| |
|
JAWABAN SINGKAT TERHADAP PERTANYAAN SEPUTAR MASALAH KEDOKTERAN Dr. Yusuf Qardhawi (2/2) D. Beberapa Pertanyaan Umum Pertanyaan: Bagaimana jalan keluarnya apabila seorang dokter pria berduaan dengan pasien wanita atas permintaan pasien tersebut? Jawaban: Duduk bersamanya dengan pintu tetap terbuka, dan menundukkan pandangan. Pertanyaan: Dalam suatu kongres kedokteran ada salah seorang peserta yang mengemukakan pendapat yang aneh-aneh tentang penciptaan jagad raya ini. Apakah pendapat seperti itu wajib disanggah ataukah didiamkan saja? Jawaban: Hal itu terserah kepada kemampuan dan kebijakan si muslim, karena pada suatu saat meluruskan dan memberikan komentar terkadang ada manfaatnya, tetapi pada saat yang lain kadang-kadang tidak ada gunanya; terkadang diperkenankan dan kadang-kadang tidak diperkenankan. Hal ini memang merupakan suatu bencana yang sudah kita kenal diantara bencana-bencana yang ditimbulkan kaum materialis terhadap ketetapan-ketetapan ilmu alam yang jauh dari sentuhan iman. Pertanyaan: Bagaimana hukum bermuamalah (bergaul) dengan pemeluk agama lain, sejak memulai salam dan lainnya, baik di timur maupun di barat, sementara diantara mereka ada yang menjadi direktur kami? Jawaban: Allah berfirman --ketika mengambil janji kepada Bani Israil: "... dan ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia ..." (al-Baqarah: 83) Dia pun berfirman mengenai sesuatu yang disyariatkan-Nya kepada kaum muslim. "Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, 'Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar) ..." (al-Isra': 53) Diantara perkataan yang baik atau yang lebih baik ialah mendahului menyapanya dengan sapaan yang sesuai dan mempergauli mereka secara baik. Hal demikian bahkan dapat dianggap sebagai wasilah dakwah kepada mereka. Pertanyaan: Apa yang wajib dilakukan seorang dokter mengenai pemerkosaan jika ia mengetahui pelakunya? Apakah ia harus memberitahukannya kepada keluarga si wanita dengan menceritakan keseluruhannya ataukah menutupinya? Jawaban: Hal ini berbeda-beda sesuai dengan perbedaan lingkungan dan kondisinya, sebab seorang mukmin haruslah cerdas dan cekatan (pandai membaca keadaan dan menyikapinya). Pertanyaan: Bagaimana hukum duduk di tempat pertemuan yang dihidangkan khamar di sana, sementara tempat itu merupakan satu-satunya tempat yang penuh dengan makanan, dan pertemuan itu diselenggarakan sehari penuh? Jawaban: Seorang muslim harus berusaha menghindarinya sedapat mungkin, mengingat hadits syarif yang berbunyi: "Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah ia duduk di depan meja yang dihidangkan khamar padanya." [HR Tirmidzi dalam "al-Adab," juz 5, hlm. 104, hadits no. 2801, dan beliau berkata, "Hasan gharib."] Kecuali jika dalam keadaan terpaksa. Allah berfirman: "... sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepadamu apa yang diharamkan-Nya atas kamu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya ..." (al-An'am: 119) Pertanyaan: Dalam situasi tertentu, suatu kelompok rahasia tidak dapat mengumpulkan anggotanya kecuali di bar --seminggu sekali-- untuk mengkaji berbagai situasi dan kondisi, dengan alasan bahwa tempat tersebut jauh dari udara rumah sakit. Mereka adalah para pemimpin muslim, sedangkan si anggota perlu membantu mereka untuk merencanakan kegiatan pada masa mendatang. Nah, apakah dia harus memutuskan hubungan dengan mereka ataukah harus pergi bersama mereka dengan terpaksa? Jawaban: Orang muslim adalah mufti bagi dirinya sendiri dalam persoalan-persoalan tertentu, dia mengetahui mana yang dianggap darurat dan mana yang bukan darurat. Sedangkan orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada orang mukmin yang lemah. Pertanyaan: Ikut serta dalam berbagai acara/resepsi di rumah sakit berkenaan dengan hari ulang tahun dan tahun baru. Bagaimana hukum menghadiri acara-acara tersebut, atau mengirimkan kartu ucapan selamat kepada direktur dan handai taulan, atau menjawab ucapan selamat ulang tahun atau tahun baru? Jawaban: Bersikap baik terhadap mereka cukup dengan menggunakan kartu dan sejenisnya, tidak usah menghadirinya, kecuali jika kehadiran tersebut membawa kemaslahatan bagi Islam dan kaum muslim. Pertanyaan: Bila seseorang berpuasa pada waktu sebelum ujian atau pada waktu ujian yang kadang-kadang memakan waktu 18 atau 20 jam, maka dalam hal ini bolehkah ia berbuka? Jawaban: Seyogyanya seorang muslim makan sahur dan berniat puasa lantas mencoba. Jika ia mampu melakukannya, maka alhamdulillah; dan jika merasa sangat berat hendaklah ia berbuka dan mengqadhanya setelah itu. Dalam mengakhiri ayat yang mewajibkan puasa, Allah berfirman: "... Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu ..." (al-Baqarah: 185) Pertanyaan: Menyebut-nyebut teman mengenai keadaannya yang tidak disukai sering terjadi di rumah-rumah sakit, misalnya perkataan "dia dokter yang lamban atau bodoh," meskipun pembicaraan seperti itu kadang-kadang untuk kebaikan kerja yang bersangkutan. Apakah hal itu diperbolehkan? Dan apa yang harus dilakukan oleh dokter yang masih muda-muda ini bila yang melakukan ghibah tersebut adalah direkturnya, haruskah menasihatinya atau diam saja? Jawaban: Bedakanlah antara ghibah dengan kritik. Yang termasuk bab ghibah adalah haram hukumnya, sedangkan yang termasuk bab kritik, maka memberi nasihat dalam kritik ini harus dilakukan dengan lemah lembut dan menurut kadar kemampuannya. Pertanyaan: Apakah ada perbedaan menurut hukum antara menyebut aib orang muslim dengan orang nonmuslim, atau menasihati orang muslim dengan orang nonmuslim? Jawaban: Islam memelihara dan menjaga kehormatan manusia siapa pun orangnya, muslim atau nonmuslim. Hanya saja kehormatan orang muslim lebih besar, dan kehormatan orang yang punya hak yang lebih besar itu lebih besar lagi, misalnya kedua orang tua, sanak keluarga, tetangga, dan guru. Pertanyaan: Bagaimana hukum menunda giliran (mendatangi istri) hingga selesainya ulangan atau ujian? Jawaban: Tidak ada larangan apabila kedua suami-istri telah sepakat dan tidak menimbulkan mudarat bagi si istri. Para sahabat juga ada yang melakukan 'azl (mencabut dzakar dari faraj istri untuk menumpahkan sperma di luar faraj pada waktu ejakulasi) karena alasan dan sebab-sebab tertentu, tetapi hal itu tidak dilarang oleh Rasulullah saw., sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits sahih. Pertanyaan: Bagaimana hukum tertidur dari shalat wajib setelah berjaga terus-menerus dalam bekerja, apakah si istri wajib membangunkan suaminya dalam keadaan seperti ini ataukah membiarkannya? Jawaban: Pena penugasan dan pemberian sanksi diangkat dari orang yang tidur hingga ia bangun, lebih-lebih jika ia berjaga --sebelum tidur-untuk melakukan pekerjaan yang dibenarkan syara' dan hendaklah ia melakukan shalat sewaktu ia bangun. Selain itu, berdasarkan prinsip kemudahan yang menjadi fondasi bangunan hukum syariat, tidaklah wajib bagi istri membangunkannya jika ia dalam keadaan lelah dan payah, karena kasihan terhadap keadaannya, dan bertujuan agar ia mampu melanjutkan pekerjaannya: "... Dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan." (al-Hajj: 78) Pertanyaan: Bagaimana hukum meninggalkan shalat Jum'at satu kali atau lebih yang disebabkan kondisi kerjanya, seperti terus-menerus memantau kondisi orang sakit atau melakukan pekerjaan/tugas pada waktu shalat itu sendiri? Jawaban: Yang dilarang dan diancam ialah meninggalkan shalat Jum'at tiga kali tanpa udzur, sedangkan udzur dalam kasus ini sangat jelas. Maka seyogyanya seorang muslim berusaha sungguh-sungguh untuk menanggulangi udzur tersebut sedapat mungkin, dan tiap-tiap orang akan mendapatkan sesuatu sesuai dengan niatnya. ----------------------- (Bagian 1/2, 2/2) Fatwa-fatwa Kontemporer Dr. Yusuf Qardhawi Gema Insani Press Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740 Telp. (021) 7984391-7984392-7988593 Fax. (021) 7984388 ISBN 979-561-276-X |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |