| |
|
IV.25. TAQLID DAN IJTIHAD (4/4) MASALAH KONTINUITAS DAN KREATIVITAS DALAM MEMAHAMI PESAN AGAMA oleh Nurcholish Madjid 9. A.Y. Ali, hal. 123, catatan 347. (Patut diketahui bahwa terjemahan al-Qur'an dan tafsir ke dalam Bahasa Inggris oleh A. Yusuf Ali ini dianggap paling standar dan populer dalam dunia Islam internasional. Penyebarannya di seluruh dunia banyak dibiayai oleh Pemerintah Saudi Arabia sejak 1384 H/1965 M dengan sponsor Rabithah Alam Islami yang diketuai Syeik Mohammed Sour as-Sabhan sampai saat ini dengan berbagai cetakan dan edisi, yang kemudian juga mendapat restu dan persetujuan Ri'asat Idarat al-Buhuts al-Ilmiyyah wa 'l-Ifta wa 'l-Da'wah wa 'I-Irsyad di Riyadh sebagai badan tertinggi urusan keagamaan Saudi Arabia. Salah satu edisinya dimaksudkan untuk hotel-hotel internasional, meniru penempatan Kitab Suci Kristen yang telah lama ada). 10. Ini adalah "contoh klasik" metode pendekatan al-Qur'an terhadap masalah sosial kemanusiaan yang pelik dan peka. Orang-orang Arab, tidak terkecuali Nabi sendiri, telah lama mempraktekan pengangkatan anak atau apa yang disebut tabanni, dengan hak hak pada anak angkat itu yang sama dengan anak biologis (alami), termasuk yang menyangkut masalah kawin dan waris. Zaid yang bekas budak (hitam) itu memang seorang pemuda yang saleh dan cerdas, yang setelah dimerdekakan diangkat Nabi sebagai anak angkat, dan sejak itu bernama lengkap Zaid ibn Muhammad. Tetapi dengan adanya pembatalan sistem anak angkat yang disamakan dengan anak kandung dan sejak itu bernama lengkap seperti semestinya, yaitu Zaid ibn Haritsah. Firman yang dimaksud berkenaan dengan masalah ini ialah QS. Al-Ahzab 33:37-40, "Ingatlah ketika engkau berkata kepada seseorang (Zaid) yang telah mendapatkan nikmat dari Allah dan mendapat nikmat (kasih sayang) darimu sendiri, "Pertahankanlah untukmu isterimu (Zainab) itu, dan bertaqwalah kepada Allah. Tetapi engkau menyimpan sesuatu dalam dirimu yang Allah hendak membukanya keluar, dan engkau takut kepada manusia, padahal Allah-lah yang lebih berhak kau takuti. Maka setelah Zaid melaksanakan pembatalan (perkawinannya) dengan dia (Zainab) secara pasti (resmi), Kami (Tuhan) kawinkan engkau (Muhammad) kepadanya (Zainab), agar tidak ada halangan bagi orang-orang beriman untuk mengawini isteri-isteri anak-anak angkat mereka jika memang mereka (anak-anak angkat) telah membatalkan (perkawinan) dari mereka (isteri-isteri mereka). Dan perintah Allah haruslah dilaksanakan. Tidak boleh ada kesulitan pada Nabi berkenaan dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah. Itulan Sunnat Allah kepada mereka yang telah lewat sebelumnya, dan perintah Allah adalah kepastian yang sepasti-pastinya, yaitu (Sunnat Allah) kepada mereka yang menyampaikan pesan-pesan Allah, dan mereka takut kepada-Nya, dan cukuplah Allah sebagai yang membuat perhitungan Muhammad bukanlah ayah seseorang dari kaum lelaki diantara kamu, melainkan Rasul Allah dan Penutup Nabi. Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu." 11. QS. Al-Qamar 54:49, "Sesungguhnya Kami (Tuhan) telah menciptakan segala sesuatu dengan (hukum) kepastian (Qadar)." Dan QS. Al-Furqan 25:2 "Dan Dia (Tuhan) menciptakan segala sesuatu kemudian ditetapkan kepastiannya sepasti-pastinya." Kedua ayat itu, dan masih banyak lagi ayat-ayat yang lain, menegaskan tentang adanya hukum kepastian dari Allah (Qadar) yang menguasai dan mengatur alam raya ciptaan-Nya ini. 12. QS. Fathir 36:43, "... Dan mengapa mereka tidak memperhatikan Sunnah yang terjadi pada orang-orang yang telah lalu? Engkau tidak akan mendapatkan peralihan dalam Sunnat Allah dan engkau tidak akan menemukan perubahan dalam Sunnat Allah." Firman ini, dan masih banyak lagi yang lain, menjelaskan tentang adanya Sunnat Allah, yakni hukum-hukum kepastian dari Allah yang menguasai dan mengatur kehidupan manusia dalam sejarah. Kita diwajibkan memeriksa dan meneliti kemudian menarik pelajaran daripadanya. 13. Yaitu judul sebuah kitab yang cukup terkenal, oleh Ali Ahmad al-Jurjawi yang mencoba melihat hikmah setiap bentuk ibadat serta ajaran dan praktek keagamaan yang lain. (Beirut: Dar al-Fikr, tt). Pendekatannya kurang meyakinkan dan berbau apologetik, tetapi cukup mewakili suatu contoh pencarian makna umum ibadat, ajaran dan praktek keagamaan itu secara rinci. Namun isinya masih jauh dari klaim judul buku itu sendiri, yaitu filsafat at-tasyri' (filsafat penetapan hukum syari'at atau agama). 14. Lihat pembahasan panjang lebar tentang masalah ini dalam al-Jurjawi (op. cit.) hal. 269-281, yang meliputi pula pembicaraan sekitar pengaruh alkohol kepada peminumnya, pada peredaran darahnya, bisnis asuransi jiwa, jumlah kematian karena alkoholisme, pengaruhnya terhadap kesehatan, alkohol dan pengaruh buruknya terhadap negeri-negeri panas, serta korelasi antara alkohol dan kejahatan. 15. Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam, 3 jilid (Chicago: The University of Chicago Press, 1974), jil. 3, hal. 274. 16. Al-Makki op.cit., hal. 116. Yang dimaksudkan al-Makki sebagai sesuatu yang diambil 'Umar dari orang-orang kafir ialah idenya membuat Bayt al-Mal dan kalender (Hijrah). Ide itu ditirunya dari orang-orang Persia, yang pada waktu itu, tentu saja, masih belum muslim. 17. Ibid,hal. 121. 18. Lihat catatan 1 di atas. 19. Hodgson op. cit., hal. 274-275. 20. Al-Makki, op. Cit., hal. 48. Dari beberapa contoh yang dituturkan al-Makki, salah satunya ialah ijtihad Nabi di waktu menyiapkan Perang Badar. Nabi berijitihad untuk tidak usah menguasai sumber air yang vital, supaya musuh pun dapat pula memanfaatkannya, maka datanglah al-Khabbab ibn al-Mundzir bertanya, "Ini dari wahyu atau dari pendapat (ijtihad)?" Nabi menjawab, "Pendapat." Yaitu, karena Beliau melakukan analogi bahwa menghalangi mereka (musuh) dari memperoleh air yang vital itu sama dengan menghalangi binatang dari air, sedangkan menyiksa binatang seperti itu tidaklah diperbolehkan. Padahal Nabi s.a.w. mempunyai naluri amat kuat untuk bersikap kasih kepada sesama hidup. Kemudian al-Khabab membalas, "Pendapat yang benar ialah kita harus menghalangi mereka (musuh) itu dari air yang vital ini, karena menghalangi mereka dari air termasuk taktik perang dan menjadi sebab kemenangan. Musuh dalam perang bukanlah orang yang harus dihormati sehingga tidak diperbolehkan dihalangi dari air." Inipun, kata al-Makki, termasuk pendekatan analogis, salah satu metode ijtihad yang amat penting. Sedangkan yang disebut-sebut ijtihad Nabi yang kemudian mendatangkan teguran Ilahi ialah yang terabadikan dalam QS. Al-Tahrim 66:1, "Wahai Nabi, mengapa engkau mengharamkan sesuatu yang dihalalkan Allah hanya untuk memperoleh kerelaan (kesenangan hati) isteri-isterimu?!" Para penafsir klasik menuturkan tentang suatu kejadian bahwa Nabi suatu hari tinggal di rumah Mariyah, isteri Beliau yang berasal dari Mesir, karena murka kepada Aisyah atau Hafshah. Hal itu kemudian diketahui oleh Hafshah, lalu Hafshah pun marah kepada Nabi, sehingga, demi menyenangkan hati Hafshah (anak 'Umar ibn al-Khattab) Nabi berjanji dan mengharamkan berkumpul dengan Mariyah atas diri Beliau, padahal Mariyah adalah isteri Beliau yang sah. Jadi, menurut hukum Allah adalah halal. Juga, ada versi lain berkenaan dengan kejadian yang terabaikan dalam firman ini. Versi manapun yang benar, semuanya menunjukkan suatu yang dimaksudkan oleh al-Makki sebagai contoh ijtihad Nabi. (Lihat, Nashir al-Din Abi Said 'Abdullah ibn 'Umar ibn Muhammad al-Syirazi al-Baydlawi. Anwar al Tanzil wa Asrar al-Ta'wil al-ma'ruf bi tafsir al-Baydlawi, 5 jilid (Beirut: Muassasat Sya'ban, tt.) jil. 5. hal. 137). 21. Pembahasan tentang ishamat atau ketidak-biasaan (infallibility) Nabi oleh Ibn Taymiyyah ini dapat kita jumpai dalam karya besarnya Minhaj al -Sunnat al-Nabawiyyah fi Naqdl Kalam al-Syi'ah wa al-Qadariyvah, 4 jilid (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt)., jil. 1, hal. 130. Perlu diketahui, karya ini ditulis sebagai polemihya dengan golongan Syi'ah, sebagaimana tereermin dari judulnya. 22. QS. al-Ankabut 29:69, "Dan barangsiapa berusaha sungguh-sungguh (mujahadah) di jalan Kami, maka pastilah akan Kami tunjukkan kepada mereka berbagai jalan (subul) Kami." 23. Lihat, Ibn Taymiyyah, Ikhtilaf al-Ummah fi al-Ibadat, K.H. Muh. Hasyim Asy'ari, al-Tanbihat, dan al-Makki, op. cit., hal. 244 dan passim. 24. Lihat catatan no. 1 di atas dan keterangan yang bersangkutan awal-awal tulisan ini. 25. QS. Al-Qashash 28:88, "Janganlah menyeru bersama Allah (Tuhan Yang Maha Esa) suatu Tuhan yang lain. Tiada suatu Tuhan melainkan Dia. Segala sesutu binasa kecuali Wajah-Nya. Baginyalah ketentuan hukum, dan kepadanyalah kamu semua akan dikembalikan." A. Yusuf Ali memberi komentar yang menarik tentang ayat terakhir Surah 28 ini: "Ini meringkaskan pelajaran seluruh Surah. Kenyataan satu-satunya ialah Tuhan. "Wajah"-Nya atau Diri, Pribadi, atau Wujud-Nya itulah yang harus kita cari, karena menyadari bahwa Dia-lah satu-satunya hal yang abadi, yang tentang hal itu kita bisa mempunyai berbagai pengertian. Seluruh jagad lahir dan tunduk kepada hukum peralihan dan perubahan fana akan sirna, namun Dia akan tetap abadi. Jika berpikir tentang Tuhan yang impersonal, suatu kekuatan kebaikan yang abstrak, kita tidak dapat menggabungkannya dengan Pribadi atau Wujud yang vital, yang tentang Dia itu kita hanya mampu menangkap gaung samar-samar atau cerminan dalam momen yang paling intens dalam luapan spiritual. Jadi kita tahu bahwa apa yang kita sebut diri kita sendiri tidaklah punya makna, sebab hanya ada satu Diri yang benar, dan itu adalah Tuhan. Inilah juga doktrin Advaita dan Shri Shankara dalam jabarannya terhadap Brihadaranyaka Upanishad dalam filsafat Hindu. Lihat juga QS. Al-Hadid 57:3, "Dia (Tuhan)-lah Yang Pertama dan yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin, dan Dia Maha mengetahui atas segala sesuatu." -------------------------------------------- Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah Editor: Budhy Munawar-Rachman Penerbit Yayasan Paramadina Jln. Metro Pondok Indah Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21 Jakarta Selatan Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173 Fax. (021) 7507174 |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |