MULLAH NASHRUDDIN 3
(CERITA MENUJU AWAL PENCERAHAN)
Nashruddin dan istrinya dalam cerita berikut digambarkan
sebagai dua orang biasa, yakni sebagai suami dan istri.
Meski demikian keduanya belum bisa saling memahami, karena
adanya kenyataan bahwa komunikasi manusia biasa yang berlaku
adalah palsu dan tidak jujur. Komunikasi antara para Sufi
memiliki tatanan yang berbeda. Selain itu, tidaklah berguna
untuk mencoba menggunakan kekasaran dan ketidakjujuran dari
komunikasi biasa bagi tujuan-tujuan mistis. Paling tidak,
berbagai cara komunikasi digabungkan oleh para sufi untuk
menghasilkan suatu sistem (komunikasi) penandaan yang sama
sekali berbeda.
Istri Nashruddin marah kepadanya. Oleh sebab itu, ia
membawakan supnya yang masih mendidih kepada sang suami, dan
tidak mengingatkan, sang suami bahwa itu bisa membuatnya
terluka.
Tetapi ia menyesal dan merasa marah dengan dirinya
sendiri, dan begitu sup tersebut dihidangkan, ia meneguknya
sebagian. Air mata karena rasa sakit mengembang di matanya.
Tetapi ia masih berharap bahwa Nashruddin akan menyakiti
dirinya sendiri.
"Sayang, ada apa?" tanya Nashruddin.
"Aku hanya berpikir tentang ibuku yang malang. Ia
biasanya menyukai sup ini, ketika masih hidup."
Nashruddin meneguk penuh sup tersebut dari
mangkuknya.
Air mata meleleh di pipinya.
"Apakah engkau menangis, Nashruddin?"
"Ya. Aku menangis karena berpikir bahwa ibumu yang tua
meninggal, sungguh malang, dan meninggalkan seseorang
sepertimu di negeri orang yang hidup."
Dilihat dari sudut pandang realitas, yang merupakan sudut
pandang Sufi, sistem metafisis lainnya mengandung beberapa
kerugian yang parah, sebagian pantas dipertimbangkan. Apa
yang dikatakan oleh seorang mistikus tentang
pengalaman-pengalamannya, ketika disampaikan dalam
kata-kata, selalu membentuk suatu penyelewengan fakta yang
hampir-hampir tidak berguna. Selain itu, penyelewengan ini
bisa diulang oleh orang lain secara cukup mengesankan untuk
bisa terlihat mendasar dan mendalam; tetapi dalam dirinya
sendiri ia tidak memiliki nilai yang mencerahkan. Bagi Sufi,
mistisisme bukan persoalan berjalan ke sana ke mari dan
memperoleh pencerahan, dan kemudian berupaya mengungkapkan
sesuatu dari pencerahan tersebut. Ia merupakan suatu upaya
yang berhubungan dengan kesejatian wujudnya dan menghasilkan
suatu kaitan antara seluruh kemanusiaan dan dimensi ekstra
pemahaman.
Seluruh persoalan ini -- dan ada beberapa lagi -- secara
bersamaan dicakup dalam salah satu dari cerita
Nashruddin:
Mullah telah kembali ke desanya dari ibukota kerajaan,
dan para penduduk desa mengerumuninya untuk mendengar apa
yang akan ia ceritakan tentang petualangannya.
"Pada saat ini," ucap Nashruddin, "aku hanya ingin
mengatakan bahwa raja telah berbicara kepadaku."
Ada desah kekaguman. Seorang warga dari desa mereka
benar-benar telah diajak bicara oleh raja! Berita
menggemparkan tersebut lebih dari cukup bagi orang-orang
desa itu. Mereka menyebarkan berita mengagumkan
tersebut.
Tetapi pada akhirnya mereka bertanya-tanya apa kiranya
yang telah dikatakan kepada Nashruddin.
"Apa yang telah ia katakan -- berbeda jauh dari apa yang
kalian duga -- adalah, 'Menyingkirlah dari hadapanku!'"
Orang bodoh tersebut lebih dari puas. Hatinya
berbunga-bunga. Bagaimana juga, bukankah ia tidak
benar-benar mendengar kata-kata yang digunakan raja; dan
melihat orang yang kepadanya hal itu mereka tujukan?
Cerita tersebut sangat populer di antara cerita-cerita
rakyat tentang Nashruddin, dan tujuan moralnya yang jelas
dimaksudkan kepada orang-orang yang suka menyebut nama
orang-orang besar (name droppers). Tetapi makna
Sufistik sangatlah penting untuk mempersiapkan pikiran
darwis mencapai pengalaman-pengalaman yang menggantikan
pengalaman-pengalaman superfisial seperti ini.
Lebih dari menarik untuk mengamati pengaruh dari
cerita-cerita Nashruddin terhadap masyarakat secara umum.
Mereka yang lebih menyukai emosi-emosi yang lebih biasa dari
kehidupan akan condong pada maknanya yang jelas, dan
mendesakkan untuk memperlakukannya sebagai lelucon. Kelompok
ini meliputi mereka yang mengumpulkan atau membaca
selebaran-selebaran kecil dari lelucon yang lebih jelas, dan
yang memperlihatkan kesulitan nyata ketika cerita-cerita
metafisis disampaikan kepada mereka.
Nashruddin sendiri menjawab orang-orang seperti ini dalam
salah satu dari ceritanya yang tersingkat:
"Mereka mengatakan lelucon-lelucon Anda penuh makna yang
tersembunyi. Apakah memang demikian?"
"Tidak!" jawab Nashruddin.
"Mengapa tidak?"
"Sebab aku tidak pernah mengatakan kebenaran dalam
kehidupan, meskipun sekali dan Anda pun tidak akan pernah
bisa melakukannya."
Orang kebanyakan mungkin mengatakan, dengan suatu
pengertian yang mendalam, bahwa semua humor adalah
benar-benar serius, bahwa setiap lelucon membawa suatu pesan
pada suatu tingkatan filosofis, tetapi sistem pesan ini
tidak berlaku pada cerita Nashruddin. Seorang humoris yang
sinis, seperti bisa diduga, seperti filosuf Yunani, mungkin
menunjukkan kerancuan pada pemikiran dan tindakan kita. Ini
juga bukan peranan Nashruddin -- sebab pengaruh menyeluruh
dari (cerita) Nashruddin merupakan sesuatu yang lebih
mendalam. Karena cerita-cerita Nashruddin semuanya memiliki
suatu hubungan yang kuat antara satu dengan lainnya dan
dengan suatu bentuk realitas yang merupakan ajaran Sufi,
maka siklus tersebut merupakan sebagian dari suatu konteks
perkembangan sadar yang secara tepat tidak bisa dikaitkan
dengan ketajaman dari humoris biasa atau satirisme sporadis
dari pemikir formal.
Ketika sebuah cerita Nashruddin dibaca dan direnungkan,
sesuatu akan terjadi. Kesadaran akan peristiwa dan
keberlangsungan itulah yang merupakan pusat dari
Sufisme.
Untuk menjawab pertanyaan, "Metode apakah yang berlaku
dalam Sufisme?" Anis Khoja mengatakan, "Tanpa
keberlangsungan tidak akan ada Sufisme, tanpa wujud dan
menjadi (being and becoming) tidak akan ada Sufisme, tanpa
keterkaitan tidak akan ada Sufisme."
Kebenaran ini sampai tingkatan (tertentu) disampaikan
melalui kata-kata. Selain itu, hal ini sebagian disampaikan
melalui tindakan yang saling berhubungan dari kata-kata
dengan reaksi pendengarnya. Tetapi pengalaman Sufi hadir
melalui cara dari suatu mekanisme yang mengambil alih pada
titik dimana kata-kata terlepas titik tindakan, dari
"bekerja" dengan seorang mursyid.
Suatu saat Nashruddin menggambarkan hal ini dalam cerita
"Cina"-nya yang terkenal. Ia pergi ke Cina di mana ia
mengumpulkan sekelompok murid, yang dipersiapkannya bagi
pencerahan. Mereka menjadi tercerahkan mendadak berhenti
menghadiri kuliah-kuliahnya
Sekelompok orang dari para pengikutnya yang tengah
berkembang (kemampuan spiritualnya), yang menginginkan
pencerahan lebih jauh, merantau dari Persia ke Cina untuk
melanjutkan studi bersamanya.
Setelah kuliah pertama mereka, ia menerima mereka.
"Mullah, mengapa," salah seorang dari mereka bertanya,
"kuliahmu tentang kata-kata rahasia yang kami bisa
memahaminya (tidak seperti orang Cina)? Kata-kata itu adalah
namidanam dan hichmalumnist! Dalam bahasa
Persia, kata-kata ini bermakna, 'Aku tidak tahu,' dan 'Tidak
seorang pun yang tahu'."
"Lantas apa yang seharusnya aku lakukan -- mencopot
kepalaku?" tanya Nashruddin.
Para Sufi mempergunakan istilah-istilah teknis untuk
menyampaikan padanan yang mendekati misteri-misteri yang
merupakan pengalaman-pengalaman yang tidak bisa digambarkan
dengan kata-kata. Hingga seorang Salik siap untuk
"menangkap" pengalaman itu, ia dijaga agar tidak membuat
kesalahan dengan mencoba menyelidikinya secara intelektual
dengan menggunakan cara-cara yang sama ini. Pengalaman itu
sendiri merupakan akibat dari spesialisasi sadar, maka
Sufisme telah menyimpulkan bahwa tidak ada jalan pintas
menuju pencerahan. Ini tidak berarti bahwa pencerahan akan
memerlukan waktu yang lama. Yang ini berarti bahwa seorang
Sufi mesti berpegang pada Tarekat.
Nashruddin, yang memainkan peran sebagai orang yang
mencari jalan pintas, muncul dalam sebuah lelucon yang
menyampaikan gagasan ini:
Di pagi hari yang indah, Nashruddin sedang berjalan
pulang. Mengapa, ia berpikir, tidak mengambil jalan pintas
melewati hutan indah daripada jalan berdebu itu?
"Sehari dari sekian banyak hari, sehari demi pengejaran
keberuntungan!" serunya kepada dirinya sendiri, sambil
memasuki kawasan yang hijau.
Seketika, ia mendapati dirinya sudah berada di dasar
sebuah lubang yang tertutup.
"Ini karena aku mengambil jalan pintas," renungnya,
ketika ia berada di lubang itu. "Kalau hal-hal seperti ini
bisa terjadi di tengah-tengah keindahan semacam ini --
bencana apakah yang tidak terjadi pada jalan keras
membosankan yang tidak kenal kompromi tersebut?"
Dalam keadaan yang hampir serupa, suatu ketika Nashruddin
terlihat tengah memeriksa sebuah sarang kosong:
"Apa yang tengah Anda lakukan, Mullah?"
"Mencari telur."
"Tidak ada di sarang (burung) pada akhir tahun!"
"Jangan terlalu yakin," ucap Nashruddin. "jika engkau
adalah burung dan menginginkan untuk melindungi
telur-telurmu, apakah engkau akan membangun sebuah sarang
baru, dengan setiap mata melihatmu?"
Ini merupakan cerita lain dari cerita-cerita Nashruddin
yang terlihat pada Don Quixote. Fakta bahwa lelucon
ini bisa dibaca paling tidak dengan dua cara, mungkin bisa
menghalangi pemikir formal, tetapi justru memberikan
kesempatan kepada kaum darwis untuk memahami dualitas dari
wujud-nyata, yang dikaburkan oleh pemikiran manusia
konvensional. Oleh sebab itu, apa yang rancu bagi
intelektual menjadi kekuatan bagi pemahaman secara
intuitif.
Hubungan antara para Sufi terkadang terjadi melalui
piranti tanda-tanda, dan komunikasi bisa dilakukan melalui
cara-cara yang bukan saja tidak biasa, tetapi juga tampak
tidak masuk akal, bagi pikiran yang dikondisikan dalam cara
biasa. Tentu saja hal ini tidak mencegah pemikir dengan pola
tersebut dari upaya untuk memahami dari apa yang tampaknya
tidak masuk akal. Pada akhirnya ia mendapatkan penafsiran
yang salah, meskipun hal ini mungkin bisa memuaskannya.
Seorang mistikus lain menghentikan Nashruddin di tengah
jalan, dan menunjuk ke langit. Orang itu bermaksud
mengatakan, "Hanya ada satu kebenaran yang meliputi
semuanya."
Pada saat itu Nashruddin ditemani oleh seorang sarjana,
yang tengah berupaya menemukan dasar rasional dari Sufisme.
Sarjana itu berkata kepada dirinya sendiri, "Gagasan orang
aneh ini adalah gila. Barangkali Nashruddin akan mengambil
langkah pencegahan terhadapnya."
Benar saja, Mullah Nashruddin merogoh kantong kulitnya
dan mengeluarkan sebuah gulungan tali. Si sarjana tersebut
berpikir, "Hebat, kita akan bisa menangkap dan mengikat
orang gila itu jika ia menjadi liar."
Sesungguhnya, tindakan Nashruddin tersebut bermakna,
"Manusia kebanyakan berupaya mencapai 'langit' tersebut
dengan cara-cara yang tidak memadai seperti halnya dengan
tali".
"Orang gila" tersebut tertawa dan berjalan pergi.
"Hebat!" ucap si sarjana, "Anda telah menyelamatkan kita
darinya."
Cerita ini telah mendorong kemunculan sebuah ungkapan
Persia, "Pertanyaannya tentang langit-jawabannya tentang
tali". Ungkapan itu, seringkali diucapkan oleh agamawan
non-Sufi atau para intelektual, kerap digunakan dalam
pengertian yang sama sekali bertentangan dengan pengertian
asalnya.
Pengetahuan tidak bisa dicapai tanpa usaha, suatu
kenyataan yang secara umum diterima. Tetapi cara-cara konyol
yang digunakan untuk memproyeksikan upaya tersebut, dari
kerancuan upaya-upaya itu sendiri, secara efektif menutup
jalan menuju pengetahuan bagi orang yang berusaha untuk
memindahkan sistem pengetahuan dalam satu bidang ke bidang
lainnya.
Yogurt dibuat dengan cara menambahkan sejumlah
kecil yogurt lama ke sejumlah besar susu. Tindakan
dari bacillus bulgaricus dalam porsi yogurt
asli pada waktunya akan mengubah seluruh campuran tersebut
menjadi sejumlah yogurt baru.
Suatu hari sebagian sahabat melihat Nashruddin berjongkok
di samping sebuah timba. Ia tengah menambahkan sejumlah
kecil yogurt lama ke air. Salah satu sahabatnya
berkata, "Apa yang tengah Anda lakukan, Nashruddin?"
