Membangun Lingkungan dan Masa Depan Islam di Amerika Serikat

Dr. Juhaya S. Praja*)

Cassius Clay, mantan juara dunia tinju kelas berat, berganti nama Muhammad Ali. Tentu saja ia menjadi seorang Muslim. Konversi sang juara yang digelari "Si Mulut Besar" ini terjadi pada 1960-an. Kaum Muslim Indonesia umumnya terkejut mendengar berita ihwal petinju legendaris ini. Setelah menjadi Muslim, perilakunya pun menyulut haru kaum Muslim. Ia berdoa kepada Allah ketika hendak bertarung di atas ring dengan mengangkat kedua belah tangannya. Allahu Akbar! Fenomena Muhammad Ali menimbulkan rasa ingin tahu saya tentang perkembangan Islam di negeri Paman Sam, tempat kelahiran Muhammad Ali. Saya lebih mengenal Amerika Serikat (AS) sebagai negara kapitalis dan imperialis. Musim panas 1991 saya berangkat ke AS untuk melakukan penelitian tentang Current Trends in the American Muslim Communities and Its Islamic Institutes atas sponsor Fulbright. Kini, rasa ingin tahu perkembangan Islam di AS itu terjawab sudah.

Akhir Juru 1991 saya mendarat di bandar udara Denver, Colorado. Hujan turun rintik-rintik. Sopir taksi yang membawa saya dari bandar udara menuju Universitas Denver menjadi sasaran pertama untuk menjawab rasa ingin tahu saya tentang Islam di AS. "Umat Islam di kota Denver ini banyak sekali," kata sopir itu bersemangat. Namun, ketika saya bertanya di mana masjid (mosque), sang sopir menjawab tidak tahu. Saya eja: m-o-s-q-u-e. Ia tetap tidak mengerti istilah itu. Saya tanya di mana umat Islam melakukan ibadah. Sopir segera menjawab, "Islamic Center." Rupanya, istilah Islamic Center di kalangan orang Amerika lebih popular daripada mosque. Bahkan Al-Quran pun mereka sebut Islamic Bible.

Colorado Muslim Society (CMS) adalah organisasi umat Islam di ibukota Colorado dan sekitarnya. "Jumlah umat Islam di kota ini sekitar sepuluh ribuan," demikian tutur Muhammad Jodeh, pria tampan dan pengusaha sukses yang selalu mengendarai Mercedes. CMS memiliki tiga sampai empat masjid yang lebih dikenal dengan sebutan Islamic Center. Islamic Center di kota Denver ada tiga. Salah satunya adalah yang terbesar di negara bagian Colorado. Selain dapat menampung seribu jamaah, Islamic Center yang terletak di atas tanah seluas dua hektar ini dilengkapi pula dengan perpustakaan, ruang belajar, ruang makan, kantor, dan halaman parkir yang luas. Islamic Center yang lain berada di kota Boulder dan Fort Collins.

Awal Agustus 1991 saya diundang Mohammad Jodeh, Presiden CMS, untuk mengikuti upacara pengislaman pemain basket terkemuka kota Denver, Christ Jackson. Christ berganti nama Muhammad Abdurrouf. Upacara pengislaman itu menarik perhatian ribuan jamaah serta wartawan televisi dan surat kabar. Keesokan harinya surat kabar terkemuka kota Denver memuat konversi Christ Jackson Muhammad Abdurrouf pada halaman muka. Dalam wawancara dengan saya, Abdurrouf menjelaskan kenapa ia memilih Islam. Agama yang ia anut sebelumnya, Kristen, dianggapnya tidak memberikan jawaban yang memuaskan tentang arti hidup ini. Ia jumpai jawaban itu dalam Islam. Pertanyaan tentang arti dan hakikat hidup muncul ketika ia merasa bosan dengan kehidupan yang serba mewah. Ketenarannya pun tidak membuat hatinya tenteram. Ia bertanya kepada sesama temannya bagaimana agar hati tenteram; menempuh jalan hidup yang benar. Ia dianjurkan membaca Al-Quran. Ia pun segera membaca Al-Quran. Setiap malam. Setiap kali membaca Al-Quran, hatinya merasa tenteram dan damai. Tamat membaca Al-Quran, ia ungkapkan isi hatinya kepada ibunya. Ia memutuskan untuk memeluk Islam. I decide to declare syahadat. Ungkapnya kepada penulis dengan terbata-Bata. Ia pun kemudian mengucapkan dua kalimat syahadat di Islamic Center Denver bersama tiga orang teman dan saudaranya.

Pada 30 Agustus hingga 2 September 1991 saya mengikuti Konvensi Tahunan ke-28 ISNA (Islamic Society of North America) di kota Dayton, Ohio. Konferensi organisasi Islam terbesar di Amerika Utara ini (Amerika Serikat dan Kanada) dihadiri oleh lebih dari tiga ribu utusan. Tentu saja saya senang sekali mengikuti acara ini. Saya dapat berjumpa dengan berbagai lapisan masyarakat Islam se-Amerika Utara. Mereka sangat beragam, baik latar belakang etnis, maupun corak pemikiran dan tradisinya. Dalam kesempatan ini saya menikmati wawancara dengan Muhammad Sha'ir, seorang Guru Besar ilmu politik pada salah satu universitas terkemuka di New Jersey. Sha'ir yang bule dan fasih berbahasa Arab ini mengisahkan mengapa ia memeluk Islam. Sebelumnya ia adalah pengagum Marxisme. Namun ia kecewa karena Marxisme meniadakan eksistensi manusia. Anti Tuhan. Kemudian ia pun memeluk agama Nasrani, lantas Yahudi. Ia pun kecewa. Agama tersebut dianggapnya tidak memberi keseimbangan bagi kebutuhan hidup manusia: lahir dan batin. Ia pun putus asa, tidak mau melanjutkan sekolah seusai lulus SMA. Ia coba ikuti ajaran Hindu, Buddha dan agama lain. Semuanya tidak memuaskan! Akhirnya hatinya jatuh cinta kepada Islam setelah membaca buku Islam in Focus karya Abdalati yang memberinya jalan untuk mengarungi hidup yang seimbang antara kebutuhan ruhani dan jasmani; dunia dan akhirat. Semangat hidupnya kembali bergelora. Ia memutuskan untuk belajar Islam ke Mesir. Gelar sarjana muda dalam ilmu ushuluddin diraihnya. Ia pun kembali ke AS hingga akhirnya meraih gelar doktor dalam bidang politik. Ia bertekad untuk menjadi da'i dan meninggikan agama Allah di bumi Amerika.

Oktober 1991 saya berangkat ke kota New York untuk bergabung dengan kolega saya di Universitas Columbia. Azyumardi Azra yang menjemput saya di bandar Udara F. Kennedy mengajak saya melewati persimpangan Jalan Martin Luther King dan Jalan Malcolm X di kawasan Harlem. Di persimpangan jalan itu Azyumardi menunjukkan Masjid Malcolm X yang lebih dikenal dengan nama Masjid Malcolm Malik Shabbaz. Masjid bertingkat empat itu terletak di persimpangan jalan yang mengabadikan nama dua tokoh pemuda yang melambangkan kebangkitan orang negro Amerika Serikat dari dua dunia yang berbeda: Martin lahir dari gereja, Malcolm X dari masjid. Di masjid ini pun ada Santa Clara Muhammad School. Lantai pertamanya dijadikan Islamic Grossary dan restoran yang dikenal sebagai halal food restaurant.

Penelitian saya membuktikan bahwa penganut Islam di negeri Paman Sam berkembang terus secara dramatic, terutama pada paruh kedua abad ini. Pesatnya pertumbuhan itu melalui imigrasi, kelahiran (procreation), dan konversi. Tentu saja, hal ini mengejutkan berbagai pihak. AS dikenal di kalangan masyarakat Islam Indonesia umumnya sebagai negara sekular. Mereka tidak dapat membayangkan adanya peluang yang besar bagi perkembangan Islam di negeri tersebut.

Upaya memahami kemungkinan perkembangan Islam di AS dapat diawali dengan melihat Amandemen Pertama Konstitusi AS yang menyatakan:

Congress shall make no law respecting an establishment of religion, or prohibiting the free exercise thereof, or abridging the freedom of speed, or of the press; or the right of the people peaceably to assemble, and to petition the government for address of grievances.

Atas dasar Amandemen Pertama tersebut, orang Amerika tidak dapat membayangkan bagaimana mungkin pemerintah dapat, atau hendak mendikte rakyatnya untuk menganut agama atau mengunjungi gereja tertentu. Kebebasan beragama adalah pilihan pribadi. Tidak beragama sekalipun adalah konsep dasar demokrasi AS. Amandemen ini pula yang menjadi "pintu masuk" bagi kemungkinan perkembangan Islam di AS.

Konstitusi AS menjamin kebebasan beragama dan melaksanakan ajarannya. Namun, tidak semua praktek agama dibenarkan. Sebagian tindakan agama ada yang dianggap tindak pidana. Poligami yang dilakukan pria beragama Mormon di wilayah Utah dianggap tindak pidana oleh sidang pengadilan Mahkamah Agung (1879). Padahal berpoligami itu dilakukan atas dasar keyakinan dan kewajiban agamanya. Di lain pihak, beberapa suku Indian Amerika diizinkan menggunakan drugs (narkotika dan semacamnya) untuk kepentingan upacara keagamaan.

Buku yang berada di tangan para pembaca yang budiman ini menggambarkan wacana dinamika perkembangan Islam di AS. Sebagai pengantar bagi pembaca yang budiman, berikut ini disajikan lintasan perkembangan Islam di AS; harapan dan tantangannya di masa kini dan akan datang; usaha dan pemikirannya.

Muslim Amerika: Siapa dan Mengapa Mereka Memeluk Islam?

Bagi kaum Muslim yang tinggal di AS melalui migrasi, kehidupannya di negeri ini dianggap sebagai suatu bentuk hijrah. Hijrah bagi kaum Muslim AS adalah suatu bentuk kebebasan positif dan evaluatif cemerlang tentang struktur sosial. Hijrah mengawali upaya untuk memperoleh social setting yang menjamin diperolehnya kebebasan yang diperlukan untuk membangun suatu gerakan Islam yang halus; suatu gerakan untuk menciptakan kondisi-kondisi yang meyakinkan tercapainya kebebasan untuk semua orang.

Sejarah umat Islam di AS adalah suatu dokumentasi serangkaian hijrah-hijrah itu. Gelombang migrasi dari seberang lautan itu terjadi karena AS menjanjikan tanah harapan; menjanjikan oportunitas Islami; dan, suatu kesempatan yang baik bagi Islam. Kaum Muslim asli Amerika (indigenous Americans) bermigrasi untuk menghindarkan diri dari ideologi yang impresif. Perjalanan panjang harus ditempuh kaum Muslim AS sebelum mereka dapat menciptakan suatu masyarakat Islam di negeri ini.

Pada 1983 umat Islam AS mengadakan suatu konferensi, A Hijrah Conference. Konferensi ini adalah upaya untuk menyadarkan masyarakat Islam tentang tujuan mereka berhijrah ke AS, yaitu untuk menyaksikan bumi AS yang hanya mungkin dapat mencapai impian mulianya menjadi satu bangsa di bawah karunia Allah, dengan mewujudkan kebebasan dan keadilan untuk semua (One nation under God, with liberty and justice for all).

