|
Terorisme Timur Tengah dan Sistem Ideologi
Amerika (2/3)
Invasi Israel atas Lebanon
pada Juni 1982 juga selalu disajikan dalam bentuk yang
sangat steril. Shimon Peres menulis bahwa operasi "Damai
untuk Galilee" dilancarkan "guna menjamin bahwa Galilee
tidak akan lagi ditembaki oleh roket-roket Katyusha". Eric
Breindel menjelaskan, "sudah terang, tujuan utama invasi
Israel pada 1982" adalah "untuk melindungi daerah Galilee
... dari serangan roket Katyusha dan penembakan lain dari
Lebanon." Halaman-halaman berita Times memberi tahu
kita bahwa invasi itu terjadi "setelah serangan-serangan
atas permukiman-permukiman di Israel Utara oleh Organisasi
Pembebasan Palestina", dan --tanpa ulasan-- menyatakan bahwa
para pemimpin Israel "mengatakan bahwa mereka ingin
mengakhiri serangan-serangan roket dan penembakan di
perbatasan utara Israel" yang "sudah tuntas selama tiga
tahun Tentara Israel berada di Lebahon". Henry Kamm
menambahkan bahwa "Selama hampir tiga tahun masyarakat
Qiryat Shemona tidak lagi tidur di lubang-lubang
perlindungan mereka, dan orang-orang tua tak lagi khawatir
kalau anak-anak mereka ke luar untuk sekolah atau
bermain-main. Roket-roket Katyusha buatan Soviet, yang
selama bertahun-tahun menghajar kota di dekat perbatasan
Lebanon ini dengan interval tak menentu, tak lagi jatuh
sejak Israel menginvasi Lebanon pada Juni 1982." Dan Thomas
Friedman mengungkapkan, "Seandainya roket-roket kembali
berjatuhan di perbatasan utara Israel setelah semua yang
sudah ditembakkan di Lebanon, rakyat Israel akan menderita";
... sekarang ini sudah tak ada lagi roket-roket yang jatuh
di Israel Utara ... dan seandainya, serangan-serangan besar
kembali menghantam perbatasan utara Israel, kelompok
minoritas (yang sering membantu tentara di Lebanon) dapat
mekar menjadi mayontas lagi". Dalam salah satu dari banyak
laporan berita human interest-nya tentang nestapa
orang-orang Israel yang menderita, Friedman menyatakan bahwa
"Operasi.Damai untuk Galilee-yakni invasi Israel atas
Lebanon-semula dilakukan" untuk melindungi penduduk sipil
dari para penembak Palestina. Tokoh-tokoh politik kerap
menguraikan doktrin serupa. Zbigniew Brzezinski menulis
bahwa "kehadiran militer Syria yang terus bertambah dan
pemanfaatan orang Lebanon oleh Organisasi Pembebasan
Palestina untuk melakukan serangan-serangan terhadap Israel
semakin mendorong invasi Israel tahun lalu". Dan Ronald
Reagan, dengan memamerkan moral pengecut khasnya, meminta
kita untuk "ingat bahwa kalau (invasi) ini sudah dimulai,
Israel, karena perbatasan utara miliknya dilanggar oleh
orang-orang Palestina, PLO, dapat leluasa untuk ke Beirut",
tempat bercokolnya "10.000 orang Palestina(!) yang telah
menimbulkan kehancuran atas Beirut"; jadi, kehancuran itu
bukan oleh para pembom sinting yang ia dukung dengan sepenuh
hati.45
Cerita-cerita ini dan segerobak cerita lainnya --banyak yang
merupakan paparan murung tentang penderitaan masyarakat
Galilee yang kerap dihajar bom Katyusha membantu menciptakan
gambaran yang disepakati tentang kaum fanatik Palestina yang
dipersenjatai Soviet, dan cap bahwa kelompok Palestina
adalah unsur utama dalam jaringan terorisme internasional
yang berbasis di Rusia, yang memaksa Israel menginvasi dan
menghajar kamp-kamp pengungsi Palestina dan sasaran-sasaran
lainnya sesuatu yang pasti dilakukan oleh setiap negara
untuk membela rakyatnya dari serangan teroris yang
kejam.
Dunia nyata, sekali lagi, berbeda. David Shipler menulis,
"Dalam masa empat tahun antara invasi Israel terdahulu atas
Lebanon Selatan pada 1978 dan invasi 6 Juni 1982, sebanyak
29 orang. telah terbunuh di Israel Utara dalam segala bentuk
serangan dari Lebanon, termasuk penembakan dan pelanggaran
perbatasan oleh para teroris," tetapi, selama satu tahun
sebelum invasi 1982 itu, keadaan perbatasan tersebut
tenteram."46
Laporan ini patut kita pandang mendekati setidaknya
setengah-kebenaran. Sementara PLO tak melakukan aksi-aksi
pelanggaran perbatasan selama satu tahun sebelum invasi
Israel, perbatasan itu sama sekali tidak tenteram sebab
teror Israel terus berlangsung dan menewaskan banyak warga
sipil; sekali lagi, perbatasan tersebut "tenteram" hanya
dalam pengertian rasis menurut diskursus Amerika. Selain
itu, Shipler maupun rekan-rekannya tak ingat bahwa sementara
29 orang terbunuh di Israel Utara sejak 1978, beribu-ribu
orang tewas oleh bombardemen Israel di Lebanon, yang nyaris
tak diungkap di AS, dan bukan dalam pengertian
"pembalasan".
Pemboman-pemboman sejak 1978 itu merupakan unsur utama
dalam "proses perdamaian" Camp David yang, mudah ditebak,
yaitu membebaskan Israel untuk memperluas represi dan
perampasannya atas daerah-daerah pendudukan sambil menyerang
tetangga utaranya. Sementara itu, benteng utama Arab (Mesir)
kini minggir dari ajang konflik dan dukungan militer AS
meningkat pesat. William Quandt lebih jauh mencatat bahwa
"Rencana operasional Israel untuk menginvasi Lebanon guna
menggebuk PLO (pada 1981-82) itu tampaknya bertepatan dengan
pemantapan perjanjian perdamaian Mesir-Israel." Perlu
dicatat bahwa makna yang jelas dari perjanjian Camp David,
meskipun tak diungkapkan di media Amerika pada waktu itu
(ketika ia sama jelasnya) dan seterusnya, dimengerti oleh
para wartawan terkemuka Amerika. Maka, dalam sebuah
wawancara di Israel, David Shipler menyatakan, "Di pihak
Israel, tampak bagi saya bahwa perjanjian perdamaian ini
mempersiapkan situasi bagi peperangan di Lebanon. Dengan
Mesir tak lagi merupakan negara konfrontasi, Israel merasa
bebas untuk menyulut sebuah perang di Lebanon, sesuatu yang
agaknya tak akan berani ia lakukan sebelum perjanjian
perdamaian ini. Adalah suatu ironi (sic) bahwa perang
di Lebanon tidak akan terjadi tanpa perjanjian perdamaian
tersebut."47 Ia
tak pernah menulis yang semacam ini di Times selama
lima tahun menjadi koresponden Israel, yang berakhir Juni
1984; atau sejak itu. Shipler menambahkan, "Saya kira tidak
akan timbul oposiai sedemikian besar terhadap perang
tersebut di kalangan warga Israel, jika tidak ada perjanjian
perdamaian serupa ini."' Dengan berada di Israel pada saat
itu, Shipler tahu bahwa "oposisi sedemikian besar terhadap
perang tersebut" adalah sebuah propaganda buatan
pasca-peristiwa (post hoc) yang dirancang untuk
memulihkan citra "Israel yang indah"; kenyataannya, oposiai
yang muncul kecil saja, dan baru membesar setelah
pembantaian-pembantaian pasca-perang Sabra-Shatila
(ketika para pendukung perang itu di AS pun meninggalkan si
kapal karam --Israel-- dan menciptakan kecurangan sejarah
tentang "oposisi sudah sejak awal", yang sangat mirip
seperti dalam kasus perang Indocina) dan khususnya lantaran
memuncaknya biaya pendudukan itu.48
Kembali ke dunia nyata, lihatlah lebih dulu latar
belakang langsung dari operasi "Damai
untuk Galilee" itu. PLO meniatuhi gencatan-senjata
rancangan AS pada Juli 1981, di tengah seringnya upaya-upaya
Israel untuk memancing aksi yang dapat digunakan sebagai
dalih untuk melakukan invasi yang telah direncanakan itu,
termasuk pemboman di akhir April 1982 yang menewaskan dua
lusin orang, menenggelamkan sejumlah perahu nelayan, dan
lain-lain. Perkecualiannya hanya berupa sebuah pembalasan
lunak pada bulan Mei setelah pemboman Israel, dan tanggapan
terhadap serangan-serangan darat dan pemboman besar Israel
di Lebanon pada Juni yang memakan banyak korban sipil.
Serangan-serangan Israel tersebut adalah dalam rangka
"pembalasan" atas usaha pembunuhan
duta besar Israel di London oleh Abu Nidal, musuh berat
PLO yang tak punya sebuah kantor pun di Lebanon --lagi-lagi
cerita lazim tentang "pembalasan".
Usaha pembunuhan itulah yang dipakai sebagai dalih untuk
invasi .yang sudah lama direneanakan itu. New
Republic menyatakan bahwa sukses-sukses perunding PBB,
Brian Urquhart, "kecil saja, malah agak dilupakan: misalnya
perundingannya tentang sebuah gencatan-senjata PLO
(sic) di Lebanon Selatan pada
1981".49 Bahwa
jurnal-jurnal pembeo Garis Partai tentu lebih suka untuk
"melupakan" fakta-fakta tidaklah mengejutkan, tetapi
bercokolnya "daya lupa" yang sedemikian tegar patut
dicatat.
Lebih lanjut, suatu penelitian pada apa yang terjadi pada
Juni 1981 menunjukkan pola serupa. Pada 28 Mei, tulis Ze'ev
Schiff dan Ehud Ya'ari, Perdana Menteri Menachem Begin dan
Kepala Staf AB Rafael Eitan "mengambil langkah lain yang
akan menggiring negeri mereka amat dekat menuju sebuah
perang di Lebanon, dengan sebuah tindakan yang telah
diperhitungkan matang terhadap tujuan itu"; yaitu, mereka
melanggar gencatan-senjata dengan membom "pusat-pusat PLO"
(sebuah istilah Newspeak, menunjuk pada setiap
sasaran yang dipilih oleh Israel untuk dihajar) di Lebanon
Selatan. Serangan-serangan terus menyembur dari udara dan
laut sampai 3 Juni, tutur Schiff dan Ya'ari, sementara
"pihak Palestina menanggapinya dengan hati-hati karena takut
bahwa suatu reaksi keras akan menimbulkan operasi darat
Israel yang mematikan." Sebuah gencatan senjata kembali
ditetapkan, dan kembali dilanggar oleh Israel pada 10 Juli,
dengan pemboman-pemboman baru. Kali ini muncul reaksi keras
Palestina, dengan serangan-serangan roket yang menyebabkan
kepanikan di Galilee Utara, dan diikuti oleh pemboman besar
Israel atas Beirut dan sasaran-sasaran sipil lainnya. Ketika
gencatan senjata baru diumumkan pada 24 Juli, kira-kira 450
orang Arab --hampir semuanya warga sipil Lebanon-- dan 6
orang Israel diketahui tewas.50
Dari rentetan peristiwa ini yang diingat hanya kesedihan
di Galilee Utara, yang ditimpa roket-roket Katyusha oleh
teroris PLO dan akhirnya menyulut Israel untuk membalas
dengan invasinya ke Lebanon pada Juni 1982. Ini terlihat
bahkan pada wartawan-wartawan serius yang bukan sekadar
menjadi corong bagi propaganda resmi. Edward Walsh menulis
bahwa "serangan roket yang berulang-ulang pada 1981 telah
sekali lagi membuat (Qiryat Shemona) terkepung", melukiskan
"orang-orangtua yang putus asa" dan teror yang ditimbulkan
oleh "gempuran roket dan artileri dari basis-basis Palestina
di sekitar tempat itu", tanpa keterangan lanjutan tentang
apa yang terjadi. Curtis Wilkie, salah seorang wartawan
Amerika yang agak kritis dan tajam di Timur Tengah, menulis
bahwa Qiryat Shemona "menjadi sasaran gempuran senjata dari
pasukan-pasukan Organisasi Pembebasan Palestina pada 1981;
hujan roket Katyusha buatan Soviet sedemikian gencar pada
suatu saat sehingga penduduk yang tak mengungsi terpaksa
menghabiskan delapan hari siang-malam berturut-turut di
tempat-tempat perlindungan" --lagi-lagi tanpa keterangan
lanjutan tentang alasan-alasan bagi "gempuran senjata" ini,
atau tentang suasana di Beirut dan daerah-daerah sipil
lainnya di mana beratus-ratus orang tewas dalam bombardemen
maut Israel. Di tempat lain pun hal-hal ini tak
diungkapkan.51
Contoh itu memberi pemahaman lebih jauh tentang konsep
"terorisme" dan "pembalasan", sebagaimana dipahami dalam
sistem ideologi AS, dan tentang asumsi-asumsi rasis yang
--dengan sendirinya-- tak menghiraukan penderitaan
korban-korban utama, yakni Arab dan karena itu bukan manusia
utuh.
Keterangan resmi bahwa "serangan-serangan roket dan
berondongan senapan atas perbatasan utara Israel" berakhir
berkat operasi "Damai untuk Galilee" (NYT lihat di
atas) adalah keliru dua kali. Pertama, perbatasan itu
tenang selama satu tahun sebelum invasi tersebut dilepaskan
dari provokasi dan serangan-serangan teror Israel.
Serangan-serangan roket pada Juli 1981 merupakan respons
terhadap teror Israel yang dalam insiden ini saja, menelan
korban hampir seratus kali lebih besar daripada korban
PLO.
Kedua, berlawanan tajam dengan periode sebelumnya,
serangan-serangan roket mulai dilakukan sesudah invasi
berakhir, sejak awal 1983, dan sejak itu terus berlangsung.
Sekelompok wartawan Israel penyempal melaporkan bahwa dalam
dua pekan selama September 1985, 14 roket Katyusha
ditembakkan ke Galilee. Selanjutnya, "serangan-serangan
teroris" meningkat 50 persen di Tepi Barat pada bulan-bulan
sesudah perang itu, dan pada akhir 1983 bertambah 70 persen
sejak perang di Lebanon, lalu menjadi ancaman gawat pada
1985 --bukan suatu konsekuensi yang mengejutkan dari
penyiksaan-penyiksaan keji dan penghancuran masyarakat sipil
dan sistem politik bangsa Palestina.52
Alasan real bagi invasi 1982 tersebut bukanlah ancaman
terhadap Galilee Utara, sebagaimana direkam oleh sejarah
yang sudah disterilkan, melainkan justru sebaliknya, seperti
dijelaskan dengan logis oleh pakar terkemuka Israel tentang
Palestinia, Profesor Universitas HebrewYehoshua Porath
(seorang "moderat" dalam kancah Israel, yang mendukung
"solusi Yordania"-nya Partai Buruh untuk mengatasi problem
Palestina), tak lama sesudah invasi itu dilancarkan.
Keputusan untuk menginvasi, ujarnya, "tercetus dari
kenyataan tandas bahwa gencatan senjata tersebut telah
ditaati." Ini merupakan sebuah "malapetaka dahsyat" bagi
pemerintah Israel sebab ia mengancam kebijakan pengelakan
pemecahan politik. "Pemerintah berharap", katanya
melanjutkan, "agar PLO yang terpojok --kekurangan logistik
dan basis teritorial-- akan kembali ke terorismenya
sediakala; ia akan melakukan pemboman di seluruh dunia,
membajak pesawat, dan membunuh banyak orang Israel". Dengan
demikian, PLO "akan kehilangan porsi legitimasi politik yang
sudah diperolehnya", dan "mengikis bahaya" berupa
perundingan-perundingan dengan para wakil bangsa Palestina,
yang akan mengancam kebijakan pelestarian kontrol efektif
atas daerah-daerah pendudukan --suatu kebijakan yang dianut
oleh kedua kelompok politik utama (Partai Buruh dan
Likud).53
Asumsi logis para pemimpin Israel ialah bahwa orang-orang
yang mempengaruhi opini publik di Amerika Serikat
--satu-satunya negara yang digubris, dan kini Israel telah
dipilih untuk menjadi negara bayaran pelayan
kepentingan-kepentingan sang majikan-- dapat diharapkan
untuk menggelapkan sejarah aktual dan menggambarkan
aksi-aksi teroris kekerasan membabi buta yang dapat
dirujukkan ke cacat-cacat dalam watak dan kultur Arab, kalau
bukan keburukan-keburukan rasial.
Lalu ulasan-ulasan tentang terorisme di AS kontan
memenuhi harapan-harapan alamiah ini dengan cukup pas
--suatu kegesitan propaganda yang bermanfaat bagi para
teroris negara di Jerusalem dan Washington.