"Aku tengah membuat yogurt."
"Tetapi Anda tidak bisa membuat yogurt dengan cara
itu!
"Ya aku tahu, tetapi aku sekadar menduganya bisa
berhasil."
Siapa pun akan tertawa melihat ketololan dari Mullah yang
bodoh tersebut. Sebagian orang percaya bahwa banyak bentuk
dari humor tergantung nilai hiburannya di atas pengetahuan
bahwa orang yang menertawakan tidak sebodoh orang yang
ditertawakan. Jutaan orang yang tidak akan berusaha membuat
yogurt dengan air akan berusaha untuk menembus
pemikiran esoterik dengan cara-cara yang sama-sama
keliru.
Sebuah cerita yang dinisbatkan kepada Nashruddin
bermaksud membedakan antara pencarian mistis pada dirinya
sendiri dari bentuk yang didasarkan pada lebih sedikit,
kriteria etis atau formal agama:
Seorang pendeta Cina diriwayatkan telah berkata kepada
Nashruddin, "Setiap orang harus memandang tindakannya
sebagaimana ia memandang tindakan orang lain. Anda harus
memiliki orang lain seperti apa yang Anda miliki dalam hati
Anda sendiri!"
Ini bukan ungkapan dari Aturan Emas Kristiani, meskipun
ia mengandung pengertian yang sama. Sesungguhnya pernyataan
ini merupakan kutipan dari Confucious (lahir 551 S.M.).
"Ini akan menjadi pernyataan yang mengagumkan," jawab
Nashruddin. "Sebab, setiap orang yang berhenti sejenak untuk
menyadari bahwa apa yang diinginkan seseorang untuk dirinya
sendiri tampaknya pada akhirnya cenderung menjadi sesuatu
yang tidak diingini sebagaimana yang ia inginkan terhadap
musuhnya, lebih-lebih terhadap sahabatnya."
"Apa yang harus dimiliki dalam hatinya bagi orang lain
adalah bukan apa yang ia inginkan untuk dirinya. Ia adalah
apa yang seharusnya bagi dirinya, dari apa yang seharusnya
bagi semua orang. Ini hanya diketahui ketika kebenaran
batiniah terungkap."
Versi lain dari jawaban (Nashruddin) ini menyatakan
secara singkat, "Seekor burung memakan buah berry
beracun, yang tidak membahayakannya. Satu hari ia
mengumpulkan sebagian buah tersebut untuk makanannya, dan
merelakan makan siangnya dengan memberi makan buah-buah
tersebut kepada sahabatnya, seekor kuda."
Seorang guru Sufi lainnya, Amini as-Samarkandi, secara
singkat mengulas tentang tema ini, sebagaimana yang
dilakukan Rumi sebelumnya, "Seorang laki-laki menginginkan
orang lain untuk membunuhnya. Biasanya ia menginginkan hal
ini bagi siapa saja, sebab ia adalah 'orang baik'. Sudah
tentu, 'orang baik' adalah orang yang menginginkan agar
orang lain mempunyai apa yang ia inginkan untuk dirinya
sendiri. Masalah tunggal dari hal ini adalah bahwa apa yang
ia inginkan seringkali merupakan hal terakhir yang ia
butuhkan."
Untuk itu ada penekanan dalam Sufisme terhadap realitas
yang harus mendahului etika dari dianggap memiliki validitas
universal yang bahkan dengan pertimbangan umum bisa
memperlihatkan ketiadaannya.
Cerita-cerita Nashruddin, secara insidentil, tidak bisa
dianggap sebagai sistem filsafat yang dimaksudkan untuk
membujuk orang meninggalkan kepercayaan dari memeluk
ajaran-ajarannya. Dengan konstruksi yang sama, Sufisme tidak
bisa diajarkan. Ia tidak bisa bersandar pada peniadaan
sistem-sistem lainnya dan menawarkan suatu pengganti, atau
suatu sistem yang lebih masuk akal. Sebab ajaran Sufi hanya
secara parsial dinyatakan dalam kata-kata, ia tidak pernah
mencoba menyerang sistem-sistem filsafat dengan istilahnya
sendiri. Usaha melakukan hal itu agar Sufisme sesuai dengan
artifisialitas-artifisialitas -- adalah suatu kemustahilan.
Melalui kandungannya sendiri, metafisika tidak bisa didekati
dengan cara ini, maka Sufisme bersandar pada dampak gabungan
-- penyebaran "yang berserakan". Calon Sufi mungkin
dipersiapkan atau secara parsial dicerahkan oleh Nashruddin.
Tetapi untuk "mematangkan" diri, ia harus terlibat dalam
kerja praktis dan mengambil manfaat dari kehadiran nyata
seorang guru dan di antara Sufi lainnya. Sesuatu lainnya
adalah mengacu pada istilah kesalehan, "Mencoba mengirim
ciuman melalui utusan pribadi". Ini memang sebuah ciuman,
tetapi ia bukan yang dimaksudkan.
Jika Sufisme diterima sebagai metodologi yang dengannya
petunjuk-petunjuk dari guru keagamaan bisa diberikan
pengungkapan sejatinya, maka bagaimana seorang calon Sufi
bisa menemukan sumber pengajaran bagi seorang pengajar yang
harus ia miliki?
Guru sejati tidak bisa mencegah pertumbuhan dan
perkembangan dari sekolah-sekolah [aliran-aliran]
yang dianggap sebagai sekolah mistis yang menerima para
murid dan menyebarkan versi palsu dari ajaran pencerahan.
Lebih sulit, jika kita melihat fakta-fakta tersebut secara
obyektif, adalah sedikitnya kemampuan untuk membedakan
antara suatu sekolah sejati dan yang palsu. "Koin palsu
hanya ada karena terdapat sesuatu yang asli seperti halnya
emas asli", menjadi berlaku dalam ajaran Sufi -- tetapi
bagaimana yang sejati bisa dibedakan dari yang palsu oleh
seseorang yang tidak memiliki pelatihan untuk hal itu?
Sang pemula (murid) terselamatkan dari ketidakpekaan
menyeluruh, sebab di dalam dirinya terdapat suatu kemampuan
dasar untuk bereaksi terhadap "emas sejati". Dan sang guru,
dengan mengenali kapasitas batin tersebut, akan mampu
menggunakannya sebagai piranti penerimaan tanda-tandanya.
Adalah benar, dalam tahapan-tahapan awal, tanda-tanda
tersebut disampaikan oleh guru yang harus diatur dengan cara
sedemikian rupa, lantas dipersepsikan secara tidak memadai
dan secara mekanis mungkin menyesatkan penerima. Tetapi
kombinasi dari dua unsur tersebut akan memberikan suatu
dasar bagi suatu pengaturan kerja.
Pada tahapan ini guru sampai pada tingkatan yang harus
menandai waktu. Beberapa cerita Nashruddin, sebagai tambahan
bagi nilai hiburannya, menekankan adanya ketidakharmonisan
yang terjadi pada awal tahapan antara guru dan murid yang
memenuhi periode persiapan:
Sejumlah calon murid pada satu hari mendatangi Nashruddin
dan memintanya untuk memberikan pelajaran kepada mereka,
"Baiklah," ucap Nashruddin, "Ikuti aku ke ruang
pertemuan!"
Dengan penuh kepatuhan mereka berbaris di belakang
Nashruddin yang menunggang keledainya dengan menghadap ke
belakang. Pada awalnya anak-anak muda itu kebingungan, pada
akhirnya mereka ingat bahwa mereka tidak seharusnya
menanyakan tindakan guru, bahkan yang terkecil sekalipun.
Pada akhirnya mereka tidak tahan terhadap ejekan orang-orang
yang lewat.
Melihat kesulitan mereka, Nashruddin berhenti dan
memandangi orang paling berani dari mereka dan
mendekatinya.
"Mullah, kami benar-benar tidak mengerti mengapa Tuan
menunggang keledai secara terbalik?"
"Sangat sederhana," ucap Nashruddin, "kalian lihat, jika
kalian berjalan di depanku, itu berarti kalian tidak
menghormatiku. Di sisi lain, jika aku menghadapkan
punggungku kepada kalian, ini berarti tidak menghormati
kalian. Cara ini merupakan satu-satunya kompromi yang
mungkin dilakukan."
Bagi seseorang yang berpandangan tajam, memiliki lebih
dari satu dimensi tentang hal ini, dan tentu cerita-cerita
lainnya menjadi jelas. Jaringan pengaruh dari suatu cerita
yang dialami pada tingkat-tingkat yang berbeda-beda
sekaligus adalah untuk membangkitkan kapasitas batin bagi
pemahaman terhadap suatu yang komprehensif, cara lebih
obyektif dibanding yang mungkin dihasilkan oleh cara
berpikir biasa, kaku dan tidak memadai. Sebagai contoh,
dalam cerita ini, Sufi melihat pada saat yang bersamaan,
pesan-pesan dan kaitan-kaitannya dengan ranah wujud lain
yang tidak saja membantunya dalam jalannya, tetapi juga
memberikan kepadanya informasi positif. Sampai pada
tingkatan kecil pemikir kebanyakan mungkin bisa mengalami
(mutatis mutandis) perspektif-perspektif yang berbeda
dengan mempertimbangkannya secara terpisah. Sebagai contoh,
Nashruddin mampu mengamati para murid dengan cara duduk
terbalik. Ia tidak peduli apa yang akan dipikirkan orang
lain tentang dirinya, sementara para murid pemula tersebut
masih peka terhadap pandangan publik dan (pandangan yang
tidak berdasar pengetahuan). Ia bisa saja menunggang keledai
secara terbalik, tetapi ia tetap bisa mengendalikan,
sementara mereka tidak bisa. Nashruddin dengan merusak
kebiasaan yang berlaku tersebut, meskipun menjadikan dirinya
sendiri tampak konyol, sebenarnya tengah menyatakan bahwa ia
berbeda dari orang kebanyakan. Juga karena ia telah berada
pada jalan tersebut sebelumnya, ia tidak perlu menghadap ke
depan untuk melihat ke mana arahnya. Sekali lagi, dalam
posisi tersebut, meskipun tidak nyaman menurut standar
kebanyakan, ia mampu menjaga keseimbangannya. Sekali lagi ia
tengah mengajarkan dengan bekerja dan wujud, bukan dengan
kata-kata.
Pertimbangan-pertimbangan semacam ini, yang diubah ke
dalam bidang metafisika dan kemudian dijalani atau dialami
secara bersamaan, akan menghasilkan keseluruhan dampak yang
tersusun dari cerita Nashruddin terhadap mistikus yang
tengah mengalami kemajuan spiritual.
Kecerdasan Nashruddin, yang diperlukan karena adanya
kebutuhan untuk memelesetkan melalui jaring-jaring yang
telah diatur oleh Pendosa-Tua, tampak pada setiap cerita.
Penampilannya yang menampakkan kegilaan merupakan
karakteristik dari Sufi, yang tindakan-tindakannya mungkin
tidak bisa dijelaskan dan tampak gila bagi penontonnya.
Dalam setiap cerita ia menekankan penegasan Sufi bahwa tidak
ada sesuatu pun yang bisa dimiliki, tanpa harus membayarnya.
Bayaran ini mungkin mengambil berbagai bentuk pengorbanan --
berupa gagasan-gagasan yang hidup, uang, cara mengerjakan
banyak hal. Poin terakhir tersebut sangat mendasar, sebab
pencarian Sufi adalah mustahil jika kawasan yang
dipergunakan dalam perjalanan telah diduduki oleh
unsur-unsur yang mencegah perjalanan tersebut dilakukan.
Pada akhirnya, meskipun hal itu berat, Nashruddin bisa
lolos tanpa terluka. Ini menunjukkan kenyataan bahwa
meskipun deprivasi (pencegahan) pada tahapan-tahapan
awal Sufisme tampaknya harus "dibayar", dalam pandangan
sesungguhnya sang pencari tidak membayar sesuatu pun. Dengan
kata lain, ia tidak membayar sesuatu pun dari nilai puncak
yang akan diperoleh.
Sikap Sufi terhadap uang merupakan suatu sikap yang
khusus, sangat jauh dari sikap dangkal, yaitu anggapan
filosofis atau teologis bahwa uang adalah akar kejahatan,
atau bahwa agama/keimanan bagaimanapun bertentangan dengan
uang.
Suatu hari Nashruddin meminta sejumlah uang kepada
seorang yang kaya.
"Apa yang Anda inginkan dengan uang ini?"
"Untuk membeli gajah."
"Jika Anda tidak memiliki uang, tidak akan mampu merawat
seekor gajah."
"Aku minta uang, bukan nasehat."
Kaitannya di sini dengan gajah di kegelapan. Nashruddin
membutuhkan uang untuk "kerja". Nashruddin menyadari orang
kaya tersebut tidak bisa mengubah gagasan-gagasannya untuk
melihat bagaimana uang tersebut akan dibelanjakan; ia
membutuhkan suatu skema keuangan yang masuk akal untuk
diletakkan di depannya. Nashruddin mempergunakan kata Sufi
"gajah" untuk menekankan hal ini. Secara wajar orang kaya
tersebut tidak paham.
Nashruddin miskin; kata tersebut sama dengan salah satu
kata yang digunakan oleh para Sufi untuk menunjukkan salah
satu dari jumlah mereka -- Faqir (fakir). Ketika ia
benar-benar mendapat uang, didapatkannya melalui suatu cara,
dan memperjuangkannya dalam suatu cara yang tidak bisa
dibandingkan dengan pemikir formalis:
Suatu hari istri Nashruddin mengejeknya karena
miskin.
"Jika engkau memang seorang agamawan," ucapnya, "engkau
seharusnya berdoa meminta uang. Jika itu memang pekerjaan,
engkau seharusnya dibayar, sebagaimana orang lain pun
dibayar untuk suatu pekerjaan."
"Baiklah, aku akan melakukannya."
Nashruddin segera pergi ke kebun dan berteriak
sekeras-kerasnya, "Ya Tuhan! Aku telah melayani-Mu selama
ini tanpa memperoleh uang. Sekarang istriku mengatakan bahwa
aku seharusnya dibayar. Oleh sebab itu, bolehkah aku
memiliki dalam waktu sekejap seratus keping emas sebagai
bayaran selama ini?"
Seorang bakhil yang tinggal di samping rumahnya pada saat
itu sedang berada di atap rumahnya, menghitung
kekayaannya.
Didorong oleh pemikiran ingin mempermainkan Nashruddin,
ia melemparkan di depannya sebuah kantong yang berisi
seratus dinar emas.
"Terima kasih," ucap Nashruddin dan bersegera menuju
rumahnya.
Ia memperlihatkan keping-keping emas tersebut kepada
istrinya, yang merasa sangat terkesima.
"Maafkan aku," ucapnya, "aku tidak pernah benar-benar
percaya bahwa engkau adalah seorang wali, tetapi sekarang
aku telah melihat buktinya."
Dua hari berikutnya, tetangga yang kikir tersebut melihat
semua barang-barang mewah dikirim ke rumah Nashruddin. Ia
mulai tidak bisa menahan diri, dan ia pun berdiri di depan
pintu rumah Nashruddin.
"Sobat, ketahuilah," ucap Nashruddin, "aku adalah seorang
wali. Apa yang engkau inginkan?"
"Aku ingin uangku kembali. Akulah yang melemparkan
kantung berisi uang emas itu, bukan Tuhan!"
"Engkau mungkin saja menjadi alat-Nya, tetapi emas
tersebut tidak datang sebagai akibat dari permohonanku
kepadamu."
Si bakhil tersebut merasa serba salah. "Aku akan membawa
(masalah ini) kepada hakim, dan kita akan memperoleh
keadilan."
Nashruddin sepakat. Begitu mereka berada di luar rumah,
Nashruddin berkata kepada si kikir, "Aku berpakaian kasar.
Jika aku tampak di sampingmu di depan hakim, perbedaan
penampilan kita mungkin akan mendorong prasangka pengadilan
yang bisa menguntungkanmu."
"Baiklah," tukas si bakhil, "ambil jubahku dan aku akan
memakai pakaianmu!"
Mereka telah berlalu beberapa meter ketika Nashruddin
berkata, "Engkau menunggang kuda dan aku jalan kaki. Jika
kita terlihat seperti ini di depan hakim, ia mungkin akan
berpikir bahwa dirinya seharusnya memberikan keputusan yang
memberatkanmu."
"Aku tahu siapa yang akan memenangkan kasus ini, tidak
jadi soal ia terlihat seperti apa! Ayo tunggangilah
kudaku!"
Nashruddin pun menaiki kuda itu, sementara tetangganya
yang bakhil itu berjalan di belakangnya.
Ketika giliran mereka tiba, si bakhil menjelaskan apa
yang telah terjadi kepada hakim.
"Dan apa yang bisa Anda katakan atas tuduhan ini?" tanya
hakim kepada Nashruddin.
"Yang Mulia. Orang ini bakhil, dan ia juga menderita
penyakit delusi. Ia berilusi bahwa dirinya telah memberi
uang kepadaku. Sesungguhnya, uang itu berasal dari sumber
yang lebih tinggi. Uang itu sekadar terlihat oleh orang ini
telah diberikan olehnya."
"Tetapi bagaimana Anda bisa membuktikannya?"
"Sangat mudah, obsesi-obsesinya berbentuk pemikiran bahwa
segala hal menjadi miliknya, padahal tidak. Coba tanyakan
kepadanya, milik siapa jubah yang kupakai ini ...?"
Nashruddin berhenti sejenak sambil menunjuk jubah yang
dipakainya.
"Itu milikku," teriak si bakhtil.
"Sekarang," ucap Nashruddin, "tanyakan kepadanya, kuda
siapa yang aku tunggangi ketika datang ke pengadilan
ini?"
"Anda menunggangi kudaku!" jerit si bakhil.
"Kasus ditutup," ucap sang hakim.
Uang oleh para Sufi dipandang sebagai suatu faktor aktif
dalam hubungan antar masyarakat, dan antar masyarakat dengan
lingkungannya. Karena persepsi kebanyakan dari realitas
dipandang secara dangkal, maka tidak mengherankan jika
penggunaan manusia normal terhadap uang juga sama-sama
dibatasi oleh persepsi tersebut. Lelucon tentang katak dalam
koleksi Nashruddin menjelaskan sesuatu tentang pandangan
ini:
Seorang yang lewat melihat Nashruddin melemparkan uang ke
kolam, dan menanyakannya mengapa ia melakukannya.
"Tadi aku berada di atas punggung keledaiku. Ia
terpeleset dan tergelincir ke sisi kolam, lantas oleng dan
jatuh. Tampaknya tidak ada harapan bahwa kami berdua akan
selamat dari jatuh yang serius. Tiba-tiba katak-katak di air
itu mulai bernyanyi keras-keras, suara ini membuat takut
sang keledai. Ia bangkit dan dengan cara ini ia bisa
menyelamatkan dirinya. Tidakkah katak-katak itu berhak
memperoleh keuntungan karena telah menyelamatkan hidup
kami?"
Meskipun pada tataran umum lelucon ini dipakai untuk
memperlihatkan Nashruddin sebagai orang bodoh, tetapi makna
yang lebih mendalam merupakan refleksi langsung dari sikap
Sufi terhadap uang. Katak-katak itu menggambarkan manusia
yang tidak bisa menggunakan uang. Nashruddin memberi balasan
kepada mereka karena adanya aturan umum bahwa sebuah balasan
mengikuti suatu perbuatan yang baik. Meskipun suara
katak-katak tersebut tampaknya kebetulan, tetapi itu
merupakan faktor lain untuk direnungkan. Paling tidak, dalam
satu pandangan (pengertian), katak-katak itu tidak lebih
bersalah dibanding orang kebanyakan.
Mereka mungkin tidak mengira bisa menggunakan uang,
dengan benar atau sebaliknya. Cerita ini juga digunakan
dalam pengertian "melemparkan mutiara di depan babi", untuk
menjawab penanya yang bertanya kepada seorang Sufi, mengapa
ia tidak menjadikan pengetahuan dan hikmahnya tersedia bagi
semua orang, terutama bagi orang yang (seperti katak) telah
memperlihatkan kebaikan kepadanya dan yang mereka pikir bisa
memahami.
Dalam rangka memahami aspek-aspek yang lebih luas dari
pemikiran Sufi, dan sebelum kemajuan bisa dibuat selaras di
luar jaring yang dilempar di atas kemanusiaan oleh
Pendosa-Tua, dimensi-dimensi yang disyaratkan Nashruddin
harus dikaji. Jika Nashruddin serupa dengan kotak Cina,
dengan sekat ruang di dalam ruang, paling tidak ia
menawarkan berbagai titik sederhana untuk mengenal dan
terbiasa dengan cara baru dalam berpikir.
Untuk akrab dengan pengalaman Nashruddin adalah berarti
mampu membuka banyak pintu pada teks-teks dan
praktek-praktek para Sufi yang lebih membingungkan.
Ketika persepsi seseorang meningkat, maka begitu juga
kekuatan memeras nutrisi dari cerita-cerita Nashruddin.
Cerita-cerita ini memberikan kepada para pemula sesuatu yang
oleh para Sufi disebut sebagai "hantaman" -- dampak yang
telah dihitung yang beroperasi dengan cara khusus, untuk
mempersiapkan pikiran bagi upaya Sufi.
Dilihat sebagai nutrisi, hantaman Nashruddin disebut
sebagai buah kelapa. Istilah ini diambil dari pernyataan
Sufi, "Seekor kera melemparkan sebuah kelapa dari pucuk
pohon kepada seorang Sufi yang kelaparan, dan buah tersebut
mengenai kakinya. Ia mengambilnya, meminum airnya, memakan
dagingnya, dan membuat sebuah mangkuk dari
tempurungnya."
Singkatnya, mereka memenuhi fungsi hantaman harfiah yang
terjadi dalam salah satu kisah Nashruddin tersingkat:
Nashruddin menyerahkan sebuah timba kepada seorang anak,
menyatakan kepadanya untuk menimba air dari sumur dan
kemudian menjewer telinganya. "Dan ingat, jangan engkau
jatuhkan!" teriaknya.
Seorang yang melihat hal itu berkata, "Bagaimana Anda
bisa memukul seseorang yang tidak melakukan kesalahan?"
"Aku menduga," ucap Nashruddin, "bahwa engkau lebih suka
aku memukulnya setelah ia memecahkan timba, ketika timba dan
airnya sama-sama hilang? Dengan caraku tersebut si anak akan
ingat, dan timba serta isinya juga aman."
Karena Sufisme merupakan suatu kerja komprehensif, maka
bukan saja Salik yang harus belajar, seperti si anak.
Kerja tersebut, seperti timba dan air, memiliki
aturan-aturannya sendiri, di luar metode-metode duniawi dari
seni dan ilmu pengetahuan (positif).
Tidak seorang pun mampu menempuh suatu jalan Sufi,
kecuali jika memiliki potensi untuk hal itu. Jika ia mencoba
melakukannya, kemungkinan terjatuh ke dalam kesalahan
sangatlah besar baginya untuk memiliki satu kesempatan
membawa kembali air tersebut tanpa memecahkan timbanya.
Terkadang cerita Nashruddin diatur dalam bentuk aforisme
(ungkapan pendek). Berikut adalah sebagian contohnya:
"Tidak demikian kenyataannya."
"Kebenaran merupakan sesuatu yang tidak pernah aku
katakan."
"Aku tidak menjawab semua pertanyaan; hanya mereka yang
tahu semuanya secara rahasia yang bertanya kepada dirinya
sendiri."
"Jika keledaimu membolehkan seseorang mencuri jubahmu --
maka curilah pelananya!"
"Contoh adalah contoh. Tak seorang pun akan membeli
rumahku manakala aku memperlihatkan sebuah batu bata dari
rumah kepada mereka."
"Orang-orang menuntut untuk mencicipi kismis anggurku.
Tetapi hal ini tidak akan menjadi berumur empat puluh tahun
jika aku membolehkannya, bukankah demikian?"
"Untuk menghemat uang, aku membawa pergi keledaiku tanpa
bekal makanan ...
Sayang sekali percobaan ini terhenti karena keledai itu
mati. Ia mati karena tidak terbiasa tanpa makan sama
sekali."
"Orang-orang menjual burung beo karena harganya mahal.
Mereka tidak pernah berhenti memperbandingkan harga jual
seekor beo yang berpikir."
|