|
GURU, PENGAJARAN DAN MURID
Engkau tidak
dapat melakukan sesuatu sendiri
carilah seorang Sahabat!
Jika engkau telah merasakan
sececap
kehambaran (kelemahanmu), maka engkau
akan
kecewa (pada dirimu sendiri).
(Nizhami, Treasury of
Mysteries)
Orang kerapkali berkata bahwa secara mental orang Timur
akan senantiasa mematuhi dengan setia ajaran-ajaran seorang
guru, mengikuti petunjuk-petunjuknya dengan bentuk kepatuhan
yang jarang ditemui di Barat. Bagi seseorang yang mempunyai
pengetahuan utuh tentang dunia Timur, generalisasi tersebut
merupakan kesalahpahaman orang Barat semata --bahwa
mentalitas semua negara-negara Timur itu relatif sama.
Secara umum apa yang bisa dikemukakan tentang sikap orang
Timur terhadap guru-guru spiritual mereka bahwa ada lebih
banyak pendidik di Timur dan ternyata mereka senantiasa
berbuat kebajikan.
Hampir setiap orang dibesarkan dengan suatu kepercayaan
diri yang menjadi dasar pemikirannya. Pemikiran untuk
menerima bimbingan itu dibingungkan dengan hilangnya
kebebasan karena suatu kelemahan yang lazim dalam menalar
secara benar. Kebanyakan orang --baik di Timur maupun di
Barat-- tidak menyadari bahwa menyerahkan diri ke haribaan
seorang guru sama sekali tidak akan menyebabkan kehilangan
jati diri. Sebenarnya mereka tidak konsisten, di satu sisi
mereka percaya penuh kepada seorang ahli bedah yang memotong
usus buntunya karena mereka memang buta tentang ilmu bedah,
namun di sisi lain mereka menolak pengetahuan superior atau
pengalaman guru dalam suatu bidang yang sebenarnya tidak
mereka pahami.
Karena para guru Sufi tidak menyebarkan ajarannya atau
berusaha mencari pengikut, maka kita hanya dapat mendekati
melalui pernyataan-pernyataan para Sufi yang telah matang
(pengetahuannya) dan umumnya bukan pernyataan guru mereka
sendiri. "Engkau menemui pendeta karena telah menjadi
kebiasaan atau percaya kepadanya," kata seorang Sufi,
"dan karena ia mengetahui dengan pasti dalam memecahkan
masalah-masalah tertentu. Engkau pergi ke dokter karena
engkau menderita penyakit parah yang membutuhkan
pertolongannya. Engkau seringkali mengunjungi para
'penyihir' karena mengalami kerapuhan batin;
Engkau mengunjungi pembuat pedang untuk mendapatkan kekuatan
lahiriah; engkau mengunjungi pembuat sepatu karena telah
mengenal hasil karyanya dan ingin membelinya. Janganlah
engkau mengunjungi orang Sufi apabila hanya mencari
keuntungan, jika engkau mencoba membantahnya, ia akan
mengusirmu."
Sufi percaya bahwa daya tarik seorang guru Sufi pada
dasarnya berasal dari pengetahuan intuitifnya, adapun
alasan-alasan yang diberikan calon Sufi tidaklah penting,
hanya semacam rasionalisasi. Seorang Sufi berkata, "Aku
mengenal guru sebagai manusia yang agung dan baik sebelum
bertemu dengannya. Namun setelah ia memberikan penerangan
kepadaku, baru aku menyadari keagungan dan kebaikannya
ternyata jauh lebih agung dan jauh di luar kemampuan
pemahamanku semula."
Kebebasan dan keterikatan itu cenderung merupakan
perasaan subyektif dalam diri setiap orang. Seorang Sufi
berkata, "Guruku telah membebaskanku dari kungkungan.
Kungkungan yang sebelumnya aku kira kebebasan itu ternyata
sebuah lingkaran setan."
Menangguhkan sepenuhnya rasa percaya diri atas suatu
bidang yang sebenarnya bukan kegiatannya, digambarkan dalam
sepenggal otobiografi Sufi berikut ini: "Semula aku
bertekad harus menempuh Jalan mistik sendiri, dan berjuang
untuk itu, tapi kemudian sebuah suara berkata, 'Engkau
harus pergi menemui seorang pencari jejak yang akan
menunjukkan jalan dalam menjelajahi hutan belantara atau
engkau lebih suka mencari jalanmu sendiri dan binasa dalam
pencarianmu itu'?"1
Kendati kecakapan-kecakapan Sufi mungkin berkembang
secara spontan, namun kepribadian seorang Sufi tidak bisa
matang dengan sendirinya, karena sang Pencari tidak
mengetahui secara pasti jalan mana yang mesti ditempuh dan
pengalaman-pengalaman apa yang akan dilaluinya. Ia masih
berada dalam tahap rawan kerapuhan pribadi yang
mempengaruhinya dan (membutuhkan) seorang guru yang
"membimbing"-nya. Maka dari itu, Syekh Abu
al-Hasan Saliba menyatakan, "Lebih baik seorang murid
diawasi seperti seekor kucing ketimbang di bawah pengawasan
dirinya sendiri." Gerak hati seekor kucing beragam dan
tak terkontrol, demikian pula gerak hati para calon Sufi
pada tahap awal.
Perumpamaan antara manusia yang tidak bisa bangkit
kembali ini dengan binatang, kendati dirinya dianugerahi
kecakapan-kecakapan namun belum mampu memanfaatkannya
sendiri, kerapkali digunakan dalam pengajaran Sufi:
"Semakin manusia bersifat seperti binatang, semakin
kurang pemahamannya atas pengajaran. Baginya, seorang
Pembimbing mungkin tak ubahnya seperti pemburu yang
menggiringnya ke dalam sangkar. Aku pun dulu begitu,'
kata Aali-Pir." "Seekor elang liar berpikir bahwa
apabila tertangkap, sebagaimana senantiasa perkiraannya,
maka ia akan diperbudak. Ia tidak menyadari bahwa sang tuan
akan memberikannya sebuah kehidupan yang lebih lapang.
Dengan bertengger secara leluasa di pergelangan tangan sang
Raja, ia tidak akan pernah lagi memikirkan kelezatan makanan
dan merasa takut. Satu-satunya perbedaan antara manusia dan
binatang di sini adalah bahwa binatang takut pada setiap
orang. Sementara itu manusia juga mengklaim bahwa dirinya
mampu menilai kehandalan guru. Apa yang sebenarnya sedang
dilakukannya adalah membangkitkan intuisi dan
kecenderungannya untuk menyerahkan diri kepada salah seorang
yang mengetahui Jalan itu".
Lebih dari itu, interaksi antara guru dan murid hampir
tidak mungkin timbul tanpa peran guru. Bentuk ungkapan,
tindakan dan kerjasama Sufi membutuhkan tiga hal: guru,
pelajar, komunitas atau sekolah. Dalam pernyataannya, Rumi
mengacu pada kegiatan yang kompleks berikut ini:
Ilm-amozi tariqish qawli
ast
Hazfa-amozi tariqissh fa'li
ast
Faqr-amozi az sohbat qalm ast.
Ilmu pengetahuan dipelajari melalui
kata-kata;
Seni dipelajari dengan berlatih;
Hidup Fakir dipelajari melalui
persahabatan.
Lantaran cara belajar itu sendiri harus benar-benar
dikuasai, maka pada bagian lain Rumi berkata, "Sebuah
batu dalam pandangan orang biasa sesungguhnya sebuah mutiara
bagi orang yang mengetahuinya."
Fungsi seorang guru adalah membuka pikiran murid,
sehingga memungkinkannya mengetahui nasibnya. Agar dapat
melakukan ini, orang harus menyadari seberapa jauh
pemikirannya dikuasai praduga-praduga. Pada tahap ini,
memahami keadaan tersebut secara benar adalah tidak mungkin,
maka dari itu ia harus siap memasuki organisasi manusia yang
melatihnya untuk berpikir menurut garis-garis tertentu,
"Bukalah pintu pikiranmu terhadap obyek pemahaman yang
diabaikan, karena engkau miskin sedangkan ia kaya."
