|
KESIMPULAN
Sebelum ini saya telah berusaha menunjukkan bahwa Islam,
dalam artinya yang benar, tidak mendapatkan manfaat dengan
satu asimilasi peradaban Barat. Tetapi di pihak lain dunia
Muslimin sekarang mempunyai energi demikian kecilnya yang
tertinggal sehingga ia tidak mengajukan perlawanan yang
cukup. Sisa-sisa kehidupan kulturalnya di mana-mana sedang
diratakan dengan tanah di bawah tekanan-tekanan idea-idea
dan adat istiadat Barat. Suatu nada pengunduran diri sedang
terdengar; dan pengunduran diri dalam kehidupan
bangsa-bangsa dan kebudayaan berarti mati.
Ada apa dengan Islam? Apakah sesungguhnya Islam, seperti
sering hendak diyakinkan kepada kita oleh lawan-lawan dan
orang-orang yang hendak mengelabui dari dalam barisan kita
sendiri, adalah suatu "kekuatan yang telah habis
dikerahkan"? Apakah Islam telah kehabisan kemanfaatannya dan
telah memberikan kepada dunia segala yang harus
diberikannya?
Sejarah mengatakan kepada kita bahwa segala kebudayaan
dan peradaban manusia adalah keseluruhan organik dan
menyerupai makhluk-makhluk hidup. Kebudayaan dan peradaban
melintas melalui segala tingkat-tingkat kehidupan organik
yang harus dilaluinya; kebudayaan dan peradaban-peradaban
dilahirkan, melalui masa remajanya, masa dewasa dan matang,
dan pada akhirnya datanglah masa gugur. Seperti
tumbuh-tumbuhan yang layu dan gugur ke debu, kultur-kultur
mati pada akhir masanya dan memberikan tempat pada
kultur-kultur lain yang lahir dengan segar.
Apakah demikian halnya dengan Islam? Pada pandangan kulit
sepintas lalu akan tampak demikian. Tiada diragukan bahwa
kebudayaan Islam telah mengalami kebangunannya yang
cemerlang dan masa berkembangnya; ia mempunyai kekuatan
untuk mengilhami manusia untuk berbuat dan berkurban, ia
mengubah bangsa-bangsa dan mengubah permukaan bumi, dan
sudah itu ia berdiri diam dan macet, kemudian ia menjadi
kata kosong dan sekarang kita melihat kerendahannya yang
sangat dan kebobrokannya. Tetapi apakah hanya sekedar
demikian itu?
Apabila kita percaya bahwa Islam bukanlah satu kultur
diantara kultur-kultur, bukan hanya sekedar hasil pemikiran
dan usaha manusia, tetapi satu hukum yang dititahkan Allah
SWT untuk diikuti ummat manusia pada sepanjang zaman dan di
setiap tempat, maka aspek itu berubah dengan sempurna. Kalau
kultur Islam merupakan hasil kita mengikuti hukum yang
diwahyukan, maka sekali-kali tidak dapat kita mengatakan
bahwa, seperti kultur-kultur lain, ia terbelenggu dengan
rantai waktu dan terbatas pada satu masa tertentu. Yang
sesungguhnya tampak sebagai kebobrokan Islam tidaklah lain
dari pada kematian dan kekosongan hati kita yang terlalu
bersikap masa bodoh dan malas untuk mendengar suara abadi.
Tidak terlihat tanda-tanda bahwa ummat manusia, dalam
keadaan yang telah dicapainya sekarang, telah mengatasi
Islam. Ummat manusia ternyata tidak sanggup untuk
menghasilkan satu sistem etika yang lebih baik dari pada
sistem etika Islam; ia ternyata tidak sanggup meletakkan
idea persaudaraan ummat manusia atas dasar tumpuan praktis
seperti dihasilkan Islam dalam konsep supranasional dalam
bentuk Ummah; ia ternyata tidak sanggup menciptakan satu
struktur kemasyarakatan dimana konflik-konflik diturunkan
secara efisien ke batas minimal, dalam gagasan
kemasyarakatannya ia tidak sanggup membangunkan keluruhan
manusia, perasaan keamanannya, pengharapan spiritualnya, dan
terakhir tetapi pasti bukan terkecil, kebahagiannya.
Dalam segala hal ini hasil capaian ummat manusia sekarang
jauh sangat tidak mencapai program Islam. Maka dimanakah
dasar kebenaran untuk mengatakan bahwa Islam "telah
ketinggalan zaman"? Apakah hanya karena dasar-dasarnya
adalah religius dan orientasi religius sudah bukan modenya
sekarang? Tetapi apabila kita lihat bahwa satu sistem
berdasarkan agama telah sanggup memajukan satu program hidup
praktis yang lebih sempurna, lebih konkrit dan lebih patut
bagi konstitusi psikologik dari pada apapun yang telah
pernah dihasilkan akal pikiran dengan jalan pembentukan
kembali usul-usul baru --tidakkah ini justru satu argumen
yang sangat kuat menopang pandangan religius?
Kita mempunyai segala alasan untuk percaya bahwa Islam
telah dipertahankan sepenuhnya oleh hasil-hasil capaian
positif manusia, karena Islam telah menghadapinya dan
menunjuknya sebagai barang yang sepatutnya lama sebelum hal
itu ditemukan; dan sama seperti itu pula ia telah
dipertahankan oleh kenyataan akan kekurangan-kekurangan,
kekeliruan-kekeliruan dan ceruk-ceruk penghalang
perkembangan manusia, karena Islam telah memperingatkan
dengar nyaring dan lantang menentangnya lama sebelum manusia
menyadarinya sebagai kekeliruan-kekeliruan. Sangat terlepas
dari kepercayaan-kepercayaan religius seseorang, semata-mata
dari sudut pandang intelektual, terdapat segala dasar
pendorong untuk mengikuti dengan yakin petunjuk praktis
Islam.
Apabila kita pandang kultur dan kebudayaan dari segi
pandangan ini maka pasti kita akan sampai pada kesimpulan
bahwa kebangkitan Islam pasti mungkin. Kita tidak perlu
me-"reform" Islam, seperti dikira oleh sebagian kaum
Muslimin, karena Islam telah sempurna sendirinya. Yang harus
kita perbaharui ialah sikap kita terhadap agama, kemalasan
kita, singkatnya kekurangan-kekurangan kita, bukan
kekurangan-kekurangan yang dikira ada pada Islam. Untuk
mencapai kebangkitan Islam kita tidak perlu mencari
prinisip-prinsip perilaku baru dari luar, tetapi kita hanya
harus menerapkan perilaku lama yang telah kita tinggalkan.
Tentu kita boleh menerima rangsangan-rangsangan baru dari
kebudayaan asing, tetapi kita tidak dapat mengganti bangunan
Islam yang sempurna dengan sesuatu yang bukan Islam, baik ia
datang dari Barat ataupun dari Timur. Islam sebagai lembaga
spiritual dan sosial tidak dapat "diperbaiki." Dalam hal-hal
demikian setiap perubahan pada konsepsi-konsepsinya atau
pada organisasi sosialnya yang disebabkan oleh
gangguan-gangguan kultural asing adalah dalam realitasnya
berarti kemunduran dan merusak dan oleh karena itu harus
sangat disesalkan. Suatu perubahan harus ada, tetapi
perubahan itu haruslah perubahan dari dalam diri kita
sendiri --dan perubahan itu harus menuju kepada Islam, bukan
menyimpang dari Islam.
Tetapi dengan segala ini kita tidak boleh menipu diri.
Kita tahu bahwa dunia Islam hampir telah kehilangan
realitasnya sebagai satu faktor kultural yang tidak
tergantung. Di sini saya tidak berbicara tentang aspek
politik dari kemunduran kaum Muslimin. Segi yang jauh lebih
penting bagi keadaan kita sekarang harus diperoleh dalam
bidang intelektual dan sosial, dalam menghilangnya
kepercayaan kita dan pengoyakan struktur sosial kita.
Tampaknya sangat sedikit yang masih tertinggal dari
kesehatan aslinya yang seperti telah kita lihat, merupakan
satu karakter yang demikian khas dari masyarakat Islam awal
itu. Kekacauan kultural dan sosial yang sedang kita alami
sekarang menunjukkan bahwa kekuatan-kekuatan yang
mengimbangi yang dahulu menjadi sebab bagi kebesaran dunia
Islam sudah hampir padam sekarang. Kita sedang mengapung
hanyut dan tiada seorangpun tahu ke arah tujuan kultural
yang mana. Tidak ada kebenaran kultural tertinggal, tidak
ada kemauan untuk menentang banjir pengaruh asing yang
merusak agama dan masyarakat kita. Kita telah
mengesampingkan ajaran-ajaran moral yang paling baik yang
pernah disaksikan dunia. Kita memungkiri agama kita, sedang
bagi orang-orang tua kita dahulu agama itu merupakan
pendorong hidup; kita merasa malu sedang nenek moyang kita
bangga; kita pelit dan mementingkan diri sendiri, sedang
mereka dengan murah hati membukakan diri kepada dunia luar,
kita kosong sedang mereka penuh berisi.
Keluhan ini dikenal oleh setiap Muslim yang berpikir.
Setiap orang telah mendengarnya diulang-ulang berkali-kali.
Kalau demikian, orang dapat bertanya: masih perlukah itu
diulang sekali lagi? Saya pikir perlu. Karena bagi kita
tidak akan ada jalan keluar dari rasa malu akan kemunduran
kita kecuali satu: mengakui rasa malu itu, melihatnya siang
malam di depan mata kita dan merasakan kepahitannya,
sehingga kita memutuskan untuk menyingkirkan sebab-sebabnya.
Tidak ada gunanya menyembunyikan kenyataan pahit dari diri
kita sendiri dan berpura-pura bahwa dunia Islam sedang
bangkit dalam kegiatan-kegiatan Islami, bahwa misi-misi
Islam sedang bekerja di empat benua, bahwa bangsa Barat
makin lama makin menyadari akan keindahan Islam
Tidak
ada gunanya berpura-pura tentang semua ini dan menggunakan
argumen-argumen kebetulan untuk meyakinkan diri kita sendiri
bahwa kerendahan kita bukanlah tidak bertumpuan, karena
sesungguhnyalah memang sebenarnya demikian.
Tetapi inikah yang akan menjadi akhir kesudahannya? Tidak
dapat demikian. Hasrat kita akan regenerasi, hasrat sekian
banyak dari kita untuk menjadi lebih baik daripada keadaan
kita sekarang, memberikan hak kepada kita untuk mengharapkan
bahwa kita belum selesai. Ada jalan menuju regenerasi, dan
jalan ini dapat dilihat dengan nyata bagi setiap orang yang
punya mata untuk melihat.
Langkah kita yang pertama haruslah membuang jiwa apologia
bagi Islam, karena itu hanyalah satu nama lain bagi
pengelabuan intelektual. Dan jenjang kita selanjutnya adalah
mengikuti Sunnah Nabi kita dengan sadar dan sungguh-sungguh.
Karena Sunnah berarti, tidak lebih dan tidak kurang,
ajaran-ajaran Islam yang diterapkan dalam praktek. Dengan
menggunakannya sebagai test terakhir kedalam
tuntutan-tuntutan kehidupan kita sehari-hari, dengan mudah
kita akan mengenal pengaruh-pengaruh dari kebudayaan Barat,
yang mana dapat diterima dan yang mana yang harus ditolak.
Sebagai ganti daripada menyerahkan Islam dengan halusnya
kepada norma-norma intelektual asing, kita harus belajar
--sekali lagi-- memandang Islam sebagai norma; dengan norma
inilah kita harus menilai dunia.
Namun benarlah bahwa banyak tujuan-tujuan Islam yang
orisinal telah dibawa kedalam perspektif palsu melalui
penafsiran-penafsiran tidak sempurna tetapi diterima umum,
dan dari orang-orang Muslimin yang tidak dalam posisi untuk
kembali sendiri kepada sumber-sumber asli dan dengan
demikian memperbaiki lagi konsepsi-konsepsi mereka,
dihadap-hadapkan dengan gambaran Islam dan hal-hal lain yang
berhubungan dengan agama Islam yang sebagiannya telah
dirusak. Proposisi-proposisi yang tidak dapat dipraktekkan
yang sekarang dikemukakan oleh faham orthodoks seenaknya
sendiri sebagai dalil-dalil Islam, dalam banyak hal tidaklah
lain daripada --penafsiran-penafsiran konvensional dari
dalil-dalil atas dasar logika neo-platonisme lama yang
mungkin "modern", yaitu dapat berjalan, dalam abad kedua
atau abad ketiga Hijriyah, tetapi sungguh-sungguh bukan lagi
masanya sekarang. Seorang Muslim yang terdidik secara Barat,
kebanyakan tidak mengenal bahasa Arab dan tidak mengenal
masalah-masalah fiqih, secara alami cenderung untuk
memandang penafsiran-penafsiran dan konsepsi-konsepsi usang
dan subyektif sebagai hasil dari penafsiran-penafsiran yang
benar dari Pembawa Hukum: dan dalam kekecewaannya atas
ketidak-sempurnaannya ia sering menarik diri mundur dari apa
yang dikiranya Syari'ah Islam. Dengan demikian, supaya
mereka sekali lagi menjadi satu kekuatan kreatif dalam
kehidupan kaum Muslimin, penilaian terhadap
proposisi-proposisi Islam harus direvisi dalam sorotan sinar
pengertian kita sendiri dari sumber-sumber aslinya dan
dibersihkan dari lapisan-lapisan timbunan tebal
penafsiran-penafsiran konvensional yang telah tertimbun
selama berabad-abad dan terasa berkekurangan pada jaman
sekarang. Hasil dari usaha semacam itu mungkin berupa
timbulnya satu fiqih baru yang tepat sesuai dengan Dua
Sumber Islam --al-Qur'an dan teladan hidup Nabi-- dan pada
saat yang sama menjawab tuntutan-tuntutan kehidupan jaman
ini: tepat seperti bentuk-bentuk fiqih lama itu menjawab
tuntutan-tuntutan hidup dari suatu masa yang dikuasai
falsafah Aristoteles dan Neo-Platonisme dan kondisi-kondisi
hidup yang menguasai pada tingkat-tingkat permulaan itu.
Tetapi hanya apabila kita memperoleh lagi kepercayaan
diri sendiri yang telah hilang itu dapat kita mengharapkan
untuk mengubah jalan maju kita sekali lagi. Tujuan itu tidak
pernah akan tercapai apabila kita menghancurkan
lembaga-lembaga sosial kita sendiri dan meniru suatu
peradaban asing-asing bukan saja dalam pengertian historis
dan geografis, tetapi juga asing dalam pengertian
spiritual.
Seperti halnya sekarang, Islam adalah seperti kapal yang
akan karam. Segala tangan yang dapat membawa pertolongan
diperlukan di kapal. Tetapi bahtera Islam akan selamat
apabila kaum Muslimin mendengar dan mengerti panggilan
al-Qur an:
"Sesungguhnya dalam diri Rasul Allah kamu dapati
teladan yang paling baik bagi setiap orang yang mengharap
akan menghadap Allah dan hari kemudian." (al-Qur'an,
33:21)
|