SEJARAH DOGMA KRISTOLOGI
Perkembangan Pemikiran Tentang Yesus Kristus Pada Umat Kristen

Dr. C. Groenen OFM

Bab VI. Yesus Kristus Kehilangan Arah (abad XIX-XX)

1. Dunia yang berubah

Yesus Kristus tentu saja tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-lamanya (Ibr 13:8), tetapi manusia tidak selalu sama. Dan yang kehilangan arah justru manusia dalam pikirannya tentang Yesus Kristus. Kristologi tradisional dan kristologi skolastik berkembang di kawasan Gereja barat (Latin) dan dalam rangka alam pikiran Yunani-Romawi dengan sumbangan dari alam pikiran suku-suku Jerman yang menetap di Eropa Barat. Dengan singkat alam pikiran itu boleh dikatakan: alam pikiran metafisik Yunani, entah metafisik Plato (Augustinusme sampai abad XIII), entah metafisik Arestoteles (Thomisme sejak abad XIII).

Metafisik Yunani merupakan suatu usaha memahami dan menjelaskan secara rasional dunia yang dialami dan diamati manusia dan yang nampaknya serba majemuk dan berubah-ubah. Dicari dan ditemukan sebuah prinsip (arkhe) yang mantap dan stabil, sebuah prinsip di belakang gejala-gejala yang dialami, yang memberi kemantapan, keteraturan dan kesatuan. Metafisik Yunani mencari "sebab musabab" (rationes) segala sesuatu: mengapa sesuatu ada dan mengapa ada seadanya, sehingga tidak dapat lain dari itu? Itulah yang mau dijelaskan dengan menentukan "sebab musabab" dan sebab terakhir segala sesuatu. Ada keyakinan spontan bahwa realitas adalah objektif, tidak bergantung pada pikiran manusia; "yang ada" mendahului dan menentukan pikiran dan pengetahuan manusia. Maka "kebenaran" ialah kesesuaian pikiran (konsep, ungkapan, keputusan) dengan realitas seadanya. Dan realitas itu pada dasarnya adalah mantap dan stabil, di belakang perubahan-perubahan yang dialami manusia.

Plato menjelaskan realitas yang diamati dengan mengertinya sebagai cerminan terbatas dan sementara dari dunia lain, dunia ilahi. Dan dunia itu adalah yang "orisinal," yang utuh, tetap dan abadi. Di sana ada "cita-cita" rohani yang akhirnya bersatu dalam Cita-cita teratas, ialah Yang Baik (Allah). Arestoteles menempuh jalan yang lain sedikit. Filsafat ini berusaha memahami dan menjelaskan dunia seadanya dengan prinsip yang membentuk apa yang ada dari dalam (materia, forma; essentia, existentia/natural substantia, accidens; potentia, actus) dan apa yang dari luar menyebabkan apa yang ada (causa efficiens, causa finalis). Adapun "sebab" terakhir ialah Allah (primus movens non motus), di mana semua unsur itu melebur menjadi satu dalam identitas mutlak.

Maka menurut metafisik Yunani dunia merupakan suatu keseluruhan mantap dan secara rapih tersusun, sebuah "kosmos." Tiap-tiap realitas mempunyai "adanya" sendiri yang tetap sama, tidak tersentuh oleh perubahan-perubahan. "Adanya" tiap-tiap realitas kurang atau lebih besar, sehingga semuanya tersusun secara rapih sesuai dengan banyak "adanya" yang ada padanya dalam urutan dari "lebih" menuju ke "kurang." Pada puncaknya ada "sebab awal" (Allah) yang memberi tiap-tiap realilas "adanya" sendiri. Tiap-tiap realitas terdiri atas sejumlah "prinsip" (unsur) batiniah (yang berkaitan satu sama lain sebagai "polentia" dan "actus"), dan sebab lahiriah.

