A. ILMU TAWHID
1. Pendahuluan
Tawhid, sebagai ilmu, sebetulnya belum ada di zaman
Rasulullah SAW, walaupun seluruh 'ulama sependapat, bahwa
TAWHID adalah dasar yang paling pokok dalam ajaran
Islam.
Sebagai 'ilmu, TAWHID tumbuh, lama sesudah Rasulullah
wafat. Semasa hidup Rasulullah SAW, beliau mendidikkan sikap
dan watak bertawhid ini dengan memberikan contoh teladan
kepada para sahabat-sahabat beliau di dalam kehidupan
sehari-hari.
Pribadi Muhammad sebagai Rasulullah memanglah pribadi
manusia yang sempurna (insan kamiil), dengan kata lain,
beliau adalah manusia bertawhid secara istiqamah
(consistent) dan paripurna, karena itu sikap, watak, ucapan
dan tindak-tanduk beliau sebagai Rasulullah, terutama di
biang 'ibadah merupakan rujukan bagi setiap mu'min.
Sebagaimana yang difirmankan Allah sendiri di dalam
kitab-Nya: "Sesungguhnya kamu dapati pada diri Rasulullah
itu teladan yang terpuji bagi mereka, yang menaruh harapan
kepada Allah, dan yakin akan hari akhirat, dan senantiasa
terkenang akan Allah." (QS 33:21).
Karena itu pulalah beberapa tahun sesudah Rasulullah
wafat, ketika Siti 'Aisyah RA ditanyai orang tentang akhlaq
Rasulullah, Siti 'Aisyah bertanya kembali dan menegaskan:
"Tidakkah kau baca Al-Qur'an? Itulah gambaran akhlaq
(budipekerti) Rasulullah!" Jadi tepatlah kalau ada yang
mengatakan Rasulullah itu "Qur'an yang hidup".
Sesudah Islam berkembang ke segala penjuru, dan ummat
Islam telah mampu menaklukkan para maharaja (super power)
ketika itu, seperti Parsi di Timur dan Romawi di Barat, maka
ummat Islam mendapat kesempatan menuntut ilmu
sebanyak-banyaknya. Memang menuntut ilmu ini diwajibkan oleh
Allah bagi setiap Muslim, maka sangatlah digalakkan oleh
Rasulullah SAW bagi setiap laki-laki maupun perempuan dari
buaian sampai ke liang lahad, bahkan kalau perlu dengan
pergi merantau sejauh-jauhnya ke negeri Cina sekalipun.
Maka, semua buku-buku yang mereka jumpai di dalam setiap
perpustakaan lama di negri-negeri Parsi, Yunani dan
lain-lain mereka suruh terjemahkan dan isi buku-buku itu
mereka mamah selahap-lahapnya. Pikiran-pikiran ahli falsafah
kuno seperti Socrates, Aristoteles, Plato, Pythagoras dan
lain-lain semuanya dipelajari mereka dengan bergairah.
Tentu ilmu-ilmu baru ini turut merangsang pengembangan
daya pikir mereka sedemikian rupa, sehingga mereka pun
menjadi pemikir-pemikir baru yang mampu melahirkan idea-idea
baru pula. Namun tidak semua ilmu-ilmu baru ini bersifat
positif. Di antaranya ada pula yang bisa menyesatkan, namun
dengan semangat kebebasan berfikir yang telah diajarkan oleh
Rasul Allah, para intelektual Muslim ketika itu terus maju
dan meruak pemikiran-pemikiran baru yang orisinal dan
cemerlang.
Tawhid, yang merupakan inti sari ajaran Islam, kemudian
menjadi pembahasan di kalangan cendekiawan Muslim, sehingga
berkembang menjadi suatu ilmu yang menerangkan bagaimana
seharusnya seorang Muslim meng-Esa-kan Tuhannya.
Semangat mencari ilmu yang diwajibkan oleh Allah dan
digalakkan oleh Rasulullah ini telah melahirkan banyak
pemikir-pemikir Muslim, yang sampai sekarang pun masih
dikagumi orang akan mutu intelektualitas mereka. Sayang,
kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan ini tidak selalu
dibarengi oleh sarana penunjang yang paling pokok, yaitu
perkembangan politik yang sehat dan Islami.
Perkembangan ilmu yang tidak boleh tidak menghendaki
adanya sarana utama berupa kemerdekaan berfikir dan bergerak
sudah tidak dapat dinikmati oleh ummat sejak berubahnya
sistem ketatanegaraan yang Islami di masa pemerintahan
khalifah-khalifah yang bijaksana (Khulafa-ul Rasyidin)
menjadi sistem dinasti yang feodalistis, yang memang sudah
lama merupakan darah dagingnya masyarakat Arab
Jahiliyah.
Perubahan sistim ketatanegaraan yang berawal dari
perbedaan pendapat, dan berkembang menjadi pertentangan
faham tentang konsep kepemimpinan ini, merupakan pokok
pangkal perpecahan di kalangan para pemimpin, yang akhirnya
meledak menjadi perang saudara. Pada mulanya perang saudara
ini hanya melibatkan daerah dan jumlah ummat yang terbatas
dan mudah diredakan oleh tekanan pengaruh para shahabat
Rasul Allah yang masih sangat tinggi derajat iman dan tawhid
mereka.
Namun, sesudah generasi para shahabat seluruhnya wafat,
perang saudara yang kembali meledak telah memecah kesatuan
ummat dan merombak citra masyarakat yang telah susah payah
dibina oleh Rasulullah SAW. Sistem ketatanegaraan yang
feodalistis telah terbukti tidak mampu menciptakan suatu
mekanisme pengaman yang ampuh untuk mengawal perkembangan
daya kritis para cendekiawan Muslim, yang dibarengi oleh
melebarnya territorial dan membengkaknya kuantitas ummat
yang seolah-olah meledak, karena cepatnya.
Perbedaan pendapat yang seyogyanya lumrah di kalangan
pemikir-prmikir Islam selalu disalah-gunakan oleh
pemimpin-pemimpin politik kelas dua dan tiga demi
kepentingan politik mereka. Akibatnya, keretakan yang pada
mulanya adalah sekadar perbedaan pendapat dan interpretasi
tentang masalah pemimpin dan kepemimpinan berubah atau
berkembang di kalangan ummat menjadi perpecahan di bidang
pemahaman dan penalaran aqidah dan nilai-nilai syari'ah.
Mulailah pengikut-pengikut tokoh ilmuwan yang satu
menyalahkan pengikut-pengikut tokoh ilmuwan yang lain.
|