|
Berkelana Menebar Rahmat
Sumber Hidayatullah.com
Tanggal Oktober 1999/Jumadil Akhir-Rajab 1420
Tanpa banyak bicara, anggota Jamaah Tabligh berkelana ke
berbagai penjuru Nusantara. Hanya satu tujuannya, mengajak
ke jalan Allah.
Masjid tua Kebon Jeruk, Jakarta Selatan itu seperti tidak
pernah mati. Ia selalu hidup dengan kegiatan-kegiatan
keagamaan. Apalagi setiap hari Kamis, sekitar 2000 laki-laki
berkumpul di masjid yang didirikan tahun l718 oleh seorang
ulama dari negeri Cina ini. Mereka dengan khusyuk mengikuti
ceramah yang disampaikan seorang ustadz. Ada yang berpakaian
takwa (koko) warna-warni dan berkopiah haji putih. Ada pula
yang berpakaian gamis --baju panjang yang biasa dipakai
orang Arab. Tak sedikit di antara mereka yang memanjangkan
jenggot dan mencukur kumis. Tapi mereka penuh dengan senyum
dan menyapa akrab setiap orang.
Mereka adalah anggota Jamaah Tabligh (JT) yang datang
tidak hanya dari Jakarta. Melainkan juga dari Jawa Barat,
Jawa Timur dan daerah lain di Indonesia. Bahkan ada pula
yang dari India, Pakistan, Malaysia dan Thailand. Umumnya
mereka membawa tas-tas besar berisi pakaian dan perbekalan
lainnya.
Pengajian yang dimulai usai shalat ashar berjamaah itu
disebut takrir, yang berisi soal-soal agama yang muncul
selama khuruj (dakwah keluar). Dan juga diadakan evaluasi
selama di lapangan, kemudian mendiskusikannya bersama-sama.
Usai shalat maghrib, seorang ustadz berdiri di mimbar, dan
berkhutbah tentang pentingnya amal shalih bagi setiap
Muslim. Bila sang ustadz mengutip hadist atau ayat Al Qur'an
berupa ancaman, serempak jamaah berucap istighfaaar
"astaghfirullahaladzzim." Jika yang dikutip berupa kebesaran
Allah serempak jamaah menyahut dengan tasbih "subhanallah."
Usai khutbah ada tasykil, tawaran khuruj secara
berombongan. Lamanya dakwah berfariasai mulai 3 hari, 7
hari, 10 hari, 40 hari sampai 4 bulan. "Ayo saudara-saudara
kita dakwah, masya Allah, masya Allah. Allah yang akan
menjaga anak, istri, keluarga atau harta kita," katanya.
Banyak jamaah antusias menerima ajakan itu. Mereka lalu
didaftar dan diseleksi oleh Ahli Syura. Hanya yang memenuhi
syarat yang bisa khuruj.
Rangkaian ibadah itu ditutup dengan shalat isya'
berjamaah. Setelah itu jamaah mengisi waktu istirahat dengan
berbagai cara. Ada yang berdiskusi dengan kelompoknya
tentang persiapan keluar esok harinya atau bertukar
pengalaman dengan peserta dari kelompok lain. Ada juga yang
tidur-tiduran atau makam malam. Uniknya, makannya memakai
tempayan. Satu tempayan dikepung 4-5 orang.
Tengah malam mereka bangun melaksanakan shalat tahajut.
Setelah shalat subuh diadakan ceramah kembali hingga
matahari terbit. Setelah usai barulah mereka siap-siap untuk
khuruj sesuai tujuan masing-masing kelompok. Pelepasan
mereka dilakukan oleh Ahli Syura yang terdiri dari tujuh
orang: H Ahmad Zulfaqar, H Cecep Firdaus, Muhammad
Muslihuddin, Dr AA Noor, Syamsuddin Abdullah, Ir. Aminuddin
Noor, dan M Sani Ilyas.
Begitu sampai di tempat sasaran dakwah, mereka menyebar,
keluar masuk kampung, pasar, dan warung-warung, sambil tetap
berzikir kepada Allah.
Dengan tenang mereka mengajak orang untuk mendengarkan
ceramahnya. Usai ceramah, orang-orang itu diajari cara
berwudlu, tata cara shalat, dan membaca Al Fatihah serta
ayat-ayat Al Qur,an lainnya. Sebelum tugas dakwah selesai,
anggota jamaah mengajak masyarakat setempat melakukan dakwah
ke tempat lain. "Kalian adalah sebaik-baiknya ummat yang
diturunkan ke tengah-tengah masyarakat," demikian tertulis
dalam Al Qur'an Surat Ali Imran, ayat 110, yang dijadikan
pedoman mereka.
Menurut Zulfaqar, Penanggung Jawab JT Indonesia,
aktivitas JT selama ini tak banyak mendapatkan rintangan,
baik dari masyarakat maupun pemerintah. "Awalnya memang ada
yang curiga. Tapi setelah tahu, mereka memahami," katanya.
Berdakwah dengan model khuruj yang menjadi ciri khas JT,
kata Amin yang juga penanggung jawab JT Surabaya, memang
efektif dan membekas. Contohnya, yang dia alami sendiri.
Pada tahun 1985 ada 4 orang warga Malaysia datang ke Kampung
Jalan Ikan Gurami IV Surabaya. Amin sempat bertanya-tanya
dalam hati, "Mengapa mereka jauh-jauh datang ke Surabaya
hanya minta untuk diizinkan boleh numpang beberapa hari di
masjid," ungkapnya. Keempat warga Malaysia (ustadz Amin lupa
satu-persatu namanya) selama di masjid Nurul Hidayah itu
mengajak jamaah untuk mengamalkan shalat, wirid, memberi
ceramah mengenai Islam yang dicontohkan Nabi Muhammad dan
melakukan amalan sunnah lainnya seperti shalat dhuha,
iktikaf dan shalat malam. Setelah diamati gerak-gerik dan
perilaku mereka, akhirnya Amien kagum dan tertarik. "Saya
merasakan, apa yang saya lakukan selama ini belum sesuai
dengan sunnah Nabi," kenangnya.
Khuruj dilakukan secara berkelompok --antara 10 hingga 15
orang-- mengunjungi daerah-daerah sesuai sasaran dakwah yang
telah ditentukan. Bagaimana dengan pendanaan? Dan bagaimana
pula dengan nafkah pada keluarga yang ditinggal di rumah?
"Itu sudah diperhitungkan secara matang," ujar Amin yang
sudah 7 kali keliling dunia (1995 ke Eropa, 1996 ke
Australia, 1997 ke Afrika, dan ke beberapa negara di Asia
lainnya). "Khuruj jangan disalahtafsiri mengabaikan keluarga
di rumah," timpal Muhammad Muslihuddin, salah seorang
anggota Syuro Jamaah Tabligh Indonesia.
Sebelum khuruj, keluarga di rumah terlebih dulu dicukupi
nafkahnya. Atau dengan cara lain, misalnya "Bersama keluarga
secara berpasangan dengan muhrim-nya, suami dan isteri serta
anak-anak," tambahnya. Soal biaya?
"Itu ditanggung pribadi masing-masing. Karena, dari
setiap usaha yang dilakukan sengaja disisihkan untuk
dakwah," ustadz Amin melengkapi keterangan Muslihuddin.
Setidaknya, kata Muslihuddin, dalam sebulan ada 3 hari
dan 40 hari dalam setahun yang disisihkan untuk khuruj.
Jumlah waktu khuruj ini, katanya lagi, jika dibanding dengan
waktu di rumah sebetulnya lebih banyak waktu yang diberikan
untuk keluarga di rumah. Kalangan jamaah kita, lanjutnya,
sudah paham. Sehingga, ketika ada keluarga, misalnya suami
yang melakukan khuruj, istri dan anak di rumah sudah mafhum.
TAK LUPA KERJA
Bagaimana dengan pekerjaan? Menurut Amin, kebanyakan
anggota JT lebih enjoy berwiraswasta. Karena tidak terlalu
mengikat dengan tugas dakwah. Sebab, tugas utama manusia di
dunia ini adalah menyeru atau mengajak orang (lain) pada
jalan yang benar. "Kuntum khaira ummat......(Kalian
diturunkan ke dunia adalah sebaik-baik umat, dan mempunyai
tugas amar makruf nahi munkar)," ujar Amin mengutip
al-Qur'an Surah Ali Imran, ayat 110.
Akan tetapi, JT tidak berarti mengikat jamaahnya bekerja
pada instansi lain. Kepada anggota JT yang kebetulan bekerja
pada suatu instansi yang memang terikat waktunya, soal
khuruj tetap tidak bisa diabaikan. "Yang penting bagi kita
adalah ikhlash," tutur Amin. "Keikhlasan ini yang ditanamkan
pada kalangan jamaah kami." Bagi mereka yang kebetulan
terikat oleh waktu kerja pada instansi, bisa mengikuti
program khuruj 3 hari dalam sebulan. Misalnya, mereka
berangkat Jum'at sore selepas kerja hingga Senin pagi
--tanpa balik ke rumah-- langsung menuju ke tempat kerjanya.
Sehingga, dengan cara seperti ini, mereka tidak melupakan
kerjanya.
Abdurrahman, misalnya. Karyawan sebuah perusahaan
kontraktor di Surabaya ini, kendati masih tergolong baru
tapi merasa "asyik" bergabung dalam JT. Dia ikut JT sejak
masih kelas 2 STM di Surabaya. Kendati sekarang bekerja pada
instansi yang waktunya cukup terikat, namun dia tidak pernah
melalaikan khuruj. "Saya bisanya mengikuti khuruj 3 hari
dalam sebulan," akunya.
DICURIGAI
Tak banyak orang yang tahu apa itu JT? Sehingga
keberadaan JT banyak dipertanyakan, bahkan di beberapa
daerah dicurigai. "Dianggap sebagai ajaran sesat," ujar Arif
dan Abdurrahman, anggota JT Surabaya. Tidak cuma sebatas
itu. Pengalaman Arif sewaktu khuruj, dia diusir warga
setempat karena dianggap menyebarkan aliran sesat. Bahkan,
ketika khuruj ke India, waktu sedang memberikan ceramah di
sebuah masjid, Arif didatangi polisi dan sempat diinapkan
semalam di Pos Polisi di negara itu.
Arif yang mengaku mulai ikut JT pada tahun 1992, toh
tidak kapok. "Bagi saya tak masalah, karena memang belum
banyak orang yang tahu apa itu khuruj. Tapi, setelah mereka
ikut dalam dakwah kami, ya tidak masalahkan lagi,"
kenangnya.
Wisnu Jatmiko, kiranya senasib dengan Arif. Mahasiswa
Program Pasca Sarjana Ilmu Komputer UI ini mengaku mulai
tertarik dengan JT pada tahun 1991. Pengalaman pahit yang
dirasakan adalah, sewaktu mengikuti klhuruj di Bengkulu
(1998). "Saya merasa tertekan. Ketika itu tak ada masjid.
Apalagi, waktu itu menjelang Pak Harto lengser, aparat
Muspida disana menaruh curiga berat, sehingga rombongan kami
dikejar-kejar terus," kenang Wisnu. "Tapi disitulah, kami
merasakan nikmatnya ujian mental keimanan."
Menurut Drs. Ridlwan Abu Bakar, Msi., adanya
kecurigaan-kecurigaan itu cukup wajar. "Karena pada awalnya
memang tidak tahu semata. Tetapi setelah ditelusuri, dan
tidak menyesatkan, ya tidak dimasalahkan. Toh, kenyataannya
mereka hingga sekarang eksis," ujar Ketua Jurusan Sejarah
Peradaban Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya ini.
Ada dua hal yang tidak boleh diperbincang selama Tabligh,
yaitu soal politik dan khilafiah (soal agama yang memancing
perdebatan). "Alasannya, karena tujuan dakwah itu menyatukan
ummat. Sementara politik cenderung memecah belah ummat,"
kata Zulfaqar, pensiuan angkatan darat berpangkat Letkol
ini.
Dalam kehidupan sehari-hari para anggota dibebaskan untuk
mengikuti kegiatan politik yang menjadi pilihannya.
Sementara organisasi Islam lainnya, mereka anggap sebagai
kawan seperjuangan.
Keharusan khuruj itu didasarkan pada satu hadits Nabi
yang berbunyi "apabila ummatku di akhir zaman mengorbankan
1/10 waktunya di jalan Allah, akan diselamatkan." Maka
setiap hari mereka juga harus menyisakan 2,5 jam waktu
mereka untuk berdakwah. Bagaimana dengan kita?
|