Hal-hal pokok ini dipahami cukup baik di Israel. PM
Yitzhak Shamir menegaskan di televisi Israel bahwa Israel
melakukan perang lantaran ada "sebuah bahaya yang gawat ...
Bukan bahaya militer, melainkan terutama bahaya politlk",
memberi peluang kepada satiris tajam Israel, B. Michael,
untuk menulis bahwa "alasan lemah tentang suatu bahaya
militer atau bahaya terhadap Galilee sudah mati", maka kita
"telah melenyapkan bahaya politik" dengan menggebuk duluan,
pada saat yang tepat. Sekarang, "syukurlah, tak ada seorang
pun yang membicarakannya." Kolumnis Aaron Bachar
berkomentar, "mudahlah memahami perasaan para pemimpin
Israel. Arafat dituduh terus bergerak menuju semacam
akomodasi politik dengan Israel", dan "dalam pandangan
pemerintah Israel, ini merupakan ancaman kemungkinan
terburuk" --termasuk bagi Buruh dan Likud. Benny Morris
mengamati bahwa "PLO menghentikan aksi bersenjatanya di
sepanjang perbatasan utara selama setahun penuh. Pada
sejumlah kesempatan mereka sama sekali tak menanggapi
aksi-aksi Israel (yang dirancang khusus untuk memancing
reaksi PLO di Utara)". Selanjutnya, ia berkomentar bahwa
bagi para pejabat senior IDF, "perang ini mau tak mau harus
dilakukan karena PLO merupakan ancaman politik bagi Israel
dan bagi cengkeraman Israel atas daerah-daerah pendudukan",
sebab "harapan bangsa Palestina di dalam dan luar
daerah-daerah pendudukan bagi kematangan aspirasi-aspirasi
nasionalis terletak dan berkisar seputar PLO". Sebagaimana
setiap komentator waras, Morris amat heran mendengar
pembicaraan histeria tentang persenjataan dan ancaman
militer PLO yang menakutkan, dan meramalkan bahwa "kaum
Syi'ah Beirut Barat, banyak di antara mereka adalah
pengungsi dari pemboman-pemboman Israel di Lebanon Selatan
pada 1970-an, akan lama mengenang pengepungan IDF pada
Juni-Agustus (1982) itu", dan dalam jangka-panjang bakal
muncul pembalasan-pembalasan "terorisme Syi'ah terhadap
sasaran-sasaran Israel".54
Dari sayap kanan, terlontar komentar dari anggota Knesset
dari Likud, Ehud Olmert, bahwa "bahaya yang ditimbulkan oleh
PLO terhadap Israel bukanlah terletak pada ekstremisnya,
melainkan pada moderasi-gadungan Arafat yang disetel untuk
dipamerkan, tanpa pernah alpa pada tujuan akhirnya, yaitu
menghancurkan Israel" (argumen ini benar, dalam pengertian
sebagaimana David Ben Gurion --ketika masih berkuasa-- tak
pernah alpa pada tujuan akhirnya, yaitu memperluas
"batas-batas bagi aspirasi-aspirasi Zionis", termasuk ke
banyak negara di sekitarnya dan kadang-kadang menurut
"perbatasan-perbatasan biblikal" dari Nil sampai Irak,
sementara penduduk asli, pokoknya harus dipindahkan).
Mantan Administrator Tepi Barat, Profesor Menachem
Milson, menandaskan, "kelirulah berpikir bahwa ancaman
terhadap Israel yang ditampilkan oleh PLO pada dasarnya
ancaman militer; justru ini adalah ancaman politik dan
ideologis." Menteri Pertahanan Ariel Sharon menjelaskan tak
lama sebelum invasi bahwa "ketenteraman di Tepi Barat"
menuntut "penghancuran PLO di Lebanon", dan pengikut
ultrakanannya, Kepala Staf Rafael Eitan, berkomentar
kemudian bahwa perang ini adalah sebuah sukses, sebab ia
betul-betul memperlemah "status politik" PLO dan "perjuangan
PLO untuk mendirikan negara Palestina," seraya memperkuat
kemampuan Israel untuk "membendung setiap tujuan semacam
itu". Mengomentari pernyataan-pernyataan ini, sejarahwan
militer Israel, Uri Milshtein (seorang pendukung "solusi
Yordania" Buruh), mengungkapkan bahwa salah satu tujuan
utama invasi ini dalam konsepsi Sharon-Eitan adalah "untuk
menciptakan Orde Baru55
di Lebanon dan Timur Tengah", "memajukan proses Sadatisasi
di sejumlah negara Arab", "menjamin aneksasi Yudea dan
Samaria (Tepi Barat) bagi negara Israel", dan "mungkin suatu
solusi bagi problem Palestina". Di ujung lain spektrum
politik, anggota Knesset, Amnon Rubinstein --banyak dipuji
di AS untuk sikap lunak dan liberalnya-- menulis bahwa
sekalipun gencatan senjata "kurang-lebih" dipatuhi (baca:
dipatuhi oleh PLO, tapi tidak oleh Israel), invasi atas
Lebanon tersebut "dapat dibenarkan" lantaran adanya ancaman
potensial, bukan aktual militer: persenjataan dan amunisi di
Lebanon Selatan pada akhirnya akan digunakan untuk menghajar
Israel. Pertimbangkanlah implikasi-implikasi dari argumen
ganjil ini dalam konteks-konteks lain, bahkan kalaupun kita
menganggap serius penegasan-penegasan tentang ancaman
potensial militer PLO terhadap Israel
.56
Lihat betapa Rubinstein mengantisipasi doktrin menarik
yang ditelurkan oleh pemerintahan Reagan ketika
mengantiaipasi pemboman April 1986 atas Libya dengan
"pembelaan-diri terhadap serangan di masa depan" --kita akan
kembali mengupas soal ini pada bab berikut.
Para pembela kekejian Israel di Amerika terkadang
mengakui kebenaran-kebenaran serupa. Tidak lama sebelum
invasi, editor New Republic, Martin Peretz, dengan
menggemakan suara Sharon dan Eitan, menegaskan bahwa Israel
harus menggencarkan aksi bersenjata terhadap PLO sampai ia
mengalami "kehancuran militer selamanya" di Lebanon. Dengan
demikian, "akan jelas bagi masyarakat Palestina di Tepi
Barat bahwa perjuangan mereka telah mengalami kemunduran
yang panjang" sehingga dengan demikian "bangsa Palestina
akan kembali menjadi sekadar bangsa tertindas, seperti kaum
Kurdi atau Afghan". Dan sosialis Michael Walzer, yang
menyetujui solusi bagi bangsa Arab-Palestina --juga yang
tinggal di Israel-- dengan cara memindahkan mereka yang
merupakan "kelornpok pinggiran di negara itu" (sesungguhnya
ini garis Rabbi Kahane yang rasis itu, lihat Bab
Pertama, catatan kaki nomor 7), menjelaskan di New
Republic sesudah perang tersebut bahwa "saya tentu
gembira menyambut kehancuran politik PLO, dan saya yakin
bahwa diperlukan operasi militer terbatas untuk memungkinkan
kehancuran itu dapat ditahan berdasarkan teori perang yang
adil."57
Terkadang, amat menarik menyaksikan kesamaan pandangan
antara kelompok ultrakanan Israel dan kaum Liberal-kiri
Amerika mengenai masalah-masalah ini.
Singkatnya, tujuan-tujuan perang ini politis,
daerah-daerah pendudukan, dijadikan target utama, sasaran
lainnya adalah pembentukan "Orde Baru" di Lebanon (dan
mungkin di luarnya juga). Dongeng tentang perlindungan
perbatasan dari terorisme itu Agitprop (agitasi-propaganda),
yang ditelan dengan penuh nafsu oleh si jinak media AS.
Kalau terorisme Palestina dapat dihidupkan lagi, itu malah
lebih bagus. Dan, seandainya pun kita tak dapat rnenuding
hidung Arafat, setidaknya ia dapat dicap sebagai "bapak
pendiri kekerasan Palestina kontemporer" (New
Republic) sehingga upaya-upayanya untuk mencapai
pemecahan politik dapat dihapus.
