peradaban Barat masih tetap tidak sanggup melihat kebalik cakrawala antagonisme rasional dan nasional. Islam tidak pernah mengenal kelas-kelas dan perjuangan kelas dalam masyarakatnya, tetapi seluruh sejarah Eropa sejak dari zaman Yunani dan Romawi hingga pada zaman kita sekarang, penuh dengan perjuangan kelas dan kebencian rasial. Berkali-kali harus diulang bahwa hanya satu hal saja yang dapat diperoleh dengan manfaatnya dari Barat, yaitu ilmu-ilmu pengetahuan eksakta dalam bentuknya yang murni dan yang diterapkan. Keperluan untuk menuntut ilmu pengetahuan dari luar tidak boleh membawa akibat seorang Muslim memandang peradaban Barat lebih tinggi dari kebudayaannya sendiri --kalau tidak demikian maka ia sebenarnya tidak mengerti apa arti Islam. Kelebihan satu kultur atau civilisasi atas kultur atau civilisasi lainnya tidak terletak pada pemilikan jumlah lebih besar ilmu pengetahuan material (walaupun ini lebih disukai), tetapi pada enersi etiknya, pada kemungkinannya yang lebih besar untuk menerangkan dan mengkordinasi segala aspek-aspek kehidupan manusia. Dan dalam pandangan ini Islam mengatasi segala macam kultur. Kita hanya harus mengikuti hukum-hukumnya supaya mencapai setinggi mungkin yang dapat dicapai makhluk manusia. Tetapi kita tidak dapat dan tidak boleh meniru peradaban Barat kalau kita hendak mempetahankan dan menghidupkan nilai-nilai Islam. Kejahatan yang disebabkan pengaruh intelektual dari peradaban itu dalam tubuh Islam jauh lebih besar daripada keuntungan material yang mungkin diberikannya. Kalau di masa lalu kaum Muslimin lalai dalam penuntutan ilmu pengetahuan, mereka tidak patut mengharap untuk memperbaiki kesalahan itu sekarang dengan jalan menerima pengetahuan Barat tanpa terkendali. Segala kemunduran kita dalam bidang ilmu pengetahuan dan segala kemiskinan kita tidak dapat dibandingkan dengen efek maut, terhadap kemungkinan-kemungkinan religius dunia Islam, akibat dari perbuatan kita meniru buta struktur pendidikan Barat. Apabila kita hendak mempertahankan realitas Islam sebagai satu faktor kultural maka kita haus waspada terhadap suasana intelektual peradaban Barat yang kini sedang menaklukkan masyarakat kita dan kecenderungan-kecenderungan kita. Dengan jalan meniru cara-cara dari mode hidup Barat kaum Muslimin berangsur-angsur didesak untuk menerima pandangan Barat: karena meniru pandangan lahir secara berangsur-angsur akan membawa asimilasi yang bersangkutan dengan pandangan dunia yang mendasari wajah lahir itu. |
|
Islam di Simpang Jalan Judul asli: Islam at the Crossroads Cetakan pertama: Delhi (India), 1935 Edisi Indonesia: Islam di Simpang Jalan Penterjemah: M. Hashem Cetakan pertama: YAPI, Surabaya, 1967 Cetakan kedua: PUSTAKA, Bandung, 1981 Hak cipta: Muhammad Asad All rights reserved. ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota Please direct any suggestion to Media Team |