Pada awal abad kedua puluh ini, komunitas Muslim belum dapat bergerak aktif dan bebas. Akan tetapi, perjalanan abad ini mencatat berbagai peristiwa dan perubahan. Kehadiran Islam disambut ramah oleh masyarakat AS. Sebagai negara adikuasa, AS menjalin hubungan erat dengan dunia Islam. Kaum Muslim pun aktif mencari bantuan teknologi AS untuk mengakselerasikan pembangunan negerinya. Kondisi itulah yang membuka jalan bagi pengembangan Islam di AS. Namun perlu dicatat bahwa sejarah Islam di negeri ini dapat dilacak ke belakang, hingga beberapa abad lampau.

Leo Wiener menyatakan bahwa orang-orang Arab Islam dan Mande telah datang ke Dunia Baru (Amerika) jauh sebelum kedatangan Columbus. Menurutnya, orang-orang Afrika yang datang ke Dunia Baru ini banyak hubungannya dengan kebudayaan orang-orang Indian-Amerika. Kehadiran Islam di negeri ini dimulai sejak sejarah perdagangan budak dan kegiatan budak-budak Muslim AS. Literatur tentang budak-budak Muslim tampaknya sangat terbatas. Akan tetapi, berdasarkan perhitungan Ethnological Society dan dikukuhkan oleh Prof. Sulayman Nyang dari Howard University, budak Muslim ada yang sangat terpelajar, seperti Ayyub Ibnu Sulayman Diallo. Ia adalah Pangeran Bundu yang diculik dan dijual sebagai budak (1730). Ia memperoleh kemerdekaannya pada 1733 atas jasa seorang kulit putih. Sebelumnya tercatat budak-budak dari Afrika, antara 1619-1663 yang datang ke negeri ini. Mereka itu, antara lain, Yarrow Mahmout dan Muhammad Bah. Pada 1539 seorang Muslim Maroko ikut serta bersama putra mahkota New Spain dalam eksplorasinya ke Arizona dan New Mexico. Adapun orang Arab pertama datang ke negeri ini yang terdokumentasikan adalah mereka yang berasal dari keluarga Wahab yang menetap di Ocracocke Island dan Carolina Utara pada akhir abad kedelapan belas. Mereka tercatat sebagai budak yang tidak memakan babi dan beriman kepada Allah dan Muhammad (1717-1790). Pertengahan abad kesembilan belas (1856) pasukan kavaleri AS mempekerjakan Haji Ali dalam rangka melakukan percobaan peternakan unta di Arizona. Terlepas dari nasib budak-budak itu, ada yang bernasib baik atau buruk, kehadirannya di bumi Amerika dan di tengah masyarakatnya telah menjadi sumber inspirasi sejumlah besar masyarakat Afro-Amerika untuk memeluk Islam. Mereka itulah yang kemudian dikenal dengan Black Muslim.

Memasuki awal abad kesembilan belas, kegiatan perdagangan budak dihapuskan. Orang Islam yang berasal dari Mesir, Yordania, Irak, Syria, Pakistan, India, Uni Soviet, Turki, Yugoslavia, dan Albania banyak yang bermigrasi ke AS. Kehadiran mereka di sini merupakan gelombang migrasi pertama. Umumnya mereka tidak mempunyai keterampilan kerja dan buta huruf. Oleh karena itu pula umumnya orang menganggap bahwa Muslim Amerika pertama adalah imigran Arab dari kalangan Afro-Amerika.

Akbar Muhammad, Guru Besar State University of New York, menolak anggapan tersebut di atas. Ia menyatakan bahwa orang Amerika pertama yang tercatat sebagai pemeluk Islam adalah Reverend Norman, seorang misionaris gereja Methodist di Turki. Ia memeluk Islam pada 1870. Pada dekade berikutnya seorang Afro-Amerika, Muhammad Alexander Russel Webb masuk Islam ketika bertugas sebagai Konsul Jenderal AS di Filipina (1887). Ia adalah pelopor utama yang mendirikan organisasi Islam pertama di negeri ini (1893).

Sebagai anak seorang editor surat kabar dan penerbit di Hudson, Columbia County di Upstate New York, Webb mendapat pendidikan hingga College. Webb muda bekerja pada perusahaan perhiasan logam mulia yang terkenal di New York, Chicago, dan St.Louis. Keahliannya di bidang ini membuka jalan baginya untuk aktif di bidang jurnalistik dan politik. Webb pernah bekerja untuk beberapa surat kabar di berbagai kota di Missouri, New York dan New Jersey, baik sebagai editor maupun penerbit. Setelah pensiun dari jabatan diplomatiknya, ia pergi ke India selama dua bulan dan berjumpa dengan sejumlah pemimpin dan pemikir Muslim. Atas dukungan mereka itulah kemudian ia kembali ke New York sebagai da'i (1893). Ia menerbitkan The Moslem World sebagai sarana dakwahnya. Di samping itu, ia juga memberikan kuliah-kuliah tentang Islam di berbagai kota. Menjawab pertanyaan mengapa masuk Islam ia mengatakan:

Saya memeluk Islam setelah studi yang sungguh-sungguh hingga akhirnya saya menjumpai sistem spiritual terbaik yang diperlukan umat manusia... Sejak 12 tahun yang lalu saya tertarik untuk mengkaji agama-agama Timur... Saya melihat Mill, Locke, Kant, Hegel, Fichte, dan Huxley yang merupakan pemikir terkemuka dan arif bijaksana. Namun, mereka tidak memberi jawaban atas pertanyaan saya tentang jiwa dan bagaimana nasibnya setelah kematian... Saya memeluk Islam bukanlah karena sentimen sesaat atau gejolak emosi seketika. Saya memeluk Islam karena keinginan yang muncul dari kedalaman hati, kesungguhan, dan penelitian yang mendalam dan memakan waktu yang relatif panjang dalam upaya mencari kebenaran. Esensi kebenaran Islam adalah penyerahan diri kepada kehendak Allah. Intinya ada pada shalat. Shalat mengajarkan kebajikan universal dan menuntut kejernihan pikiran dan hati nurani; kesucian tindakan dan ucapan serta menuntut kesempurnaan dan kebersihan ragawi. Tidak ragu lagi, Islam adalah agama yang paling sederhana. Islam adalah agama yang paling meningkatkan harkat derajat manusia dibandingkan dengan agama lain yang pernah dikenal oleh umat manusia.

Menjelang wafat (1916), Webb pernah berbicara dengan orang banyak, termasuk sejumlah pemikir agama dan sosial Amerika yang terkemuka, seperti Mark Twain. Ia pun mendirikan sekitar enam cabang Moslem Brotherhood dan American Islamic Propaganda di berbagai kota bagian Pantai Timur AS (East Coast) di kawasan bagian tengah Amerika (Mid Western). Walaupun organisasi yang didirikan Webb ini mati secara prematur, namun tak dapat diragukan lagi bahwa anggota-anggotanya sangat berpengaruh terhadap perkembangan Islam AS di kemudian hari. Setidak-tidaknya telah dua kali pertemuan yang diselenggarakan untuk mengenang jasa-jasanya. Pertemuan terakhir diadakan pada 1943.

Sebelum kematian Webb, Islam telah mulai bangkit sebagai fenomena agama dan nasionalitas di kalangan Afro-Amerika. Gerakan Islam yang paling penting saat ini adalah Moorish American Science Temple, yang diresmikan pada 1913 di New Wark, New Jersey. Seperti halnya Webb, pendiri gerakan ini, Noble Drew Ali yang terlahir dengan nama Timothy Drew di North Carolina, telah mengenal filsafat ketimuran. Ali hanya mengenal sedikit pendidikan formal yang diperolehnya. Ia bekerja dengan kedudukan yang rendah, seperti penarik gerobak. Ikhtisar ajaran gerakannya yang penting dicatat di sini adalah sebagai berikut: 1. Buddha, Confucious, Zoroaster, Jesus, dan Muhammad adalah nabi, dan Drew Ali secara spiritual mempunyai hubungan dengan mereka; 2. Orang-orang Afro-Amerika dianggap sebagai bangsa Asia, dan keturunan Moabites dan Cannanites; 3. Islam adalah agama yang secara alamiah diperuntukkan untuk bangsa Asia, sedangkan Kristen bagi orang Eropa; 4. Orang-orang Afro-Amerika hendaklah menghindari kontak yang tidak perlu dengan "si wajah pucat" (paleface), yakni orang-orang Eropa-Amerika; 5. Neraka itu tidak ada. Surga adalah suatu keadaan mental. Gerakan ini mempunyai kitab kecil yang disebut The Holy Koran of The Moorish Science Temple of America. Kitab ini dihimpun oleh pendirinya. Di dalamnya ada gambar Drew Ali dan Raja Ibn Saud dari Arab Saudi secara terpisah.

Jika diamati siapa umat Islam AS, maka akan segera diketahui bahwa mereka dapat dikategorikan ke dalam tiga kelompok:

Pertama, penduduk asli (indigenous) yang lahir dan dibesarkan di AS. Biasanya, kaum indigenous ini seringkali berkonotasi penduduk asli AS (bukan dalam arti orang Indian), yaitu orang AS yang bernenek moyang Eropa-Amerika atau Kaukasia: orang-orang bule (paleface) yang berpindah agama atau memeluk Islam. Akan tetapi, orang-orang Afro-Amerika pun sering juga dikategorikan sebagai indigenous.

Kedua, orang-orang Muslim imigran yang berasal dari sekitar enam puluh negara yang telah membentuk lebih dari seratus sub-kelompok.

Ketiga, orang-orang yang menetap sementara di AS, baik sebagai diplomat, mahasiswa, pengusaha, atau yang mempunyai urusan-urusan lainnya yang biasa disebut sojourners.

Migrasi orang-orang Islam ke AS terjadi dalam beberapa gelombang:

Gelombang migrasi pertama (1875-1912). Yang bermigrasi pada gelombang ini umumnya para pemuda desa yang tidak terpelajar dan tidak mempunyai keterampilan kerja. Mereka berasal dari negeri-negeri yang sekarang dikenal dengan nama Syria, Yordania, Palestina, dan Libanon yang ketika itu berada di bawah pemerintahan kerajaan 'Utsmani. Karena keadaan ekonomi negerinya tidak menguntungkan, mereka berharap di Amerika mendapatkan keberuntungan finansial sebagaimana saudara-saudaranya yang beragama Kristen. Sementara itu, mereka yang telah berhasil ada yang kembali mudik ke negeri leluhurnya di Timur Tengah, sedangkan yang lainnya menetap di negeri ini. Mereka mulai membentuk komunitas Muslim. Karena kurangnya pendidikan dan kemampuan berbahasa Inggris, kebanyakan mereka hanya bekerja di pabrik minuman atau toko-toko. Mereka pada umumnya tinggal di dekat pusat-pusat kawasan industri dan mengalami kesulitan berintegrasi ke dalam masyarakat AS sehingga membentuk ikatan yang cenderung eksklusif dengan saudaranya. Jika pembaca berkunjung ke Detroit, maka di situ akan dijumpai kawasan Dearbon yang dikenal sebagai kampung Islam (Islamic Village).

Gelombang migrasi kedua (1918-1922) yang terjadi setelah Perang Dunia Pertama. Imigran gelombang ini umumnya terdiri atas orang-orang cerdik pandai yang berasal dari perkotaan. Akan tetapi, mereka adalah saudara, kawan atau kenalan imigran yang telah lebih dahulu berada dan menetap di AS.

Gelombang migrasi ketiga (1930-1938) terkondisikan oleh kebijaksanaan luar negeri (imigrasi) AS yang memberikan prioritas kepada mereka yang keluarganya telah lebih dahulu menetap di AS.

