| |
|
KUMBO KARNO DAN BUNG HATTA Pada hari-hari ketika Kumbo Karno sudah merasa muak terhadap kehidupan keraton dan oleh karena itu ia menyendiri di Panglebur Gongso, di rumahnya, bersama Togog, ia sama sekali tidak tahu apa yang terjadi di keraton. Ia tak peduli. Tetapi hari itu ketenangan negeri Alengka terasa mencurigakan. Suasana itu seperti dibuat untuk menyelubungi sesuatu. Naluri Kumbo Karno mencium ada yang tak beres. Maka, disuruhnya Togog, abdi dalem, menyelidik. Syahdan, Togog mampu menyusup ke sumber berita yang paling aktual, dan layak dipercaya. Siang itu, setelah sidang kabinet yang melelahkan membujuk Dasamuka agar mengembalikan Shinta, Gunawan Wibisono dikepruk dengan sepenggal besi oleh Dasamuka. Gunawan roboh, dan mati seketika. Kematiannya dirahasiakan. Segenap kawula dan kadang sentana keraton yang ada di dalam bangunan gedung istana tak boleh keluar. Sebaliknya, yang di luar tak boleh masuk. Segenap pintu dijaga ketat demi kerahasiaan itu. Kemudian, dengan cara siluman, jasad Wibisono dibuang ke laut. Dengan demikian, Dasamuka bisa bersikap seolah-olah biasa, seolah-olah tak ada sesuatu yang terjadi. Tetapi Kumbo Karno yang mendengar hal itu dari Togog, menggeram. Suaranya menggelegar di langit. Langkah kaki raksasa sebesar gunung yang menahan marah itu mengguncangkan bumi Alengka. Dia menuntut balas. Sambil menuju keraton Alengka, Kumbo Karno mengobrak-abrik keindahan taman. Benteng dirobohkan. Beringin ditumbangkan. Alengka, pendeknya, bagai diterjang prahara. Melihat amok adiknya itu, Dasamuka mengkirik. Benar dia sakti mahambara. Tapi Kumbo Karno pun bukan tandingan biasa. Dia bersembunyi. Disuruhnya patih Prahasta meredam kemarahan adiknya. "Ingat, anakku, Kumbo Karno," bujuk Prahasta. Bumi bisa kau telan bila kau mau. Tapi lupakah engkau, anakku, pada kawulo cilik yang tak bersalah, yang juga bisa jadi korban kemarahanmu, jika kau tak mau mengendalikan diri? Badaniah, engkau memang raksasa, anakku. Tapi aku tahu, jiwamu satria sejati ..." Kumbo Karno lilih dalam bujukan. Tapi sejak saat itu pula ia tak mau lagi melihat polah tingkah Dasamuka. Tak tega melihat kekejaman kakaknya, Kumbo Karno menyingkir. Ia bertapa tidur di Panglebur Gongso. Bertahun-tahun lamanya. Orang menyebut Kumbo Karno seorang patriot. Ia salah satu contoh perilaku satria utama. Tapi ada pula yang menilainya pengecut. Ia satria yang rela mati konyol. Dan ia pun dianggap tak berbuat sesuatu melihat kejahatan merajalela di depan matanya. Tapa tidurnya dianggap lambang sikap skeptis yang tak bertanggung jawab. Sikap yang bahkan sangat merugikan bangsa, dan negara, yang ia bela. Kita tahu, dunia wayang itu pralambang. Dan segala bahasa yang digunakan di dalamnya adalah juga bahasa pralambang. Tidurnya Kumbo Karno di situ tentu tidak harfiah berarti ia menggeletak di kasur dan enak-enak bermimpi. Bagi saya, tidur di situ artinya menarik diri dari kehidupan politik. Ia menyingkir. Menonaktifkan diri dari riuh rendah urusan kenegaraan yang ruwet. Dasamuka yang ekspansif, kolonial, dan mengagungkan superioritas diri, otomatis membuat Kumbo Karno yang berpijak pada bahasa moral, lelah secara badani dan jiwani. "Terserahlah, kalau suaraku tak diperlukan," begitu arti tidurnya. "Tapi tunggulah. Keruntuhan bakal menimpamu." Dalam berbagai rezim