(Rumi).
Dengan demikian, Sufisme dapat dipahami sebagai suatu
perjuangan melawan penggunaan kata-kata untuk membangun
pola-pola pemikiran, dengan jalan menawan manusia pada suatu
tingkat kehidupan yang tak lazim, atau upaya menjaga ummat
manusia dari pergeseran nilai-nilai yang mendasar.
Seorang Sufi pernah ditanya, mengapa para Sufi
menggunakan kata-kata dalam pengertian yang khas, yang
mungkin dilepaskan dari konteks maknanya yang lazim. Ia
menjawab, "Sebaiknya engkau renungkan, mengapa
orang-orang menderita karena tirani kata-kata, dilumpuhkan
oleh adat-istiadat sampai mereka laksana menjadi kaki
tangannya belaka."
Hubungan antara guru dan murid dalam Sufisme hanya dapat
dipahami melalui sistem pengajarannya. Di satu sisi ajaran
Sufi berada di luar konsep ruang dan waktu. Hal ini sesuai
dengan unsur dasar dalam Sufisme, bahwa guru dan murid
mempunyai status yang sama. Di sisi lain ajaran Sufi
meliputi semua aspek kesadaran manusia yang terdiri dari
pengalaman, kehidupan dan konsep benda-benda. Suatu bentuk
interaksi yang khas menimbulkan suatu transformasi. Maka
dari itu, hubungan tersebut pada dasarnya jauh melampaui
ruang lingkup belajar mengajar formal. Guru Sufi lebih dari
sekadar orang yang menyampaikan pengetahuan formal; lebih
dari sekadar orang yang mengadakan hubungan harmonis dengan
siswa, lebih dari sekadar sebuah mesin yang memberikan
sejumlah informasi tentang barang-barang yang tersedia dalam
gudang perbekalan. Ia mengajarkan lebih dari sekadar sebuah
metode pemikiran atau suatu sikap hidup; lebih dari sekadar
suatu kemampuan untuk mengembangkan diri.
Seorang profesor dari Ceko, Erich Heller menyinggung
masalah kajian sastra itu dan khususnya metode pengajarannya
dalam kata pengantarnya untuk sebuah buku sastra yang segera
menjadi buku pengajaran klasik pada pertengahan abad kedua
puluh. Ia menulis bahwa "guru terlibat dalam suatu
tugas yang tampaknya tidak mungkin diamati melalui
standar-standar penelitian laboratorium --mengajar materi
yang sebenarnya tidak dapat diajarkan, namun hanya dapat
'ditangkap', seperti nafsu, keburukan atau
kebajikan." (The Disinherited Mind, London, 1952).
Tugas guru Sufi bahkan lebih kompleks dari guru sastra
tersebut. Namun berbeda dengan guru sastra, ia tidak
mempunyai tugas mengajar dalam pengertian biasa. Tugasnya
adalah menjadi, menjadi diri sendiri; dan tujuan
pengajarannya justru terpantul dari proses menjadi itu
sendiri. Dengan demikian, tidak ada pemilahan antara ruang
publik dan ruang pribadi dalam kehidupan seorang guru Sufi.
Guru yang membedakan perilakunya di kelas dan di rumah,
bersikap seperti kalangan profesional atau seperti perawat
orang sakit bukanlah seorang Sufi. Maka dari itu,
konsistensi tersebut melibatkan dirinya secara utuh.
Perilaku lahiriahnya mungkin kelihatan berubah-ubah, namun
personalitas batinnya tetap tunggal.
Pengajar yang hanya menyentuh bagian luar tugas tersebut
tidak dapat menjadi guru Sufi. Laki-laki ataupun perempuan
dengan penampilan resmi yang menguasai pikirannya sehingga
ia kehilangan arah karena terpesona oleh personalitas
temporer itu, tidak dapat menjadi guru Sufi. Orang tidak
harus berkepribadian sematang Walter Mitty, tokoh ciptaan
James Thurber, untuk mengalami "keterlibatan" diri
(secara sosial), suatu keadaan yang mungkin hanya merupakan
sebuah tahap awal kesadaran Sufi. Jadi, mengajar tidak
mungkin dilakukan seseorang yang mudah terpengaruh
keadaan-keadaan yang bersifat sementara.
Namun memang tidak bisa dipungkiri bahwa orang biasa
mempunyai personalitas labil yang secara sosial terbiasa
"memainkan sebuah peran". Dalam suatu skala
prosedur standar lembaga-lembaga sosial pada umumnya, ada
suatu penangguhan personalitas tiruan atau berubah-ubah itu.
Penangguhan itu sendiri bukanlah suatu keburukan, tak pelak
lagi dari sudut pandang Sufi ia merupakan suatu indikasi
ketidakmatangan.
Keutuhan personalitas batiniah guru Sufi, meski
diungkapkan melalui aneka ragam cara, tidak berarti serupa
dengan personalitas lahiriah yang sangat diutamakan kalangan
literalis. Pribadi yang dingin, personalitas yang kaku, guru
yang menyendiri atau personalitas yang takjub diri dan
"orang yang sama sekali tak lentur" tidak dapat
menjadi seorang guru Sufi. Pertapa yang memisahkan diri dari
masalah duniawi, dan dengan demikian dirinya sendiri
merupakan suatu inkarnasi eksternal serta bagi kalangan
pengamat kelihatan tidak memihak, bukanlah seorang guru
Sufi. Alasan tersebut sama sekali tidak dibuat-buat. Namun
alasan yang statis itu menjadi tidak berguna dalam
pengertian organis. Selama bisa dibuktikan, seseorang yang
senantiasa bersikap dingin dan tenang, tentu tidak merasa
kesulitan untuk menjalankan fungsi tersebut, yaitu kegiatan
mengasingkan diri. Ia "tidak pernah melakukan
agitasi", dan dengan menarik diri dari salah satu
fungsi organik maupun kehidupan mental, maka ia telah
mempersempit ruang gerak kegiatannya. Suatu disiplin yang
terlampau ketat senantiasa menjadi batas-batas yang
kaku.
Bagi Sufi sendiri, pengasingan itu hanya sebagian
perubahan dinamis. Sufisme berjalan dengan berbagai cara.
Pengasingan diri secara intelektual hanya berguna apabila
memungkinkan si pelaku melakukan sesuatu yang membawa
manfaat. Dengan sendirinya, ia tidak mungkin berakhir dalam
mata rantai sistem realisasi diri manusia.
Tentu saja, dalam sistem metafisika parsial atau
diterlantarkan itu, tujuan tersebut tidak lagi menjadi
sebuah tujuan. Maksud pengasingan atau ketidakberpihakan,
ataupun kelunakan (yang merupakan unsur dasar dari suatu
pengembangan pribadi) dianggap begitu aneh, atau diperlukan
ala kadarnya dan sangat sulit dicapai, sehingga orang
"enggan" melakukannya.
Suatu pengembangan pribadi lebih lanjut yang
dirasionalisasi itu bertujuan untuk membuktikan bahwa
pengasingan, asketisme atau bentuk pengembangan lainnya,
mempunyai suatu tujuan yang sublim atau tak terbatas.
"Si Fulan telah mencapai tingkat pengasingan diri
secara sempurna, walhasil ia benar-benar tercerahkan."
Pada umumnya pencapaian tersebut menjadi legenda. Tentu saja
orang itu tidak mengikuti orang lain, meskipun kelihatannya
demikian. Di Eropa Barat Anda akan mendengar pernyataan
orang bijak lainnya, "Orang itu pribadinya mengagumkan;
ia dapat mengendalikan gerak hatinya. Aku selalu menemuinya
untuk meminta nasihat tentang masalah-masalah pribadi."
Apabila dikatakan kepada orang bijak itu, "Orang itu
mengagumkan, ia dapat menulis sembilan puluh kata dalam
semenit --utarakan masalahmu kepadanya," maka reaksinya
tentu akan marah.
Dalam bidang metafisika yang memberinya kemampuan untuk
menyangsikan ketulusan, seseorang hanya bisa mengajar apa
yang benar-benar dipercaya sebagai kebenaran. Apabila ia
mengajar Anda dengan cara membimbing Anda sehingga Anda
dapat mencapai ideal mistik tertentu, maka pertama kali ia
harus membawa Anda pada beberapa tingkat keyakinan yang
telah dicapainya melalui metode tersebut. Inilah yang
disebut afirmasi positif, yang bisa diterima atau disanggah.
Metode pengajaran Sufi mencakup suatu bidang yang lebih luas
lagi. Dengan menggambarkan titik perhatian dari sudut
pandang yang tidak konvensional dan mempraktikkan suatu
kegiatan kolektif yang disebut Sufisme, guru Sufi berupaya
menyediakan materi-materi yang dapat mengembangkan kesadaran
murid. Seperti dinyatakan Sir Richard Burton, prosedur
pengajarannya mungkin kelihatan destruktif, namun
"sebenarnya rekonstruktif". Rumi mengacu pada
faktor tersebut ketika ia membicarakan tentang pembongkaran
sebuah rumah untuk menemukan sebuah benda berharga. Tentu
saja orang tidak menginginkan rumahnya dibongkar, meskipun
berlian yang ada di dalamnya lebih besar manfaatnya bagi
dirinya ketimbang bangunan (sebagai ilustrasi kita dapat
mengajukan anggapan) yang sebenarnya tidak disayanginya.
"Berlian itu," lanjut Rumi, "ditemukan dengan
membongkar rumah." Bukan masalah apabila terpaksa
memecahkan telur untuk membuat telur dadar, karena telur
tidak memecah dengan sendirinya untuk bisa menjadi sebuah
telur dadar.
Lebih dari itu, guru Sufi yang berperan sebagai
"pembimbing, filosuf dan Sahabat itu mungkin tampil
dengan berbagai fungsi. Sebagai seorang pembimbing ia
menunjukkan Jalan --namun sang calon Sufi harus menempuh
sendiri jalan tersebut. Sebagai seorang filosuf, ia
mencintai kebijaksanaan, dalam pengertian yang murni dari
istilah tersebut. Akan tetapi cinta baginya mengimplikasikan
perbuatan, bukan semata kesenangan ataupun patah hati karena
cinta yang bertepuk sebelah tangan. Sebagai seorang teman ia
adalah sahabat dan penasihat, memberikan perlindungan dan
suatu sudut pandang sebagai hasil dari persepsinya terhadap
kebutuhan-kebutuhan lain.
Guru Sufi merupakan mata rantai antara murid dan tujuan
pengajaran. Ia mewujudkan dan menyimbolisasikan baik
"pekerjaan" itu sendiri dan dirinya sebagai sebuah
hasil, maupun keseimbangan sistem, yaitu "rantai
transmisi". Seperti seorang perwira yang
menyimbolisasikan untuk tujuan-tujuan praktis, Keadaan serta
tujuan-tujuan bagi seorang prajurit, demikian pula sang
Sufi, ia menyimbolisasikan thariqat sebagai entitas Sufi
yang utuh.