Gelombang migrasi keempat (1947-1960) bukan saja terdiri dari mereka yang berasal dari Timur Tengah, melainkan juga dari India, Pakistan, Eropa Timur, Uni Soviet, dan bagian lain dunia Islam. Mereka yang datang pada gelombang ini umumnya anak-anak penguasa negeri asalnya. Mereka umumnya berlatar belakang kehidupan perkotaan, terdidik, dan telah terbaratkan (westernized) sebelum datang ke AS. Mereka datang ke AS sebagai pengungsi atau untuk mencari kehidupan yang lebih baik, pendidikan lebih tinggi, atau untuk mendapat latihan teknik lanjutan dan memperoleh kesempatan kerja secara terspesialisasi. Di antara mereka ada yang bermigrasi karena alasan ideologis.

Gelombang migrasi kelima diawali sejak 1967 sampai sekarang. Mereka yang datang ke AS pada gelombang ini, selain karena alasan ekonomis, juga karena alasan politis. Dunia Arab pada masa-masa ini telah mengalami penderitaan karena konfrontasinya dengan Israel dan konflik politik lainnya. Berbeda dengan imigran sebelumya, mereka yang datang pada paruh kedua abad kedua puluh ini adalah orang-orang terpelajar dan profesional yang segera mendapatkan kenikmatan ekonomi dan politik AS. Bahkan belakangan ini, tenaga setengah terampil pun banyak yang datang ke AS, yakni mereka yang datang dari Pakistan, Yaman, dan Libanon seperti halnya dari Iran pasca-Revolusi Islam yang dipimpin oleh Khomeini. Secara keseluruhan, imigran yang datang pada gelombang ini jauh lebih mudah memperoleh berbagai pekerjaan dibanding mereka yang datang pada abad yang lalu.

Corak keislaman masyarakat Islam AS yang datang ke negeri ini sebagai imigran masih menampakkan latar belakang kultur dan etnik negara asalnya. Pertanyaan timbul: Mengapa dan bagaimana mereka memelihara keislamannya? Sementara itu, ketika kita melihat masyarakat Islam Afro-Amerika atau indigenous akan timbul pertanyaan: Mengapa mereka memeluk Islam?

Eric C. Lincoln mengawali tulisannya, The Black Muslims in America, dengan mengisahkan bagaimana penilaian sebagian mahasiswanya terhadap ajaran Kristen. Mereka, kata Lincoln, menganggap orang-orang Kristen yang mengklaim anak Tuhan adalah orang hipokrit alias munafik. Perlakuannya terhadap orang negro tidaklah adil. Karena itu, Lincoln menjelaskan bahwa mahasiswanya beranggapan hanya Islamlah satu-satunya agama yang memberinya martabat dan harga diri. Bahkan pandangan ekstremnya mengatakan bahwa orang 'putih' tak dapat menjadi Muslim yang baik. Karenanya tidak heran jika ajaran Drew Ali dan gerakan Marcus Garvey mendapat sambutan hangat dari orang-orang Afro-Amerika. Gerakan yang merupakan fenomena agama dan kebangsaan tersebut dilanjutkan oleh Elijah Muhammad (terlahir dengan nama Elijah Poole) yang mengklaim bahwa ajarannya diperoleh dari seorang yang misterius, yakni Imam Mahdi Farad Muhammad. Ajarannya menggunakan konsep Kristen tentang Tuhan dan inkarnasi. Tuhan menampakan diri sebagai manusia biasa untuk merekrut para pengikut dan utusannya. Tentu saja hal ini memberinya kepemimpinan karismatik dan menambah dimensi supernatural sebagai pemimpin komunitas yang ia namakan Nation of Islam (NOI).

Sebagai suatu gerakan agama dan nasionalisme, NOI di bawah Elijah Muhammad berhasil membangun suatu organisasi yang kuat dan tercermin dalam lima hal berikut:

  1. Kepemimpinan yang karismatik dan komando terpusat yang melahirkan loyalitas dan ketaatan dari para pengikutnya;
  2. Memiliki milisi kuat dan terorganisasikan dengan baik, yakni Fruit of Islam (FOI), yang bertugas memelihara keutuhan masyarakat Islam, masjid-masjid dan lembaga-lembaga Islam lainnya;
  3. Berdirinya organisasi bisnis, di antaranya, bank, perusahaan perikanan, dan sejumlah restoran;
  4. Lembaga Pendidikan Islam yang diberi nama Universitas Islam --sekarang diganti dengan nama Sister Clara Muhammad School-- yang hingga kini termasuk lembaga pendidikan yang penuh disiplin;
  5. Jaringan nasional tempat-tempat ibadah yang dinamai temple yang multifungsi serta terorganisasi dengan baik di bawah pemimpin yang disebut minister.

Kematian Elijah Muhammad pada 1975 dan kenaikan puteranya Warith Deen Muhammad sebagai pemimpin telah membawa perubahan yang dramatis. Pada tahap-tahap awal pembentukan NOI, Warith Deen Muhammad terlempar dari organisasi ini. Pada saat itu ia menjalin hubungan yang erat dengan imigran Muslim. Walaupun banyak perbedaan pendapat dengan ayahnya, Warith Deen Muhammad adalah anak yang paling disayangi Elijah. Menjelang wafatnya, Elijah Muhammad memanggil puteranya. Warith Deen Muhammad direhabilitasi dan diangkat sebagai penggantinya. Imam Warith Deen Muhammad bekerja secara sistematis untuk mentransformasikan Nation of Islam ke dalam mainstream masyarakat Muslim. Pada 1976, setahun setelah ayahnya wafat, ia mendeklarasikan bahwa ayahnya bukanlah seorang nabi. Konsekuensi deklarasi tersebut adalah transformasi teologi NOI ke dalam ortodoksi Islam. Nama organisasi NOI diganti menjadi World Community of Al-Islam in the West. Istilah black people diganti dengan Bilalians. Corong organisasi yang semula bernama Muhammad Speaks diganti dengan nama Bilalians News. Istilah temple menjadi mosque; minister menjadi imam, ritual dan praktek-praktek ibadah Islam pun mulai dilaksanakan. Pada 1980 nama organisasinya diganti lagi menjadi American Muslim Mission. Surat kabarnya pun menjadi The American Muslim Journal dan pada 1986 menjadi The Muslim Journal.

Imam Warith Deen Muhammad juga merombak sistem komando organisasinya dengan melakukan desentralisasi dan menginstruksikan agar organisasi di negara-negara bagian berintegrasi dengan kaum Muslim lainnya. Ia juga mengurangi otoritas Dewan Imam Nasional (National Council of Imam) dengan mendelegasikan wewenangnya kepada imam setempat.

Imam Warith Deen Muhammad memang berhasil mentransformasikan masyarakat sehingga diterima masyarakat Muslim dunia. Namun, ia harus menebusnya dengan harga yang mahal. Kerajaan ekonomi NOI ambruk bersamaan dengan krisis ekonomi yang dibarengi dengan merosotnya keanggotaan organisasinya. Beberapa pemimpinnya yang dinamik ada yang meninggalkan organisasi tersebut. Salah seorang di antaranya yang hingga kini cukup berpengaruh adalah Louis Farakkhan dengan surat kabarnya The Final Call.

Berdasarkan deskripsi singkat di atas dan wawancara penulis dengan sejumlah orang Amerika yang memeluk Islam, baik dari kalangan Afro-Amerika maupun Eropa-Amerika, alasan mereka memeluk Islam [konversi] dapat disimpulkan sebagai berikut:

Pertama, dalam pencarian kebenaran tentang arti hidup, hakikat wujud, jiwa, kehidupan setelah mati, melalui ajaran agama yang pernah dianutnya tidaklah memuaskan, atau hanya memberi jawaban yang berat sebelah; terlalu menitikberatkan kehidupan dunia atau akhirat. Islam mereka akui dan yakini sebagai agama yang memberikan petunjuk bagaimana manusia hidup di dunia dan bagaimana ia mempersiapkan kehidupan dunia untuk akhirat.

Kedua, Islam dianggap satu-satunya agama yang tidak membedakan manusia berdasarkan ras, warns kulit, pekerjaan dan lain sebagainya.

Ketiga, Islam mereka terima sebagai ajaran yang memberi kehormatan, harga diri, semangat kerja, dan menanamkan persaudaraan sesama Muslim di mana pun.

Jika di kalangan indigenous dikenal Reverend Norman, Alexander Rusel Webb, Noble Drew Ali, Elijah Muhammad, maka di kalangan imigran dikenal Abdullah Ajram [Igram], pimpinan masyarakat Islam Cedar Rapids, Iowa yang juga dikenal sebagai seorang tentara Muslim dalam angkatan bersenjata AS dan veteran Perang Dunia II. Abdullah Ajram dikenal karena ia berhasil menyelenggarakan konferensi pertama masyarakat Islam Amerika Utara (Amerika Serikat dan Kanada). Pada 28 Juni 1952 Ajram membentuk organisasi yang memayungi seluruh kegiatan umat Islam serta mengkoordinasikan kegiatan mereka. Terbentuklah The International Muslim Society yang dilanjutkan dengan konferensi tahunan pada tahun berikutnya (Juli 1953) di Toledo, Ohio. Konferensi ketiga diselenggarakan di Chicago yang melahirkan Federation of Islamic Assosiation of The United State and Canada (FIA). Ajram terpilih sebagai presidennya. Segera setelah konferensi usai, FIA mengeluarkan manifestonya yang dimulai dengan: Kami anggota masyarakat Muslim Amerika, sesuai dengan perintah Al-Quran; kami berpegang teguh kepada tali Allah bersama-sama, tidak bercerai-berai; menyatakan berdirinya federasi Islamic Association of the United State and Canada.

Deklarasi tersebut menekankan peranan federasi dalam bidang pendidikan spiritual, sosial, dan pengembangan kebudayaan dalam kerangka prinsip-prinsip Islam. Deklarasi juga menggarisbawahi peranan federasi dalam menjalin hubungan masyarakat dalam mengembangkan dan meningkatkan pengertian dan pemahaman terhadap Islam di kalangan masyarakat Amerika Utara secara luas.

Peluang, Potensi, Usaha, dan Tantangan Pengembangan Islam di AS

Peluang pengembangan Islam di AS sama besarnya dengan tantangannya. Untuk melihat peluang itu, ada dua hal yang harus diperhatikan.

Pertama, Konstitusi AS menjamin warga negaranya, termasuk agama Islam di negeri ini; kebebasan beragama, baik untuk menganut dan melaksanakan agama, maupun untuk tidak beragama sama sekali; kebebasan berkumpul dan berserikat; dan kebebasan mengeluarkan pendapat (freedom of press). Lihat Amandemen Pertama di atas.

Kedua, pragmatisme masyarakat AS yang mentolerir berbagai kebijaksanaan pemerintah sepanjang memberikan keuntungan, baik bagi pemerintah maupun bagi masyarakat AS.

Dua hal ini kiranya dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh umat Islam AS. Kebebasan beragama dimanfaatkan dengan mendatangkan imam dari kalangan mereka sendiri, seperti yang dilakukan Colorado Muslim Society (CMS) di kota Denver, Colorado. Islamic Center yang berdiri pada 1980-an itu hingga kini telah tiga kali berganti imam yang didatangkan dari Mesir atas bantuan Kementerian Perwakafan negeri tersebut. Sebagai negara sekular, pemerintah tidak mencampuri urusan agama warganya. Dengan kata lain, imam yang dikirim oleh kementerian Mesir dianggap sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan warga negara yang harus dilindungi. Kehadiran imam tersebut diperlakukan sebagai tenaga kerja yang diperlukan jasanya untuk kepentingan warga negaranya.

Kebebasan berserikat dimanfaatkan dengan membentuk berbagai organisasi, baik yang bersifat lokal, maupun nasional. Karena itu jika pada 1980-an organisasi dan lembaga Islam berkisar enam ratusan, kini diperkirakan lebih dari seribu organisasi dan lembaga Islam yang tersebar di seluruh pelosok AS. Kebebasan menyatakan pendapat pun dimanfaatkan, antara lain, dengan menyerukan kepada pemerintah untuk melindungi kepentingan pendidikan anak-anak Muslim di sekolahnya masing-masing, kebutuhan kaum Muslimin dan Muslimat yang bertugas dalam angkatan bersenjata, dan dalam bidang pekerjaan lainnya.

Dalam mengisi kesempatan untuk membangun masyarakat Islam, sebagaimana digambarkan oleh seorang penulis Muslim, Mahmood Rashdan, kini masyarakat Islam AS berada dalam situasi awal dari apa yang disebutnya Tahap Kelima Psikologis perkembangan masyarakat. Tahap Kelima ini adalah Tahap Dakwah. Empat tahap perkembangan psikologis sebelumnya ia sebut

  1. The runway stage, 1900-1950
  2. The eye-opening stage, 1950-1965
  3. The preservation stage 1965-1974
  4. The permanency stage, 1974-1986

Dapat dimengerti mengapa periode 1986 sampai sekarang disebut Tahap Dakwah karena masyarakat Islam AS telah mempunyai organisasi yang mewakili dan memayungi semua organisasi, bukan saja di Amerika, tapi juga di Kanada, yaitu ISNA. MSA (Muslim Students Association) yang semula merupakan organisasi tersendiri kini hanya merupakan bagian dari ISNA. Konferensinya yang dilaksanakan setiap tahun melambangkan cita-cita dari apa yang akan mereka perbuat pada setiap tahunnya.

Potensi umat Islam bukan saja terletak pada kuantitasnya yang terus berkembang secara dramatis, melainkan juga dari segi kualitas. Generasi ketiga dan keempat masyarakat Muslim imigran boleh dianggap sebagai warga tulen AS. Mereka lahir dan dibesarkan di AS. Bahasa mereka pun adalah bahasa Amerika. Mereka juga memandang diri sebagai bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat Amerika. Mereka sadar pula untuk ikut serta menentukan arah dan perkembangan bangsanya. Kesadaran serupa ini melahirkan apa yang dikenal dengan Muslim Political Awareness (kesadaran politik umat Islam). Muslim Political Awareness ini kini telah membahana di hampir seluruh kantong-kantong kegiatan umat Islam. Semula kesadaran ini hanya ada di kalangan Muslim Afro-Amerika yang dicelup dengan nasionalitas dan fanatisme. Berdirilah Muslim Political Action Comittee (MPAC) di Los Angeles, Chicago, Kansas City; Muslim for Better America di Virginia yang kemudian melebur dalam American Muslim Council [AMC] yang bermarkas di Washington, D.C. AMC inilah kiranya yang paling aktif dan mempunyai jaringan di banyak negara bagian. Di samping kegiatannya yang cukup menggembirakan bagi kepentingan masyarakat Islam AS khususnya dan bagi dunia Islam umumnya, AMC pun mewakili hampir seluruh etnis dan kelompok Muslim yang ada di AS. Melalui lobi yang intensif, AMC berhasil memperkenalkan Islam ke seluruh negeri dengan tampilnya Imam Siraj Wahhaj, Imam Masjid Taqwa dari Brooklyn, bersama Presiden George Bush dalam acara pembukaan sidang kongres yang dibuka dengan upacara keagamaan Islam. Di New Jersey juga lahir Islamic Political Action Committee [IPAC]. Akhir 1991 AMC berhasil melobi Departemen Pertahanan AS untuk mengangkat imam tentara. Tentu saja karena setelah Perang Teluk telah terjadi konversi tentara besar-besaran. ISNA melaporkan sekitar lima ribu tentara AS memeluk Islam dan mereka membentuk organisasi Muslim Military Member (MMM).

Potensi kualitas umat Islam disadari benar oleh kaum Muslim di negeri ini. Karena itu muncullah organisasi-organisasi profesi, seperti Association of Muslim Social Scientist (AMSS), Association of Muslim Scientist and Engineers (AMSE), Association of Muslim Medical Scientist (AMMS). Kini tengah dipersiapkan asosiasi ahli hukum, ekonomi, dan Business Administration. Pakar yang bergabung dalam organisasi keilmuan ini kemudian diwadahi oleh International Institutes of Islamic Thought (IIIT) yang bermarkas di Virginia .

IIIT yang berdiri sejak 1981 memfokuskan programnya untuk membangkitkan dan mengembangkan pemikiran Islam serta Islamisasi pengetahuan sesuai dengan disiplin ilmu kontemporer. IIIT juga menekankan penelusuran paket pengetahuan Islam potensial, khususnya ilmu-ilmu Islam yang diambil dari ajaran tauhid dan syariah. Dalam melaksanakan programnya, IIIT melakukan berbagai penelitian dan seminar, khususnya mengenai metodologi dan filsafat ilmu. Tujuannya adalah untuk menyelesaikan problema yang dihadapi masyarakat Islam dan dunia dengan konsep, prinsip, nilai dan paradigma Islam.

Potensi ekonomis masyarakat Islam pun dikembangkan melalui usaha pendirian semacam bank Islam dan kamar dagang dan industri. Kegiatan Muslim Saving and Invesment Incorporation bermarkas di Los Angeles, California. Sedangkan Muslim American Chamber of Commerce and Industry (MACCI) bermarkas di Kansas.

Walaupun masyarakat Islam AS telah memasuki babak awal Tahap Dakwah, berbagai tantangan masih menghadang mereka. Tantangan itu datang dari dalam dan luar. Tantangan dari dalam berupa keragaman etnis dan sikap latar belakang kultur yang dibawa masing-masing kelompok Islam. Karena itu masih dijumpai istilah Masjid Turki, Masjid Kamboja, Masjid Iran, dan sebagainya. Di samping itu masih banyak pula organisasi maupun kelompok yang menamakan diri kelompok Muslim padahal ajarannya telah menyimpang jauh dari ajaran Islam ortodoks. Kelompok ini seperti Ansharullah yang bermarkas di Brooklyn, New York, Baha'iyyah, dan lain-lain.

Tantangan yang datang dari luar ialah falsafah negara AS itu sendiri yang memisahkan antara agama dari negara yang kemudian disebut negara sekular. Di satu pihak, negara sekular ini memberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengembangkan diri. Di pihak lain, masyarakat Islam menghadapi berbagai tantangan akan terjadinya inovasi dan penyimpangan seperti yang ditunjukkan Ansharullah dan kelompok lainnya. Tantangan lainnya berupa tantangan identitas Muslim. Bagaimana masyarakat Islam AS mengidentifikasikan dirinya, baik identitas politis, kultural, dan etnis. Tantangan berikutnya adalah bagaimana mereka membangun dan mempertahankan institusi-institusi Islam; bagaimana membangun struktur ekonomi umat Islam; dan bagaimana mereka berpartisipasi dalam kehidupan politik Amerika.

Bagaimanapun tantangan-tantangan itu tampak berat, tetapi cepat atau lambat masyarakat Islam AS akan merupakan suatu masyarakat Islam yang khas. Pengaruhnya akan terasa merambah ke bagian dunia Islam lainnya. Pengaruh itu sadar atau tidak, sesungguhnya telah masuk juga ke Indonesia, baik lewat mahasiswa yang belajar di AS, maupun lewat tulisan masyarakat Islam AS. Prof. Seyyed Hossein Nasr, Guru Besar George Washington University, cukup optimis menyongsong masa depan masyarakat Islam AS yang diramalkannya akan menjadi kekuatan pemikiran, budaya, seni, bahkan juga politik.

Jumlah umat Islam yang diperkirakan antara tiga sampai sebelas juta jiwa memang potensial untuk menuju ke arah apa yang diperkirakan Hossein Nasr. Tapi semuanya terpulang kepada umat Islam itu sendiri. Peluang cukup terbuka, baik dari konstitusi dan hukum AS, maupun dari sisi filsafat masyarakat Amerika, filsafat pragmatisme. Kini kaum Muslim AS dituntut untuk membuktikan bahwa Islam dan masyarakatnya mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi manusia di abad modern. Jalan ke arah itu pernah dibuktikan masyarakat Brooklyn di bawah pimpinan Imam Siraj Wahhaj. Mereka berhasil memberantas sarang narkotik di daerahnya sehingga membawa simpati dari berbagai kalangan dan pemerintah.

Beberapa bulan yang lalu Prof. Frederick M. Denny mengirim hasil penelitiannya kepada penulis tentang konversi 90% penghuni penjara di kota New York. Mereka memeluk Islam atas pilihan sendiri. Oleh karena itu, tidak heran jika di penjara Indianapolis, Indiana, Myke Tyson, juara dunia tinju sejati "Si Leher Beton" dikabarkan memeluk Islam. Islam memberikan ketenteraman berserah diri kepada Allah ketika musibah tiba. Islam juga memberikan kekuatan ketika rahmat dan kejayaan datang. Indiana memang khas bagi masyarakat Islam Amerika Utara. Kota Plainfield di pingiran Indianapolis sangat terkenal di kalangan kaum Muslim. Di sinilah terletak markas besar ISNA. Berdiri megah di atas tanah seluas 250 (dua ratus lima puluh) hektar. Pusat penerbitan literatur Islam pun ada di sini. Berapa gerangan jumlah kaum Muslim di kota kecil ini? Ketika penulis berkunjung ke kota ini (1991), Dr. Moh. Shaban menjelaskan bahwa kaum Muslim di kota ini tidak lebih dari lima puluh keluarga saja.

Berbahagialah para pembaca yang budiman, karena Penerbit Mizan dapat menyuguhkan gejala kebangkitan Islam Amerika Serikat. Pada halaman-halaman berikut ini para pembaca diajak menikmati perjalanan saudara kita yang memeluk Islam. Mengenal siapa mereka dan mengapa mereka memeluk Islam. Selamat menikmati!

Cipadung Permai, Bandung, September 1995

Dr. Juhaya S. Praja

Catatan kaki:

*) Dr. Juhaya S. Praja adalah Lektor Kepala Madya/Ketua Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syariah IAIN Sunan Gunung Djati Bandung dan Pembantu Rektor Institut Agama Islam Latifah Mubarokiyah (IAILM) Pondok Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya. Menyelesaikan S3 (Doktor) di IAIN Jakarta pada 1980 dengan disertasi berjudul Epistemologi Hukum Islam (Suatu Telaah tentang Sumber, 'Illat, dan Tujuan Hukum Sistem Hukum Islam menurut Ibn Taymiyyah). Pernah melakukan riset Current Trends in the American Muslim Communities and Its Islamic Institutes di AS pada 1991-1992.


Jihad Gaya Amerika, Islam Setelah Malcolm X oleh Steven Barbosa
Judul Asli: American Jihad, Islam After Malcolm X
Terbitan Bantam Doubleday, Dell Publishing Group, Inc., New York 1993
Penterjemah: Sudirman Teba dan Fettiyah Basri
Penerbit Mizan, Jln. Yodkali No. 16, Bandung 40124
Cetakan 1, Jumada Al-Tsaniyah 1416/Oktober 1995
Telp.(022) 700931 Fax.(022) 707038

Indeks artikel kelompok ini | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Dirancang oleh MEDIA, 1997-2000.
Hak cipta © dicadangkan.