|
6. HADITS DAN SUNNAH
Banyak usul pembangunan kembali telah dimajukan ulama
puluhan tahun yang lalu, dan banyak dokter-dokter kerohanian
telah berusaha meramu obat paten bagi tubuh Islam yang
sedang sakit, tetapi hingga sekarang segalanya sia-sia
karena semua dokter-dokter pintar itu --sekurang-kurangnya
mereka yang terdengar sekarang memang telah memberikan resep
obat mereka bersama berbagai vitamin dan perangsang, tetapi
semua lupa memberikan resep diet alami yang seharusnya
menjadi dasar perkembangan pertama pasien itu. Diet ini,
satu-satunya yang dapat diterima secara positif, yang dapat
diasimilasi oleh si sehat maupun si sakit, adalah Sunnah
Nabi kita Muhammad s.a.w.
Sunnah adalah kunci pengertian kebangkitan Islam lebih
dari tiga belas abad yang silam; dan mengapa ia tidak harus
menjadi kunci bagi regenerasi kita sekarang? Peninjauan
daripada Sunnah adalah sama dengan peninjauan kehidupan dan
kemajuan Islam. Mengabaikan Sunnah adalah sama dengan
kekacauan dan kemunduran Islam. Sunnah adalah kerangka besi
dari rumah Islam; dan kalau anda lepaskan kerangka itu dari
suatu bangunan akan terkejutkah anda apabila gedung itu
ambruk seperti rumah-rumah kartu?
Kebenaran sederhana, hampir diterima secara bulat oleh
seluruh orang-orang berilmu sepanjang sejarah Islam --kita
mengetahuinya dengan baik adalah paling tidak populer
sekarang karena sebab-sebab berhubungan dengan pengaruh
peradaban Barat yang terus berkembang. Walau demikian
keadaannya, namun hal ini tetap benar dan dalam kenyataan
merupakan satu-satunya kebenaran yang dapat menyelamatkan
kita dari kekacauan dan kemunduran kita yang memalukan
sekarang ini.
Perkataan Sunnah dipergunakan di sini dalam pengertiannya
yang paling luas, yaitu teladan yang telah diberikan Nabi
kepada kita dalam tindakan-tindakan dan ucapan-ucapan
beliau. Hidup beliau yang mengagumkan adalah gambaran yang
hidup dan keterangan dari al-Qur'an dan tidak mungkin kita
dapat membuat keadilan yang lebih besar terhadap Kitab Suci
itu kecuali dengan mengikuti beliau yang menjadi alat
wahyu.
Kita telah melihat bahwa salah satu dari hasil-hasil yang
dicapai Islam, satu-satunya yang membedakannya dari segala
sistem-sistem kerohanian, adalah pertemuan antara segi moral
dan segi material dari kehidupan insani. Ini merupakan satu
dari sebab-sebab mengapa Islam pada permulaannya memperoleh
sukses dan demikian jaya dimana saja ia tampil. Ia membawa
pada manusia pesan baru yang tidak perlu direndahkan supaya
langit dapat dicapai. Pandangan Islam yang menonjol ini
menerangkan mengapa Nabi kita dalam tugas suci beliau
sebagai Rasul pembimbing ummat manusia demikian mendalam
berurusan dengan kehidupan dalam kecenderungannya sebagai
gejala spiritual dan material. Oleh karena itu maka tidaklah
menunjukkan pengertian yang dalam tentang Islam apabila
orang membeda-bedakan perintah-perintah dari Nabi yang
berbicara tentang hal-hal peribadatan dan kerohanian dengan
yang berhubungan dengan soal-soal kemasyarakatan dan
kehidupan kita sehari-hari. Sanggahan bahwa wajib kita
mengikuti perintah-perintah dari kelompok 'ubudiyah dan
kerohanian tetapi tidak wajib mengikuti perintah-perintah
kelompok kemasyarakatan dan kehidupan sehari-hari adalah
sama dangkal dari segi jiwanya, sama anti-Islam, seperti
idea bahwa ketentuan-ketentuan umum daripada al-Qur'an hanya
dimaksudkan bagi orang-orang Arab awam pada masa turunnya
wahyu dan bukan bagi tuan-tuan yang telah maju dalam abad ke
dua puluh. Pada akarnya terletak sikap pandang enteng
tentang risalah Nabi besar itu.
