| |
|
MENYELAM DALAM Pernah, dalam suatu dialog tentang penulisan cerpen, Pak Kanto (Soekanto S.A.) menganjurkan perlunya pengarang punya kemampuan menyelam (dalam kehidupan) dalam-dalam, dan terbang tinggi-tinggi, agar bisa menghasilkan cerita yang tidak cuma biasa. Karang-mengarang memang sebuah pergulatan, termasuk dalam dunia batin. Orang yang mencoba hidup asketis, yang gigih mencari makna hakiki pengabdian keagamaan, juga adalah orang yang bergulat--hampir tanpa henti. Mereka terus menyelam dalam, dan terbang tinggi. Zaman dulu, lambang pergaulan batin tampak pada cara hidup petapa: mengurangi tidur, makan, hubungan seks, dan menyendiri di hutan, di padepokan, di gua --buat mencari suasana wening. Di kota besar, terasa betapa susah mencari tempat hening agar bisa menarik diri dari diri sendiri untuk berduaan dengan Tuhan. Tetapi, tapa terbaik memang tapa modern. Gusti Kanjeng Nabi Muhammad sendiri, begitu SK kenabiannya turun, tak lagi bertapa di Gua Hira. Tuhan menitahkan agar beliau bertapa di alam ramai. Tapa dengan melebur diri dalam pergulatan di masyarakat. Mungkin, itu tonggak sejarah permulaan tapa modern. Kota besar yang hiruk-pikuk macam Jakarta, dengan begitu, merupakan sebuah "gua" raksasa yang baik untuk melatih hidup asketis. Birokrat yang "lulus tapa"-nya di masyarakat ramai lebih berkualitas dibanding ibadah petapa di gua, di mana ia tidak korupsi (karena di sana memang tak ada yang bisa dikorup). Dengan kata lain, pergulatan mencari hakikat Tuhan lebih utama dilakukan di meja birokrasi, di gudang pelabuhan, di bea cukai, di kantor pajak, atau di bank --daripada di dalam rumah-rumah ibadah. Pernah, seorang alim merasa malu karena tiap orang memuji kealimannya. Pujian ini menjadi tembok penghalang baginya dalam memandang langsung wajah Tuhan. Ia merasa tak enak. Baginya, urusan dengan Tuhan itu amat pribadi. Ia mengutamakan penghambaan tulus, tanpa campuran sikap ria. Oleh karena itu, ia pun mencuri ayam. Orang pun ramai-ramai menggebukinya. Dan, semua menyumpahinya dengan sinis. Dengan status "pencuri ayam" itulah, ia merasa lebih bisa ikhlas menghamba. Orang tak lagi percaya kealimannya. Ibadahnya tak lagi dibebani perasaan bahwa ia beribadah karena dipuji. Tembok penghalang, dengan begitu, ia robohkan. Dan, di balik tembok sana, tampak Tuhan tersenyum. Birokrat yang "lulus" dan si alim yang malu, sebenarnya, sudah menyelam dalam dan terbang tinggi. Mereka sudah berhasil berduaan dengan Tuhan. Pengalamannya bersama Tuhan mengumpul dalam hati, tersembunyi rapat dan mempribadi. Ramadhan, kita tahu, bulan istimewa. Diawali rahmat, pertengahannya penuh ampunan, dan ditutup warna pembebasan dari siksa neraka. Ramadhan itu ibarat kartu undangan Tuhan buat kita. Persoalannya terpulang pada kita. Yakni, maukah kita datang memenuhinya? Andaikata Presiden mengundang kita, pasti kita akan buru-buru membatalkan segala acara lain. Soalnya, ini langka. Undangan Tuhan yang lebih langka tentu akan membuat kita lebih tergopoh-gopoh. Betul, Tuhan mengatakan: segala ibadah buat manusia sendiri dan puasa itu untuk-Nya. Tetapi, untuk-Nya-kah keuntungan pergulatan pribadi dalam "pertapaan" selama sebulan itu? Dugaan saya, tetap buat kita. Meningkatnya kesabaran buat kita. Bertambahnya kedewasaan buat kita. Makin munculnya sejumlah kepekaan sosial dan moral pun buat kita. Tuhan telah mengundang kita ke dalam bulan Ramadhan-Nya. Kalau kita masuk, di sana kita ikut penataran P4 dalam corak yang lebih luhur. Di sana, kita diberi sejumlah pilihan bebas. Tuhan memang demokratis. Para malaikatNya tak disuruh mempengaruhi pilihan kita. Bagi kita, yang tampak di sana adalah tantangan demi tantangan. Kita diminta merenung, dari satu Ramadhan ke Ramadhan lain, untuk menemukan dimensi antroposentrisme macam apa yang dikandung bulan Ramadhan. Agar corak keagamaan kita tak hanya punya makna keakhiratan, melainkan juga makna keduniawian. Bayangkanlah. Kalau kita puasa cuma buat ikut merasakan derita si miskin, seperti yang selalu diajarkan kepada kita, tak perlukah lagi puasa bila negara sudah relatif makmur, di mana masalah kere dan gelandangan cuma soal sekunder macam di Australia, misalnya? Tak perlu lagikah kita membayar zakat bila, sekali lagi seperti di Australia tunjangan fakir miskin pun senilai Rp 1.500.000 (satu setengah juta rupiah) sebulan? Barangkali, untuk pertanyaan ini kita harus menyelam lebih dalam dan terbang lebih tinggi. Barangkali, kita tidak boleh cepat merasa puas cuma karena kita berhasil puasa sebulan penuh. Barangkali, kita justru tak boleh bergembira di akhir Ramadhan, karena di ujung bulan itu kita berpisah, tanpa kepastian bertemu kembali, dengan bulan istimewa yang memberi kita tantangan itu. Ramadhan sebagai jalan "penyatuan" kita dengan hakikat Tuhan menanti penjabaran kita. Kepada kita, diminta penjelasan yang pas dengan konteks zamannya. Kalau saya yang harus menjawab, saya akan menyelam dulu lebih dalam, dan terbang lebih tinggi, setinggi batas kemampuan "sayap" rohani saya. --------------- Mohammad Sobary, Editor, No.26/Thn.V/14 Maret 1992 |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |