5. TENTANG MENIRU
Peniruan mode hidup Barat --secara individual dan
sosial-- oleh kaum Muslimin, pastilah merupakan bahaya yang
terbesar bagi kehidupannya; atau lebih tepat: yang besar
bagi kebangkitan kembali peradaban Islam. Asal dari penyakit
kultural ini (hampir tidak mungkin menyebutnya dengan kata
lain) mulai beberapa puluh tahun lalu dan berhubungan dengan
rasa frustrasi kaum Muslimin yang melihat kekuatan dan
kemajuan material Barat dan mengemukakan kontrasnya dengan
masyarakat mereka sendiri yang menyedihkan. Karena
ketidaktahuan kaum Muslimin akan ajaran-ajaran Islam yang
sebenarnya --sangat besar disebabkan oleh sikap berpikir
sempit golongan yang disebut ulama, timbul dalam idea kaum
Muslimin bahwa mereka tidak akan sanggup mengikuti langkah
bersama kemajuan bagian dunia lainnya kecuali apabila mereka
menerima hukum-hukum sosial dan ekonomi Barat. Dunia Islam
macet dan banyak orang Muslimin datang pada kesimpulan yang
paling dangkal bahwa sistem sosial dan ekonomi Islam tidak
dapat disepakatkan dengan tuntutan-tuntutan kemajuan, dan
oleh karena itu harus disesuaikan dengan garis-garis Barat.
Orang-orang "yang telah menerima sinar penerangan" itu tidak
ambil pusing untuk bertanya betapa Islam, sebagai satu
ajaran, bertanggungjawab atas kemunduran kaum Muslimin;
mereka tidak mau berhenti untuk menyelidiki sikap Islam yang
sesungguhnya, yaitu sikap al-Qur'an dan Sunnah; mereka hanya
menunjukkan bahwa ajaran-ajaran ahli-ahli agama pada
zamannya adalah dalam kebanyakan hal-hal itu merupakan
rintangan bagi kemajuan dan capaian material. Alih-alih
daripada mengarahkan perhatian pada sumber-sumber asli
ajaran Islam, mereka menyamakan Syari'ah dengan fiqih yang
telah kejang pada masanya, dan mendapatkan bahwa fiqih dalam
zaman itu kekurangan dalam berbagai segi: akibatnya mereka
kehilangan kepentingan praktis pada Syari'ah dan
meninggalkannya pada wilayah sejarah dan pengetahuan-buku.
Dan dengan demikian peradaban Barat muncul pada mereka
sebagai satu-satunya jalan keluar dari bencana degenerasi
Islam.
Karya-karya sekarang yang lebih bijaksana --diantaranya
buku cemerlang Islamlasmaq oleh Pangeran Sa'id Halim Pasya
yang secara konklusif membuktikan bahwa Syari'ah Islam
bukanlah halangan bagi kemajuan modern --datang terlambat
untuk membendung kekaguman buta pada Barat oleh sekian
banyak kaum Muslimin. Efek penyembuhan dari karya-karya itu
dinetralisir oleh pasang naik kesusasteraan apologetik yang
kurang baik yang --sementara tidak menyangkal ajaran-ajaran
praktis Islam-- berusaha menunjukkan bahwa Syari'ah dapat
dipasang dibawah konsepsi-konsepsi sosial dan ekonomi Barat.
Dengan demikian peniruan peradaban Barat oleh kaum Muslimin
mereka anggap patut dibenarkan dan dirintislah jalan ke arah
penyangkalan berangsur-angsur dari prinsip-prinsip Islam
yang paling elementer --selalu di bawah samaran "kemajuan"
Islam-- yang sekarang menandakan evolusi dari beberapa
negeri Islam yang paling maju.
Adalah sia-sia untuk berbantah, seperti banyak dilakukan
oleh kaum "intelektual" Muslim, bahwa tidaklah mengandung
konsenkuensi spiritual apapun baik kita hidup dalam cara ini
atau cara itu, baik kita memakai pakaian Eropa atau memakai
pakaian orang tua kita, baik kita konservatif dalam cara
kita berpakaian atau tidak. Tentu saja tidak ada pikiran
sempit dalam Islam. Seperti telah dikatakan dalam pasal
permulaan buku ini, Islam memberikan pada manusia satu
wilayah kemungkinan-kemungkinan yang sangat luas sejauh ia
tidak bertindak bertentangan dengan perintah-perintah agama.
Tetapi lepas sama sekali dari kenyataan bahwa banyak hal
yang merupakan bagian struktur sosial Barat --seperti
umpamanya hubungan bebas pria dan wanita atau kepentingan
modal sebagai basis aktivitas ekonomi-- pastilah
bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam; karakter asli dari
peradaban Barat secara definitif menyingkirkan orientasi
religius manusia, seperti telah saya usahakan
memperlihatkannya. Dan hanya manusia-manusia yang sangat
dangkal pandangannya dapat percaya bahwa kita mungkin meniru
satu kebudayaan dalam pandangan lahirnya tanpa sementara itu
dipengaruhi oleh jiwa peradaban itu. Peradaban bukanlah satu
bentuk kosong tetapi satu energi yang hidup. Pada saat kita
mulai menerima bentuk kebudayaan lahir itu maka arus-arus
yang terpadu padanya dan pengaruh-pengaruh dinamiknya mulai
bekerja dalam diri kita dan dengan perlahan-lahan, tidak
tampak, membentuk seluruh sikap mental kita. Adalah dalam
penilaian sempurna pengalaman-pengalaman ini maka Nabi
bersabda:
"Barangsiapa meniru suatu kaum, maka ia menjadi
satu dari mereka." (Musnad Ibnu Hambal, Sunan Abi Da'ud).
Hadits yang terkenal ini bukan saja satu isyarat moral,
tetapi juga merupakan satu pernyataan obyektif yang
menegaskan bahwa tidak mungkin terelakkan kemungkinan kaum
Muslimin terasimilasi oleh peradaban nonmuslim, apapun yang
mereka tiru dalam wajah lahirnya.
Dalam pandangan ini hampir tidak mungkin untuk melihat
perbedaan antara aspek-aspek "penting" dan "tidak penting"
dari kehidupan sosial. Tidak ada yang tidak penting dalam
rangkaian ini. Tidak akan ada kesalahan yang lebih besar
daripada menganggap bahwa pakaian umpamanya hanyalah sesuatu
yang bersifat "lahir" melulu dan dengan demikian tidak
berakibat apa-apa pada wujud intelektual dan spiritual
manusia. Pada umumnya pakaian adalah hasil dari perkembangan
beradab-abad dari cita rasa manusia dalam arah yang khas.
Modenya berhubungan dengan konsepsi-konsepsi estetik bangsa
itu, dan demikian pula kecenderungan-kecenderungannya. Mode
pakaian itu telah dibuat bentuknya dan terus menerus
dibentuk lagi sesuai dengan perubahan-perubahan yang dilalui
karakter dan kecenderungan-kecenderungan bangsa itu. Mode
Eropa sekarang umpamanya, berhubungan sempurna dengan
karakter intelektual dan moral Eropa. Sementara memakai
pakaian Eropa kaum Muslimin dengan tidak sadar meniru cita
rasa Eropa dan memalingkan wujud intelektual dan moralnya
dalam cara demikian rupa yang kesudahannya sesuai dengan
pakaian baru itu. Dan dengan berbuat demikian itu ia
menyangkali kemungkinan-kemungkinan kultural ummatnya
sendiri, ia menentang cita rasa tradisional mereka, kesukaan
dan kebencian mereka, dan mengenakan pakaian budak
intelektual dan moral yang diberikan oleh peradaban asing
kepadanya.
Apabila seorang Muslim meniru pakaian, cara dan mode
hidup Eropa, ia berkhianat memihak pada kebudayaan Eropa,
betapapun juga sikap pura-puranya dalam pengakuannya.
Praktis tidak mungkin meniru satu peradaban asing dalam
kerangka intelektual dan estetiknya tanpa menerima penilaian
jiwanya. Dan sama tidak mungkinnya untuk meniru jiwa satu
peradaban yang bertentangan dengan pandangan hidup religius
--tetapi tetap sebagai seorang Muslim yang baik.
Kecenderungan untuk meniru suatu peradaban asing adalah
akibat dari satu perasaan kurang-harga-diri. Perasaan
kurang-harga-diri ini, dan hanya ini saja, yang mendorong
kaum Muslimin meniru peradaban Barat. Mereka
memperbandingkan kekuatannya dan kecakapan teknik dan
permukaannya yang cemerlang dengan kemelaratan sedih dari
dunia Islam, dan mereka mulai percaya bahwa dalam masa kita
tidak ada jalan selain jalan Eropa. Mempersalahkan Islam
karena kekurangan-kekurangan kita sendiri mulai menjadi
mode. Paling-paling yang disebut kaum intelektual mengambil
satu sikap apologetik dan berusaha meyakinkan diri mereka
sendiri dan orang-orang lain bahwa Islam dapat dipertemukan
dengan peradaban Barat.
Untuk mencapai regenerasi Islam, kaum Muslimin harus
membebaskan diri mereka seluruhnya dari jiwa apologia bagi
agamanya sebelum mengambil tindakan-tindakan reformasi.
