MULLAH NASHRUDDIN 2
(CERITA MENUJU AWAL PENCERAHAN)
"Lelucon" Nashruddin lainnya menegaskan siklus realitas
yang mendasar ini, serta hubungan-hubungan tidak kasat-mata
secara umum yang terjadi:
Suatu hari Nashruddin berjalan di sebuah jalan yang
lengang. Malam mulai turun ketika ia melihat sepasukan
berkuda menuju ke arahnya. Imajinasinya mulai bekerja, dan
ia khawatir mereka akan merampoknya, atau memaksanya menjadi
pasukan. Begitu kuatnya rasa takut ini sehingga ia melompati
tembok dan ternyata ia berada di sebuah kuburan.
Musafir-musafir lainnya, karena tidak memiliki prasangka
sebagaimana Nashruddin, menjadi penasaran dan
mengejarnya.
Ketika mereka mendatanginya tengah berbaring tidak
bergerak, salah seorang di antara mereka berkata, "Apa yang
bisa kami bantu, -- mengapa Anda di sini dengan posisi
seperti ini?"
Menyadari kesalahannya, Nashruddin berkata, "Ini lebih
rumit dari yang kalian duga. Kalian lihat, aku di sini
karena kalian, dan kalian di sini karena aku."
Hanya seorang Sufi (mistik) yang "kembali" ke dunia
normal setelah mengalami langsung keterkaitan dari hal-hal
yang menjadi berbeda atau tidak terkait, yang benar-benar
bisa memahami kehidupan dengan cara ini. Bagi Sufi, setiap
metode metafisis yang tidak mencakup faktor (keterkaitan
segala peristiwa) ini merupakan suatu metode yang hanya
mencampur-aduk hal-hal lahiriah, dan tidak bisa menjadi
suatu produk dari apa yang disebut sebagai pengalaman
mistik. Metode semacam ini merupakan penghalang bagi
pencapaian tujuan sejati yang didambakannya.
Ini bukan untuk menyatakan bahwa Sufi sebagai akibat dari
pengalaman-pengalamannya, menjadi terpisah dari realitas
kehidupan superfisial. Ia memiliki dimensi ekstra dalam
wujud, yang bekerja secara paralel dengan kognisi yang lebih
lemah dari manusia wajar. Nashruddin menerangkan hal ini
secara menawan dengan pernyataannya:
"Aku bisa melihat dalam gelap."
"Hal itu mungkin saja, Mullah Nashruddin. Tetapi jika
benar demikian, mengapa Tuan terkadang membawa lilin di
malam hari?"
"Untuk mencegah orang lain menabrakku."
Cahaya yang dibawa oleh Sufi mungkin penyesuaiannya
dengan cara-cara dari orang-orang di mana ia berada, setelah
se"kembali"-nya dari perjalanan ke dalam suatu persepsi yang
lebih luas.
Karena transmutasinya, Sufi merupakan bagian kesadaran
realitas yang hidup dari seluruh wujud. Hal ini berarti: Ia
tidak bisa melihat apa yang terjadi -- baik pada dirinya
maupun orang lain -- dengan cara terbatas seperti yang biasa
dilakukan oleh para filosuf atau teolog. Suatu ketika,
seseorang bertanya kepada Nashruddin tentang hakikat Nasib.
Ia menjawab, "Apa yang Anda sebut 'Nasib' adalah benar-benar
asumsi/dugaan. Anda menduga bahwa sesuatu yang baik atau
buruk akan terjadi. Akibat aktualnya itulah yang Anda sebut
'Nasib'." Pertanyaan seperti, "Apakah Anda seorang fatalis?"
tidak bisa diajukan kepada seorang Sufi, sebab ia menolak
konsep nasib yang tidak berdasar (fakta) yang tersirat dalam
pertanyaan tersebut.
Karena ia bisa melihat kaitan-kaitan pada kedalaman satu
peristiwa, maka sikap Sufi terhadap peristiwa-peristiwa
individual bersifat komprehensif dan tidak memandangnya
secara terpisah. Ia tidak bisa mengeneralisir dari data yang
terpisah secara artifisial. "Tak satu pun yang bisa
menunggangi kuda itu!" ucap sang raja kepadanya. Nashruddin
berucap, "Tetapi aku menaiki pelananya." "Apa yang terjadi?"
"Aku juga tidak mampu menggerakkannya." Cerita ini
dimaksudkan untuk memperlihatkan bahwa ketika suatu fakta
yang tampaknya konsisten ditarik sejajar dengan
dimensi-dimensinya, maka ia akan berubah.
Apa yang disebut problem komunikasi, yang menarik begitu
banyak perhatian, bergantung pada dugaan-dugaan yang tidak
bisa diterima oleh Sufi. Seorang awam berkata, "Bagaimana
aku bisa berkomunikasi dengan orang lain yang berada di luar
hal-hal yang wajar?" Sikap Sufi adalah bahwa "komunikasi
dari hal-hal yang memang harus dikomunikasikan tidak bisa
dihalangi. Hal ini berarti wahananya tidak harus ditemukan
terlebih dulu".
Nashruddin dan seorang yogi (pendeta), dalam sebuah
cerita, keduanya memainkan peran sebagai orang biasa yang,
sesungguhnya, tidak memiliki sesuatu pun untuk
dikomunikasikan di antara keduanya.
Suatu hari Nashruddin melihat sebuah bangunan aneh yang
di pintunya seorang yogi duduk bertapa. Nashruddin
memutuskan untuk belajar sesuatu dari sosok yang mengesankan
ini, dan memulai pembicaraan dengan menanyakan siapa dan apa
yang tengah dilakukannya.
"Aku seorang yogi," ucapnya. "Dan aku menghabiskan
waktuku berusaha untuk mencapai keselarasan dengan seluruh
makhluk hidup."
"Ini menarik," tutur Nashruddin, "sebab, seekor ikan
pernah menyelamatkan hidupku."
Sang yogi memintanya untuk bergabung dengannya seraya
mengatakan bahwa selama hidupnya yang dicurahkan untuk
berusaha menyelaraskan dirinya dengan makhluk hayati, ia
tidak pernah begitu dekat terlibat hubungan seperti yang
dialami Nashruddin.
Ketika keduanya telah bermeditasi selama beberapa hari,
si yogi memohon Nashruddin untuk menceritakan lebih rinci
tentang pengalamannya yang mengagumkan dengan ikan tersebut,
"Karena sekarang kita telah saling mengenal lebih baik,"
ucap si yogi. "Karena sekarang aku mengenal Anda lebih
baik," tandas Nashruddin, "aku ragu, apakah Anda bisa
memperoleh manfaat dari ceritaku?"
Tetapi si yogi mendesaknya. "Baiklah," kata Nashruddin,
"ikan tersebut benar-benar telah menyelamatkan hidupku. Pada
waktu itu aku tengah kelaparan, dan ikan itu cukup untuk
kumakan selama tiga hari."
Melibatkan diri dengan kapasitas-kapasitas tertentu dari
pikiran/jiwa yang menjadi ciri khusus dari apa yang disebut
sebagai mistisisme eksperimental, merupakan sesuatu yang
tidak satu pun Sufi berani melakukannya. Hasil dari
percobaan terus-menerus tersebut tidak terhitung banyaknya
pada beberapa abad yang lalu. Secara aktual Sufisme dari
pengamatan empirik:
Nashruddin menebarkan segenggam roti di sekitar
rumahnya.
"Apa yang Anda lakukan?" tanya seseorang.
"Agar harimau tidak mendekat," jawab Nashruddin.
"Tetapi di sekitar sini tidak ada harimau."
"Tepat! Bukankah ini efektif?" tukas Nashruddin.
Salah satu dari berbagai cerita Nashruddin yang ditemukan
pada karya Cervantes, Don Quixote (Bagian 14),
mengingatkan bahaya-bahaya dari intelektualisme yang
kaku.
"Dengan doktrinku, tidak ada persoalan yang tidak bisa
dijawab," ucap seorang rahib yang baru saja memasuki sebuah
warung teh di mana Nashruddin tengah duduk dengan para
temannya.
"Dan baru beberapa saat yang lalu," jawab Nashruddin,
"Aku ditantang oleh seorang alim dengan sebuah pertanyaan
yang tak terjawab."
"Apabila hanya aku yang ada di sana! Katakan itu
kepadaku, dan aku pastilah menjawabnya."
"Baiklah," ucap Nashruddin, "Ia berkata, 'Mengapa Anda
berusaha memasuki rumahku di waktu malam'?"
Persepsi Sufi terhadap keindahan terkait dengan suatu
kekuatan penetrasi yang melampaui ketajaman dari
bentuk-bentuk seni ilmu yang biasa. Suatu hari seorang murid
mengajak Nashruddin untuk melihat pemandangan danau yang
indah untuk pertama kalinya.
"Alangkah indahnya!" seru Nashruddin. "Tetapi seandainya
..."
"Seandainya apa, Mullah?"
"Andai saja mereka tidak menempatkan air di
dalamnya."
Dalam rangka meraih tujuan mistik, Sufi harus memahami
bahwa pikiran tidak bekerja dengan cara seperti yang kita
duga. Selain itu dua orang yang saling "kenal" mungkin
benar-benar saling merasa ragu.
Suatu hari Nashruddin meminta istrinya untuk membuat
sejumlah besar halwa (manisan), dan memberikan semua
bahannya kepadanya.
Ia hampir memakan seluruh manisan tersebut.
Di tengah malam, Nashruddin membangunkan istrinya.
"Aku baru saja memiliki pemikiran penting," ucap
Nashruddin.
"Katakan kepadaku!" desak istrinya.
"Bawakan dulu sisa manisannya dan aku akan
menceritakannya kepadamu!"
Ketika istrinya membawakan sisa manisan tersebut, ia
memintanya lagi untuk menceritakan pemikirannya.
Pertama-tama Nashruddin menghabiskan manisan
tersebut.
"Pemikiran itu," ucap Nashruddin, "adalah: 'Jangan pernah
pergi tidur sebelum menghabiskan seluruh manisan yang dibuat
sepanjang hari itu'."
Nashruddin memungkinkan seorang Salik (the Sufi
Seeker, sang Pencari) untuk memahami bahwa
gagasan-gagasan formal yang beredar pada ruang dan waktu
tidak mesti gagasan-gagasan yang bisa mencapai ranah
kesejahteraan yang lebih luas. Sebagai contoh, orang yang
meyakini bahwa mereka dianugerahi sesuatu karena
tindakan-tindakannya di masa lalu dan mungkin akan
dianugerahi sesuatu di masa datang untuk
perbuatan-perbuatannya di masa depan, tidak akan bisa
menjadi Sufi. Konsepsi Sufi tentang waktu merupakan suatu
keterkaitan -- suatu keberlangsungan (continuum).
Dalam cerita klasik tentang "kamar mandi Turki"
menggambarkan suatu cara yang memungkinkan suatu gagasan
bisa dipahami:
Nashruddin mengunjungi tempat mandi Turki. Karena
berpakaian jelek, ia dilayani secara kasar oleh petugas yang
memberikannya sebuah handuk tua dan secuil sabun. Ketika
pergi, ia memberikan sekeping uang emas kepada petugasnya.
Pada hari berikutnya ia kembali muncul. Kali ini ia
berbusana mewah, dan tentu saja mendapatkan pelayanan yang
terbaik dan berbeda.
Ketika selesai mandi, ia memberikan sekeping uang logam
terkecil yang ada kepada petugasnya.
"Ini," ucap Nashruddin, "untuk pelayanan yang kemarin.
Sementara uang emas itu adalah untuk pelayananmu pada saat
ini."
Sisa-sisa pola pemikiran (formal), ditambah
ketidakmatangan pikiran, menyebabkan manusia berupaya untuk
melibatkan diri mereka ke dalam mistisisme dengan berdasar
pada pengertian-pengertiannya sendiri. Salah satu dasar yang
pertama diajarkan kepada murid Sufi adalah bahwa ia mungkin
memiliki sedikit pemahaman terhadap yang dibutuhkannya, dan
mungkin ia menyadari bahwa dirinya bisa mendapatkannya dari
belajar dan bekerja di bawah bimbingan seorang guru. Tetapi
di luar itu ia tidak bisa mengajukan syarat. Berikut adalah
cerita Nashruddin yang dipergunakan untuk menanamkan
kebenaran ini:
Seorang perempuan membawa putranya yang masih kecil ke
sekolah Nashruddin. "Tolong anak ini ditakut-takuti
sedikit!" ucapnya, "sebab ia membuatku sedikit
kewalahan."
Nashruddin memelototkan bola matanya, mulai bernapas
terengah-engah, berjungkir balik dan melepaskan tinjunya ke
meja sampai perempuan yang ketakutan tersebut pingsan.
Kemudian Nashruddin menerobos ke luar ruangan.
Ketika Nashruddin kembali dan perempuan tersebut telah
siuman, perempuan itu berkata kepadanya, "Aku meminta Anda
menakut-nakuti anakku, bukan aku!"
"Nyonya," ucap Nashruddin, "bahaya tidak mengenal sasaran
seperti yang Anda lihat, bahkan aku telah menakut-nakuti
diriku sendiri. Ketika bahaya mengancam, ia mengancam semua
orang secara sama."
Demikian juga, guru Sufi tidak bisa memasok muridnya
hanya dengan sejumlah kecil ajaran Sufisme. Sufisme
merupakan keseluruhan, dan di dalamnya mengandung keutuhan,
bukan fragmentasi kesadaran yang mungkin digunakan oleh
orang yang belum tercerahkan dalam prosesnya sendiri dan
mungkin ia menyebutnya sebagai "konsentrasi".
Nashruddin mengolok-olok orang-orang yang tidak
sungguh-sungguh dalam belajar, yang berharap mempelajari,
atau mencuri rahasia kehidupan tanpa mau berupaya keras:
Sebuah kapal akan tenggelam dan para penumpang berlutut
berdoa dan bertobat, seraya berjanji untuk melakukan segala
jenis kebajikan jika mereka bisa diselamatkan. Hanya
Nashruddin yang tidak bergerak.
Tiba-tiba, di tengah kepanikan tersebut ia melompat dan
berteriak, "Sobat, sekarang bangkitlah! Jangan mengubah
caramu -- jangan terlalu mengobral janji. Aku kira aku
melihat daratan!"
Nashruddin menegaskan kesalahan gagasan mendasar tersebut
-- yaitu bahwa pengalaman mistis dan pencerahan tidak bisa
dicapai melalui pengaturan kembali dari gagasan-gagasan yang
sudah dikenal baik, tetapi melalui suatu pengakuan terhadap
keterbatasan dari pemikiran biasa, yang hanya melayani untuk
tujuan-tujuan duniawi. Dengan melakukan hal ini, ia
mengungguli setiap bentuk pengajaran lain yang ada.
Suatu hari Nashruddin memasuki sebuah warung teh dan
berseru, "Bulan lebih berguna dari matahari!"
Seseorang bertanya, "Mengapa bisa demikian?"
"Sebab di malam hari kita lebih membutuhkan cahaya."
Penaklukan cahaya nafsu ammarah yang merupakan
tujuan dari perjuangan Sufi tidak dicapai semata-mata
melalui pengendalian terhadap keinginan (syahwat) seseorang.
Cara ini dipandang sebagai penjinakan terhadap kesadaran
liar yang meyakini bahwa ia bisa mengambil apa yang ia
butuhkan dari segala sesuatu (termasuk mistisisme) dan
membelokkannya bagi penggunaannya sendiri. Kecenderung untuk
memanfaatkan bahan-bahan dari sumber apa pun bagi keuntungan
pribadi sangatlah bisa dipahami dalam dunia yang "utuh"
secara parsial dari kehidupan biasa, tetapi tidak bisa
dibawa ke dalam dunia yang lebih besar dari pemenuhan
sejati.
Dalam cerita tentang burung yang mencuri, Nashruddin
(dikisahkan) membawa sepotong hati dan resep untuk (kue) pie
hati. Tiba-tiba seekor burung pemangsa meluncur turun dan
mencomot (daging) hati tersebut dari tangannya. Ketika
burung tersebut terbang menjauh, Nashruddin mengejarnya
sambil berteriak, "Burung bodoh! Engkau mungkin mengambil
hati tersebut, tetapi apa yang akan kau lakukan tanpa
resepnya?"
Tentu saja dari sudut pandang burung itu, hati tersebut
cukup memadai bagi keperluannya. Hasilnya mungkin seekor
burung yang kenyang, tetapi ia hanya memperoleh apa yang ia
pikirkan dan inginkan, bukan apa yang seharusnya bisa
didapat.
Karena Sufi tidak selalu dipahami oleh orang lain, mereka
akan berusaha membuatnya menyesuaikan diri dengan gagasan
mereka tentang apa yang dipandang benar. Dalam cerita
Nashruddin tentang burung yang lain (yang juga muncul pada
karya agung puitik Rumi, Matsnawi), Nashruddin
menemukan seekor elang raja bertengger di jeruji jendela
rumahnya. Ia tidak pernah melihat seekor "merpati" yang aneh
seperti ini. Setelah memotong lurus paruhnya dan memangkas
cakar-cakarnya, ia melepaskannya seraya berkata, "Sekarang
kau lebih tampak seperti burung. Seseorang telah mengabaikan
dirimu."
Pembagian kehidupan secara artifisial, pemikiran dan
tindakan, tidak memiliki tempat dalam Sufisme. Nashruddin
menanamkan pandangan ini sebagai prasyarat untuk memahami
kehidupan sebagai keseluruhan. "Gula yang larut dalam susu
akan menyebar ke seluruh susu tersebut."
Nashruddin tengah berjalan melewati jalan berdebu dengan
seorang sahabat. Ketika menyadari bahwa mereka sangat
kehausan, mereka berhenti di sebuah warung teh dan menemukan
bahwa mereka hanya memiliki uang untuk segelas susu.
Sahabatnya berkata, "Minumlah bagianmu yang separo terlebih
dulu, aku memiliki sejumlah gula yang akan aku tambahkan ke
dalam bagianku!"
"Sobat, tambahkan gula itu sekarang juga, dan kita akan
menikmatinya berdua," ucap Nashruddin.
"Jangan! Gulanya tidak cukup untuk memaniskan segelas
susu."
Nashruddin pergi ke dapur dan kembali dengan membawa
butiran garam. "Kabar baik, sobat -- aku akan memperoleh
separo bagianku dengan memberi garam -- dan ini cukup untuk
satu gelas penuh."
Meskipun -- dalam praktek, namun bahkan dunia artifisial
yang telah kita ciptakan untuk diri sendiri -- kita terbiasa
beranggapan bahwa "hal-hal yang pertama pasti akan muncul
pertama", dan bahwa segala sesuatu pasti berurutan dari A
sampai Z, anggapan ini tidak berlaku mutlak pada dunia
metafisis yang memiliki orientasi berbeda. Seorang murid
(Sufi), pada saat yang bersamaan, akan mempelajari berbagai
hal yang berbeda, pada tingkat persepsi dan potensialitasnya
tersendiri. Ini merupakan perbedaan lainnya antara Sufisme
dan sistem-sistem yang bergantung pada anggapan bahwa hanya
satu hal yang bisa dipelajari pada satu keadaan.
Seorang guru Sufi (darwis) mengulas hubungan multi bentuk
dari Nashruddin dengan seorang murid (Sufi). Cerita
tersebut, katanya, serupa dengan sebuah delima. Buah ini
memiliki keindahan, gizi dan sari yang tersembunyi --
bijinya.
Seseorang mungkin tertarik secara emosional dengan bentuk
luarnya, tertawa mendengar sebuah lelucon, atau melihat
keindahan lahiriah tersebut. Tetapi hal ini hanya jika
delima tersebut diberikan kepada Anda. Semua hal yang
terserap adalah bentuk dan warnanya, mungkin aromanya,
bentuk lahir dan teksturnya.
"Anda bisa memakan buah delima dan merasakannya,
merasakan kebahagiaan yang jauh lebih dari sarinya. Delima
tersebut memberikan gizi kepada Anda, dan menjadi bagian
diri Anda. Anda bisa membuang biji-kerasnya -- atau
memecahkannya dan menemukan suatu inti yang lezat di
dalamnya. Inilah kedalaman yang tersembunyi itu. Ia memiliki
warna, ukuran, bentuk, sari, rasa dan fungsinya tersendiri.
Anda bisa mengumpulkan biji-bijiannya dan menjadikannya
sebagai minyak bakar. Meskipun biji arang tersebut tidak
lagi berguna, bagian yang bisa dimakan telah menjadi bagian
dari Anda."
Begitu seorang murid mencapai tingkat pandangan tertentu
terhadap kerja-kerja sejati dari wujud (eksistensi), maka ia
akan berhenti bertanya terhadap hal-hal yang sebelumnya
tampak sebagai hal-hal yang sangat relevan dengan
keseluruhan gambaran tersebut. Selain itu, ia bisa melihat
bahwa sebuah keadaan bisa diubah oleh peristiwa-peristiwa
yang tampaknya tidak memiliki relevansi dengannya. Cerita
tentang selimut menjelaskan hal ini:
Nashruddin dan istrinya pada suatu malam terbangun karena
mendengar dua orang bertikai di bawah jendela rumahnya.
Istrinya menyuruh Nashruddin ke luar untuk melihat apa
sesungguhnya yang terjadi. Ia menutupi bahunya dengan
selimut dan kemudian turun. Begitu mendekati ke dua orang
tersebut, salah seorang dari mereka merampas selimut
tersebut, kemudian mereka lari.
"Sayang, apa yang menyebabkan pertikaian itu?" tanya
istrinya ketika Nashruddin masuk rumah.
"Tentang selimutku. Begitu mereka mendapatkan selimutku,
mereka segera pergi."
Seorang tetangga pergi ke Nashruddin untuk meminjam
keledainya. "Keledaiku tidak ada, karena sedang dipinjam,"
kata Nashruddin.
Padahal pada saat itu keledai tersebut terdengar
meringkik dari dalam kandangnya.
"Tetapi aku bisa mendengar ringkikan keledai itu, di
sana."
"Siapa yang Anda percaya?" tanya Nashruddin, "aku atau
keledai?"
Pengalaman terhadap dimensi realitas ini memungkinkan
seorang Sufi menghindari rasa-keakuan dan penggunaan
mekanisme rasionalisasi -- suatu cara berpikir yang
memenjarakan satu bagian dari akal. Nashruddin yang
memainkan peranan sebagai seorang manusia tipikal untuk
sesaat, menggambarkan persoalan ini kepada kita semua:
Seorang penduduk desa datang kepada Nashruddin dan
berkata, "Sapi jantan Anda telah menanduk sapiku. Apakah aku
berhak memperoleh ganti rugi?"
"Tidak," ucap Mullah seketika, "sapi jantan itu tidak
bertanggung jawab atas insiden itu." "Maaf," kata penduduk
desa yang licik itu, "aku salah ucap. Yang kumaksudkan
adalah sapi Tuan yang ditanduk sapiku, tetapi bukankah
persoalannya sama saja?"
"Oh, tidak!" ucap Nashruddin, "Aku pikir lebih baik
memeriksa kitab fiqihku untuk melihat apakah ada contoh
hukum untuk masalah ini."
Karena semua bangunan pemikiran intelektual manusia
dinyatakan dalam hubungannya dengan penalaran eksternal,
maka Nashruddin sebagai guru Sufi berulang kali berupaya
mengungkapkan kesalahan anggapan umum itu. Upaya menuliskan
atau menuturkan pengalaman mistis itu sendiri tidak pernah
berhasil, sebab "mereka yang mengetahuinya tidak
memerlukannya, sedang mereka yang tidak mengetahuinya tidak
bisa meraihnya tanpa perantara." Dua cerita dari beberapa
yang penting seringkali digunakan dalam hubungannya dengan
ajaran Sufi untuk mempersiapkan pikiran terhadap
pengalaman-pengalaman di luar pola-pola kebiasaan yang
berlaku.
Pada cerita pertama, Nashruddin dikunjungi oleh seorang
calon murid. Orang tersebut, setelah mengalami berbagai
cobaan, sampai ke gubuk di lereng gunung di mana Nashruddin
sedang duduk. Karena mengetahui bahwa setiap gerak dari Sufi
yang telah tercerahkan (mukasyafah) memiliki makna,
maka pendatang baru tersebut menanyakan kepada Nashruddin
mengapa ia meniup tangannya. "Tentu saja untuk
menghangatkannya," jawab Nashruddin.
Setelah itu, Nashruddin mengambil dua mangkuk sup, dan
meniupnya, "Mengapa guru melakukan hal itu?" tanya si murid.
"Tentu saja untuk mendinginkannya," jawab si guru.
Sampai di sini si murid meninggalkan Nashruddin, karena
tidak lagi bisa mempercayai seorang yang menggunakan proses
yang sama untuk mencapai hasil yang berbeda -- panas dan
dingin.
