|
7. JIWA SUNNAH
Hampir sama pentingnya dengan pembenaran formal daripada
Sunnah, yaitu tentang sahnya Hadits, atas dasar
pembuktian-pembuktian tentang dapat dipercayainya Hadits
secara historik, adalah pertanyaan tentang pembenaran
spiritual batinnya. Mengapa maka pelaksanaan praktis Sunnah
harus dipandang sebagai sesuatu yang tidak boleh dielakkan
untuk satu kehidupan dalam pengertian Islam yang sebenarnya?
Tidak adakah jalan lain menuju realitas Islam selain melalui
sistem luas tentang tindakan-tindakan dan
kebiasaan-kebiasaan, tentang perintah-perintah dan
larangan-larangan, sebagian daripadanya bersifat sepele,
tetapi seluruhnya berasal dari teladan hidup Nabi? Tiada
ragu, beliau adalah seorang yang paling besar; tetapi
tidakkah keharusan meniru kehidupannya dalam segala
detail-detail formalnya merupakan satu pelanggaran terhadap
kebebasan individual dari keperibadian manusia? Ini adalah
satu keberatan lama yang sering dikemukakan
pengeritik-pengeritik terhadap Islam yang tidak bersikap
bersahabat; bahwa perlunya mengikuti Sunnah dengan keras
adalah satu dari sebab-sebab pokok kemunduran dunia Islam
berikutnya, karena sikap semacam itu dikira lambat laun
melanggar batas kebebasan tindakan manusia dan perkembangan
masyarakat secara alami. Adalah yang paling penting bagi
masa depan Islam apakah kita sanggup membantah keberatan ini
atau tidak. Sikap kita terhadap masalah Sunnah akan
menentukan sikap masa depan kita kepada Islam.
Kita merasa bangga, dan wajar, akan kenyataan bahwa
Islam, sebagai satu agama, tidak berdasarkan dogmatisme
mistik, tetapi selalu terbuka bagi penyelidikan akal yang
kritis. Oleh karena itu kita bukan saja mempunyai hak untuk
mengetahui apakah pelaksanaan terhadap Sunnah telah
diletakkan pada kita, tetapi juga untuk mengerti hikmahnya
mengapa maka ditekankan demikian.
Islam membimbing manusia pada penyataan segala
aspek-aspek kehidupan. Karena merupakan alat untuk tujuan
itu, agama ini sendiri mewakili satu totalitas
konsepsi-konsepsi kemana tiada sesuatu dapat ditambahkan dan
dari mana tiada sesuatu dapat dikurangkan. Tidak ada tempat
bagi elektisisme dalam Islam. Dimana saja ajaran-ajarannya
diakui sebagai yang sesungguhnya diperintahkan oleh
al-Qur'an atau Nabi, kita harus menerimanya dalam
kesempurnaannya; kalau tidak demikian maka nilai-nilainya
akan hilang. Adalah suatu salah paham fundamental untuk
berpikir bahwa karena Islam agama reason, agama akal, agama
pemikiran sehat, maka Islam menyerahkan ajaran-ajarannya
terbuka bagi pemilihan individual --suatu pengakuan yang
dimungkinkan oleh salah penerimaan populer tentang
"rasionalisme." Adalah satu jurang besar --dan cukup diakui
oleh falsafah sepanjang zaman-- antara reason dan
"rasionalisme" seperti yang umum diartikan pada zaman ini.
Fungsi reason (akal) berkenaan dengan ajaran-ajaran agama
bersifat pengontrol; tugasnya adalah menjaga agar tidak ada
sesuatu ditekankan pada pikiran manusia yang tidak dapat
ditanggungnya dengan wajar yaitu tanpa bantuan sulapan
filosofis. Sepanjang berhubungan dengan Islam, akal (reason)
yang tak berprasangka berulang-ulang diberi suatu
kepercayaan tanpa kekangan. Ini tidak berarti bahwa setiap
orang yang bertemu dengan Islam harus menerima
ajaran-ajarannya sebagai kewajiban baginya; ini adalah soal
temperamen --dan last but not least-- dari illuminasi
spiritual. Tetapi tentu dan pasti tidak ada orang yang tidak
berprasangka akan puas bahwa ada sesuatu dalam Islam yang
bertentangan dengan akal. Tiada diragukan bahwa ada hal-hal
dalam Islam yang terletak di luar batas-batas pengertian
insani, tetapi tidak ada yang bertentangan dengan pengertian
manusia.
