KEBIJAKSANAAN TUKANG RODA
Sementara tukang roda sedang membuat roda di salah satu
ujung ruangan, Pangeran Huan dari Chi rnembaca buku di ujung
yang lain.
Setelah meletakkan alat-alat kerjanya, tukang roda itu
mendatangi Pangeran itu dan bertanya buku apa yang sedang ia
baca.
"Buku yang menyimpan kata-kata orang bijak," kata
Pangeran.
"Apakah orang-orang bijak itu masih hidup?" tanya tukang
roda.
"Tidak," kata Pangeran, "mereka semua sudah mati."
"Kalau begitu yang Pangeran baca tidak lebih dari sampah
dan sisa orang-orang yang sudah mati," kata tukang roda
itu.
"Berani benar kau tukang roda sampai berani menjelekkan
buku yang sedang saya baca! Pertanggungjawabkanlah
perkataanmu, kalau tidak kamu harus mati."
"Baiklah," kata tukang roda itu, "Saya akan berbicara
sebagai tukang roda. Beginilah saya melihat persoalannya:
kalau saya sedang membentuk suatu roda, seandainya gerakan
saya terlalu lambat, gerakan itu akan mengores dalam tetapi
tidak tetap. Kalau gerakan saya terlalu cepat, gerakan itu
tetap tetapi tidak menggores dalam. Irama yang tepat,
artinya tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat, tidak
akan tercapai kalau tidak keluar dari dalam hati. Ini adalah
sesuatu yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Ada
suatu seni di dalamnya, yang tidak dapat saya wariskan
kepada anak saya. Itulah sebabnya saya tidak dapat
membiarkannya mengambil-alih rekerjaan saya. Maka saya yang
sekarang sudah berumur tujuh puluh lima tahun masih terus
membuat roda. Menurut pendapat saya halnya sama dengan
orang-orang yang sudah mendahului kita. Semua yang pantas
diwariskan mati bersama dengan kematiannya; sisanya mereka
tuliskan dalam buku-buku mereka. Itulah sebabnya saya
berkata bahwa yang sedang Pangeran baca adalah sampah dan
sisa orang-orang yang sudah mati."
(DOA SANG KATAK 1, Anthony de Mello SJ,
Penerbit Kanisius, Cetakan 12, 1996)
|