Menguji sesuatu dengan cara yang diambil dari sesuatu itu
sendiri -- seperti menguji pikiran dengan pikiran itu
sendiri, menguji makhluk dengan cara pandang makhluk itu
sendiri, padahal ia adalah wujud yang belum berkembang --
tidak bisa dilakukan. Pembentukan teori berdasar pada
cara-cara subyektif semacam ini mungkin terasa baik untuk
jangka pendek, atau untuk tujuan-tujuan khusus. Akan tetapi
bagi Sufi, teori-teori semacam ini tidak mewakili kebenaran
suatu alternatif semata-mata hanya dalam bentuk kata-kata,
tetapi ia bisa mengkarikaturkan untuk mengungkapkan proses
itu. Ketika hal ini dilakukan, pintu terbuka untuk mencari
sistem alternatif dari hubungan fenomena tersebut.
"Setiap hari," ucap Nashruddin kepada istrinya, "aku
semakin kagum terhadap cara efisien dimana dengan cara
tersebut dunia ini diatur -- secara umum, untuk
kesejahteraan manusia."
"Apa sebenarnya yang kau maksudkan?"
"Contohnya seperti unta. Menurutmu, mengapa unta itu
tidak punya sayap?"
"Aku tidak tahu!"
"Coba bayangkan, seandainya unta punya sayap, mereka
mungkin bersarang di atas atap rumah dan merusak pekarangan
kita dengan berjalan mondar-mandir di atas atap dan
memuntahkan makanannya ke kita."
Peran guru Sufi ditekankan dalam ceritanya yang
termasyhur tentang ceramah. Cerita ini menggambarkan (di
antara hal-hal lainnya, sebagaimana pada semua cerita
Nashruddin) bahwa tidak ada permulaan bisa dilakukan pada
orang yang sama sekali tidak tahu. Tapi bagi mereka yang
mengetahui tidak perlu diajari. Akhirnya, jika terdapat
beberapa orang yang telah tercerahkan pada suatu komunitas,
maka seorang guru baru tidak diperlukan.
Nashruddin diundang untuk memberikan ceramah kepada
penduduk di desa tetangga. Ia naik mimbar dan mulai
berbicara. "Para hadirin! Apakah kalian mengetahui apa yang
akan kukatakan kepada kalian?"
Sebagian pendengar yang suka membuat kegaduhan, karena
berusaha untuk menghibur diri mereka sendiri, berteriak,
"Tidak!" "Jika demikian," ucap Nashruddin dengan tegas, "aku
akan berhenti mencoba mengajari masyarakat yang sama sekali
tidak mengerti semacam ini."
Minggu berikutnya, setelah memperoleh jaminan dari para
perusuh bahwa mereka tidak akan mengulangi ucapan mereka,
para sesepuh desa kembali meminta Nashruddin memberikan
ceramah kepada mereka.
"Para hadirin!" Ia mulai kembali, "Apakah kalian
mengetahui apa yang akan kukatakan?"
Sebagian pendengar, karena tidak tahu pasti bagaimana
harus bereaksi, sebab ia memandangi mereka dengan tajam,
berguman, "Ya, kami tahu."
"Jika demikian!" bentak Nashruddin, "aku tidak perlu lagi
berbicara panjang lebar." Ia pun meninggalkan ruangan
tersebut.
Pada kesempatan ketiga, ketika seorang utusan kembali
mengunjunginya dan memohon dengan sangat kepadanya untuk
berbicara sekali lagi, ia pun berbicara di depan majelis
tersebut.
"Para hadirin! Apakah kalian mengetahui apa yang akan
kukatakan?"
Karena tampaknya ia menuntut jawaban, para penduduk desa
itu pun berseru, "Sebagian dari kami mengetahui dan sebagian
tidak!"
"Jika demikian," ucap Nashruddin sebelum meninggalkan
tempat, "biarlah mereka yang mengerti memberitakan yang
tidak."
Dalam Sufisme seseorang tidak bisa memulai "laku/kerja"
pada suatu titik yang telah ditentukan. Guru
(mursyid) harus dibiarkan membimbing masing-masing
calon murid Sufi dengan caranya sendiri. Suatu ketika
Nashruddin didatangi seorang pemuda yang menanyakan
kepadanya, berapa lama harus dilewati sebelum ia menjadi
seorang Sufi.
Ia membawa pemuda tersebut ke desa. "Sebelum menjawab
pertanyaanmu, aku ingin mengajakmu pergi mengunjungi seorang
guru musik untuk mengetahui cara bermain seruling.
Di rumah musisi tersebut Nashruddin menanyakan
bayarannya.
"Tiga keping perak untuk bulan pertama. Setelah itu, satu
keping perak setiap bulan."
"Wah, banyak sekali!" kata Nashruddin, "aku akan kembali
sebulan lagi."
Indera keenam yang dicapai seorang Sufi, yang oleh para
teoritikus dianggap sebagai suatu indera yang mampu
mengetahui secara utuh terhadap seluruh pengetahuan
ketuhanan, sebenarnya tidaklah demikian. Sebagaimana
indera-indera lainnya, indera keenam mempunyai keterbatasan.
Fungsinya bukan untuk mengantarkan insan kamil mencapai
keutuhan kebijaksanaan (hikmah), tetapi untuk
memungkinkannya memenuhi suatu misi persepsi yang lebih
besar dan kehidupan yang lebih utuh. Ia tidak lagi mengalami
rasa ketidakpastian dan ketimpangan yang biasa dialami oleh
orang kebanyakan. Cerita tentang anak-anak laki-laki dan
pohon disajikan untuk menyampaikan makna ini:
Beberapa anak laki-laki ingin mengambil terompah
Nashruddin. Ketika ia lewat, anak-anak tersebut
mengerumuninya dan berkata, "Mullah, tidak seorang pun bisa
memanjat pohon ini."
"Tentu mereka bisa," ucap Nashruddin. "Aku akan
memperlihatkan kepada kalian bagaimana caranya, sehingga
kalian bisa mencontohnya."
Ia hampir saja meninggalkan terompahnya di bawah, tetapi
sesuatu mengingatkannya, dan ia pun menyelipkan terompah
tersebut di sabuknya sebelum memulai memanjatnya.
Anak-anak itu pun kecewa, "Untuk apa terompahnya dibawa?"
salah satu dari mereka berseru kepadanya.
"Sebab pohon ini belum pernah dipanjat, bagaimana aku
tahu bahwa di atas sana tidak ada jalan?" jawab Nashruddin
enteng.
Ketika seorang Sufi menggunakan intuisinya, ia tidak bisa
menjelaskan tindakannya secara nalar.
Indera keenam juga memberikan kepada pemilik
barakah cara-cara yang secara jelas untuk menciptakan
hal-hal tertentu bisa terjadi. Kemampuan ini sampai ke Sufi
melalui cara-cara di luar penalaran formal.
"Allah akan memberikan gantinya," ucap Nashruddin kepada
seorang laki-laki yang baru dirampok.
"Aku tidak melihat bagaimana hal itu bisa terjadi?" ucap
orang tersebut.
Tiba-tiba Nashruddin membawanya ke dalam masjid, dan
menyatakan kepadanya untuk berdiri di sudut. Kemudian Mullah
mulai meratap dan menangis, mengadu kepada Allah untuk
mengembalikan dua puluh keping perak milik orang tersebut.
Ia membuat keributan sedemikian rupa sehingga jamaah yang
ada di masjid itu mengumpulkan sumbangan dan menyerahkannya
kepada laki-laki tersebut.
"Anda mungkin tidak memahami cara yang berjalan dan
berlaku di dunia ini," ucap Nashruddin, "tetapi mungkin Anda
akan memahami apa yang telah terjadi di rumah Allah
ini."
Berpartisipasi dalam cara kerja realitas sangat berbeda
dari perluasan intelektual dari fakta yang diamati. Untuk
membuktikan hal ini, suatu ketika Nashruddin membawa sapi
tua ke sebuah lomba pacuan kuda. Lomba ini menerima semua
peserta dengan berbagai hewan yang berbeda.
Setiap orang tertawa, sebab sama-sama diketahui bahwa
seekor sapi tua tidak bisa berlari cepat.
"Omong kosong!" ucap Nashruddin, "secara pasti ia akan
berlari dengan cepat, jika ia diberi kesempatan. Mungkin
ketika ia masih berupa lembu muda, kalian melihatnya bisa
berlari cepat. Sekarang, meskipun ia tidak berlatih, tidak
punya kesempatan untuk berlari, ia telah tumbuh secara utuh.
Mengapa ia tidak bisa berlari lebih cepat lagi?"
Cerita tersebut juga menyerang kepercayaan bahwa hanya
karena sesuatu -- atau seseorang -- itu tua, maka secara
pasti lebih baik dari sesuatu yang muda. Sufisme sebagai
suatu aktivitas, sadar dan hidup tidak terikat dengan masa
lalu atau tradisi yang kaku. Setiap Sufi yang hidup pada
hari ini mewakili setiap Sufi yang telah hidup di masa lalu,
atau yang akan datang kemudian. Jumlah atau tingkatan
barakah yang sama tetap ada, dan tradisi kuno tidak
menambah nilai, yang tetap konstan.
Kedalaman lebih jauh dari cerita ini menunjukkan bahwa
murid (anak lembu) mungkin berkembang menjadi seseorang
dengan fungsi yang secara jelas berbeda (lembu tua) dari apa
yang diduga seseorang. Jarum jam tidak bisa diputar batik.
Mereka yang bersandar pada teori spekulatif (filsafat) tidak
akan bisa bersandar pada Sufisme.
Tidak adanya suatu fakultas intuitif pada manusia secara
umum mengakibatkan suatu situasi yang hampir tanpa harapan,
dan banyak cerita Nashruddin menekankan kenyataan ini.
Nashruddin memainkan peranan dari seorang darwis yang
tidak peka dalam cerita tentang sekantong beras. Suatu hari
ia tidak setuju dengan kepala biara di mana ia tinggal.
Sesaat kemudian, sekantong beras hilang. Kepala biara
memerintahkan setiap orang berbaris di halaman. Kemudian ia
mengatakan kepada mereka bahwa orang yang telah mencuri
beras tersebut pada jenggotnya terdapat beberapa biji beras
tersebut.
"Ini tipuan lama, agar pihak yang bersalah menyentuh
jenggotnya secara tidak sadar," pikir si pencuri asli, dan
ia pun tetap berdiri tegap. Di pihak lain, Nashruddin
berpikir, "Ketua biara ingin membalas dendam kepadaku. Ia
pastilah telah menyelipkan biji beras dijenggotku!" Ia
berusaha membuangnya secara diam-diam.
Ketika jari-jarinya menyisir jenggotnya, ia menyadari
bahwa setiap mata tertuju menatap kepadanya.
"Bagaimanapun aku tahu, cepat atau lambat ia pasti akan
menjebakku," ucap Nashruddin.
Apa yang oleh sebagian orang dipandang sebagai kebenaran,
seringkali sungguh-sungguh merupakan hasil dari kekhawatiran
dan imajinasi.
Semangat skeptisisme tentang persoalan-persoalan
metafisis bukan berarti hanya terbatas pada Barat. Di Timur,
merupakan hal yang biasa bagi orang untuk mengatakan bahwa
mereka merasa kepenganutan terhadap suatu madzhab mistis
akan menghilangkan otonomi mereka, atau sebaliknya akan
merampas sesuatu bagi mereka. Orang-orang semacam ini secara
umum diabaikan oleh para Sufi, sebab mereka belum mencapai
tahapan dimana mereka menyadari bahwa mereka telah menjadi
tawanan tirani yang jauh lebih buruk (yaitu dari
Pendosa-Tua) daripada apa pun yang bisa dirancangkan bagi
mereka di sebuah madrasah mistik. Meskipun demikian,
terdapat satu lelucon Nashruddin yang secara tegas
menunjukkan hal ini:
"Aku mendengar suara seorang gelandangan di ruang bawah,"
bisik istri Nashruddin kepadanya di suatu malam.
"Jangan bersuara!" jawab Nashruddin, "kita tidak memiliki
apa pun yang layak dicuri. Dengan sedikit keberuntungan,
mungkin ia justru akan meninggalkan sesuatu."
Nashruddin, sebagai gelandangan karena banyak rumah
kosong, selalu meninggalkan sesuatu -- jika si penghuni bisa
mengenalinya.
Dalam Sufisme, cara-cara praktis bagi pengajaran adalah
penting. Hal ini sebagian karena Sufisme merupakan suatu
upaya aktif; sebagian karena, meskipun orang-orang
menunaikan kebenaran sekadar penghormatan manakala dikatakan
kepada mereka, realitas kebenaran biasanya tidak jauh
memasuki fakultas diskursif mereka.
Nashruddin tengah menambal atap rumahnya ketika seseorang
memanggilnya untuk turun ke jalan. Ketika turun, ia bertanya
kepada orang tersebut tentang apa yang ia inginkan.
"Uang," jawabnya.
"Mengapa engkau tidak mengatakannya ketika memanggilku di
atas?" ucap Nashruddin.
"Aku malu untuk mengemis."
"Naiklah ke atas!" ucap Nashruddin.
Ketika mereka sampai di atap, Nashruddin mulai meletakkan
genteng-genteng itu kembali. Orang tersebut batuk-batuk, dan
Nashruddin, tanpa menoleh, lalu berkata, "Aku tidak punya
uang untukmu."
"Apa? Anda bisa mengatakannya tanpa harus membawaku ke
atas sini!"
"Lantas bagaimana engkau bisa membayarku karena telah
membawaku turun?!"
Sejumlah besar hal secara langsung bisa terlihat jelas
oleh Sufi, yang tidak bisa dicapai oleh orang kebanyakan.
Sebuah tamsil digunakan untuk menjelaskan sebagian tindakan
mengagumkan yang dilakukan Sufi, yang didasarkan pada
kekuatan supra-inderawi. Bagi Sufi, kekuatan-kekuatan ini
tidak lebih mengherankan dari indera-indera orang
kebanyakan. Hanya saja bagaimana cara kerjanya tidak bisa
digambarkan, tetapi sebuah analogi kasar bisa diberikan.
"Manusia dalam keadaan tertidur," ucap Nashruddin, ketika
ia dituduh tertidur di ruang pengadilan istana pada suatu
hari. "Keterjagaan manusia kebanyakan hampir tidak ada
gunanya bagi orang lain."
Sang raja marah.
Hari berikutnya, setelah menyantap makanan berat,
Nashruddin tertidur, dan sang raja memerintahkan agar ia
dibawa ke ruang terdekat. Ketika pengadilan istana akan
dibuka, Nashruddin yang masih mengantuk, kembali dibawa ke
ruang pendengar.
"Engkau kembali tertidur," ucap sang raja.
"Aku seperti dalam keadaan terjaga jika dibutuhkan."
"Baiklah jika demikian, ceritakan kepadaku apa yang
terjadi ketika engkau berada di luar ruangan." Untuk
menakjubkan setiap orang, Mullah mengulangi kisah yang
panjang dan rumit yang telah disampaikan oleh sang raja.
"Bagaimana Anda bisa melakukan Nashruddin?"
"Sederhana," ucap sang Mullah, "aku bisa mengatakan
berdasarkan ekspresi wajah raja bahwa ia akan menceritakan
kembali kisah lama tersebut. Itulah mengapa aku pergi tidur
selama cerita itu disampaikan."
|