|
Sunnah-Syi'ah di Indonesia: Perspektif Ilmu
Hadits
Pendahuluan
Pada dekade terakhir ini, diskursus pemikiran Syi'ah
kembali meramaikan kancah pergulatan pemikiran di Indonesia.
Dalam banyak hal, ia merupakan bias logis angin perubahan
(the wind of changes) yang ditiupkan oleh keberhasilan
revolusi Islam Iran (RII) yang digerakkan oleh sekte Islam
Syi'ah. Tentang pengaruh revolusi tersebut, Dr. Richard N.
Frye, ahli masalah Iran di Universitas Harvard, Seperti
dikutip Jalaluddin Rahmat, berkomentar: Hubungan revolusi
Islam (Syi'ah) di Iran dengan dunia ketiga, yakni
bangsa-bangsa yang tidak memiliki kekayaan dan kekuatan di
dunia, adalah sama seperti hubungan antara revolusi Perancis
dengan bangsa-bangsa Eropa Barat... Revolsi Islam di Iran
bukan hanya titik-balik dalam sejarah Iran saja. Revolusi
itu juga merupakan satu titik-balik rakyat di seluruh
negara-negara Islam, bahkan bagi massa rakyat di dunia
ketiga 1.
Pada sisi lain, kekecewaan para intelektual dan politikus
Islam Indonesia pasca Masyumi tampaknya menemukan obat
penawarnya pada revolusi Islam Iran itu. Pergulatan politik
di Indonesia yang merupakan Zero Sum games, satu pertaruhan
yang kalau kalah akan kehilangan segala-galanya2, mendorong
para politikus dan pemikir Islam untuk mencari kiblat
proyeksi politik mereka. Di negara-negara Arab mereka tidak
menemukan itu, kecuali sedikit pada Ikhwanul Muslimin yang
mengalami nasib tak begitu jauh dengan mereka.
Revolusi Iran, dengan pemikir-pemikir yang mendukung di
belakangnya, seperti Dr. Ali Syari'ati, sayyid M.H.
Thabathaba'i dan Ayatullah Muthahhari, memberikan alternatif
kepada mereka3. Maka tidak mengherankan jika kita dapati
sebagian intelektual Indonesia dengan begitu pasih mengutip
Ali Syari'ati, Muthahhari atau pemikir-pemikir Syi'ah
lainnya. Jalaluddin Rahmat, dengan jelas menamakan yayasan
yang didirikannya: yayasan Muthahhari, nama tokoh Syi'ah
yang terkenal itu. Amin Rais juga pernah menerima gelar
Syi'ah juga, karena seperti dikatakan oleh Jalaluddin Rahmat
ia sering memuji Revolusi Islam Iran, dan terutama sering
mengutip Ali Syari'ati. Bahkan menurut Jalaluddin Rahmat,
sebuah buku kecil pernah ditulis tentang "kesyiahan" Amien
Rais itu 4.
Tradisi keilmuan yang subur di kalangan Syi'ah juga
menambah daya tarik bagi banyak intelektual Indoneisa.
Kajian pilsafat, misalnya, seperti dikatakan banyak orang,
tidak pernah terputus di kalangan Syi'ah. Sehingga, ketika
pemikiran mereka bersentuhan dengan kalangan intelektual
Indonesia, merekapun tercengang. Tentang karya Murthada
Muthahhari " Sejarah dan Masyarakat", Dawam rahadrdjo
berkomentara: Sulit membayangkan, seorang dengan pakaian
jubah, seperti para kiai dan ulama di Indonesia menulis buku
seperti itu, penuh dengan ulasan-ulasan yang spekulatif,
menunjukkan olah pikir yang intens5.
Tentang khazanah keilmuan Syi'ah, lebih lanjut Dawam
Rahardjo berkomentar: Ketika berkunjung ke Iran bersama Dr.
Taufik Abdullah, kami tercengang melihat khazanah
kepustakaan Islam di Universitas Teheran dan perpustakaan
Ayatullah Marashi Najafi di Qum6.
Kajian tentang Syi'ah di Indonesia, seperti dikatakan
oleh Dr. Azyumardi Azra telah dilakukan oleh banyak ahli dan
pengamat sejarah, seperti Hamka7, Baroroh Baried8, M. Yunus
Jamil9 dan A. Hasymi10. Dua yang terakhir, seperti dikatakan
Azyumardi Azra bahkan berargumen bahwa Syi'ah pernah menjadi
kekuatan politik yang tangguh di Nusantara., Keduanya
mengatakan bahwa kekuatan politik Sunni dan Syi'ah terlibat
dalam pergumulan dan pertarungan untuk memperebutkan
kekuasaan di Nusantara sejak awal-awal masa penyebaran Islam
di kawasan ini. Menurut mereka, kerajaan Islam yang pertama
berdiri di Nusantara adalah kerajaan Peureulak (Perlak)
yang, konon, didirikan pada 225H/845M. Pendiri kerajan ini
adalah para pelaut-pedagang Muslim asal Persia, Arab dan
Gujarat yang mula-mula datang untuk mengislamkan penduduk
setempat. Belakangan mereka mengangkat seorang Sayyid
Mawlana Abd a-Aziz Syah, keturunan Arab-Quraisy, yang
menganut paham politik Syi'ah, sebagai sultan Perlak 11.
Agus Sunyoto, staf Lembaga Penerangan dan Laboratorium
Islam (LPII), Surabaya seperti dilaporkan Majalah Prospek
(10 Nopember 1991), melalui penelitiannya menyimpulkan bahwa
Syaikh 'Abd al-Rauf Al-Sinkli, salah seorang 'ulama' besar
Nusantara asal Aceh pada abad ke-17, adalah pengikut dan
penggubah sastra Syi'ah, bahkan hanya seorang saja dari
walisongo di Jawa yang tidak Syi'ah. Juga Nadlatul 'Ulama
(NU) --setidaknya secara kultural--juga adalah Syi'ah.
Walaupun, baik M.Yunus Jamil, A.Hasymi dan Sunyoto,
seperti dikatakan Dr. Azyumardi Azra, memberikan argumennya
tanpa referensi yang reliable dan memadai juga tanpa
analisis dan logika yang bisa diterima 12 namun deskripsi
mereka setidak menunjukkan satu hal: Bahwa Syi'ah, semenjak
lama telah bersentuhan --setidaknya secara kultural-- dengan
masyarakat Indonesia (Nusantara). Dalam masyarakat NU,
pengaruh Syi'ah yang cukup kuat di dalamnya, secara jelas
diakui oleh Dr. Said Aqil Siraj Wakil Katib Syuriah PBNU.
Atau dalam kata-katanya: " Harus diakui pengaruh Syi'ah di
NU sangat besar dan mendalam. Kebiasaan membaca barzanji
atau diba'i yang menjadi ciri khas masyarakat NU misalnya
secara jelas berasal dari tradisi Syi'ah" 13. Maka, ketika
diskursus Syi'ah kembali ramai di Indonesia, bisa saja itu
sekadar hembusan kecil dari badai yang sedang mengganas.
Sedang terjadi pemuatan nilai ideologis Syi'ah atas warisan
kultural bangsa Indonesia yang berbau Syi'ah? Mungkin saja.
Saat ini, menurut keterangan Ahmad Barakbah --salah
seorang alumni Qum Iran-- seperti ditulis redaksi jurnal
Ulumul Qur'an, di Indonesia terdapat kurang-lebih 40 yayasan
Syi'ah yang tersebar di sejumlah kota besar seperti Malang,
Jember, Pontianak, Jakarta, Bangil, Samarinda, Banjarmasin
dan sebagainya 14. Jumlah masyarakat Syui'ah Indonesia
sekarang ini, menurut ustaz Ahmad, yang benar-benar
mengikuti ajaran Syi'ah secara totalitas, baik pemikiran
maupun syari'at, sekitar dua puluh ribu orang 15.
Simpatisannya sudah barang tentu lebih banyak lagi.
Tentunya kajian tentang Syi'ah memang dibutuhkan. Tidak saja
untuk kepentingan akademis dan menguak lebih jauh tentang
sekte tersebut, namun juga ia mempunyai kepentingan ganda:
untuk memberikan kontribusi pemikiran bagi hubungan
Sunnah-Syi'ah di masa depan. Dalam artikel ini, penulis akan
membatasi diri pada visi hadist dalam wacana keilmuan
Syi'ah.
Walaupun demikian, sebagai pengantar untuk mendekatkan
pemahaman konsep hadits tersebut, penulis merasa perlu
mengkaji definisi, akar historis dan sekte-sekte dalam
Syi'ah. Sambil tidak lupa memberikan kontribusi pemikiran
bagi hubungan Sunnah-Syi'ah di masa mendatang, terutama bagi
masyarakat Indonesia.
(sebelum, sesudah)
Date: Sat, 22 Apr 2000 03:12:19 +0200
From: "alkattani" <alkattany@softhome.net>
|