Peranan akal dalam masalah-masalah agamawi, seperti telah
kita lihat, adalah dalam fungsi suatu kontrol --suatu alat
pencatat yang mengatakan "ya" atau "tidak" sesuai dengan
tempatnya. Tetapi tidak demikian halnya dengan yang disebut
rasionalisme. Rasionalisme tidak puas dengan pencatatan dan
kontrol, tetapi meloncat kedalam bidang spekulasi; ia tidak
reseptif dan terlepas sebagai reason murni, tetapi sangat
subyektif dan temperamental. Reason tahu akan batas-batasnya
sendiri; tetapi rasionalisme melanggar batas dalam
tuntutannya untuk mencakup dunia dan segala
rahasia-rahasianya dalam lingkungan individualnya sendiri.
Dalam masalah-masalah agamawi ia hampir tidak sama sekali
menerima kemungkinan hal-hal tertentu, temporal atau kekal,
yang berada di luar pengertian manusia; tetapi pada saat itu
pula cukup tidak logis untuk menerima kemungkinan itu pada
ilmu pengetahuan --dan dengan demikian menentang dirinya
sendiri.
Penilaian yang berlebih terhadap rasionalisme yang
imaginatif ini adalah satu dari sebab-sebab mengapa demikian
banyak kaum Muslimin menolak untuk berserah diri pada
bimbingan Nabi. Tetapi tidak diperlukan seorang filosof
besar sekarang untuk membuktikan bahwa pengertian insani
sangat terbatas dalam kemungkinan-kemungkinannya. Pikiran
itu, menurut alamnya, tidak sanggup memahami ide-ide
totalitas. Kita tidak mengetahui apa itu infinitas dan
eternitas, ketidakterbatasan dan kekekalan; kita bahkan
tidak tahu apakah hidup itu. Oleh karena itu dalam
problema-problema satu agama yang bertumpu pada dasar-dasar
kerohanian, kita memerlukan seorang penunjuk yang pikirannya
memiliki sesuatu yang lebih dari sifat-sifat pemikiran
normal dan rasionalisme subyektif yang umum bagi kita semua;
kita memerlukan seorang yang beroleh wahyu --seorang Nabi.
Kalau kita percaya bahwa al-Qur'an adalah kata-kata Allah
dan Muhammad saw. adalah Rasul Allah, maka kita tidak saja
terikat secara moral tetapi juga secara intelektual, untuk
mengikuti bimbingannya secara "membuta." Ungkapan "membuta"
di sini tidak berarti bahwa kita harus mengesampingkan daya
pemikiran kita. Sebaliknya kita harus menggunakan daya
pemikiran itu sebaik mungkin menurut kesanggupan dan
pengetahuan kita; kita harus berusaha menemukan arti dan
hikmah dan maksud yang terkandung dalam perintah-perintah
yang disalurkan Nabi kepada kita. Tetapi bagaimanapun juga
--baik kita sanggup memahami tujuannya yang terakhir atau
tidak-- kita harus mematuhi perintah itu. Ingin saya
menggambarkan contoh seorang prajurit yang menerima perintah
dari jenderalnya untuk menduduki satu posisi strategis.
Prajurit yang baik akan mengikuti dan melaksanakan perintah
itu dengan serta merta. Apabila sementara melakukannya ia
sanggup menerangkan pada dirinya sendiri tujuan strategi itu
yang sebenarnya dalam pandangan jenderal itu maka lebih baik
baginya dan bagi karirnya; tetapi apabila tujuan yang lebih
dalam yang menjadi dasar perintah jenderal itu tidak segera
tampak olehnya, prajurit itu betapapun juga tidak berhak
untuk tidak melakukan atau bahkan menangguhkan
pelaksanaannya sekalipun. Kita kaum Muslimin berpegang bahwa
Nabi adalah komandan yang terbaik yang pernah diperoleh
manusia. Kita tentu percaya bahwa beliau mengetahui wilayah
agama dalam aspek spiritual maupun aspek sosialnya, jauh
lebih baik daripada yang pernah dapat kita ketahui.
Dalam memberi perintah kepada kita untuk melakukan ini
dan meninggalkan itu, beliau selalu mempunyai sesuatu tujuan
pandangan "strategis" yang menurut pikiran beliau tidak
dapat dielakkan untuk kemaslahatan spiritual dan sosial
manusia. Kadang-kadang tujuan itu tampak jelas dan
kadang-kadang, banyak atau sedikit, tersembunyi dari hadapan
mata yang kurang terlatih dari kebanyakan manusia;
kadang-kadang kita dapat memahami tujuan yang paling dalam
dari perintah Nabi dan kadang-kadang hanya tujuan yang
dangkal yang sangat langsung. Bagaimanapun halnya, kita
terikat untuk mengikuti perintah-perintah Nabi, asal saja
keaslian perintah itu telah ditegakkan secara patut.
Tidak ada lainnya yang menjadi soal. Tentu saja ada
perintah-perintah Nabi yang terang dan utama pentingnya dan
yang lainnya kurang penting, dan kita harus mengutamakan
yang lebih penting dari yang kurang penting. Tetapi
sekali-kali kita tidak berhak mengabaikan salah satu
daripadanya, karena tampak pada kita "tidak penting sekali"
--karena dikatakan dalam al-Qur'an tentang Nabi:
"Ia tidak berkata-kata atas kehendaknya
sendiri." (Qur'an Suci, 53: 3).
Ini berarti bahwa beliau hanya berkata-kata apabila
timbul keharusan obyektif, dan beliau melakukannya karena
Allah memerintahkan beliau berkata demikian. Dan karena
sebab ini maka wajib kita mengikuti Sunnah Nabi dalam jiwa
dan bentuknya, kalau kita hendak bersikap benar terhadap nur
Islam.
Sekali keharusan obyektif ini ditegakkan bagi seorang
Muslim untuk mengikuti Sunnah Nabinya, ia berhak bahkan
wajib, untuk menyelidiki peranannya dalam struktur Islam,
religius dan sosial. Apakah arti spiritual dalam sistem
hukum-hukum yang berdetail dan mengatur peri kelahirannya
hingga menjelang maut, dan mengatur perilakunya dalam
fase-fase hidupnya yang paling penting dan paling berarti?
Atau adakah itu tidak berarti apa-apa? Adakah sesuatu
kebaikan dalam Nabi memerintahkan pengikut-pengikut beliau
untuk melakukan segala sesuatu dalam cara beliau
melakukannya? Perbedaan apakah yang dapat dibuatnya, apakah
saya makan dengan tangan kanan atau tangan kiri --apabila
keduanya sama bersih? Apakah bedanya saya memelihara janggut
saya atau mencukurnya? Bukankah soal-soal semacam itu hanya
soal formalitas melulu? Adakah itu mengandung sesuatu atas
kemajuan manusia atau kemaslahatan masyarakat? Dan kalau
tidak, maka mengapakah hal-hal itu ditekankan pada kita?
Sudah lama tiba waktunya bagi kita yang percaya bahwa
tegak jatuhnya Islam bersama-sama dengan tegak jatuhnya
pelaksanaan Sunnah, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
itu.
Hikmahnya yang pertama ialah untuk melatih manusia dalam
cara metodik, untuk hidup secara tetap dalam keadaan sadar,
bangun dan menguasai diri. Dalam kemajuan spiritual manusia,
tindakan-tindakan dan kebiasaan-kebiasaan serampangan adalah
seperti balok-balok penghalang dalam medan perlombaan;
penghalang-penghalang itu harus dikurangi hingga minimumnya,
karena tindakan-tindakan dan kebiasaan-kebiasaan serampangan
itu memusnahkan konsentrasi spiritual. Segala sesuatu yang
kita lakukan seharusnya ditentukan oleh kemauan kita dan
diletakkan dibawah penguasaan moral kita. Tetapi untuk dapat
berbuat demikian kita harus belajar meninjau diri kita
sendiri. Keperluan pengawasan diri yang permanen ini, bagi
seorang Muslim, telah dilahirkan dengan indahnya oleh 'Umar
Ibn Khatthab: "Laporkanlah kepada dirimu sendiri tanggung
jawab tentang dirimu sebelum kau dipanggil melaporkan
tanggung jawabmu. Dan Nabi bersabda: "Sembahlah Tuhanmu
seakan-akan kau melihat Dia". (Shahih Bukhari, Shahih
Muslim, Sunan Abi Da'ud, Sunan Ari-Nasa'i).
Telah ditunjukkan sebelumnya bahwa ide Islam tentang
ibadat bukan saja mencakup kewajiban-kewajiban peribadatan
yang wajib, tetapi sebenarnya meliputi seluruh kehidupan
kita. Tujuannya adalah pengesaan wujud rohani dan jasmani
menjadi satu kesatuan tunggal. Oleh karena itu maka usaha
kita harus tegas-tegas ditujukan ke arah melenyapkan
faktor-faktor tidak-sadar dan tidak terkontrol dalam
kehidupan kita sejauh yang mungkin bagi manusia. Peninjauan
diri adalah langkah pertama pada jalan ini dan metoda yang
pasti untuk melatih dalam peninjauan diri untuk meletakkan
dibawah kontrol tindakan-tindakan kebiasaan yang tampaknya
seakan-akan tidak penting dalam kehidupan kita sehari-hari.
Hal yang kecil-kecil itu, tindakan-tindakan dan
kebiasaan-kebiasaan "tidak penting" itu adalah dalam
rangkaian latihan mental yang kita bicarakan di atas, dalam
realitasnya jauh lebih penting daripada kegiatan-kegiatan
"besar" dalam kehidupan kita. Hal-hal yang besar itu, karena
besarnya, selalu dapat dilihat dengan nyata; dan oleh karena
itu hal-hal yang besar itu kebanyakan tetap dalam bidang
kesadaran kita. Tetapi hal-hal yang "kecil" dengan mudah
dapat luput dari perhatian dan lepas dari kontrol kita. Oleh
karena itu hal-hal yang kecil adalah obyek-obyek yang jauh
lebib berharga dalam mempertajam kekuatan-kekuatan
penguasaan diri kita.
Barangkali dalam hal ini tidak penting dengan tangan apa
kita makan atau apakah kita mencukur janggut atau tidak,
tetapi secara psikologis adalah paling penting melakukan
hal-hal menurut satu putusan sistematik: karena dengan
berbuat demikian kita membuat diri kita terkunci pada satu
pendekatan yang lebih dekat pada observasi diri dan kontrol
moral. Ini tidak mudah --karena kemalasan pikiran tidak
kurang nyatanya dari kemalasan jasmani. Apabila anda meminta
kepada orang yang telah membiasakan diri dengan cara duduk
terus-terusan untuk berjalan jarak jauh maka ia akan segera
letih dan tidak akan sanggup meneruskan perjalanannya.
Tetapi tidak demikian halnya dengan orang yang selama
hidupnya telah melatih diri berjalan kaki. Bagi dia
pekerjaan otot semacam itu sama sekali tidak berat malah
merupakan tindakan jasmani yang menyenangkan dimana ia telah
biasa. Ini merupakan keterangan lebih lanjut mengapa Sunnah
hampir mencakup seluruh segi kehidupan manusia. Apabila kita
secara tetap membawahkan segala tindakan-tindakan kita
kepada pembedaan yang sadar, kekuatan observasi diri kita
tumbuh terus-menerus dan pada suatu saat akan menjadi sifat
kita yang kedua. Setiap hari selama latihan ini maju,
kemalasan moral kita berkurang bersama-sama dengan itu.
Penggunaan istilah "latihan" tentu sewajarnya mencakup
pengertian bahwa hasilnya tergantung dari kesadaran pada
pelaksanaannya. Pada saat praktek Sunnah terbelakang menjadi
kebiasaan mekanik, maka ia sama sekali kehilangan nilai
pendidikannya. Demikianlah jadinya kaum Muslimin pada
abad-abad terakhir ini. Ketika para sahabat dan generasi
berikutnya berusaha untuk menyesuaikan segala detail
kehidupannya pada contoh Rasul Allah itu, mereka
melakukannya dengan penyerahan yang sadar pada kehendak
terarah yang akan membentuk kehidupannya dalam sinar
al-Qur'an. Berhubungan dengan putusan sadar itu mereka dapat
mengambil manfaat dengan jalan latihan melalui Sunnah hingga
sepenuhnya. Bukanlah kesalahan daripada sistem itu apabila
kaum Muslimin yang kemudian tidak membuat penggunaan yang
benar dari jalan jalan psikologik yang dibuka oleh sistem
itu. Pengabaian ini boleh jadi --dalam ukuran yang sangat
besar-- dipengaruhi oleh Sufisme dengan kebenciannya yang
menonjol, yang banyak atau sedikit, terhadap enersi-enersi
aktif dan penekanannya pada enersi-enersi reseptif dalam
diri manusia. Karena praktek Sunnah telah ditegakkan sebagai
satu komponen kehidupan keagamaan Islam sejak permulaan
Islam, Sufisme tidak berhasil dalam mencabut akar-akarnya
dalam prinsip. Tetapi ia berhasil dalam menetralisir
kekuatan aktif itu dan dengan demikian hingga ukuran
tertentu menetralkan kegunaannya hingga ukuran tertentu.
Bagi kaum Sufi, Sunnah itu tinggal sebagai satu ideogram
kepentingan platonik dengan latar belakang mistik; bagi
ahli-ahli theologia dan ahli-ahli hukum sebagai satu sistem
hukum-hukum; dan bagi masa Muslimin tidak lain dari suatu
kulit kerang kosong tanpa sesuatu arti yang hidup. Tetapi
walaupun kaum Muslimin telah gagal untuk mengambil manfaat
dari ajaran-ajaran al-Qur'an dan tafsirannya melalui Sunnah
Rasul, idea yang mendasari ajaran-ajaran maupun
tafsiran-tafsirannya tetap tinggal utuh dan tidak ada alasan
mengapa ia tidak dapat diterapkan dalam praktek sekali lagi.
Tujuan nyata dari pada Sunnah bukanlah seperti yang dianggap
kritikus-kritikus agnostik itu, untuk mendidik orang ala
kaum Parisi dan formalisme gersang, tetapi mendidik manusia
menjadi sadar, teguh, berhati dalam dan siap untuk
bertindak. Kaum pria dan wanita dalam gaya semacam itu
adalah para Sahabat Nabi. Kesadaran permanen, kebangunan
batin dan rasa tanggung jawab dalam segala yang mereka
lakukan- didalamnyalah terletak rahasia efisiensinya yang
seperti mukjizat dan sukses historisnya yang cemerlang.
Inilah yang pertama, dan kita katakanlah aspek individual
daripada Sunnah. Aspeknya yang kedua adalah kepentingan dan
manfaat sosial. Hampir tidak dapat diragukan sedikitpun
bahwa kebanyakan dari konflik-konflik sosial disebabkan oleh
salah pengertian manusia antara tindakan-tindakan dan
maksud-maksud diantara sesamanya. Sebab dari salah paham
semacam itu adalah perbedaan-perbedaan ekstrim antara
temperamen-temperamen dan kecenderungan-kecenderungan dari
anggota-anggota individu masyarakat. Temperamen-temperamen
yang berbeda memaksakan kebiasaan-kebiasaan yang berbeda
pada manusia, dan kebiasaan-kebiasaan yang berbeda itu, yang
diperkuat oleh pembiasaan-pembiasaan lama bertahun-tahun
menjadi penghalang-penghalang antara individu. Sebaliknya
seandainya beberapa individu kebetulan mempunyai
kebiasaan-kebiasaan yang sama sepanjang hidupnya, sangat
mungkin sekali hubungan mereka menjadi saling simpati dan
pikiran-pikiran mereka siap untuk saling mengerti. Oleh
karena itu maka Islam, yang sama berurusan dengan
kemasyarakatan maupun kesejahteraan individual,
menganggapnya; satu titik hakiki bahwa anggota-anggota
individual dari pada masyarakat harus diajak secara
sistematik untuk membuat kebiasaan-kebiasaan dan adat-adat
mereka menjadi serupa, betapapun perbedaan status
masing-masing dalam bidang sosial dan ekonomi.
Tetapi di atas segala ini Sunnah dalam keadaannya yang
disebut "kaku" malah memberikan pengabdian lebih besar pada
masyarakat; ia membuat masyarakat menjadi akrab dan stabil
dalam bentuk, dan menyingkirkan perkembangan antagonisme dan
konflik-konflik seperti, dengan nama "masalah-masalah
sosial," telah menyebabkan kekacauan-kekacauan penting dalam
masyarakat Barat. Masalah sosial semacam itu timbul apabila
lembaga-lembaga atau kebiasaan-kebiasaan tertentu terasa
tidak sempurna dan oleh karena itu terbuka terhadap kritik
dan perubahan-perubahan ke arah kemajuan. Tetapi bagi mereka
yang merasa dirinya terikat oleh hukum al-Qur'an, dan
konsekuensinya terikat oleh petunjuk-petunjuk Nabi
--kondisi-kondisi masyarakat harus mempunyai satu pandangan
yang transendental. Selama tidak ada keraguan atas
keasliannya ini, tidak akan ada timbul hasrat untuk
mempersoalkan organisasi sosial dalam hal-hal
fundamentalnya. Hanya dengan demikian kita dapat menerima
satu kemungkinan praktis bagi dalil al-Qur'an bahwa kaum
Muslimin harus menjadi seperti satu "bangunan yang padu."
Apabila kita menerapkan prinsip kehidupan kemasyarakatan
kita, maka tidak akan ada perlunya bagi masyarakat untuk
membuang-buang energinya dalam perkara-perkara kecil dan
"pembentukan kembali" yang separuh-separuh yang berhubung
sifat alaminya sendiri hanya dapat beroleh nilai-nilai
sepintas lalu. Terlepas dari kekacauan dialektik dan
dibangun atas landasan kuat dari hukum Ilahi itu dan teladan
hidup Nabi, masyarakat Islam dapat menggunakan segala
kekuatan-kekuatannya untuk masalah-masalah kesejahteraan
material, moral dan intelektual, dan dengan demikian membuka
jalan bagi individu dalam usaha-usaha spiritualnya. Ini, dan
tiada lainnya, adalah tujuan agamawi yang nyata dari
organisasi sosial Islam.
Dan sekarang kita tiba pada aspek ketiga daripada Sunnah,
dan perlunya kita mengikuti Sunnah secara keras.
Dalam sistem ini banyak detail dari kehidupan kita
sehari-hari didasarkan pada teladan yang diberikan Nabi.
Dalam segala yang kita lakukan, kita secara permanen
didorong untuk memikirkan perbuatan dan perkataan Nabi yang
bersangkutan dengan itu. Dengan demikian maka pribadi
manusia terbesar itu terserap dalam-dalam pada kebiasaan
kehidupan kita sehari-hari, dan pengaruh spiritualnya
menjadi faktor nyata yang terus berlangsung dalam kehidupan
kita. Secara sadar dan dibawah sadar kita terbimbing untuk
mempelajari sikap Nabi dalam hal ini dan hal itu; kita
belajar memandang beliau bukan saja sebagai pembawa
pembentangan moral, tetapi juga sebagai penunjuk ke arah
kehidupan sempurna. Disinilah kita harus memutuskan apakah
kita harus memandang Nabi hanya sebagai seorang bijaksana
diantara manusia-manusia bijaksana, atau sebagai Rasul Allah
yang paling tinggi yang selalu bertindak atas ilham Ilahi.
Titik pandangan al-Qur'an dalam hal ini terang diatas segala
kemungkinan salah paham. Seorang manusia yang telah
direncanakan sebagai Nabi terakhir dan sebagai rahmat bagi
seisi alam tidak dapat tidak pastilah beroleh ilham secara
permanen. Untuk menolak petunjuk ini, atau unsur-unsur
tertentu dari bimbingan itu, akan berarti tidak kurang dari
menolak atau memandang enteng bimbingan Allah sendiri. Ini
selanjutnya akan berarti, dalam kelanjutan logis dari
pikiran ini, bahwa seluruh amanat Islam tidak dimaksudkan
sebagai pemecahan sempurna masalah-masalah manusia tetapi
hanya sebagai pemecahan alternatif dan bahwa ia meninggalkan
kebebasan pada kita untuk memilih ini atau sesuatu yang
lain, yang barangkali sama benarnya dan sama bermanfaat.
Prinsip seenaknya ini dapat membawa kita kemana-mana tetapi
pastilah tidak akan membawa kita kepada jiwa Islam, yang
dikatakan dalam al-Qur'an
"Hari ini telah Aku sempurnakan bagi kamu agama
kamu dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku pada kamu dan
telah Aku relakan Islam sebagai agama kamu." (Qur'an
Suci, 5: 3 )
Kita memandang Islam lebih tinggi dari segala
sistem-sistem agama manapun karena Islam mencakup kehidupan
dalam seluruh kebulatannya. Islam mencakup masalah dunia dan
akhirat, rohani dan jasmani, perorangan dan kemasyarakatan;
dalam wilayah pertimbangannya, Islam mencakup bukan saja
kemungkinan-kemungkinan luhur dari alam insani, tetapi juga
batasan-batasan dan kelemahan-kelemahannya yang terpadu.
Islam tidak menekankan yang tidak mungkin pada kita tetapi
mengarahkan kita bagaimana mengambil manfaat yang
sebaik-baiknya dari segala kemungkinan-kemungkinan kita
dalam mencapai wilayah realitas yang lebih tinggi dimana
tidak ada penyimpangan dan dimana tidak ada tabrakan antara
ide dan perbuatan. Islam bukan salah satu dari jalan-jalan
tetapi jalan; dan manusia yang menyampaikan ajaran ini
kepada kita bukan hanya salah satu diantara
penunjuk-penunjuk jalan, tetapi penunjuk jalan. Mengikuti
segala yang dilakukannya dan yang diperintahkannya adalah
mengikuti Islam, meninggalkannya berarti meninggalkan
realitas Islam.
|