Karena hidup seorang Muslim harus diarahkan atas kerja
sama yang penuh dan tanpa reserve antara wujud rohani dan
jasadi, demikianlah pimpinan Nabi kita merangkul sebagai
satu keseluruhan terpadu, satu keseluruhan total
manifestasi-manifestasi moral dan praktek, individual dan
sosial. Inilah arti yang paling dalam daripada Sunnah.
Al-Qur'an berkata:
"Apa saja yang diberikan Nabi kepadamu,
terimalah; dan barang apa saja yang dilarangnya,
jauhkanlah." (Qur'an Suci, 59:7).
Dan Nabi mengatakan pula: "Orang Yahudi telah terpecah
pecah menjadi tujuh puluh satu firqah, orang Kristen menjadi
tujuh puluh dua firqah, dan kaum Muslimin akan terpecah
menjadi tujuh puluh tiga firqah." (Sunan Abu Da'ud, Jami'
at-Tirmidzi, Sunan ad-Darimi, Musnad Ibnu Hambal) Dalam
hubungan ini dapat disebut bahwa bilangan "tujuh puluh"
sering berarti banyak dan tidak mesti menunjukkan angka
hitung yang sesungguhnya. Dengan angka itu terang Nabi
bermaksud mengatakan bahwa firqah-firqah dan
perpecahan-perpecahan di antara kaum Muslimin akan sangat
banyak, bahkan lebih dari orang-orang Yahudi dan Kristen,
dan beliau menambahkan: "Mereka semua masuk neraka, kecuali
satu." Ketika para sahabat bertanya satu yang mana yang
terpimpin ke jalan benar itu, Nabi menjawab: "Yaitu yang
didasarkan pada Sunnahku dan sunnah para sahabatku."
Ayat-ayat tertentu membuat pokok ini menjadi terang di
luar segala kemungkinan salah pengertian:
"Tidak, demi Tuhanmu! Mereka belum sebenarnya
beriman sebelum mereka meminta keputusan kepada engkau
(Muhammad) dalam perkara-perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak menaruh keberatan
dalam hatinya terhadap putusan yang engkau adakan dan
mereka patuh dengan sesungguhnya." (Qur'an Suci, 4:65)
"Katakanlah (Muhammad): Kalau kamu betul-betul
mencintai Allah, turutlah aku, niscaya kamu akan dicintai
oleh Allah dan diampuniNya dosamu, dan Allah pengampun
dan penyayang. Katakanlah: Patuhlah kepada Allah dan
Rasul-Nya. Tetapi kalau mereka berpaling, maka
sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang yang tidak
beriman." (Qur'an Suci, 3:31-32)
Oleh karena itu maka Sunnah Nabi, sesudah al-Qur'an,
adalah sumber kedua dari hukum Islam tentang perilaku
masyarakat dan individu. Memang kita harus memandang Sunnah
sebagai satu-satunya keterangan yang kuat dari ajaran-ajaran
al-Qur'an, satu-satunya alat untuk menjauhkan
perbedaan-perbedaan pendapat mengenai tafsirannya dan
peneterapannya untuk penggunaan praktis. Banyak ayat-ayat
al-Qur'an yang mempunyai arti kiasan dan dapat diartikan
dalam cara berbeda-beda kecuali ada sistem penafsiran yang
definitif. Dan oleh karena itu pula maka banyak hal-hal yang
penting secara praktis tidak dibicarakan secara terurai
dalam al-Qur'an. Jiwa yang meliputi al-Qur'an itu
sebenarnyalah seragam seluruhnya; tetapi untuk menarik
deduksi sikap praktis yang harus kita ambil dari padanya
tidaklah selalu mudah. Selama kita percaya bahwa Kitab ini
adalah Firman Allah, sempurna dalam bentuk dan tujuannya,
maka satu-satunya kesimpulan logis adalah bahwa ia tidaklah
dimaksudkan untuk dipergunakan terlepas dari pimpinan
pribadi Nabi yang tercakup dalam sistem Sunnah. Dalam pasal
berikut akan diusahakan untuk menerangkan sebab-sebab
terkahir untuk menghubungkan al-Qur'an, untuk
selama-lamanya, dengan pribadi Nabi yang membimbing dan
memberi inspirasi. Untuk tujuan-tujuan pasal ini jalan
pemikiran yang berikut ini seharusnya sudah cukup. Jalan
pemikiran kita mengatakan bahwa tidak mungkin ada juru
tafsir yang lebih baik dari ajaran-ajaran al-Quran daripada
melalui orang pada siapa firman itu diwahyukan untuk umat
manusia
Slogan yang paling sering kita dengar pada zaman kita,
"Mari kembali kepada al-Quran, tetapi jangan kita menjadi
pengikut membudak pada Sunnah", hanya menunjukkan
ketidaktahuan kita tentang Islam. Orang-orang yang berkata
demikian menyerupai orang yang hendak masuk ke satu istana
tetapi tidak hendak menggunakan kunci yang asli,
satu-satunya kunci yang cocok untuk membuka pintu itu.
Sampailah kita sekarang pada soal yang sangat penting
tentang keaslian dari sumber-sumber yang membentangkan
kehidupan dan ucapan-ucapan Nabi Besar kepada kita.
Sumber-sumber ini ialah Hadits, catatan turun-temurun
tentang ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan Nabi yang
dilaporkan dan disalurkan oleh sahabat-sahabat beliau dan
dikumpulkan dengan kritis dalam abad-abad pertama Islam.
Banyak orang Muslimin modern berpaham bahwa mereka akan
sedia mengikuti Sunnah, tetapi mereka berpendapat bahwa
mereka tidak dapat bersandar pada tubuh Hadits di mana
Sunnah itu terletak. Telah menjadi mode dalam zaman kita
untuk secara prinsip menolak keaslian Hadits dan oleh karena
itu menolak seluruh struktur Sunnah.
Adakah satu jaminan ilmiah bagi sikap ini? Adakah satu
pembenaran ilmiah untuk menolak Hadits sebagai sumber hukum
Islam yang patut dijadikan panutan?
Orang sering berpikir bahwa lawan-lawan pikiran orthodoks
akan sanggup mengemukakan argumen-argumen yang sesungguhnya
meyakinkan yang akan mengukuhkan, sekali untuk selamanya,
tentang pendapat bahwa hadits-hadits yang dikatakan berasal
dari Nabi tidak dapat dijadikan sandaran. Tetapi tidaklah
demikian halnya. Walau telah dipergunakan segala jalan untuk
menantang keaslian Hadits sebagai satu badan, oleh
kritikus-kritikus modern dari Timur dan dari Barat, tetapi
mereka tidak mampu menopang kritik mereka yang bersifat
temperamental melulu dengan hasil penelitian ilmiah. Malah
lebih sulit berbuat demikian karena penyusun-penyusun
kumpulan Hadits dahulu, terutama Imam Bukhari dan Imam
Muslim, telah melakukan segala apa yang mungkin dapat
dilakukan manusia untuk menempatkan keaslian setiap Hadits
pada ujian yang paling keras --ujian yang jauh lebih keras
dari yang biasa dilakukan ahli-ahli sejarah Barat terhadap
suatu dokumen historik.
Akan jauh keluar batas-batas buku ini untuk membicarakan
berpanjang-panjang di sini tentang metoda penelitian yang
keras yang dipergunakan untuk menyelidiki kebenaran Hadits
oleh para muhadditsuun, yaitu orang-orang berilmu yang
mengabdi pada studi tentang Hadits. Untuk maksud kita
sekarang akan cukuplah apabila dikatakan bahwa satu cabang
ilmu pengetahuan yang sempurna telah dikembangkan, obyeknya
semata-mata adalah penyelidikan tentang arti, bentuk dan
cara penyaluran Hadits Nabi. Cabang sejarah dari
penegetahuan ini berhasil dalam menegakkan satu rantai tak
terputus dari riwayat hidup mendetail dari pribadi-pribadi
yang pernah disebut oleh perawi-perawi Hadits. Kehidupan
orang-orang laki-laki dan perempuan telah diselidiki dengan
sempurna dari segala segi pandangan, dan hanya orang-orang
yang telah diterima sebagai orang-orang yang terpercaya,
yang jalan hidup mereka dan cara mereka menyalurkan Hadits,
sempurna memenuhi standar yang ditentukan oleh muhadditsuun
terkenal dan dipercayai sebagai paling tepat yang dapat
dipikirkan. Oleh karena itu apabila sekarang seseorang
hendak menyangkal akan keaslian satu Hadits tertentu atau
keseluruhan sistemnya, maka tugas untuk membuktikan
ketidaktepatannya jatuh pada orang itu sendiri. Secara
ilmiah sama sekali tidak dibenarkan untuk menyangkal
kebenaran suatu sumber historik, kecuali apabila ia mampu
membuktikan bahwa sumber itu bercela. Apabila tidak ada
argumen yang dapat diterima, yaitu apabila tidak dapat
diperoleh argumen ilmiah untuk menentang sumber itu sendiri
atau terhadap salah satu atau lebih dari musnad-musnadnya,
dan apabila sebaliknya tidak ada laporan bertentangan
tentang hal itu, maka kita harus menerima kebenaran Hadits
itu.
Bayangkan umpamanya apabila orang berbicara tentang
peperangan-peperangan Mahmud dan Ghasna di India lalu anda
bangkit dan berkata: "Saya tidak percaya bahwa Mahmud pernah
datang ke India. Itu dongengan tanpa dasar sejarah!" Apa
yang akan terjadi dalam hal seperti itu? Seseorang yang
mengenal sejarah segera akan berusaha memperbaiki kekeliruan
anda dan akan mengutip catatan-catatan sejarah yang
didasarkan pada laporan-laporan orang yang hidup di zaman
itu tentang sultan yang termasyhur itu, sebagai bukti
definitif dari fakta bahwa Mahmud pernah di India. Dalam hal
ini anda harus menerima bukti itu --atau anda akan dipandang
sebagai orang sakit yang tanpa alasan yang terang menolak
fakta-fakta sejarah yang kuat. Kalau demikian halnya maka
orang akan bertanya-diri: mengapa kritikus-kritikus modern
ini tidak mengemukakan pemikiran jujur yang logis yang sama
seperti itu pada masalah Hadits?
Dasar pertama akan palsunya Hadits berarti telah terjadi
kebohongan yang disengaja pada pihak sumber pertama, yaitu
yang bersangkutan dengan para sahabat, atau
penyalur-penyalur kemudian. Tentang para sahabat,
kemungkinan semacam itu dapat dikecualikan secara a priori.
Hanya diperlukan tinjauan psikologik kedalam masalah ini
untuk menyingkirkan anggapan-anggapan semacam itu kedalam
wilayah khayal melulu. Kesan cemerlang yang telah
dipancarkan pribadi Nabi pada orang-orang laki-laki dan
perempuan di sekitarnya adalah satu fakta menonjol dari
sejarah ummat manusia; lagi pula hal itu terdokumentasi
dengan baik sekali oleh sejarah.
Dapatkah diterima bahwa orang-orang yang siap sedia
mengorbankan diri mereka dan segala yang mereka miliki
apabila dikehendaki Rasulullah akan memainkan tipu daya
dengan kata-kata beliau?
Nabi telah berkata: "Barangsiapa dengan sengaja berbohong
tentang saya akan tersedialah tempatnya di neraka". (Shahih
Bukhari, Sunan Abi Da'ud, Jami' at-Tirmidzi, Sunan Ibnu
Majah, Sunan ad-Darimi, Musnad Ibn Hambal).
Ini diketahui para sahabat; secara mendalam mereka
percaya akan kata-kata Nabi yang mereka pandang sebagai juru
bicara dari Allah SWT; dan mungkinkah dari segi pandangan
psikologi bahwa mereka akan mengabaikan perintah yang sangat
tegas ini?