Adapun umat Kristen sejak abad III memikirkan Yesus Kristus yang diwartakan Perjanjian Baru dalam rangka metafisik Yunani itu (tanpa begitu saja membenarkan kerangka pemikiran itu). Dalam rangka metafisik Plato Yesus Kristus disamakan dengan "logos" ilahi, cerminan, gambaran sempurna Allah (Bapa) sendiri. Logos ilahi dan kekal itu mengandung di dalam diri-Nya seluruh realitas berupa cita-cita, yang tercermin dalam dunia yang diamati. Logos itu tampil di bumi ini dengan Yesus Kristus guna mengilahikan dunia, khususnya manusia, gambar Allah yang rusak. Bertitik tolak Logos ilahi itu segala sesuatu dapat dipahami dan dijelaskan. Dalam rangka metafisik Arestoteles (mulai abad IV tapi terutama sejak abad XIII) orang berusaha memahami Yesus Kristus yang diwartakan tradisi dengan menentukan apa yang "menyebabkan," apa yang membuat Yesus Kristus yang memang hanya seorang, menjadi serentak manusia dan Allah, bagaimana yang satu dan sama itu mempersatukan di dalam dirinya "yang ilahi" dan "yang manusiawi." Dalam rangka pemikiran itu "yang ilahi" dijelaskan dengan prinsip "kodrat" (natura) ilahi dan "yang manusiawi" dengan prinsip "kodrat" (natura) manusiawi. Sedangkan prinsip pemersatu ialah "diri," "pribadi" (persona, hypostasis) yang satu dan sama, yakni diri ilahi, "persona" ilahi yang kedua (dari Trinitas: Firman Allah, Allah-Anak) yang sejak kekal berasal dari Allah Bapa dan sehakikat dengan Bapa.

Alam pikiran Yunani itu dapat pada dasarnya mempertahankan diri sampai abad XIV dan dalam teologi skolastik (Thomisme) malah sampai pertengahan abad XX. Dengan demikian pemikiran tentang Yesus Kristus dalam rangka itu pada dasarnya juga dapat mempertahankan diri. Kristologi yang dirumuskan konsili Khalkedon dan Konstantinopolis III dalam abad IV, suatu "kristologi dari atas," tidak terganggu gugat. Rupanya "tata bahasa" kristologis itu mencukupi untuk memikirkan dan mewartakan Yesus Kristus dengan cara yang sesuai dengan alam pikiran dunia Eropa Barat dan Eropa Timur.

Tetapi sejak abad XIV (renaissance, humanisme) dunia Yunani-Romawi serta alam pikirannya di kawasan barat mulai merosot dan semakin merosot, diganti alam pikiran dan dunia lain, yang sedikit banyak bertolak belakang dengan alam pikiran Yunani-Romawi (meskipun tentu saja tidak terlepas darinya). Semakin pesat terjadilah suatu perubahan radikal di segala bidang kehidupan (politik, nasionalisme; ekonomi, prakapitalisme, kapitalisme, industri; masyarakat, demokrasi, borjuis, hak-hak asasi manusia secara perorangan, individualisme). Di bidang ilmu-ilmu pun terjadilah perubahan yang langsung mempengaruhi teologi dan kristologi. Ilmu-ilmu itu tidak lagi hak tunggal para rohaniwan Gereja, tetapi dikelola juga oleh yang "awam." Teologi sebagai ilmu utama, Ratu segala ilmu, diturunkan dari tahtanya. Ilmu-ilmu positif, yang berdasarkan pengamatan dan eksperimen, berkembang dengan pesat dan melepaskan diri dari teologi dan filsafat. Cukup mengingatkan tokoh-tokoh seperti Kopernikus (± th. 1543), Galilei Galileo (± th. 1624), Newton (± th. 1727). Ilmu-ilmu positif itu diterapkan melalui teknik yang semakin menguasai alam dan manusia. Filsafat pun (yang otonominya sudah diakui Thomas Aquinas) melepaskan diri dari teologi, menempuh jalannya sendiri serta menyusun dunianya sendiri lepas dari iman. Proses sekularisasi, yang sudah dimulai pada abad XIII, tampil pada permukaan dan semakin meluas.

Semua perubahan tersebut sekaligus merupakan hasil dan sebab suatu alam pikiran baru yang melihat dunia secara lain daripada alam pikiran lama. Alam pikiran klasik (Yunani, zaman pertengahan) adalah kosmos-sentris dan teo-sentris. Manusia mencari dan menemukan pegangan dan kemantapan dalam "dunia," kosmos, yang diyakini serba teratur dan mantap oleh karena akhirnya berurat-berakar dalam prinsip mutlak, Allah, yang menurut iman kristen menciptakan dan menyelenggarakan segala sesuatu. Adanya Allah, entah apa namanya, peranan dan makna-Nya sebagai "stabilisator" tidak diragukan atau disangsikan, kalaupun kadang-kadang ada suara skeptis. Pokoknya: Allah tidak menjadi problem.

Tetapi alam pikiran baru, yang menjadi di atas angin selama abad XVIII dan XIX, berbalik dari Allah dan kosmos kepada manusia sendiri. Alam pikiran baru itu menjadi antropo-sentris dan bukan "objek" melainkan "subjek" menjadi paling penting dan utama. Semuanya dilihat dengan bertitik tolak manusia. Orang mencari pegangan dan kemantapan di dalam diri manusia sendiri dan dalam kemampuan manusia, khususnya dalam daya pengenalnya serta kemampuan tekniknya.

Oleh karena berpusatkan kosmos yang mantap dan Allah yang abadi, maka alam pikiran klasik dan zaman pertengahan pada dasarnya homogen, seragam. Ada suatu paradigma umum, kerangka bersama bagi semua, kendati perbedaan dalam hal-hal terinci. Sebaliknya alam pikiran baru yang berpusatkan manusia sangat heterogen, tidak seragam. Tidak ada lagi suatu paradigma umum.

Orang pun menjadi sadar akan "sejarah" yang sebenarnya. Dan dengan demikian pun timbul kesadaran akan perubahan dan perkembangan yang ditempuh dunia, termasuk manusia, di segala bidang. Nyatanya "sejarah" itu bukanlah suatu gejala dangkal, pada permukaan saja, tetapi menyentuh dan menyangkut realitas sendiri. Sejarah itu terdiri atas serangkaian kejadian dan peristivva yang berkaitan satu sama lain sebagai sebab dan akibat. Tampil suatu dinamika dalam realitas yang mendorong ke depan, menyebabkan kemajuan. Realitas manusiawi pada saat tertentu tidak dapat tidak merupakan akibat dan perkembangan dari apa yang mendahului. Dan apa yang sekarang ada menjadi pangkal bagi apa yang menyusul. Dalam sejarah itu manusia dapat menemukan pegangan, sebab sejarahlah yang menjelaskan pangalaman sekarang. Tidak mungkin dari luar datanglah sesuatu yang mengubah jalannya sejarah. Hanya manusialah yang menjadi subjek sejarahnya. Paham tentang apa itu "sejarah" dan "ilmu sejarah" memang terus berubah. Mula-mula orang berpendapat bahwa apa yang paling penting dan juga cukup ialah: persis mengetahui apa yang terjadi dahulu dan melihat kaitan menurut skema "sebab-akibat." Tetapi "historisisme" macam itu lama-kelamaan diperlemah. Disadari bahwa peristiwa dahulu tidak dapat tidak "diartikan" oleh manusia yang menyelidikinya; dan pengartian, yang mencari makna peristiwa dahulu, sama penting dengan peristiwa itu sendiri. Disadari bahwa sejarah malah menyentuh "adanya" itu sendiri, tidak dari luar saja, tetapi dari dalam. Namun demikian pendekatan historis itu masuk ke dalam alam pikiran dunia barat sebagai unsur mendasar. Hanya pada abad XX mulai timbul keraguan tentang pendekatan historis itu (strukturalisme), sehingga dipertanyakan kalau-kalau barangkali satu-satunya yang penting ialah: saat ini serta strukturnya.

Alam pikiran dunia baru di kawasan barat itu disuarakan oleh pelbagai sistem pikiran, filsafat, yang bersaingan satu sama lain dan silih berganti, susul-menyusul. Dan problem pokok pemikiran itu bukanlah apa yang diketahui dan dipikirkan, melainkan bagaimana manusia dapat mengetahui serta memikirkan serta menjumpai sesuatu dan mana nilai pengetahuan manusia.

Muncul filsafat "empirisme," yang tentu bersangkutan dengan ilmu pengetahuan positif yang maju dengan pesat. Empirisme itu terutama berkembang di dunia Inggris. Empirisme itu dirintis oleh tokoh-tokoh pemikir seperti Francis Bacon (± th. 1626), diteruskan oleh Locke (± th. 1704) dan Hume (± th. 1767). Kendati perbedaan antara para pemikir aliran itu, toh ada suatu pendekatan mendasar yang sama. Ada keyakinan bahwa apa yang real dan benar hanyalah apa yang dapat diamati oleh pancaindera manusia dan yang berkaitan satu sama lain sebagai sebab dan akibat. Manusia tidak mampu menembus dunia pengamatan itu. Maka dunia, seluruh realitas (yang dapat diketahui manusia) ialah "zat" (materi) yang bergerak maju menurut hukum-hukumnya sendiri -. Kalau di luar dunia itu masih ada sesuatu, maka tidak dapat diketahui manusia, paling-paling dapat diimani sebagai semacam "prasyarat." Meskipun empirisme tidak perlu menjadi ateis, namun jelas mengarah ke situ.

Aliran kedua dalam alam pikiran "modern," yang paling menonjol ialah "rasionalisme." Sistem filsafat itu secara tuntas disusun untuk pertama kalinya oleh R. Descartes (± th. 1650). Pendekatan Descartes itu dilanjutkan di zaman pencerahan, terutama di Francis, oleh tokoh-tokoh terkenal seperti P. Baily (± th. 1706), Voltaire (± th. 1778), J. J. Rousseau (± th. 1778), tetapi juga di Jerman (Chr. Wolff, ± th. 1754). Tendensi itu diteruskan sambil dimatangkan oleh I. Kant (± th. 1804), yang amat luas dampaknya sampai dengan hari ini dan tidak hanya di Jerman. Dari situ berkembanglah "idealisme" yang jagonya G. W. F. Hegel (± th. 1831). Prinsip dasar rasionalisme dalam rupa mana pun ialah: Daya mengenal dan daya piktr manusia adalah otonom dan itu mendahului "adanya" sesuatu. Apa yang tidak dapat dipikirkan atau dijabarkan akal manusia tidak ada dan apa yang harus dipikirkan akal manusia tidak dapat tidak ada bagi manusia. Mula-mula rasionalisme ala Descartes masih yakin bahwa akal manusia dapat sampai kepada realitas objektif, yang tidak bergantung pada pikiran manusia. Tetapi I. Kant memperlihatkan bahwa dengan akal teoretis orang tidak dapat mencapai 'das Ding an sich," tetapi hanya apa yang dipikirkan dan sekaligus, akibat struktur dasar pengamatan dan pemikiran, tidak dapat tidak dipikirkan. Dan oleh karena struktur pengamatan dan pemikiran semua manusia sama, maka semua memikirkan yang sama. Itulah "objektivitas" realitas. Idealisme meneruskan jalur itu sambil membelokkannya. Realitas yang ada pada dasarnya hanya satu, yaitu "yang mutlak" yang disebut "Roh" "Idea" atau "pikiran mutlak" (Allah). Yang mutlak itu secara terbatas dan dialektis berkembang dan merealisasikan diri sepanjang sejarah. Roh, "Idea" itu menjadi sadar pada manusia dan bertitik tolak Idea itu manusia dapat mengetahui sesuatu. Pendekatan itu sebenarnya sedikit mengingatkan orang pada "gnosis" Yunani dahulu.

Rasionalisme dan idealisme merepotkan diri dengan struktur daya pengenal manusia, yang menjadi syarat dan penentu segala kepastian dan kebenaran. Empirisme pun sibuk dengan soal: bagaimana manusia dapat mengetahui sesuatu dan mana nilai pengetahuan itu. Dua-duanya kemudian dianggap berat sebelah oleh karena secara eksklusif menekankan daya pengenal manusia, seolah-olah manusia hanya intelek belaka. Terhadap rasionalisme (dan empirisme) muncul reaksi yang disebut "eksistensialisme".

Eksistensialisme, yang diperkembangkan oleh M. Heidegger (± th. 1976) dan dengan caranya sendiri oleh K. Jaspers (± th. 1969). P. J. Sartre (± th. 1984), A. Camus (± th. 1960) dll., tidak lagi mempersoalkan hanya daya pengenal manusia. Seluruh manusia menjadi perhatiannya, pada pokoknya "keberadaan" manusia, eksistensinya. Apa yang dipertanyakan bukanlah "apa itu manusia" (metafisik dahulu) atau: bagaimana manusia mengetahui sesuatu (rasionalisme), melainkan: bagaimana manusia dalam keberadaannya yang nyata secara menyeluruh dapat berjumpa dengan sesuatu. Maka titik tolak eksistensialisme bukan: Saya berpikir (Descartes), atau "saya sedang memikirkan sesuatu" (Kant, idealisme), melainkan: saya berada. Itulah yang paling mengherankan. Dan "keberadaan" itulah yang menjadi layar, pra-syarat dan "horison" transendental yang tidak disadari, untuk dapat berjumpa dengan sesuatu yang lain. Pada layar itulah objek-objek menjadi nampak dan dijumpai manusia. Adapun eksistensialisme khususnya menyelidiki, menganalisis struktur keberadaan manusia sebagai pra-syarat umum untuk bertemu dengan salah satu objek; keberadaan manusia yang memungkinkan manusia mengambil keputusan terhadap objek, menerima atau menolaknya dan dengan demikian mengubah keberadaannya. Sebab objek itu menjadi suatu kemungkinan untuk berada. Maka keberadaan itu merupakan suatu kemungkinan yang terus-menerus dipertaruhkan. Dalam rangka itu apa saja tampil sebagai sesuatu yang menguntungkan atau merugikan keberadaan manusia. Apa yang terkandung dalam keberadaan dan melalui analisis ditemukan itulah yang diistilahkan sebagai "eksistensial," berarti: apa yang menentukan keberadaan manusia sebagai layar yang memungkinkan manusia berjumpa dengan objek dan mengambil sikap. Maka keberadaan manusia bukanlah sesuatu yang mantap, stabil, melainkan terus berubah-ubah dalam perjumpaan dengan "dunia" ialah keseluruhan "objek" yang dijumpai. Dengan keputusannya manusia terus-menerus membentuk keberadaannya dalam referensi dengan apa yang ditemu.

Eksistensialisme mendapat saingan berat dan lawan gigih dari pihak yang boleh disebutkan sebagai "pragmatik." Dalam pendekatan yang khususnya dirintis oleh K. Marx (± th. 1883) itu "kebenaran," ialah realitas yang sebenarnya, bukan soal pikiran dan teori serta pengetahuan belaka, melainkan perbuatan, praxis. Praxis itu mendahului "ada." Maka "kebenaran" tidak diketahui, melainkan dilakukan. Benar ialah perbuatan yang mengubah sesuatu demi kemajuan umat manusia. Dalam pendekatan ini "kebenaran" salah satu teori, ajaran ditentukan oleh praxis, kemampuan ajaran/teori itu untuk mengubah manusia, memanusiakan manusia. Praxis menjadi ukuran ortodoksi.

Di belakang pendekatan itu tersembunyi keyakinan bahwa "realitas seadanya," sebagai "objek" terlepas, tidak tercapai oleh pengetahuan manusia dan juga tidak relevan bagi manusia. Realitas yang dijumpai manusia bukanlah untuk diketahui, melainkan untuk dikelola. Realitas yang sebenarnya ialah "materi" yang "dimanusiakan" dan "manusia" yang "dimaterikan." Relasi timbal balik dan dinamika antara manusia dan materi, itulah realitas.

Jelaslah pragmatik tersebut tidak kurang antroposentris daripada rasionalisme, idealisme dan eksistensialisme. Hanya manusia tidak dilihat sebagai individu terlepas, tetapi dalam relasi timbal balik antara manusia satu sama lain dan antara manusia serta dunianya. Manusia dan "alam" (natura) dilihat sebagai suatu kesatuan dan perbedaan antara subjek (manusia) dan objek (alam) seharusnya hilang sama sekali. Manusia di dalam "alam" mencukupi dirinya sendiri dan menjadikan segala sesuatu dengan "bekerja," dengan praxis. Alam dimanusiakan dan manusia dialamkan. Ini suatu proses dialektis yang semakin maju dan semakin menyempurnakan keseluruhan itu, ialah "masyarakat," menuju ke penyelesaiannya, di mana segala perbedaan hilang dan manusia tidak lagi terasing dari dirinya dan dari alam dunianya.

Jelaslah kiranya bahwa dalam alam pikiran baru, yang diringkaskan di atas, metafisik Yunani/skolastik tidak berfungsi lagi. Kalaupun istilah kadang-kadang dipertahankan, namun makna istilah berubah sama sekali. Kristologi yang terungkap dalam alam pikiran metafisik Yunani itu menggunakan terutama gagasan "kodrat" (natura) dan "diri" (persona), Tetapi gagasan Yunani itu tidak dapat dipakai dalam alam pikiran "modern" barat itu. Misalnya gagasan "persona" oleh skolastik dipahami seperti dipahami oleh Boethius (± th. 514): "Persona est naturae rationalis individua substantia" (Diri ialah kodrat akali yang khusus - tidak dapat dikomunikasikan - dan mandiri - berdiri sendiri, otonom -). Tetapi dalam alam pikiran modern istilah "persona" (diri) mendapat pelbagai arti lain. Misalnya: Diri ialah berada pada dirinya sendiri, sehingga yang mengenal dan yang dikenal seluruhnya satu dan sama (identik). Objek dan subjek menjadi satu. Itulah "kesadaran diri" yang menjadikan "diri" manusia. Diri (persona) juga dipahami secara relasional. "Diri" tidak "ada," tetapi terjadi, yaitu bilamana orang melalui komunikasi, pemberian diri menjadikan yang lain "diri" bagi dirinya dan serentak dirinya menjadi "diri" bagi yang lain. Diri ialah kemungkinan komunikasi yang direalisasikan. Demikian pun istilah "kodrat" (natura) meridapat arti yang berbeda-beda dan tidak lagi berarti: prinsip perbuatan. Juga "kodrat" bukanlah sesuatu yang "ada," tetapi "terjadi" dan pada manusia "kodrat" tidak dapat dibedakan, apalagi dipisahkan dari "diri" (persona). Diri manusia dijadikan oleh "kodrat" manusia, seluruhnya suatu kejadian terus-menerus.

(sebelum, sesudah)


SEJARAH DOGMA KRISTOLOGI
Perkembangan Pemikiran Tentang Yesus Kristus Pada Umat Kristen
PENERBIT KANISIUS (Anggota IKAPI)
Jl. Cempaka 9, Deresan, Yogyakarta 55281
Telepon (0274) 588783, 565996, Fax (0274) 563349
E-Mail: office@kanisiusmedia.com
Kotak Pos 1125/Yk, Yogyakarta 55011
Sumbangan Salib Bening [salib.bening@gmail.com]

Indeks artikel kelompok ini | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Dirancang oleh MEDIA, 1997-2001.
Hak cipta © dicadangkan.