Soal pengelakan pemecahan politik tak selesai dengan
kehancuran basis politik bagi PLO, sebagaimana diharapkan,
sehingga media AS harus tetap gigih memerangi ancaman ini
dan mempertahankan kebenaran doktrinal bahwa AS dan Israel
menghendaki perdamaian, tapi selalu terhalang oleh
rejeksionisme Arab. Demikianlah, pada April-Mei 1984, Arafat
membuat serangkaian pernyataan di Eropa dan Asia,
mengimbaukan perundingan-perundingan dengan Israel yang akan
mengarah ke pengakuan timbal-balik. Tawaran ini kontan
ditolak oleh Israel, dan tak digubris oleh AS. Sebuah berita
UPI tentang usulan-usulan Arafat dimuat di halaman
muka San Francisco Examiner, dan fakta-faktanya
dilaporkan secara bersahaja dalam pers kualitas lokal. Pers
nasional serempak membenamkan berita ini, kecuali
Washington Post yang menyinggungnya sepintas beberapa
pekan kemudian. New York Times tak mau memuat sepatah
kata pun, bahkan memberangus surat-surat pembaca tentang
topik ini, seraya --bersama media pada umumnya-- terus
mengutuk Arafat atas keengganannya mengupayakan jalan
diplomatik. Secara umum, semakin penting sebuah jurnal,
semakin tandas ia memberangus fakta-fakta --suatu sikap yang
wajar belaka mengingat pendirian pemerintah AS tentang
masalah-masalah ini.58
Orang-orang Israel yang berpengetahuan, sudah jelas
mengetahui pendirian Arafat. Mantan kepala dinas intelijen
militer, Yehoshaphat Harkabi, ahli Arab dan tokoh yang sejak
lama terkenal beringas, mencatat bahwa "PLO menghendaki
pemecahan politik sebab ia tahu bahwa alternatifnya
mengerikan dan akan menimbulkan kehancuran total". "Arafat,
sebagaimana Hussein dan masyarakat Arab di Tepi Barat, cemas
bahwa kalau tidak mungkin ada suatu pemecahan, Israel akan
meledak, hancurlah semua tetangganya, termasuk bangsa
Palestina". Karena itu, "Arafat bersikap relatif moderat
dalam menghadapi Israel."59
Observasi-observasi ini menggarisbawahi beberapa hal:
pertama, ada suatu konteks politik teramat penting
yang di dalamnya terorisme harus dipahami, jika kita
menyikapinya dengan serius. Kedua, ada
kejahatan-kejahatan orang lain, bukan kejahatan kita yang
sebanding atau lebih buruk, yang namanya "terorisme" --dalam
hal ini kejahatan orang Palestina, bukan kekejian-kekejian
orang Israel atau orang Amerika. Ketiga,
konsep-konsep "terorisme" dan "pembalasan" dipakai sebagai
istilah-istilah propaganda, bukan deskripsi. amat penting
dicatat, kobaran histeria atas aksi-aksi terorisme yang
diseleksi dengan cermat --adalah dilakukan orang Arab, entah
Palestina, kaum Syi'ah Lebanon, Syria, Libya, atau bahkan
Iran, yang boleh dianggap sebagai Arab untuk tujuan ini
adalah dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan politik khas
tertentu. Pelacakan lebih jauh memperkuat
kesimpulan-kesimpulan ini.
Lihatlah sekali lagi soal pembalasan tersebut. Serangan
roket pertama oleh kelompok Syi'ah atas Qiryat Shemona itu
sendiri terjadi pada Desember 1985, setelah lebih tiga tahun
masa pendudukan militer yang penuh kebiadaban luar biasa,
yang mencapai puncaknya selama operasi-operasi Tinju Besi di
masa Shimon Peres pada awal 1985. Tetapi, laporan tentang
kebuasan para penjarah itu, yang diturunkan sekali-kali, tak
mampu menggambarkan sesuatu yang menyerupai cerita utuh
sebab ia mengabaikan kenyataan dari hari ke hari. Demikian
pula halnya dengan laporan sesekali tentang
penganiayaan-penganiayaan Israel di daerah-daerah pendudukan
yang luput mengungkapkan gambaran-gambaran sejati tentang
penistaan brutal, penindasan, pengeksploitasian buruh murah
(termasuk anak-anak), kontrol keras atas kehidupan politik
dan kultural, dan perintangan pengembangan ekonomi. Sebuah
gambaran yang lebih jelas diberikan oleh Julie Flint, yang
menuturkan "cerita tentang kehidupan, dan kematian, di
sebuah desa di Lebanon Selatan", kediaman masyarakat Sy'iah,
satu bulan sebelum serangan roket itu. Menurut sejarah
resmi, Kfar Roummane telah menjadi "sebuah kota pertanian
yang makmur, berpenduduk delapan ribu orang" di dekat
Nabatiya selama masa ketika Lebanon Selatan dikuasai "teror"
PLO (lihat catatan kaki nomor
37). Setelah apa yang disebut New York Times
sebagai "pembebasan"-nya dari kekuasaan PLO, ia dikelilingi
oleh "dua benteng raksasa yang dibangun oleh Israel bersama
centeng Lebanonnya, Tentara Lebanon Selatan". Dan kedua
benteng inilah selalu tersembur tembakan dan berondongan
peluru, "kadang-kadang dari subuh sampai petang, terkadang
hanya beberapa jam", menimbulkan banyak korban, sampai
membuat enam ribu warganya mengungsi dan, menyebabkan tiga
perempat wilayah kota kecil ini tak dapat dihuni dan menjadi
"desa mati". Di sini tak terlihat adanya aktivitas-aktivitas
perlawanan --kemungkinan kecil hanya ada di kalangan para
petani apolitis yang mendiami rumah-rumah petak di bentangan
kawasan luas di lereng bukit.60
Apakah pemberondongan Qiryat Shemona itu pantas disebut
"terorisme" atau "pembalasan", bahkan dengan mengesampingkan
penyiksaan-penyiksaan maut dalam operasi-operasi Tinju
Besi-nya Peres-Rabin?
Melihat kehidupan para teroris juga mengesankan.
Seseorang yang diwawancarai Washington Post dalam
serial lima tulisannya tentang terorisme, diseleksi dengan
kekhasan yang lazim. Ia pernah divonis 18 tahun di sebuah
penjara Israel, dan dipilih karena "dalam banyak hal
mewakili teroris-teroris yang kini mendekam di penjara
London sampai Kuwait". "Dalam hidupnya, sebuah tragedi
pribadi (kematian ayahnya akibat ledakan bom di Jerusalem
pada 1946) yang berpadu dengan penemuan sebuah sistem
keyakinan (Marxisme) menceburkannya ke dalam suatu kancah
pembunuhan politik darah-dingin". "Bom yang menewaskan
ayahnya bersama lebih sembilan puluh orang lainnya dipasang
oleh kelompok bawah tanah Zionis Irgun, pimpinan Menachem
Begin, di markas besar militer Inggris yang sekarang menjadi
Hotel King David" --sebagaimana waktu
itu.61 Ia
"diperkenalkan dengan Marxisme, katanya, melalui 'realitas'
kondisi di kamp-kamp Palestina" di Tepi Barat yang diduduki.
"Realitas" di daerah-daerah pendudukan, bukan hanya di
kamp-kamp itu, sangat real, dan lebih buruk dan kejam, di
luar halaman-halaman editorial pers nasional, yang
melaluinya kita diberi tahu bahwa pendudukan itu merupakan
"sebuah model bagi kerja sama masa depan" dan suatu
"eksperimen dalam koeksistensi
Arab-Israel".62
Menjelaskan bukanlah membenarkan, tapi ini terus terang saja
menimbulkan beberapa pertanyaan mengenai gampangnya
penggunaan istilah-istilah seperti "pembalasan".
Atau lihatlah Sulaiman Khaler, serdadu Mesir yang
membunuh wisatawan Israel di sebuah Pantai Sinai pada 5
Oktober 1985. Pers Mesir melaporkan bahwa ibunya mengatakan
ia "senang melihat Yahudi-Yahudi itu sudah mati", dan
seorang dokter di desanya, Baher Al-Bakr, melukiskan
penembakan-penembakan itu sebagai sebuah peringatan terhadap
"perdamaian semu" antara Mesir dan Israel. Kejahatan apakah
yang sampai menimbulkan reaksi sekeras itu? pemboman Tunisia
beberapa hari sebelumnya barangkali alasannya, tapi agaknya
ada alasan-alasan lain. Pada 1970, pesawat-pesawat tempur
Israel membom Baher Al-Bakr, menewaskan 47 anak sekolah,
selama "perang pengurasan tenaga musuh" (war
of attrition). Israel melakukan pemboman luas
sebagian jauh memasuki wilayah Mesir --memaksa satu setengah
juta penduduk sipil menyingkir dari daerah Terusan Suez
karena mengkhawatirkan meletusnya perang besar, ketika
pesawat-pesawat MIG dengan pilot Soviet yang sedang bertahan
di dalam Mesir ditembak jatuh di atas wilayah Mesir, oleh
jet-jet Phantom Israel yang baru
dimilikinya.63
Maka, ada sesuatu yang hilang ketika korespondensi
Times Israel dengan lunak melaporkan bahwa Khaler
"bertindak karena motif-motif yang bersifat nasionalis dan
anti-Israel"64
--suatu sikap yang wajar belaka mengingat peristiwa yang
baru saja dituturkan kembali itu.
David Hirst mengamati bahwa "pusat atau basis yang
teramat penting bagi terorisme internasional (dalam
pengertian Barat yang sudah disterilkan) adalah Lebanon.
Lebanon menafkahi teroris-terorisnya sendiri, ataupun
bertindak sebagai tuan rumah yang ramah bagi teroris-teroris
yang didatangkan", baik kelompok Palestina yang "tahunya
cuma membom, membunuh, membantai dan memenggal, menyebarkan
kebencian, ketakutan, dan perasaan terancam", maupun
orang-orang Lebanon, yang masyarakatnya sudah dihajar telak
oleh agresi Israel dukungan Amerika berikut kelanjutannya;
"... sebuah keyakinan tertanam di jiwa kaum muda masa kini"
di kalangan kelompok-kelompok ini: "bahwa di bawah Presiden
Reagan, yang telah memberikan keberpihakan tradisional
negerinya kepada Israel dalam masa yang teramat panjang, AS
adalah biang keladi laknat pencipta seluruh tatanan yang
ada, yang demikian tak termaafkan sehingga cara apa pun kini
dihalalkan untuk menghancurkannya. Rangsangan teroris
agaknya paling kuat di kalangan bangsa Palestina, tapi ia
kuat juga di antara orang Lebanon, Arab, atau --yang
manifestasinya paling spektakuler-- di kalangan kelompok
Syi'ah". Hal yang amat penting diungkapkan oleh mantan
kepala dinas intelijen militer Israel, Jenderal
(Purnawirawan) Yehoshaphat Harkabi: "Tawarkanlah suatu
solusi terhormat kepada bangsa Palestina yang menghormati
hak-hak mereka untuk menentukan nasib sendiri: yaitu solusi
atas masalah terorisme. Kalau rawanya sudah lenyap;
nyamuk-nyamuk tidak akan muncul
lagi."65
Agresi dan terorisme skala besar AS-Israel terang
memberikan sumbangan bagi situasi yang dilukiskan Hirst
--seperti dapat diduga dan barangkali malah sangat disadari
(lihat uraian di muka)-- dan kedua negara teroris ini lebih
dari gembira melihat hasilnya, yang memberi mereka suatu
pembenaran untuk tetap menpertahankan cara kekerasan dan
rejeksionisme mereka. Selanjutnya, terorisme balasan yang
disebabkan oleh ulah mereka dapat dengan efektif
dimanfaatkan untuk menanamkan perasaan cemas yang cukup dan
mobilisasi di kalangan penduduk, sesuai dengan kebutuhan
bagi tujuan-tujuan lebih luas. Yang terpenting adalah suatu
sistem propaganda yang dapat diandalkan untuk berulang-ulang
meneriakkan komando dan untuk memberangus setiap pemahaman
tentang perbuatan-perbuatan AS, polanya, sumber-sumbernya,
dan motivasinya. Untuk keperluan ini, para pembuat keputusan
hanya membutuhkan beberapa hal.
Aksi-aksi teroris dilukiskan dengan tegas oleh para
pelakunya sebagai "pembalasan" (atau, dalam kasus terorisme
AS dan Israel; sebagai "tindakan mendahului"). Maka,
pemboman atas Tunisia diduga sebagai pembalasan untuk
pembunuhan-pembunuhan di Larnaca, seperti sudah disebut,
walaupun sama sekali tak ada bukti bahwa korban-korban
pemboman Tunisia itu punya hubungan dengan penembakan
Larnaca. Yang terakhir ini juga dijustifikasi sebagai
"pembalasan", sebuah respons terhadap pembajakan
Israel atas kapal-kapal yang sedang berlayar dari Cyprus ke
Lebanon.66
Klaim yang pertama (pemboman Tunisia) diterima di AS sebagai
tindakan sah, yang terakhir tak digubris atau dicemooh suatu
pembedaan berdasarkan komitmen ideologi, sesuai dengan norma
yang berlaku.
Dengan mengesampingkan justifikasi-justifikasi bagi
kekerasan teroris dan berpegang hanya pada catatan faktual,
tak ada keraguan bahwa Israel telah dan sedang melakukan
operasi-operasi pembajakan dan penculikan di laut sejak
bertahun-tahun lalu. Di AS, tak ada perhatian dan kerisauan
atas kejahatan ini, yang mengobarkan kegusaran dan kemarahan
besar kalau pelakunya orang Arab. Bahkan tak dirasa perlu
untuk melaporkan fakta bahwa Mahkamah Agung Israel
sesungguhnya memberikan pengesahan atas cara ini. Dalam
kasus seorang Arab yang memohon pembebasan hukumannya atas
dasar bahwa ia ditangkap di luar wilayah perairan Israel,
Mahkamah Agung menetapkan bahwa "legalitas bagi penghukuman
dan pemenjaraan tidak bergantung pada cara-cara tersangka
dibawa ke wilayah Israel", dan menggariskan (sekali lagi)
bahwa pengadilan Israel dapat menghukum seseorang yang
melakukan tindakan di luar Israel, yang dianggap sebagai
kejahatan. Dalam kasus ini, Mahkamah menegaskan bahwa
"alasan-alasan keamanan" membuatnya perlu membiarkan si
pemohon tetap berada di penjara.67
Kembali ke catatan sejarah, pada 1976, menurut anggota
Knesset jenderal (Purnawirawan) Mattiyahau Peled, Angkatan
Laut Israel mulai menangkapi kapal-kapal milik kaum Muslim
Lebanon, menyerahkannya kepada kelompok Kristen Lebanon
sekutu Israel, yang kemudian membunuh mereka, dalam upaya
untuk menggagalkan langkah-langkah menuju
konsiliasi-konsiliasi yang telah direncanakan antara PLO dan
Israel. PM Rabin membantah fakta-fakta ini, tetapi
mengatakan bahwa kapal-kapal itu ditangkap sebelum ada
rencana konsiliasi, sementara Menteri Pertahanan Shimon
Peres tak mau berkomentar. Setelah suatu pertukaran tahanan
pada November 1983, berita halaman-muka Times
menyebut di alinea kedelapanbelasnya bahwa 37 tawanan Arab
yang telah disekap di kamp tawanan Ansar yang terkenal
buruk, "telah diciduk baru-baru ini oleh AL Israel ketika
mereka mencoba berusaha melarikan diri dari Cyprus ke
Tripoli", di Beirut Utara --sebuah ulasan yang tak
dikomentari di sana dan di tempat-tempat
lain.68
Pada Juni 1984, Israel membajak sebuah kapal feri yang
sedang berlayar antara Cyprus dan Lebanon, 5 mil di luar
Pantai Lebanon, dengan berondongan senapan mesin dan
memaksanya berlayar ke Haifa. Lalu, sembilan penumpangnya,
delapan orang Lebanon dan seorang Syria, diciduk dan
ditawan. Lima orang kemudian dibebaskan setelah
diinterogasi, dan empat tetap ditahan, termasuk seorang
wanita dan seorang anak. sekolah yang pulang liburan dari
Inggris ke Beirut; dua orang dilepaskan dua pekan kemudian,
sementara nasib yang dua lagi tak jelas. Peristiwa ini
dianggap begitu sepele sehingga orang harus menyusuri
berita-berita kecil di halaman-halaman belakang koran,
sekadar untuk mengetahui lebih banyak tentang nasib Para
penumpang yang diculik itu: Observer London
menyiratkan bahwa penculikan ini "bermotif politik": untuk
memaksa para penumpang --menggunakan feri yang beroperasi
dari Pelabuhan Jounieh milik kelompok Maronit, bukannya
pelabuhan Muslim di Beirut Barat, atau untuk memberi isyarat
kepada masyarakat Lebanon bahwa mereka "tak berdaya" dan
karena itu harus mau bekerja sama dengan Israel. Lebanon
mengutuk "aksi pembajakan" ini, yang oleh Godfrey Jansen
dilukiskan sebagai "agenda lain" dalam "daftar panjang
kejahatan terorisme laut". Ditambahkan bahwa, "Israel lalu
membom dan membombardemen habis sebuah pulau kecil di
Tripoli yang dikatakan menjadi markas operasi-operasi laut
PLO"sebuah pernyataan yang dicibirnya sebagai "isapan
jempol". Polisi Lebanon melaporkan bahwa 15 orang tewas, 20
cedera, dan 20 hilang, semuanya warga Lebanon, yang terdiri
dari para nelayan dan anak-anak di sebuah perkemahan pramuka
