Alhamdu lillahi wahdahu wasshalatu
wassalamu 'ala man la nabiyya ba'dahu.
KATA PENDAHULUAN
Jarang ummat manusia terjerumus dalam kecemasan
intelektual seperti yang terjadi pada zaman kita kini. Kita
bukan saja dihadapkan pada tumpukan masalah-masalah yang
membutuhkan pemecahan-pemecahan baru yang tidak
tanggung-tanggung, tetapi juga sudut pandangan di mana
masalah-masalah itu tampil di hadapan kita berlainan dengan
segala yang pernah kita kenal sebelumnya.
Di negeri mana saja, masyarakat telah mengalami
perubahan-perubahan fundamental. Jalannya perubahan ini di
mana-mana berlainan; tetapi di setiap negeri kita dapat
melihat energi desak yang sama, yang tidak mengizinkan kita
berhenti atau bersikap ragu-ragu.
Dunia Islam tidak terkecuali dalam hal ini. Di sini kita
lihat pula kebiasaan-kebiasaan dan idea-idea lama menghilang
dan munculnya kebiasaan dan idea-idea baru. Kemana tujuan
perkembangan baru ini? Sejauh mana pencapaiannya? Sejauh
mana kesesuaiannya dengan misi kultural Islam?
Isi buku ini sekali-kali tidak bendak berhebat-hebat
dengan memberikan suatu jawaban yang panjang lebar atas
seluruh lingkup pertanyaan di atas. Karena ruangnya yang
terbatas maka hanya satu dari masalah-masalah yang
menghadang kaum Muslimin sekarang, yaitu sikap yang harus
kita ambil terhadap peradaban Barat, telah kami pilih untuk
dibicarakan. Namun cakupan yang sangat luas dari pokok
masalah ini memerlukan kita untuk meluaskan penyelidikan
tentang aspek-aspek dasar agama Islam, terutama berkenaan
dengan prinsip Sunnah. Di sini tidak mungkin untuk
memberikan lebih dari garis-garis besar melulu dari satu
tema yang cukup luas untuk berjilid-jilid buku tebal. Tetapi
betapapun juga --atau barangkali justru karena itu-- saya
merasa yakin bahwa sketsa singkat ini akan merupakan suatu
rangsangan bagi orang lain untuk pemikiran lebih jauh atas
masalah yang begitu penting ini.
Dan sekarang tentang diri saya sendiri; apabila seorang
muallaf berkata kepada mereka, kaum Muslimin berhak
mengetahui betapa dan mengapa ia memeluk agama Islam.
Dalam tahun 1922 saya meninggalkan negeri saya, Austria,
untuk membuat perjalanan melalui Afrika Utara dan Asia
sebagai koresponden istimewa suatu koran Eropa dan sejak
waktu itu saya melalukan hampir seluruh waktu saya di Timur
Tengah. Perhatian saya terhadap bangsa-bangsa yang saya
hubungi pada mulanya hanya sebagai perhatian seorang asing.
Saya melihat di sini suatu tata masyarakat yang secara
fundamental berbeda dengan pandangan hidup orang Eropa; dan
sejak semula telah tumbuh dalam diri saya perasaan simpati
atas kehidupan yang lebih tenang --saya seharusnya
mengatakan: lebih insani-- dan konsepsi hidup yang lebih
damai dibanding dengan mode hidup yang tergesa-gesa dan
mekanis di Eropa. Rasa simpati ini berangsur-angsur membawa
saya pada satu penyelidikan mengenai sebab-sebab perbedaan
mode hidup semacam itu, dan saya jadi tertarik pada
ajaran-ajaran agama Islam. Pada saat itu perhatian saya
tidak cukup untuk menarik saya memeluk agama Islam, tetapi
hal itu membuka pandangan baru pada saya tentang masyarakat
manasia yang sedang maju, yang progresif, terorganisir
dengan seminimal mungkin konflik ke sesama dan perasaan
persaudaraan sungguh-sungguh yang maksimal. Namun sebenarnya
kehidupan kaum Muslimin sekarang tampak sangat ketinggalan
dari kemungkinan-kemungkinan ideal yang diberikan dalam
ajaran-ajaran agama Islam. Segala yang dalam masa kemurnian
Islam dahulunya merupakan pendorong gerak maju di kalangan
kaum Muslimin, sekarang telah berubah menjadi sikap masa
bodoh dan kemacetan; segala yang dalam zaman kejayaan Islam
dahulunya merupakan rahmat dan kesiapsiagaan untuk
berkorban, sekarang berubah menjadi kepicikan dan kehidupan
seenaknya di antara kaum Muslimin.
Terdesak oleh penemuan akan kenyataan ini dan
dibingungkan oleh ketidaksesuaian antara dulu dan kini, saya
berusaha memecahkan masalah yang dihadapkan kepada saya ini
dari titik pandangan yang lebih dekat: saya berusaha
membayangkan diri saya dalam lingkungan Islam. Hal itu
hanyalah experimen intelektual melulu: dan ini menerangkan
kepada saya, dalam waktu yang sangat singkat, penyelesaian
masalah ini dengan sebenarnya. Saya menyadari bahwa
satu-satunya sebab kemunduran sosial dan kultural kaum
Muslimin terletak dalam kenyataan bahwa mereka secara
berangsur angsur melalaikan jiwa ajaran-ajaran Islam. Islam
masih ada pada mereka, tetapi tinggal jasad tanpa jiwanya.
Satu-satunya unsur yang dahulu tegak mengokohkan dunia Islam
sekarang menjadi sebab kelemahannya; masyarakat Islam telah
dibangun sejak dari permulaannya hanya atas dasar agamawi,
dan pelemahan-pelemahan unsur itu tentu melemahkan struktur
kulturalnya --dan bahkan mungkin akan menyebabkan
musnahnya.
Makin saya mengerti betapa kongkrit dan betapa praktisnya
ajaran-ajaran Islam, makin tebal hasrat saya bertanya
mengapa kaum Muslimin telah meninggalkan penerapannya yang
riil. Saya bicarakan hal ini dengan banyak pemuka-pemuka
Islam, hampir pada semua negeri antara Lybia dan Pamir,
antara Selat Bosporus dan Laut Arabia. Hal itu hampir
mengikat persoalan saya seluruhnya yang akhirnya meliputi
segala urusan-urusan intelektual saya dalam dunia Islam.
Godaan pertanyaan itu terus menebal dalam jiwa saya
--sehingga saya, seorang bukan-muslim berkata kepada seorang
Muslim seakan-akan saya hendak membela Islam dari kekeliruan
dan sikap masa bodoh mereka. Saya tidak melihat kemajuannya,
hingga pada suatu hari --waktu itu musim semi tahun 1925 di
pegunungan Afghanistan-- seorang gubernur propinsi yang muda
usia berkata kepada saya: "Tetapi anda seorang Muslim, hanya
anda sendiri tidak mengetahuinya". Saya terkejut oleh
kata-kata itu dan berdiam diri.
Tetapi ketika saya kembali ke Eropa lagi dalam tahun
1926, saya menyadari bahwa satu-satunya konsekuensi yang
logis dari sikap saya itu adalah memeluk agama Islam.
Demikianlah keadaan-keadaan yang berhubungan dengan
menjadi Muslimnya saya. Sejak saat itu berulang-ulang saya
bertanya pada diri: "Mengapa engkau memeluk agama Islam?"
Dan saya harus mengaku: saya tidak tahu jawabannya yang
memuaskan. Bukan karena sesuatu yang khusus pada
ajaran-ajarannya yang menarik saya, tetapi seluruh
strukturnya yang mengagumkan, struktur ajaran moral dan
program hidup yang praktis yang tak dapat dipisah-pisahkan.
Bahkan hingga pada saat ini belum dapat juga saya mengatakan
aspek Islam yang mana yang lebih menarik saya dibanding
dengan aspek lainnya. Islam tampak pada saya sebagai suatu
karya arsitektur yang sempurna. Segala bagian-bagiannya
terpadu secara harmonis untuk saling mengisi dan saling
menopang, tidak ada yang berlebih-lebihan dan tidak ada yang
kurang, merupakan satu perimbangan yang mutlak dan satu
komposisi yang padu. Barangkali perasaan bahwa segala
sesuatu dalam ajaran dan rumusan Islam adalah pada
"tempatnya yang tepat" telah menciptakan kesan yang paling
kuat pada saya; mungkin kesan-kesan lain juga ada
bersama-sama dengan kesan itu, sukar saya uraikan sekarang.
Alhasil, soal cinta, dan cinta terpadu dalam berbagai unsur,
dari hasrat manusia dan kesunyiannya, dari tujuan-tujuan
luhur manusia dan kekurangannya, dari kekuatan-kekuatan dan
kelemahan manusia. Demikianlah halnya, Islam datang dalam
jiwa saya sebagai datangnya pencuri di malam hari, tetapi
tidak seperti pencuri, ia datang pada saya untuk menetap
selama-lamanya.
Sejak itu saya terus belajar sekuat tenaga saya tentang
Islam. Saya pelajari al-Qur'an dan Hadits; saya pelajari
bahasa al-Qur'an dan sejarah Islam serta sebagian besar
kitab-kitab yang ditulis oleh lawan dan kawan. Saya tinggal
lebih lima tahun di Hejaz dan Najd, kebanyakan di Madinah,
supaya saya dapat mengalami sesuatu dari alam sekitar yang
asli di mana agama ini dikhotbahkan oleh Nabi berbangsa Arab
itu. Karena Hejaz merupakan pusat pertemuan kaum Muslimin
seluruh dunia, saya beroleh kesempatan untuk membanding
pandangan agamawi dan pandangan sosial dalam dunia Islam
pada zaman ini. Studi perbandingan ini menciptakan keyakinan
kuat dalam diri saya bahwa Islam sebagai satu landasan
spiritual dan sosial, walaupun terbelakang karena sikap masa
bodoh kaum Muslimin, tetap merupakan satu tenaga penggerak
yang luar biasa hebatnya yang pernah dialami ummat manusia;
dan mulai saat ini perhatian saya terpusat pada problema
regenerasi Islam.
Buku kecil ini adalah sumbangan sederhana kepada tujuan
besar itu. Buku ini tidak berpura-pura sebagai tinjauan
dingin tentang peristiwa-peristiwa; ini merupakan pernyataan
tentang suatu perkara Islam versus Barat, seperti yang saya
lihat. Dan buku ini tidak ditulis untuk orang-orang yang
memandang Islam hanya sebagai satu dari antara yang banyak,
yang banyak sedikitnya merupakan bantuan menolong bagi
kehidupan sosial; buku ini ditulis bagi mereka yang dalam
hatinya masih hidup pancaran sinar api yang berkobar dalam
diri para sahabat Nabi --api yang pernah membuat Islam agung
sebagai satu tata masyarakat dan capaian kultural.
Delhi, Maret 1934
Muhammad Asad.
|