SOAL TKW = BUDAK,
GUS DUR KELIRU PAHAMI ARTI "MILKUL YAMIIN"
New York, 4/3 (ANTARA) - Pernyataan Presiden Abdurrahman
Wahid yang menyatakan adanya TKW di negara-negara Arab yang
diperlakukan sebagai "amataun" atau budak yang bisa
diperlakukan apa saja, dianggap keliru oleh seorang tokoh
Islam di New York.
M. Syamsi Ali, seorang anggota Majelis Suro Muslim Kota
New York, yang menanggapi pernyataan Gus Dur mengenai
persoalan TKW di negara-negara Arab, mengatakan kekeliruan
pertama adalah Gus Dur masih melihat bahwa Islam membenarkan
menggauli budak tanpa akad nikah. Sehingga orang-orang Saudi
menggauli pembantunya, karena mereka menilai TKW itu adalah
budak mereka.
Dalam Al Qur'an, kata budak perempuan diistilahkan
"amataun". Misalnya firman Allah dalam Al Baqarrah ayat 221:
"Dan Budak perempuan itu lebih baik bagimu dari seorang
musyrik kendati ia mena'jubkan bagimu" .
"Kata amataun inilah yang masih bermakna budak perempuan.
Dalam ayat di atas Allah memberitahukan kepada orang-orang
beriman, jika ingin kawin maka carilah pasangan yang
beriman, kendati ia adalah seorang budak," ujar Syamsi yang
juga Anggota Dewan Pengurus Muslim Foundation of America,
Inc.
Namun jika budak itu disebutkan dalam konteks "pergaulan
suami-isteri" dan menyangkut masalah seksual, ia tidak lagi
disebut "amataun", melainkan "milkul yamiin" (milik tangan
kanan), yang dapat diartikan dimiliki secara sah.
Penyebutan milkul yamiin selama ini secara tradisional
disebut sebagai "hamba perempuan". Padahal, penafsiran ini,
katanya, sangat bertentangan dengan ruh Islam, yang
menghapuskan segala bentuk perbudakan dan menghalalkan
hubungan seksual hanya dengan melalui proses akad nikah.
Dengan demikian, pengertian milkul yamiin tidak bisa lagi
diartikan sebagai budak perempuan, melainkan perempuan yang
dimiliki secara sah karena sudah dinikahi, sekaligus
diartikan sebagai bekas budak wanita yang kini telah bebas
dengan pernikahan tersebut.
"Sebab dengan dinikahi, berarti wanita tersebut telah
terbebas dari perbudakan," ujar lulusan salah satu
universitas Islam di Pakistan itu.
Contohnya adalah Ibrahim yang menikahi Siti Hajar,
seorang budak wanita yang merupakan pemberian seorang raja
kepadanya. Dengan dinikahinya, Siti Hajar tidak lagi disebut
sebagai budaknya melainkan isterinya. Masalah ini sampai
sekarang tidak mau diakui oleh orang-orang yahudi, sehingga
bagi mereka orang-orang Arab adalah keturunan budak
(Ismail).
Dengan demikian, lanjutnya, Islam tidak pernah
membolehkan penganutnya menggauli budak tanpa nikah.
Melainkan jika ingin menggaulinya, nikahi sehingga berupa
status dari "amataun" (budak perempuan) menjadi "Milkul
Yamiin" (dimiliki secara sah) sebagai isteri. Pengertian ini
sekaligus menguatkan komitmen Islam untuk menghapus berbagai
bentuk perbudakan di atas bumi ini.
Kekeliruan kedua Gus Dur menurut Syamsi Ali adalah
anggapannya bahwa orang-orang Arab menggauli PRTnya karena
mereka manganggapnya sebagai budak.
"Ini jelas keliru, bahkan hal yang dikarang-karang.
Selama tiga tahun saya tinggal di Arab Saudi, saya kenal
betul apa yang terjadi terhadap TKW-TKW itu," katanya.
Ada beberapa penyebab utama, sehingga terjadi pemerkosaan
atau kehamilan di kalangan TKW di negara-negara Arab.
Pertama, tidak adanya jaminan hukum bagi pekerja
informil, semacam TKW, baik di pihak Saudi maupun Indonesia.
Walaupun sejak tahun 1985, masalah perundang-undangan
mengenai tenaga kerja telah dibahas di PBB, namun beberapa
negara berkembang ikut menolak menanda tangani, termasuk
Saudi Arabia. Sehingga jika terjadi apa-apa, tidak ada
kewajiban apapun bagi majikannya untuk melaporkan kepada
pemerintahannya, dan juga kepada pemerintah Indonesia (dalam
hal ini KBRI).
"Itulah sebabnya, selama ini kita lihat jika ada
masalah-masalah TKW, pihak KBRI tahunya selalu dari koran,"
kata Syamsi lagi.
Kedua, tradisi kehidupan yang tertutup menjadikan
komunikasi tertutup bagi TKW tersebut untuk berkomunikasi
keluar. Sehingga, beberapa kasus ditemukan jika majikan
keluar rumah, TKW-nya ditinggal di rumah yang terkunci dari
luar. Artinya, kalaupun seandainya terjadi kebakaran, sudah
pasti TKW itu akan ikut terpanggang karena terkunci. Tradisi
kehidupan ini membantu para majikan leluasa untuk melakukan
aksinya dengan mudah.
Ketiga, kehidupan yang tertutup tadi menjadikan
orang-orang Arab melampiaskan kebebasannya terhadap
kehadiran TKW, yang pada umumnya juga membawa cara hidup
dari kampung masing-masing. Pakaian terbuka, bicara dengan
senyum manis, merengek, dan kemayu.
"Bagi orang Arab, hal-hal ini ditanggapi lain, sehingga
terkadang diresponi secara lain. Pada saat itulah, baru TKW
mengelak, sehingga terjadi pemerkosaan," kata Syamsi.
Keempat, tradisi kehidupan yang serba ekslusif
tadi dengan fasilitas tontonan yang mudah dijangkau dengan
satelit (film-film Israel mudah diakses di Saudi),
menjadikan kedua pihak tergoda.
"Bagi TKW kita, dengan makanan yang serba berlemak, cukup
menambah kerinduan kampung. Apalagi mereka yang telah
bersuami dan meninggalkan suami bertahun-tahun. Semua ini
menjadi penyebab kerelaan di antara mereka. Bahkan, jika
majikannya adalah orang Mu'min yang baik, seringkali terjadi
dengan sesama pekerja, sopir misalnya," ujarnya.
Kelima, tidak dapat disangkal, memang banyak orang
Arab yang bermoral bejat, demikian M. Syamsi Ali.
(Artikel Asli, Versi
ANTARA, Tanggapan,
Tanggapan Balik)
|