Dalam proses peradilan pidana, pertanyaan pertama yang
menantang hakim adalah cui bono --demi keuntungan siapa--
kejahatan itu mungkin dilakukan? Prinsip hukum ini dapat
dipergunakan juga bagi masalah Hadits. Kecuali hadits-hadits
yang langsung berhubungan dengan tuntutan-tuntutan politik
dari berbagai partai dalam abad pertama sesudah wafatnya
Nabi, tidak akan ada alasan untuk "mengambil keuntungan"
bagi seseorang individu untuk mengatakan bahwa kata-kata
Nabi itu palsu. Justru karena pertimbangan kemungkinan
kalau-kalau Hadits diada-adakan untuk sesuatu tujuan
individual maka kedua sarjana yang paling berwenang tentang
Hadits, Bukhari dan Muslim, dengan sangat keras telah
mengesampingkan segala hadits-hadits yang berhubungan dengan
politik kepartaian dari kumpulan-kumpulan hadits mereka.
Yang tertinggal adalah di luar prasangka akan memberikan
keuntungan peribadi pada siapapun.
Ada satu argumen dimana keaslian Hadits dapat ditantang.
Dapat dimengerti bahwa baik sahabat yang mendengarnya dari
Nabi sendiri atau seseorang dari perawi-perawi kemudian
--sementara ia benar secara subyektif-- telah melakukan
sesuatu kekeliruan karena salah pengertian tentang kata-kata
Nabi itu, atau suatu kekeliruan ingatan, atau sesuatu sebab
psikologik lain. Tetapi bukti internal, yaitu bukti-bukti
psikologik, berbicara menentang setiap kemungkinan besar
dari kekeliruan semacam itu, sekurang-kurangnya pada pihak
para sahabat. Bagi orang-orang yang hidup dengan Nabi,
setiap ucapan dan tindakan beliau sangat berarti sekali,
bukan saja karena mereka sangat tertarik pada kepribadian
beliau yang berpengaruh atas diri mereka, tetapi juga pada
kepercayaan mereka bahwa adalah kehendak Allah maka mereka
harus mengatur hidup mereka, bahkan dalam detail-detailnya
yang kecil, sesuai dengan petunjuk dan teladan Nabi. Oleh
karena itu tidak dapat mereka menangkap ucapan beliau secara
sepintas ,lalu, tetapi berusaha memeliharanya dalam ingatan
mereka bahkan dengan mengorbankan kesenangan-kesenangan
pribadi sendiri. Diriwayatkan bahwa para sahabat yang secara
langsung berhubungan dengan Nabi membuat kelompok-kelompok
diantara sesama mereka, masing-masing terdiri dari dua
orang, satu daripadanya harus selalu dalam lingkungan Nabi
sementara yang seorang sibuk mencari nafkah atau
urusan-urusan lain; dan apa saja yang mereka dengar atau
yang mereka lihat dari guru mereka itu mereka sampaikan pada
sesamanya: demikian cemas mereka kalau-kalau sesuatu ucapan
atau perbuatan Nabi akan luput dari perhatian mereka.
Tidaklah boleh jadi bahwa dengan sikap semacam itu mereka
akan lalai menjaga kata-kata dari sesuatu Hadits. Dan kalau
mungkin bagi ratusan sahabat itu untuk memelihara seisi
al-Qur'an hingga pada detail-detail kecil ejaan dalam
ingatan mereka, maka pastilah mungkin pula bagi mereka dan
pengikut-pengikut mereka yang langsung untuk menyimpan
ucapan Nabi dalam ingatan mereka tanpa menambahkan atau
mengurangi sesuatu.
Lagi pula ahli-ahli Hadits hanya mengakui keaslian
sempurna pada hadits-hadits yang dilaporkan dalam bentuk
yang sama melalui rangkaian perawi-perawi yang berbeda-beda
dan tidak saling bergantung. Ini belum pula semua. Untuk
dinyatakan shahih (sehat), suatu hadits harus disepakati
pada setiap tingkat penyaluran oleh bukti yang tidak
bergantung paling kurang dari dua penyalur, dan mungkin
lebih, sehingga pada setiap tingkatan laporan itu tidak akan
bersandar pada asal dari satu orang saja. Tuntutan tentang
pengesahan ini demikian tepat sehingga --katakanlah-- satu
hadits yang dilaporkan melalui tiga "generasi"
penyalur-penyalur hadits antara sahabat yang bersangkutan
dan penyusun terakhir, sesungguhnya adalah dua puluh orang
penyalur atau lebih, terbagi-bagi sekitar tiga "generasi"
yang tercakup di dalamnya.
Dengan segala inipun, tidak juga ada orang Muslim pernah
percaya bahwa hadits-hadits Nabi dapat beroleh status
seperti al-Qur'an atau bahkan beroleh status keaslian yang
tak tergugat. Tidak pernah terhenti penelitian kritis
tentang Hadits. Kenyataan bahwa ada terdapat banyak hadits
palsu tidak lepas dari perhatian muhadditsuun, seperti yang
dikira dengan dhaifnya oleh kritikus-kritikus Barat.
Sebaliknya ilmu pengetahuan kritis tentang Hadits dimulai
oleh kepastian membedakan antara yang asli dan yang tidak
asli. Imam Bukhari dan Imam Muslim sendiri, belum lagi
ahli-ahli hadits yang lebih kecil, adalah hasil langsung
dari sikap kritis ini. Oleh karena itu maka adanya
hadits-hadits palsu sekali-kali tidak membuktikan apa-apa
dalam menolak sistem hadits pada keseluruhannya --tidak
lebih dari satu dongengan seribu satu malam dapat dipandang
sebagai satu argumen menentang status laporan sejarah pada
zaman itu.
Hingga kini tidak ada satupun kritikus yang telah sanggup
membuktikan secara sistematik bahwa tubuh Hadits yang
dipandang asli menurut ukuran pengujian dari ahli-ahli
hadits yang paling terkenal sebagai tidak tepat. Penolakan
terhadap hadits-hadits otentik, baik sebagai keseluruhan
maupun sebagian-sebagian sejauh itu hanyalah masalah
temperamen melulu, dan telah gagal menegakkan diri sebagai
hasil usaha penelitian yang tidak berprasangka. Tetapi motif
dari sikap oposisi semacam itu diantara kebanyakan kaum
Muslimin di zaman kita dapat dilihat jejaknya dengan mudah.
Motifnya terletak pada ketidakmampuan mereka membawa
cara-cara hidup dan cara-cara berpikir kita sekarang yang
terbelakang, menurut semangat Islam yang sebenarnya seperti
terpantul dari Sunnah Rasul. Untuk membenarkan
kekurangan-kekurangan mereka sendiri dan kekurangan alam
sekitar mereka, kritikus-kritikus palsu tentang Hadits itu
berusaha membuang perlunya mengikuti Sunnah; karena apabila
ini dilakukan, mereka akan sanggup menafsirkan ajaran-ajaran
al-Quran sesuka hati mereka, atas garis "rasionalisme" yang
dangkal --yaitu masing-masing sesuai dengan kecenderungan
dan palingan pikirannya. Dan dengan cara ini kedudukan Islam
yang khas sebagai aturan moral dan aturan praktek, sebagai
aturan individual dan aturan sosial, akan hancur
berantakan.
Dalam masa-masa ini, ketika pengaruh peradaban, Barat
makin lama makin terasa di negeri-negeri Islam, satu motif
lagi bertambah pada sikap aneh dari yang disebut kaum
"intelektual" Muslimin dalam hal ini. Tidak mungkin hidup
menurut Sunnah Rasul dan mengikuti mode hidup Barat pada
saat yang sama sekaligus. Tetapi generasi kaum Muslimin
sekarang telah siap sedia memuja apa saja yang dari Barat,
memuja peradaban asing itu karena asingnya, karena kuat dan
cemerlang secara material. Westernisasi ini adalah sebab
yang paling kuat maka hadits-hadits Nabi kita, dan bersamaan
dengan itu struktur Sunnah, telah menjadi demikian tidak
populer sekarang. Begitu terang Sunnah bertentangan dengan
ide-ide fundamental yang mendasari peradaban Barat itu
sehingga mereka yang terpukau pada ide-ide beradaban Barat
itu tidak melihat jalan keluar dari jerat itu kecuali
menggambarkan Sunnah sebagai satu aspek Islam yang tidak
mengena dan oleh karena itu tidak mengikat --karena Sunnah
"berdasar pada tradisi-tradisi yang tidak dapat disandari."
Sesudah itu menjadi lebih mudah untuk mengesampingkan
ajaran-ajaran al-Qur'an dalam cara demikian rupa sehingga
ajaran-ajaran itu tampak sesuai dengan semangat peradaban
Barat.
|