Sunni yang merupakan sasaran "pukulan paling
keras".69
Dalam laporannya tentang "penangkapan" Israel (terjemahan
Newspeak untuk pembajakan) atas kapal feri itu,
Times mengungkapkan bahwa sebelum perang 1982,
"Angkatan Laut Israel sering menangkapi kapal-kapal yang
akan menuju atau meninggalkan Pelabuhan-Pelabuhan Tyre dan
Sidon di selatan dan menggeledah mereka untuk mencari
gerilyawan --suatu penelanan bulat-bulat yang lazim atas
pernyataan-pernyataan Israel. "Penangkapan" Syria atas
kapal-kapal sipil Israel dengan dalih serupa pasti dipandang
dengan sangat berbeda. Demikian pula pembajakan Israel atas
sebuah pesawat sipil Libya pada 4 Februari 1986, yang
diterima dengan kalem kalaupun dikritik, dianggap sebagai
kesalahan karena kekeliruan
intelijen.70
Pada 25 April 1985, sejumlah orang Palestina diculik dari
kapal-kapal sipil yang beroperasi antara Lebanon dan Cyprus,
dan dikirim ke tempat-tempat rahasia di Israel. Fakta ini
menjadi pengetahuan umum (di Israel) ketika salah seorang
diwawancarai di televisi Israel, yang menyebabkan munculnya
permohonan keterangan kepada Mahkamah Agung. Diduga masih
ada korban-korban lain yang tak
diketahui.71
Tak satu pun dari kasus-kasus ini --yang kebanyakan
diketahui hanya melalui komentar incidental--
membangkitkan perhatian atau keprihatinan yang lebih besar
daripada ketika dilaporkan sepintas bahwa "tawanan-tawanan
keamanan" Arab yang dilaporkan dalam suatu pertukaran dengan
Syria itu sebenarnya adalah "orang-orang Druze penduduk
desa-desa di wilayah strategis Dataran Tinggi Golan yang
diduduki Israel".72
Rupanya dianggap hak istimewa Israel untuk sekehendaknya
melakukan pembajakan kapal-kapal dan penculikan-penculikan,
dan membombardemen apa yang ia sebut "sasaran-sasaran
teroris" dengan persetujuan orang-orang penting di Amerika
Serikat, bagaimanapun fakta-faktanya.
Mari kita tengok sejarah serangan atas Pulau Tripoli di
utara Beirut itu, yang menyebabkan terbunuhnya sejumlah
nelayan Lebanon dan anak-anak pramuka di sebuah perkemahan.
Peristiwa ini sangat kurang mendapat perhatian, tetapi ini
wajar saja jika diukur dari kekejian-kekejian teroris Israel
yang begitu kerap terjadi, yang membuat peristiwa ini tampak
sama sekali tak serius.
Dalam hal serangan-serangan Palestina, persoalannya
sangat berbeda. Tak ada seorang pun yang mengenang dengan
lebih bergidik daripada kekejaman di Ma'alot pada 1974,
yakni 22 anggota kelompok dan penduduk paramiliter tewas
dalam tembak menernbak setelah (Menteri Pertahanan) Moshe
Dayan menolak atas keberatan-keberatan Jenderal Mordechai
Gur --untuk mempertimbangkan perundingan-perundingan
mengenai tuntutan para teroris bagi pembebasan sejumlah
tawanan Palestina.73
Orang dapat mempersoalkan apakah pembunuhan anak-anak
pramuka Lebanon itu kurang keji --kenyataannya, sama sekali
tidak ada yang menganggapnya keji karena itu dilakukan oleh
"negeri yang menghargai kehidupan manusia" (Washington
Post) yang memiliki "tujuan moral yang luhur"
(Times) yang mungkin satu-satunya dalam
sejarah.74
Dua hari sebelum serangan Ma'alot, jet-jet Israel membom
desa El-Kfeir Lebanon, menewaskan empat warga sipil. Menurut
Edward Said, serangan Ma'alot itu "didahului oleh pemboman
napalm Israel terus-menerus selama berminggu-minggu atas
kamp-kamp pengungsi Palestina di Lebanon Selatan",
menewaskan lebih dari 200 orang. Pada waktu itu, Israel
sedang menjalankan operasi pembumihangusan besar-besaran di
Lebanon Selatan, dengan serangan-serangan darat, laut, dan
udara, serta operasi-operasi komando yang menggunakan
senapan, bom, senjata anti-personel,dan napalm. Operasi ini
tampaknya menewaskan sampai ribuan orang (Barat rupanya
begitu tenangnya sehingga tidak tercatat angka-angka akurat
di AS), dan ratusan ribu orang tergiring ke arah utara, ke
daerah-daerah kumuh di sekitar
Beirut.75
Perhatian begitu kecil dan pelaporan amat sedikit. Tak
satu pun dari kebuasan Israel ini yang dicatat dalam sejarah
terorisme. Bahkan, menurut sejarah yang telah disterilkan,
ia tak pernah terjadi, walaupun serangan-serangan maut
teroris Palestina pada awal 1970-an --sudah pasti-- dikutuk
keras, dan terus dijadikan bukti bahwa bangsa Palestina tak
dapat menjadi mitra untuk merundingkan nasib mereka.
Sementara itu, media terus saja dikecam kelewat kritis
terhadap Israel dan bahkan "pro-PLO", sebuah bagian dari
aksi propaganda yang sangat berhasil.
Kita dapat mencatat interpretasi atas peristiwa-peristiwa
ini yang dikemukakan oleh para pemimpin Israel yang di
Amerika dihormati sebagai "kelompok moderat", misalnya
Yitzhak Rabin --mantan duta besar di Washington dan kemudian
perdana menteri selama periode kekejian terburuk Israel di
Lebanon-- sebelum persetujuan Camp David: "Kita tak dapat
membiarkan nestapa penduduk sipil di Lebanon Selatan ...
Merupakan kewajiban kemanusiaan kitalah untuk membantu
penduduk di kawasan itu dan mencegah jangan sampai mereka
ditumpas habis oleh teroris-teroris garang
itu."76 Para
pengulas memoar Rabin, tempat munculnya kata-kata ini, tak
merasakan ada yang tak beres di dalamnya-begitu efektifnya
sebuah sejarah yang mengabdi ideologi terbangun, dan begitu
dalamnya rasisme anti-Arab di Barat.
Harus pula dicatat bahwa Israel tidaklah sendirian dalam
menikmati hak untuk membajak, baik di laut maupun di udara.
Sebuah laporan Tass yang mengutuk pembajakan Achille Lauro
pada Oktober 1985, menuduh Amerika Serikat munafik, sebab
dua orang yang telah membajak sebuah pesawat penumpang
Soviet membunuh seorang pramugari dan melukai para awak
lainnya diberi perlindungan di AS, yang menolak
pengekstradisian.77
Kasusnya terang tak ada yang tahu, dan tuduhan munafik itu
memang sangat pantas dilontarkan.
Kasus ini juga tidak unik. Abraham Sofaer, penasihat
hukum di Departemen Luar Negeri, mengamati bahwa "Selama
1950-an, di tengah penentangan keras Amerika terhadap
pembajakan-pembajakan pesawat, Amerika Serikat beserta
sekutu-sekutu Baratnya menolak permohonan dari Cekoslovakia,
Uni Soviet, Polandia, Yugoslavia dan rezim-rezim komunis
lainnya untuk menyerahkan orang-orang yang telah membajak
pesawat, kereta api, dan kapal-kapal, yang melarikan diri."
Sofaer menandaskan bahwa AS "meninjau kembali kebijakannya"
pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, "ketika pembajakan
pesawat mencapai tingkat yang mewabah" dan menghadapkan
"problem yang terlalu serius dan ancaman yang terlalu besar
bagi keamanan para penumpang yang tak berdosa untuk
ditoleransi."78
Ini merupakan Newspeak untuk fakta bahwa pembajakan
mulai diarahkan terhadap AS dan sekutu-sekutunya, dan karena
itu masuk dalam kategori terorisme, bukan perlawanan heroik
terhadap penindasan. Lagi-lagi, dukungan AS bagi pembajakan
dengan sasaran tertentu tak dipaparkan dengan gamblang di
media atau dalam ulasan-ulasan para pakar terorologi yang
sedang naik-daun.