Guru Sufi bukanlah sosok menggemparkan yang menarik
jutaan pengikut dan yang kemasyhurannya tersebar ke seluruh
penjuru dunia. Tingkat iluminasinya hanya kelihatan
seperiuhnya bagi orang yang tercerahkan. Seperti sebuah
radio yang menerima sinyal-sinyal gelombang suara, manusia
hanya dapat merasakan kualitas-kualitas fisik dan metafisis
yang berada dalam jangkauannya. Maka dari itu, orang (baik
laki-laki ataupun perempuan) yang kagum dan terkesan oleh
kepribadian seorang guru, meskipun telah tersadarkan
(mencapai marifat tertentu), tidak akan mampu menerima dan
mempergunakan pengaruh sang guru. Sumbu peledak mungkin saja
tidak meledak, namun elemennya mendatangkan pijar yang
merusak. "Sebuah pisau rumput tidak dapat membelah
gunung. Seandainya matahari yang menyinari bumi dapat
ditarik lebih dekat, bumi ini akan ditelannya." (Rumi,
Matsnawi, Buku I, versi Whinfield). Manusia yang
kesadarannya berkembang itu hanya dapat memandang sekilas
tingkat-tingkat kualitas di atasnya. Tak ayal lagi, bahkan
melalui analogi fisik, pada umumnya orang tidak dapat
menangkap kualitas-kualitas yang sebenarnya dari sang guru
yang bijaksana, yaitu manusia yang telah mencapai tingkat
perkembangan (kesadaran) keempat, manakala ia masih berada
pada tingkat (kesadaran) pertama atau kedua.
Untuk itu, para Sufi memberikan perumpamaan: seberkas
cahaya lebih bermanfaat bagi kelelawar. Adapun kilauan
cahaya matahari tidak bermanfaat baginya, sekalipun mungkin
ia mabuk olehnya.
Apa yang disebut bebas atau rasional itu, ketika
mendekati masalah-masalah. keguruan, senantiasa mengutarakan
asumsi-asumsi yang sangat mengagumkan. Seorang yang berkata,
"Aku akan mengikuti seseorang yang meyakinkan diriku
bahwa ia memang manusia sejati," maksud perkataannya
sebenarnya seperti orang yang masih tak beradab yang
berkata, "Apabila seseorang mampu memperlihatkan
kekuatan-kekuatan yang asing kepadaku atau kekuatan yang
mampu mengatasi beban nasibku, maka aku bersedia
mematuhinya." Seperti seseorang yang berkepentingan
dengan si dukun dari Jerman yang mampu mendatangkan nyala
api magnesium "yang menakjubkan" itu, namun hal
itu sedikit manfaatnya bagi dirinya sendiri. Bahkan bagi
Sufi, alasannya itu tidak bermanfaat, karena dengan demikian
ia masih belum siap menerima kebenaran. Betapapun siapnya,
ia mungkin akan kebingungan. Ia harus mempunyai kemampuan
intuitif untuk mengenali kebenaran.
Seorang laki-laki datang kepada Libnani, seorang guru
Sufi, ketika saya sedang duduk dengannya, dan terjadilah
dialog berikut ini:
Si penanya, "Aku ingin belajar, sudikah Anda
mengajariku?"
Libnani, "Aku rasa Anda belum tahu bagaimana caranya
belajar."
Si penanya, "Dapatkah Anda mengajariku bagaimana
cara belajar itu?"
Libnani, "Dapatkah Anda belajar membiarkanku untuk
mengajar?"
Guru sangat banyak ragamnya didalam Sufisme, sebagian
karena mereka menganggap dirinya sebagai bagian dari proses
organis. Ini berarti bahwa pengaruh mereka atas kemanusiaan
mungkin terjadi tanpa menyadari peran dalam hubungan antara
sesama manusia. Sebagai contoh, seorang Sufi Abad
Pertengahan senantiasa berkelana dengan pakaian penuh
tambalan dan mengajar dengan tanda-tanda, mungkin tanpa
berceramah, mungkin pula dengan mengucapkan kata-kata sandi.
Ia telah membangun sekolah non-formal sendiri, namun dengan
keyakinan bahwa pesan kesufiannya terkomunikasikan kepada
orangorang di negeri-negeri yang dilaluinya. Sosok yang aneh
ini dikenal telah menjalankan kegiatannya di Spanyol dan
negara Eropa lainnya. Secara kebetulan, nama yang diberikan
kepada guru "diam" yang berpenampilan aneh itu
adalah akhlaq (jamak akhlaqin, dilafalkan dengan suara tekak
"r" dan di Eropa dilafalkan dengan "q"
seperti arlakeen, arlequin). Ini adalah sebuah permainan
kata dalam bahasa Arab untuk memaksudkan "pintu
agung" dan "cara berbicara yang penuh
rahasia". Agak diragukan bahwa cara mengajarnya kepada
orang-orang yang belum tahu itu diabadikan di Harlequin.
Seorang Bijak Sufi mungkin mengenakan pakaian yang penuh
tambalan atau pakaian biasa. Ia mungkin muda atau tua.
Hujwiri menceritakan sebuah pertemuan dengan seorang guru
Sufi yang masih muda. Seorang laki-laki yang ingin belajar
tentang Sufisme datang menemui pemuda itu yang berpakaian
layaknya seorang guru Sufi, namun di sampingnya ada sebuah
botol tinta. Orang itu berpikir bahwa hal ini tidak lazim,
sebab para Sufi tidaklah ahli dalam menulis. Ia mendekati
"penyamar" yang berperan sebagai seorang penulis
dengan mengenakan pakaian penuh tambalan agar terkesan
sebagai Sufi. Lalu ia bertanya tentang Sufisme kepadanya.
"Sufisme," jawab pemuda itu, "bukan berpikir
bahwa karena seseorang membawa sebuah botol tinta, ia bukan
seorang Sufi."
Meskipun seorang Sufi telah mencapai pencerahan (batin)
baik dalam tempo yang singkat atau lama, namun ia tidak
dapat mengajar sebelum menerima Ijazah (untuk menerima
murid) dari pembimbingnya sendiri dan tidak semua materi
Sufisme harus diajarkan. Tafsir esoteris atas hal ini
tersimpul dalam sebuah lelucon berikut ini:
Nim-hakim khatrai
jan
Nim-mulla khatrai iman.
Tabib yang tanggung berbahaya bagi
kehidupan;
Ulama yang tanggung berbahaya bagi
keimanan.
Menurut pengertian tersebut, Sufi yang tanggung mungkin
saja seseorang yang tidak perlu lagi menjadi murid, namun
harus tetap melanjutkan jalan panjang dalam mencapai tujuan
akhir. Selagi ia masih disibukkan untuk mengembangkan diri,
ia tidak dapat menjadi guru Sufi.
Guru Sufi adalah orang bijak (arif), pembimbing
(mursyid), sesepuh (pir) atau Syekh (pemimpin, ketua).
Banyak julukan-julukan lain yang digunakan sesuai dengan
perbedaan pengertian yang mendenotasikan karakter sebenarnya
dari hubungan antara kelompok Sufi dan guru mereka.
Ada tiga jalur yang dapat ditunjukkan guru Sufi kepada
calon pengikut. Dalam sistem pengajaran Sufi pada umumnya,
pemula menjalani suatu masa percobaan selama seribu satu
hari, dalam rangka menilai dan meningkatkan kemampuannya
menyerap instruksi. Apabila ia tidak dapat menyelesaikan
periode ini (yang mungkin bersifat perkiraan dan masih ada
periode selanjutnya), maka ia seharusnya meninggalkan
halaman sekolah (madrasah). Jalur kedua adalah guru Sufi
menerima langsung calon murid tanpa menyuruhnya menghadiri
majelis-majelis umum di kelompok atau lingkaran
(halaqah atau dairah) Sufi dan memberinya
latihan-latihan khusus yang dijalankan bersamanya dan secara
mandiri. Jalur ketiga, setelah menilai kemampuan-kemampuan
murid, guru Sufi menerimanya secara formal namun mengirimnya
ke guru lain yang secara lebih langsung bermanfaat baginya.
Hanya para guru dari madzhab-madzhab tertentu yang
menerapkan seluruh latihan-latihan yang mungkin diberikan
guru Sufi --pada umumnya madzhab-madzhab Asia Tengah dan
cabang Tarekat Naqsyabandiyah, yaitu Azhimiyah yang
menggabungkan beberapa metode pengajaran dengan suatu
prosedur yang saling melengkapi.
Guru-guru Sufi yang terakhir ini mempunyai suatu metode
gabungan yang dipusatkan dalam kelompok kebatinan mereka,
secara teknis disebut markaz, "pusat putaran, pusat
sebuah lingkaran, markas besar". Sebuah sidang para
Sufi yang menyerupai latihan-latihan dapat disebut sebagai
sebuah markaz; kalaupun kegiatan tersebut tidak
dikelompokkan sebagai latihan, maka dapat disebut sebagai
sebuah majelis.
Semua ajaran Sufi diberikan dengan menggunakan kata-kata
kiasan, bergantung seberapa banyak dan pada tingkat mana
seseorang dapat memahaminya. Ada maksud-maksud tersembunyi
dalam sastra Sufi untuk pengajaran yang kadangkala
diterjemahkan secara literal. Sebagai contoh, Rumi
menyatakan, "Pekerja tersembunyi di ruang kerja."
Pada umumnya, metode ini bertujuan untuk menerangkan
imanensi Tuhan. Dari sudut pandang sistem pengajaran Sufi
pada umumnya, metode ini bertujuan untuk menyampaikan
kebenaran yang obyektif Ini berarti bahwa setiap
interprestasi dapat dibenarkan. Bagaimanapun, sepanjang
metode tersebut diterapkan untuk pengajaran, maka pemandu
Sufi merupakan sebuah bagian dari "pekerjaan" itu
seperti halnya guru Sufi --maksudnya sebagai proses
menyeluruh, yaitu guru, pengajaran dan murid adalah sebuah
fenomena tunggal.
Maka konsekuensi implisitnya, pengajaran tidak dapat
dikaji secara terpisah dimana para Sufi dipertimbangkan
sebagai suatu fakta utama dari pembaiatan Sufi yang paling
penting. Calon murid Sufi mungkin tidak mampu atau berbias
dalam memahaminya; kecuali yang telah memahaminya dengan
baik, ia sama sekali tidak mungkin menjadi seorang Sufi.
Maka dari itu, fungsi dan karakter guru Sufi senantiasa
dibiarkan berkembang menurut daya pemahamannya dengan
menggunakan beberapa materi yang telah diuraikan di atas,
disertai dengan praktik aktual Sufisme.
Profesor A. J. Arberry dari Cambridge University, setelah
mendekati Sufisme dengan simpatik dan dari sudut pandang
akademis, menunjukkan kesulitan-kesulitan yang pasti
dihadapi para pengamat atau intelektual, yaitu
"kesamaran suatu doktrin yang pada umumnya didasarkan
pada pengalaman-pengalaman menurut sifat dasarnya paling
lanjut yang tak dapat
dipahami."2
Suatu hari, saya menyaksikan seorang Syekh Sufi di Timur
Dekat ditanya seorang murid asing okultis yang putus asa
untuk mengetahui cara mengenal seorang guru Sufi, dan apakah
para Sufi mempunyai legenda Messianis yang mempunyai
kemampuan seperti seorang pembimbing yang mengembalikan
orang kepada kesadaran metafisis. "Engkau sendiri
ditakdirkan untuk menjadi seorang pemimpin seperti
itu," kata Syekh itu, "dan tasawuf akan menjadi
sangat penting dalam hidupmu. Teguhkanlah imanmu!"
Kemudian Syekh itu kembali ke para pengikutnya dan berkata,
"Demikianlah masalahnya ia bertandang ke mari. Apakah
kalian tidak memahami seorang bocah, seorang yang masih
lugu, atau berkata terus terang kepada seorang fanatik bahwa
ia gila? Itu bukan cara kita mendidik, ketika seseorang
bertanya, 'Bagaimana jas baruku ini?' Kita tidak
boleh menjawab, 'Ah jelek sekali,' kecuali kalau
kalian berusaha memberinya jas yang lebih baik atau
mengajarinya cara berpakaian yang lebih baik. Sementara
orang memang sulit untuk diajari."
Rumi berkata, "Engkau tidak bisa mengajar dengan
perasaan tidak suka."
Catatan:
1 Lihat anotasi
"Masalah
Irasionalitas."
2 Arberry, Tales from the
Masnavi, London, 1961, hlm. 19.
|