Seorang Muslim harus hidup dengan kepala terangkat. Ia harus
menyadari bahwa ia bersifat khas dan berbeda dari bagian
dunia lainnya dan ia harus belajar merasa bangga karena
perbedaannya itu. Ia harus berusaha, untuk memelihara
perbedaan itu sebagai sifat yang mahal dan menyerukannya
dengan bangga kepada dunia --alih-alih daripada sikap
apologetik untuk itu dan mencoba untuk menyerapkan diri ke
dalam lingkungan kultural lain. Ini tidak berarti bahwa kaum
Muslimin harus memencilkan diri dari suara-suara yang
datang, dari luar. Selalu boleh menerima pengaruh-pengaruh
baru yang positif dari peradaban asing tanpa harus
menghancurkan peradabannya sendiri. Contoh hal semacam itu
adalah renaissance Eropa. Di sana kita lihat betapa bersedia
Eropa menerima pengaruh-pengaruh Arab dalam isi dan metoda
belajar. Tetapi Eropa tidak pernah meniru wajah lahir dan
jiwa kultur Arab dan tidak pernah mengkorbankan kebebasan
intelektual dan estetikanya sendiri. Eropa menggunakan
pengaruh-pengaruh Arab hanya sebagai pupuk atas tanahnya
sendiri, tepat seperti orang-orang Arab menggunakan
pengaruh-pengaruh Hellenisme pada masanya. Dalam kedua hal
ini hasilnya adalah yang berupa tumbuhan baru yang kuat dari
peradaban asli, penuh kepercayaan pada diri sendiri. Tidak
ada satu peradaban dapat menjadi makmur, ataupun hidup,
sesudah kehilangan kebanggaan ini dan sesudah kehilangan
hubungan dengan masa lalunya sendiri.
Tetapi dunia Islam, dengan kecenderungannya yang
meningkat untuk meniru Eropa dan mengasimilasi idea-idea
Barat, berangsur-angsur sedang memotong ikatan-ikatan yang
menyambung dia dengan masa lalunya, dan oleh karena itu
bukan saja kehilangan dasar kulturalnya tetapi juga dasar
spiritualnya. Tetapi banjir dahsyat kebudayaan Barat telah
menyapu akar-akar itu menjadi telanjang; dan pohon itu
perlahan-lahan luruh karena kekurangan zat makanan.
Daun-daunnya gugur, dahannya layu. Pada akhirnya batangnya
sendiri dalam bahaya keruntuhan.
Demikianlah peradaban Barat tidak dapat menjadi jalan
yang benar untuk menghidupkan lagi kaum Muslimin dari
kemabukan mental dan sosial yang disebabkan oleh degenerasi
agama praktis menjadi kebiasaan melulu tanpa hidup dan tanpa
kepentingan moral. Maka dimana lagi kaum Muslimin harus
mencari dorongan spiritual dan intelektual yang sangat
dibutuhkan pada masa-masa ini?
Jawabnya sama sederhananya dengan pertanyaan itu sendiri;
sesungguhnya jawabannya telah termasuk dalam pertanyaan itu
sendiri. Seperti telah dikatakan berulang-ulang sebelumnya,
Islam bukan saja satu "kepercayaan hati" tetapi juga satu
program hidup individual dan sosial dengan
ketentuan-ketentuan yang sangat jelas sekali. Ini dapat
dihancurkan dengan diasimilasikannya pada kultur asing yang
mempunyai dasar-dasar moral yang berbeda secara hakiki. Sama
seperti itu, dapat diregenerasi pada saat ia dibawa kembali
pada realitasnya sendiri dan diberi nilai dari satu faktor
yang menentukan dan membentuk kehidupan pribadi dan
kehidupan sosial dalam segala aspek-aspeknya.
Di tengah-tengah tabrakan ide-ide baru dan arus-arus
kultural bersimpang siur, yang demikian khas bagi zaman kita
ini, Islam tidak lagi dapat tinggal dalam bentuk kosong. Ia
telah terbangun dari tidur tersihirnya selama berabad-abad;
tetapi itu berarti kelaparan; ia harus bangkit atau mati.
Permasalahan yang menantang kaum Muslimin sekarang adalah
problema musafir yang tiba di simpang jalan. Ia dapat diam
di tempatnya, tetapi ini berarti mati kelaparan. Ia dapat
memilih jalan yang bertanda "Menuju Peradaban Barat" tetapi
kalau demikian maka ia harus meninggalkan masa lalunya untuk
selama-lamanya. Atau ia memilih jalan yang bertanda: "Menuju
Realitas Islam". Jalan ini saja yang dapat tampil bagi
mereka yang percaya akan masa lulu mereka dan percaya akan
kemungkinan peralihan ke dalam masa depan yang hidup.
|