Orang dapat pula menyebut pembajakan pesawat pertama di
Timur Tengah, yang ceritanya juga ganjil. Pembajakan itu
dilakukan Israel pada Desember 1954, ketika sebuah jet
penumpang sipil Syria dikepung oleh pesawat-pesawat tempur
Israel dan dipaksa mendarat di Bandara Lydda. Maksud Kepala
Staf AB Moshe Dayan adalah "untuk memperoleh sandera-sandera
guna mendapatkan pembebasan tawanan-tawanan kita di
Damaskus", tulis Perdana Menteri Moshe Sharett dalam catatan
hariannya. Tawanan-tawanan Dayanlah yang dimasalahkan itu
adalah tentara-tentara Israel yang tertangkap dalam sebuah
misi mata-mata di dalam Syria. Kita ingat, Dayan-lah yang,
dua puluh tahun kemudian, memerintahkan usaha penyelamatan
yang berujung pada kematian para remaja Israel di Ma'alot,
yang disandera dalam upaya mencapai pembebasan para tawanan
Palestina di Israel. Sharett menulis sendiri bahwa "kita tak
punya alasan pembenar apa pun untuk merampas pesawat itu"
dan bahwa ia "tak punya alasan untuk meragukan kebenaran
penegasan faktual Deplu AS bahwa tindakan kita tak ada
presedennya dalam sejarah praktek internasional". Tetapi,
peristiwa ini lenyap dari sejarah sehingga Dubes Israel di
PBB, Benjamin Netanyahu, --mantan PM Israel-- dapat tampil
di televisi nasional dan menuduh PLO sebagai "pencipta"
pembajakan pesawat dan bahkan pembunuhan diplomat, tanpa
khawatir ada kontradiksi.79
Mengenai pembunuhan diplomat, kita agaknya hanya
mengingat pembunuhan mediator PBB, Folke Bernadotte, pada
1948 oleh sebuah kelompok teroris yang dipimpin atasan
langsung Netanyahu, Menlu Yitzhak Shamir, yang merupakan
salah satu dari tiga komandan yang memerintahkan pembunuhan
ini (komandan kedua, sekarang sudah meninggal, adalah
komentator terpandang dalam pers Israel selama berpuluh
tahun, sebagaimana yang ketiga). Seorang sahabat karib David
Ben-Gurion secara pribadi mengakui bahwa dialah salah
seorang pembunuhnya, tapi Ben-Gurion tetap merahasiakannya,
dan pemerintah Israel mengatur pelarian dari penjara dan
kepergian dari Israel bagi mereka yang bertanggung jawab
atas peristiwa itu.
Dalam penuturan berdasarkan kesaksiannya sendiri,
sejarahwan Zionis, Jon Kimche, menulis bahwa "tidak ada
kecaman luas dan desakan untuk menangkap para pelakunya",
dan "tidak banyak muncul kemarahan moral". "Sikap mayoritas
adalah bahwa musuh lain kaum Yahudi sudah kalah". Pembunuhan
itu "dikecam, disesalkan, dan disayangkan karena ia akan
menimbulkan cemoohan terhadap Israel, dan membuat kerja para
diplomatnya lebih sulit; bukan karena cara pembunuhan yang
ditempuh itu sendiri memang salah".80
Dalam memori selektif kita yang disepakati, hanya
tindakan-tindakan Arab yang tetap sebagai "momok bengis
terorisme".
Setelah pembajakan Achille Lauro sebagai pembalasan atas
pemboman Tunisia, isu pembajakan kapal menjadi perhatian
pokok Barat. Sebuah studi oleh kantor berita Reuter
menyimpulkan bahwa "hanya terjadi sedikit sekali pembajakan
kapal sejak 1961", lalu memberi beberapa contoh pembajakan
oleh kaum Muslim. Pembajakan oleh Israel sama sekali tak
masuk daftar.81
Catatan kaki:
45
Peres, NYT, 8 Juli 1983; Breindel, op.cit;
NYT, 16 September 1983, 3 Juni 1985; Kamm,
NYT, 26 April 1985; Friedman, NYT, 20
Februari, 18 Februari 1985; Brzezinski, NYT, 9
Oktober 1983; Reagan, konferensi-konferensi pers,
NYT, 29 Maret 1984, 28 Oktober 1983. Lihat juga
pernyataan Rabbi Alexander Schindler, Presiden Serikat
Kongregasi-Kongregasi Yahudi Amerika (Pembaru); PLO "dengan
meninggalkan Beirut "bukannya menyerah, melainkan malah
mengancam akan merusak"; mengirim pasukan Marinir untuk
mengawasi keberangkatan mereka, bukannya membiarkan Israel
menuntaskan pekerjaan mereka, "jelas merupakan (tugas)
paling memalukan" yang pernah diberikan kepada pasukan
Marinir itu. (UPI, BG, 28 Oktober 1984). Gambaran
amat menarik tentang agama yang mengabdi kepada kekerasan
negara ini dicoret dari berita Times pada hari yang
sama.
46 NYT, 7 Juni
1983.
47 Quandt, American
Arab Affairs, Musim Gugur 1985; Hillel Schenker,
wawancara dengan David Shipler, New Outlook (Tel
Aviv), Mei 1984.
48 Partai Buruh yang
beroposisi mendukung perang ini, sebagian lamaran
hasil-hasil poll menunjukkan bahwa 98 persen
pendukung Likud dan 91 persen pendukung Buruh menganggap
perang ini sah. Ketika perang berakhir dengan pemboman
menghebohkan atas Beirut pada pertengahan Agustus, dukungan
bagi Begin dan Sharon mencapai setinggi masing-masing 82 dan
78 persen, sesudah pembantaian Sabra-Shatila, merosot
masing-masing menjadi 72 dan 64 persen. Lihat FT,
251-262, 394; 378 dst.
49 Philip Weiss, New
Republic, 10 Februari 1986.
50 Ze'ev Schiff dan
Ehud Ya'ari, Israel's Lebanon War (Simon &
Schuster, 1984), 35; John Kifner, NYT 25 Juli 1981.
Schiff dan Ya'ari menyatakan bahwa "walaupun sangat sukar
membidik tepat sasaran-sasaran dan memberikan pukulan
langsung, ada lebih seratus orang yang tewas; termasuk tiga
puluh 'teroris'." Buku Schiff Ya'ari ini merupakan
terjemahan dari bagian-bagian buku aslinya yang berbahasa
Ibrani; sekitar 20 persen buku aslinya terjaring sensor
pemerintah Israel, menurut Ya'ari (Kol Hair, 2
Februari 1984), sedangkan menurut pakar Amerika, Augustus
Norton, yang mengutip seorang "koresponden terkemuka-tak ada
hubungannya dengan kedua pengarang", jumlah yang terkena
sensor 50 persen (Middle East Journal, Musim
Panas 1985). Penyensoran di Nikaragua, yang berada di bawah
serangan pasukan-centeng AS, membangkitkan kemarahan besar
di AS. Penyensoran yang paling ekstrem di Israel, tentu saja
dikenakan terhadap warga Arab, termasuk yang menjadi warga
negara Israel. Lihat FT,139 dst., TTT, 73
dst., dan artikel saya dalam Walker, op.cit, untuk
sebuah contoh kecil.
51 Walsh, WP
Weekly, 4 Maret 1985; Wilkie, BG, 18 Februari 1985.
52 FT, 448 440,
mengutip pers Israel; News from Within (Tel AAv), 1
Oktober 1985; Yediot Ahronot, 4 November 1983.
53 Ha'aretz, 25
Juni 1982; lihat FT, 20 dst., untuk kutipan-kutipan
lebih lanjut dan analisis serupa oleh para komentator
Israel.
54 B. Michael,
Ha'aretz, 13 November 1983; Bachar, Yediot Ahronot,
11 November 1983; Morris,JP, 5 Juni 1984.
55 New Republic,
yang pernah gigih membela Israel dari "banyak insan pers"
yang "siap meyakini hanya tentang segala yang mencerminkan
keburukan negara Yahudi ini (dan, hampir merupakan imbalan
logisnya, segala yang mencerminkan kebaikan
musuh-musuhnya)", mengecam Washington Post karena
telah "bersekongkol dalam salah satu fitnah besar" dengan
menyatakan bahwa Sharon telah berusaha membangun apa yang
disebut "suatu'orde baru' (istilah Hitler)" di Lebanon
(Martin Peretz, NR, 18 Maret 1985; NR, 19 Maret 1984).
Istilah ini memang ucapan Hitler, dan Sharon memakainya,
sebagaimana umumnya para komentator Israel. Satu bulan
sebelum mereka mengutuk Post karena mengungkapkan
fakta-fakta secara akurat, sebuah headline di jurnal
sayap-kanan bertiras besar Yediot Ahronot, berbunyi:
"Sharon telah memaparkan rencananya untuk membentuk 'sebuah
orde baru"', mengutip Dubes AS Morris Draper yang mengutip
Sharon dalam sebuah pertemuan tertutup Federasi Yahudi di
Los Angeles (23 Februari 1984). Pemakaian kata ini sudah
standar; lihat FT, untuk contoh-contoh lain, dan
untuk kasus-kasus lain ketika New Republic dengan
saksama menghindari sumber-sumber Israel dalam upayanya
untuk tidak menyimpang dari Garis Partai (misalnya, 215
dst., 258 dst.).
56 Olmert,
Ma'ariv, 22 November 1983; Milson, Koteret
Rashit, 9 November 1983; Sharon, dikutip oleh Ze'ev
Schiff, Ha'aretz, 23 Mei 1982; Milshtein, Hadashot,
26 September 1984; Rubinstein, Ha'olam Haze, 8 Juni
1983. Tentang aspirasi-aspirasi Ben-Gurion sebelum dan
sesudah Israel berdiri; lihat FT, 51,160 dst.;
Shabtai Tevet, Ben-Gurion and the Palestinian
Arabs (Oxford, 1985) dan resensi Benny Morris,
Jerusalem Post, 11 Oktober 1985.
57 FT, 199,
mengutip sebuah wawancara dalam Ha'aretz, 4 Juni
1982; FT, 117, 263.
58 Nouvel
Observateour, 4 Mei; Observer (London), 29 April;
Jerusalem Post, 16 Mei; San Fransisco
Examiner, 5 Mei; ", 8 Juli 1984. Lihat tulisan saya,
"Manufacture of Consent", Desember 1984, diterbitkan oleh
Community Church, Boston, dan artikel saya "United States
and the Middle East", ENDpapers (UK), Musim Panas
1985, untuk perincian lebih lanjut. Tentang kegigihan Israel
sebelumnya untuk membuyarkan suatu pemecahan politik, dengan
dukungan tetap AS, lihat FT dan Beilin,
op.cit. Bahan-bahan arsipial yang baru-baru ini dibuka
di Israel membuat jelas bahwa cerita ini sudah lama muncul.
Tentang sukses-sukses New York Times dalam
menciptakan suatu sejarah yang menguntungkan, di bidang ini
dan bidang lainnya, lihat Bab Kesatu dan artikel saya, "All
the News that Fits", UTNE Reader, Februari/Maret
1986.
59 Ha'aretz, 29
September 1985 (dikutip oleh Ammon Kapeliouk, Le
Monde Diplomatique, November 1985); Koteret
Rashit, 9 Oktober 1985.
60 Julie Flint,
Manchester Guardian Weekly, 19 Januari 1986.
61 Post tidak
melukiskan ini sebagai "aksi teroris" yang dilakukan oleh
"komandan teroris" Menachem Begin.
62 Christian Wilhams,
Bob Woodward, dan Richard Harwood, "Who Are They",
WP, 10 Februari 1984; editorial, NYT, 19 Mei
1976. Tentang kenyataannya, yang umumnya disingkirkan di AS,
lihat TNCW, FT. Perilaku organisasi "hak-hak
asasi" tertentu dalam masalah ini menarik dicatat.
Demikianlah, untuk menjamin bahwa ia tak akan memiliki
informasi yang tak menyenangkan, Liga Internasional untuk
Hak-Hak Asasi Manusia menutup perwakilannya di Israel,
dengan alasan tunggal bahwa Pemerintah Buruh yang sedang
berkuasa telah berusaha untuk menghancurkannya dengan
tindakan-tindakan yang sedemikian keras, sehingga mereka
segera dirintangi oleh Pengadilan Israel; lihat buku saya,
Peace in the Middle East? (Pantheon, 1974, 196-7),
FT, 142, 178, dan rujukan-rujukan yang dikutip.
Perilaku semacam ini terhadap negeri lain mana pun niscaya
akan ditanggapi dengan kemarahan besar, tapi rupanya itu tak
mengusik reputasi Liga Internasional. Demikian pula, jurnal
informasi tentang hak-hak asasi manusia, Human Rights
Internet, yang cuma melaporkan tuduhan-tuduhan
pelanggaran hak-hak asasi tanpa komentar apa-apa,
mengizinkan Liga Anti-Defamasi (LAD) untuk menanggapi
tuduhan-tuduhan terhadap Israel, suatu hal yang tidak akan
digubris bagi negara lain; maka, Partai Komunis (AS), yang
memiliki reputasi domestik yang sebanding dengan LAD sebagai
organisasi pembela hak-hak asasi manusia, menanggapi
dakwaan-dakwaan terhadap Uni Soviet.
63 New Outlook,
Tel Aviv, Oktober 1985; Daavar, 18 Juli 1985.
Sejarahwan militer Uri Milshtein menulis bahwa, berlawanan
dengan cerita-cerita standar, Israellah yang memicu konflik
yang berujung pada "perang pengurasan tenaga musuh", dengan
tanknya yang menembaki posisi-posisi Mesir, menewaskan
lusinan serdadu; Monitin, Agustus 1984.
64 Thomas Friedman,
NTT, 31 Januari 1986.
65 Hirts, MGW,
20 April 1986; Harkabi, dikutip oleh Amnon Kapeliouk, Le
Monde diplomatique, Februari 1986.
66 PLO menyatakan bahwa
ketiga orang Israel yang dibunuh itu terlibat dalam
operasi-operasi ini-suatu tuduhan yang sangat tak
masuk-akal, seperti dikomentari oleh wartawan Israel, David
Shaham (John Bulloch, "PLO Victims were Mossad Agents",
Daily Telegraph (London), 3 Oktober 1985; Shaham,
AL-Fajr, 29 November 1985.
67 Ha'aretz, 12
Juni 1986. Laporan ini tak menunjukkan bahwa sebuah
peradilan telah berlangsung.
68 FT, 77; David
Shipler, NIT 25 November 1983; NYT, 26 Januari 1984,
alinea terakhir.
69 NYT, 30 Juni,
1 Juli; BG, 1, 4, 12 Juli; Middle East Reporter (Beirut), 30
Juni; Observer (London), 1 Juli; Jansen, MEI, 13 Juli
1984.
70 Thomas Friedman,
NYT, 5 Februari; AS "mengurungkan niat untuk membuat
penilaian atas aksi-aksi Israel ini" (NYT, 5
Februari); juga Norman Kempster, LAT, 5 Februari 1986.
71 News from
Within (Jerusalem), 1 November 1985.
72 LAT-BG, 29 Juni
1984.Tentang penindasan bengis di Golan, lihat FT,132
dst.
73 Lihat Uri Milshtein,
Monitin, Agustus 1984, untuk ulasan mutakhir.
74 Lihat Bab
Pendahuluan.
75 FT, 188
dst.
76 Rabin
Memoirs, 280-1.
77 NYT, 12
Oktober 1985. Sementara itu, Times mengecam Iran,
"yang tak juga mengekstradisi atau menghukum orang-orang
yang membajak sebuah pesawat sipil Kuwait dan membunuh dua
warga Amerika pada Desember 1984", dan mendesak supaya Barat
memboikot Libya, jika Qaddafi terus saja "melindungi para
pembajak", Editorial NYT, 14 Mei 1986. Toh ia
tak berkata serupa, atau mengecam mereka yang melindungi
pembajak pesawat penumpang Soviet, atau menyinggung catatan
panjang pembajakan udara dan Laut yang dilakukan oleh
klien-klien Israel.
78 Abraham Sofaer,
Foreign Affairs, Musim Panas 1986.
79 Livia Rokach,
Israel's Sacred Terroriam, sebuah studi yang
didasarkan atas catatan harian pribadi Moshe Sharett
(AAVG,1980, 20 dst.); "Sixty Minutes", CBS, 19 Januari
1986.
80 Sune Persson,
Mediation and Assassination (London, 1979); Michael
Bar-Zohar, Ben-Gurion: A Biography (Delacorte,
1978), 180-1; Stephen Green, Taking Sides (Morrow,
1984), 38 dst.; Kimche, Seven Fallen Pillars (Secker
& Warburg,1953), 272-3.
81 Globe & Mail
(Toronto), 9 Oktober 1985.
(bagian
pertama, kedua, ketiga)
|