BAGAIMANA MEMPERTAHANKAN CAWAT
Bagaimana organisasi rohani berkembang:
Guru amat terkesan oleh kemajuan rohani seorang dari
muridnya, hingga, karena dianggap tidak membutuhkan
bimbingan lagi, ia meninggalkannya sendirian di pinggir
sungai.
Setiap pagi setelah pembasuhan diri, si murid
menggantungkan cawatnya di luar untuk dijemur. Itu milik
satu-satunya. Suatu hari ia kecewa melihat cawatnya koyak
tercabik-cabik oleh tikus. Maka ia terpaksa meminta-minta
sebuah cawat sebagai ganti dari penghuni desa. Ketika cawat
yang satu ini lagi juga dilubangi oleh tikus-tikus ia
memelihara seekor kucing. Ia tidak lagi diganggu tikus,
tetapi sekarang, kecuali meminta-minta untuk makan sendiri,
ia juga harus meminta-minta susu untuk kucingnya.
"Terlalu banyak kerja dengan minta-minta," pikirnya, "dan
terlalu membebani penghuni desa. Aku akan memelihara lembu."
Ketika mendapat lembu, ia harus minta jerami. "Lebih mudah
mengerjakan tanah di sekitar gubug," pikirnya. Tetapi
ternyata ini repot juga, karena hanya tinggal sedikit waktu
untuk bermeditasi. Maka ia mempekerjakan buruh untuk
menggarap tanahnya. Sekarang mengawasi para buruh menjadi
tugasnya, maka ia mengambil seorang istri, yang membagi
tugas ini dengan dia. Tidak lama kemudian, tentu saja, ia
menjadi salah seorang yang terkaya di desa.
Bertahun-tahun kemudian Guru kebetulan lewat dan heran
melihat kediaman seperti istana, di mana dulu ada gubug. Ia
berkata kepada salah seorang hamba: "Apakah ini dulu bukan
tempat tinggal seorang muridku?"
Sebelum mendapat jawaban, murid sendiri muncul. "Apa arti
semuanya ini, anakku?" tanya sang Guru.
"Tuan tidak mau percaya akan hal ini." kata orang itu.
"Tetapi memang tidak ada jalan lain untuk mempertahankan
cawatku."
(DOA SANG KATAK 1, Anthony de Mello SJ,
Penerbit Kanisius, Cetakan 12, 1996)
|