pemerintahan otoriter hal itu ditemui. Raja cuma mau mendengar suaranya sendiri. Atau suara siapa saja yang bersedia menjadi bayangannya, dan membuntut segala sikap dan tindakannya. Terhadap suara tandingan, raja macam itu bersikap anti. Pembungkaman, akibatnya, disistematisasikan. Penjara diperlebar. Kumbo Karno adalah pesakitan yang masuk penjara semacam itu. Apakah beda Kumbo Karno dari Bung Hatta? Dua-duanya terpental atau mementalkan diri, dari pemerintahan yang tak mereka dukung. Dua-duanya kecewa melihat keadaan. Dua-duanya, akibatnya, lalu memilih jalan sepi. Dua-duanya satria yang melambangkan suara moral. Bung Hatta, menjelang hari-hari akhir mitos dwitunggal, banyak dikecewakan oleh kebijakan dan sikap politik Bung Karno. Dan ketika keputusan mundur dari pemerintahan di tahun 1956 itu akhirnya diambil, tokoh proklamator kedua itu berkata: "Setelah ikut serta dalam menjalankan tugas membangun bangsa dari atas selama sebelas tahun, saya ingin menyumbangkan kekuatan saya dari bawah sebagai orang biasa yang bebas dari kedudukan apa pun." Bung Hatta mutung (merajuk)? Mungkin tidak. Tipe orang yang datar jiwanya dan rasional seperti Bung Hatta bukan tipe perajuk. Ia mengambil sikap dengan perhitungan matang seorang negarawan. Saya selalu memberi arti tindakan semacam itu sebagai suatu gerakan moral. Sebuah tindakan yang diambil berdasarkan pertimbangan jangka panjang, demi kepentingan bangsa dan negara. Dan bukan berdasarkan pertimbangan praktis, buat diri sendiri, kelompok atau partai politik di mana ia berafiliasi. Seperti sikap Kumbo Karno terhadap Dasamuka, Bung Hatta pun bukan tak suka pada Bung Karno secara pribadi. Hubungan Bung Hatta (dan keluarga) dengan Bung Karno (dan keluarga), kabarnya baik-baik saja. Bung Hatta cuma tidak setuju dengan kebijakan politik Bung Karno. Jarang orang yang bisa "membelah" diri seperti Bung Hatta itu. Ia tegas memisahkan yang pribadi dari yang resmi kenegaraan dan politik. Dan itu pula yang membuat Bung Hatta dihormati kawan dan disegani lawan-lawan politiknya. Ketika sejumlah tokoh disembelih PKI dalam tragedi 1965 dulu itu, nama Bung Hatta sebenarnya tercantum dalam daftar yang harus disingkirkan dan dibabat. Tapi ketika sejumlah jasad menggeletak, Bung Hatta masih selamat. Dan itu, kabarnya, berkat keputusan mendadak Aidit: nama Bung Hatta dicoret dari daftar merah. Kita tidak tahu mengapa Aidit mengambil keputusan itu. Padahal kita tahu, Bung Hatta gigih menangkal segala gerak politik PKI. Ia tergolong yang paling anti PKI. Tapi dugaan saya, seperti halnya ia anti terhadap sikap politik Bung Karno, sikap anti PKI Bung Hatta tak disertai rasa dendam, dengki dan sikap sejenis itu. Ia menolak tanpa menimbulkan permusuhan. Anti tanpa mengembangkan kebencian . Dan mengalahkan tanpa membuat orang yang kalah merasa hilang muka. Seperti Kumbo Karno yang tak memberontak melawan Dasamuka, Bung Hatta tak berontak mengangkat senjata terhadap Bung Karno. Dan seperti Kumbo Karno, Bung Hatta pun memilih tapa tidur untuk memberi Bung Karno kesempatan merenung. Tapi di situ pula kelemahan gerakan moral: lawan politik kelewat enak dibiarkan dan ditinggal tidur. Ia bebas merajalela ... --------------- Mohammad Sobary, Jawa Pos, 19 Januari 1992 |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |