|
|
|
|
|
IV.25. TAQLID DAN IJTIHAD (3/4)
MASALAH KONTINUITAS DAN KREATIVITAS
DALAM MEMAHAMI PESAN AGAMA oleh Nurcholish Madjid
Agaknya jalan pikiran 'Umar dari zaman klasik (salaf) Islam
itu muncul lagi pada orang-orang tertentu dari kalangan para
pemikir Islam zaman modern, khususnya Muhammad Abduh. Tokoh
pembaharu modern paling berpengaruh ini "memahami ijtihad
dalam pengertiannya yang luas sebagai penelitian bebas,
menurut kerangka aturan yang telah mapan tentang pengambilan
hukum dan norma-norma moral Islam, dan tentang apa yang
paling baik disini dan sekarang." [19]
Berkenaan dengan itu, sungguh menarik pemaparan pemikiran
al-Makki bahwa melakukan ijtihad, dari kalangan generasi
awal Islam, tidak hanya para Sahabat seperti 'Umar dll.,
malah juga Rasulullah sendiri! Menurut al-Makki, selain
selaku Utusan Tuhan yang menerima wahyu parametris, Nabi
juga sering melakukan ijtihad dengan menggunakan metode
analogi atau qiyas. Al-Makki mengatakan bahwa dalam
berijtihad Nabi selalu benar, atau kalaupun salah beliau
akan segera mendapat teguran Ilahi melalui wahyu yang suci
sehingga kesalahan itu tidak melembaga dan menjadi satu
dengan pola hidup orang banyak. [20] (Dalam hal ini al-Makki
mirip dengan Ibn Taymiyyah yang berpendapat bahwa Nabi
bersifat ma'shum hanya dalam tugas menyampaikan (al-balagh)
wahyu. Jika diluar itu Nabi bisa salah, meskipun amat
jarang, dan selalu langsung dikoreksi Tuhan). [21]
NILAI SEBUAH IJTIHAD
Dari uraian di atas, kiranya jelas bahwa taqlid dan ijtihad
sama-sama diperlukan dalam masyarakat manapun. Sebab, dengan
mekanisme penerimaan dan penganutan suatu otoritas (taqlid)
kekayaan pengalaman kultural manusia, khususnya pemikiran,
menjadi kumulatif, dan ijtihad diperlukan justru untuk
mengembangkan dan lebih memperkaya pengalaman itu.
Tapi, sebagai sama-sama kegiatan manusiawi yang serba
terbatas, maka taqlid ataupun ijtihad selalu mengandung
persoalan, sehingga harus senantiasa dibiarkan membuka diri
bagi tinjauan dan pengujian. Jadi tidak dibenarkan adanya
absolutisme di sini. Sebab, setiap bentuk absolutisme akan
membuat suatu sistem pemikiran menjadi tertutup, dan
ketertutupan itu akan menjadi sumber absolutnya. Sesuatu
dari kreasi manusiawi yang diabsolutkan akan secepat itu
pula akan terobsolutkan. Inilah barangkali letak kebenaran
ucapan Karl Mannheim bahwa setiap ideologi (yakni, pemikiran
yang dihayati secara ideologis-absolutistik) cenderung untuk
selalu bakal ditinggalkan zaman.
Maka problema yang dihadapkan kepada setiap orang ialah
bagaimana ia teguh tanpa menjadi kemutlakan-kemutlakan, dan
sekaligus berkembang dan kreatif tanpa kehilangan
keotentikan dan keabsahan -suatu penitian jalan yang sulit,
namun tidak mustahil. Seluruh ide tentang mendekati
(taqarrub) kepada Tuhan mengisyaratkan perlunya manusia
berjalan tanpa jemu-jemunya meniti jalan lurus yang sulit
itu, sampai ia akhirnya bertemu (liqa, namun tanpa menjadi
satu) dengan Kebenaran, dengan izin dan ridla dari Sang
Kebenaran itu sendiri.
Jalan menuju kesana ternyata banyak. Bahkan, dari sudut
pandangan esoterisnya, jalan itu sebanyak jumlah mereka yang
mencarinya dengan sungguh-sungguh. Sebab, pasti memang hanya
usaha yang penuh kesungguhan saja, yaitu ijtihad dan
mujahadah, yang menjadi alasan bagi Sang Kebenaran untuk
menuntun seseorang ke berbagai jalan menuju kepada-Nya. [22]
Dan karena banyaknya jalan menuju Kebenaran itu, maka
seperti ditegaskan Ibn Taymiyyah, Hadlrat al-Syaikh K.H.
Muhammad Hasyim Asy'ari dan al-Sayyid Muhammad Ibn Alawi ibn
"Abbas al-Maliki al-Hasani al-Makki, para Sahabat Nabi
dahulu, begitu pula para Imam madzhab sendiri, selalu
toleran satu sama lain, dan saling menghargai pendapat yang
ada di kalangan mereka. [23]
Akhirnya, sebagaimana tercermin dalam sabda Nabi yang amat
terkenal, yang menegaskan bahwa siapa yang berijtihad dan
benar, ia akan mendapat dua pahala, dan siapa yang
berijtihad dan salah, ia masih mendapat satu pahala. Ini
merupakan hal yang amat penting dalam perkembangan dan
pertumbuhan. Sebab perkembangan dan pertumbuhan adalah tanda
vitalitas, sedangkan kemandekan berarti kematian. Seperti
dikatakan 'Umar dalam suratnya di atas, niat baik dan
ketulusan hati adalah sumber perlindungan Ilahi dalam usaha
kita mengembangkan masyarakat. [24] Dengan berbekal
ketulusan, kita terus bergerak maju secara dinamis. Dinamika
penting tidak saja karena merupakan unsur vitalitas, tapi ia
juga benar, karena merupakan Sunnat Allah untuk seluruh
ciptaannya, termasuk sejarah manusia. Hanya Dzat Allah yang
kekal abadi, sedangkan seluruh wujud ini berjalan dan terus
berubah. Karena itu tujuan hidup yang benar hanyalah Allah,
sebab Dia-lah Kebenaran Yang Pertama dan yang Akhir. [26]
Dalam dinamika itu tidak perlu takut salah, karena takut
salah itu sendiri adanya kesalahan yang paling fatal.
CATATAN
1. Al-Sayyid Muhammad ibn Alawi ibn Abbas al-Maliki
al-Hasani al-Makki, Syarifat Allah al-Khalidah: Dirasat fi
Tarikh Tasyri al-Ahkam wa Madzahib al-Fuqaha al-A'lam
(Jeddah: Dar al-Syuruq, 1407 H/1986 M), h. 120-121.
2. QS. 'Ali 'Imran 3:7, "Dia (Tuhan)-lah yang menurunkan
kepadamu (Muhammad) Kitab Suci. Diantara isinya ayat-ayat
muhkamat (jamak dari muhkam) yang merupakan induk (ajaran)
Kitab Suci itu, dan lainnya berupa ayat-ayat mutasyabihat
(jamak dari mutasyabih). Adapun mereka yang dalam hatinya
terdapat kecenderungan kurang baik (serong), maka akan
(hanya) mencari yang mutasyabih saja dari Kitab Suci itu
dengan tujuan menciptakan perpecahan dan mencari-cari
maknanya yang tersembunyi (membuat-buat interpretasi).
Padahal tidak ada yang mengetahui maknanya yang tersembunyi
itu kecuali Allah. Sedangkan orang-orang yang mendalam
pengetahuannya akan berkata, "kami beriman dengan ayat-ayat
itu, sebab semuanya dari Tuhan kami. Dan memang tidaklah
menangkap pesan ini kecuali mereka yang berpengertian."
3. Ini bisa dipahami dari firman, QS. al-Nisa 4:65, "Tidak,
demi Tuhanmu, mereka tidaklah beriman sehingga mereka
mengangkatmu sebagai hakim berkenaan dengan hal-hal yang
diperselisihkan di antara mereka, kemudian mereka tidak
mendapati dalam diri mereka keberatan terhadap apa yang
telah kau putuskan, dan mereka pasrah sepasrah-pasrahnya."
4. Berkenaan dengan "pohon" tradisi intelektual Barat
cabang filsafat eksistensialisme ini, para penganjurnya
mengklaim sebagai berakar pada masa lampau yang jauh,
melintasi zaman, sejak zaman Nabi 'Isa a.s. (khutbahnya di
atas bukit Moria (Zion) -yang kini berdiri Masjid 'Umar atau
Qubbat al-Shakhrah dan Masjid al-Aqsha itu) sebagaimana
dituturkan dalam Injil Matius 5 dari Perjanjian Baru,
kemudian Job, Eclesiastes, Amos, Micah, dan Zabur dalam
Perjanjian Lama, sampai kepada Heracleitus dari Ephesus di
zaman Yunani kuno. (lihat Maurice Friedman, ed. The Word of
Existentialism: A Critical Reader (Chicago: The University
of Chicago Press, 1964), hal 1728.
5. Dalam literatur klasik Arab, "hikmah" memang sering
diartikan sebagai wisdom, yaitu sama dengan "filsafat" yang
memang menyiratkan wisdom, sehingga para filsuf
(al-falasifah) juga disebut al-hukama ("orang-orang
bijaksana"). Ini dengan jelas tercermin, misalnya, dari
risalah Ibn Rusyd, Fash al-Maqal wa Taqrir ma bain al-Hikmah
wa al-Syari'ah min al-Ittishat (Kata Putus dan Kejelasan
tentang Hubungan antara Filsafat dan Agama).
6. QS. al-Baqarah 2: 269, "Dia (Tuhan) memberi hikmah
kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa
diberi hikmah, maka sungguh ia telah diberi kebaikan yang
banyak."
7. Ayat-ayat muhkam itu disebut sebagai "mother of the
Book," Induk Kitab Suci" (Umm al-Kitab). Lihat catatan 2 di
atas.
8. Yaitu QS. Hud 11:1, "Alif Lam Ra, (Inilah) Kitab yang
ayat-ayatnya dibuat jelas maknanya (digunakan kata kerja
pasif "uhkimat" yang sama artinya dengan kata sifat atau
participte pasif "muhkam"), kemudian dirinci, dari sisi Yang
Maha Bijaksana dan Maha Teliti," dan QS. Al-Zumar 39:23,
"Allah telah menurunkan sebaik-baik Firman dalam bentuk
sebuah Kitab yang mutasyabih (serasi, yakni serasi antara
berbagai ajarannya, konsisten) namun matsani
(berulang-ulang, yakni dalam mengungkapkan ajaran-ajaran
itu) ..." A Yusuf Ali mengartikan perkataan mutasyabih di
sini berbeda dengan yang ada pada 3:7 di atas. Sebab,
mutasyabih di sini dikontraskan terhadap matsani, sedangkan
di 3:7 dengan muhkam. Namun, ide pokoknya atau "Form of
Ideas"-nya sama, yaitu bahwa ajaran al-Qur'an membentuk
suatu kesatuan yang utuh, yang manusia sedapat mungkin
berusaha keras menangkapnya, tanpa dogmatik dan tertutup.
(Lihat A.Yusuf Ali, The Holy Qur'an (Jeddah: Dar al-Qiblah
for Islamic Literature, tt), hal. 514, catatan 1493 dan hal.
1243, catatan 4276).
(bersambung 4/4)
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
|
|
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |