|
|
IV.24. TAQLID DAN IJTIHAD (3/4) Beberapa Pengertian Dasar Oleh KH. Ibrahim Hosen Sebelum saya mengambil kesimpulan dengan mempertemukan kedua pendapat yang saling berbeda itu marilah kita ikuti hasil keputusan Lembaga Penelitian Islam al-Azhar Cairo yang bersidang pada bulan Maret 1964 M, sebagai berikut: "Mu'tamar mengambil keputusan bahwa al-Qur'an dan Sunnah Rasul merupakan sumber pokok hukum Islam; dan bahwa berijtihad untuk mengambil hukum dari al-Qur'an dan Sunnah dibenarkan manakala ijtihad itu dilakukan pada tempatnya; dan bahwa jalan untuk memelihara kemaslahatan dan untuk menghadapi peristiwa-peristiwa yang selalu timbul, hendaklah dipilih di antara hukum-hukum fiqih pada tiap-tiap mazhab suatu hukum yang memuaskan. Jika tidak terdapat suatu hukum yang memuaskan dengan jalan tersebut, maka berlakulah ijtihad bersama (kolektif) berdasarkan madzhab, dan jika tidak memuaskan maka berlakulah ijtihad bersama secara mutlaq. Lembaga penelitian akan mengatur usaha-usaha untuk mencapai ijtihad bersama baik secara mazhab maupun secara mutlaq untuk dapat dipergunakan dimana perlu." Dari Keputusan Lembaga Penelitian Islam al-Azhar tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa: 1. Pintu ijtihad masih tetap terbuka bagi yang memenuhi persyaratan. 2. Ijtihad dibenarkan apabila dilakukan di tempat-tempat dimana ijtihad boleh dilakukan. 3. Butir pertama hanya berlaku untuk: a. Ijtihad di bidang tarjih baik secara perorangan (ijtihad fardy) maupun secara kolektif (ijtihad Jama'iy). b. Ijtihad di bidang madzhab apabila dilakukan secara kolektif (ijtihad madzhab jama'iy). c. Ijtihad muthlaq apabila dilakukan secara kolektif (ijtihad muthlaq jama'iy). 4. Poin kedua tidak berlaku untuk: a. Ijtihad madzhab secara perorangan (ijtihad madzhab fardy). c. Ijtihad muthlaq secara perorangan (ijtihad muthlaq fardy). Keputusan Lembaga Penelitian Islam al-Azhar tersebut sangat bijaksana, karena keputusan itu telah mempertemukan antara dua pendapat yang saling berbeda. Dengan demikian, pendapat yang mengatakan bahwa pintu ijtihad masih tetap terbuka haruslah diartikan untuk: 1. Ijtihad di bidang tarjih baik bagi perorangan maupun kelompok secara kolektif, 2. Ijtihad madzhab secara kolektif 3. Ijtihad muthlaq secara kolektif, Demikian juga pendapat yang mengatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup haruslah kita artikan untuk: 1. Ijtihad mutlaq secara perorangan, 2. Ijtihad madzhab secara perorangan. Jadi tidak tepat, kalau secara mutlaq/tanpa batasan kita mengatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Dan sebaliknya, tidak tepat kalau kita mengatakan secara mutlaq/tanpa batasan bahwa pintu ijtihad masih tetap terbuka. Dan harus kita sadari bahwa pintu ijtihad masih tetap terbuka dalam bidang-bidang tertentu tersebut adalah bagi yang memenuhi syarat. Bagi yang tidak, tentunya tertutup kemungkinan untuk membuka pintu ijtihad dengan segala macam bentuknya. Menurut saya, mengingat sangat jarangnya faqih/ulama ahli hukum seperti saat sekarang ini, maka yang masih benar-benar dapat dilakukan adalah: 1. Ijtihad di bidang tarjih baik secara perorangan maupun secara kolektif. 2. Ijtihad untuk kasus-kasus tertentu yang memang belum pernah dibahas oleh aimmat al-mujtahidin terdahulu. Hal ini dapat dilakukan secara perorangan maupun secara kolektif. Kelompok pertama sudah banyak dilakukan oleh Muhammadiyah dengan Majelis Tarjihnya, NU dengan Syuriyah dan Bahstul Matsailnya, MUI dengan Komisi Fatwanya. Kelompok kedua, alhamdulillah, sudah banyak dilakukan oleh Komisi Fatwa MUI; sayangnya belum banyak dipublikasikan. Pesan saya dalam menutup uraian tentang ijtihad ini, kalau memang bukan faqih yang menguasai kaidah-kaidah istinbath, janganlah sok berijtihad, sebab bisa berakibat fatal. Milikilah persyaratan dan berijtihadlah di tempat-tempat yang dibenarkan untuk melakukan ijtihad sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 2. TAQLID Tidak semua orang sanggup memahami hukum Islam secara langsung dari dalil atau sumbernya, mengingat kecerdasan, daya tangkap dan ilmu yang dimiliki seseorang bagaimanapun tidaklah sama. Bagi mereka yang memenuhi persyaratan ijtihad sebagaimana telah disebutkan di atas, mereka akan sanggup melakukan hal tersebut, yakni mengetahui, memahami dan menggali hukum Islam dari sumber atau dalilnya secara langsung. Mereka itulah para mujtahid dengan segala macam tingkatannya. Bagi mereka yang tidak memiliki persyaratan ijtihad, tentu tidak akan sanggup mengetahui, memahami dan menggali hukum Islam yang harus diamalkannya secara langsung dari dalil atau sumbernya. Untuk mengetahui hukum Islam yang akan diamalkannya, tentu mereka harus lewat perantara, yaitu harus mengetahuinya melalui mujtahid. Dari sinilah muncul persoalan taqlid. Secara faktual, eksistensi taqlid memang tidak mungkin dihindarkan, mengingat tingkatan manusia yang berbeda-beda. Kaidah Agama yang mengatakan, La taklifa fawqa 'l-istitha'a -manusia tidak akan ditaklif untuk melakukan sesuatu yang tidak mungkin dilaksanakan/diluar kemampuannya. Mentaklif atau mewajibkan seluruh umat manusia untuk meraih rutbatu 'l-ijtihad jelas tidak mungkin. Disamping tidak logis dan tidak realistis, hal itu juga akan membawa akibat terbengkalainya urusan-urusan duniawi/kehidupan yang lain, karena waktu dan segala konsentrasi umat manusia hanya tercurah kearah ijtihad. Ini jelas tidak rasionil. Memang harus kita sadari bahwa taqlid bukanlah merupakan sistem atau metode keilmuan yang baik yang digunakan seseorang untuk memperoleh ilmu. Sebab, sistem dan metode yang baik yang seharusnya kita jadikan washilah/sarana mencapai atau memperoleh ilmu adalah nadhar. Sedangkan penelitian, pengkajian dan penelaahan secara mendalam, yang khusus untuk mencapai hukum furu'/fiqih dikenal dengan ijtihad. Oleh karena itu jumhur ulama telah mencapai konsensus bahwa taqlid tidak dapat dijadikan dasar atau metode keilmuan di bidang aqidah. Karena itu pula pelaku taqlid berdosa, sekalipun imannya sah. Sebagai contoh untuk mengetahui bahwa Allah itu ada maka harus ditempuh lewat nadhar. Apabila hal itu diketahui lewat taqlid, ia berdosa, meski imannya dianggap sah. Taqlid di bidang aqidah inilah yang antara lain dicela al-Qur'an sebagaimana yang ditegaskan dalam QS. al-Zuhruf Ayat 23, yang artinya sbb: "Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang Nabi/Rasul yang memberi peringatan pada suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata; "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak (leluhur) kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka." Mengenai taqlid di bidang hukum Islam, khususnya fiqih, agama membenarkan, mengingat bahwa dalam masalah hukum taklifi seseorang dibenarkan melakukan sesuatu berdasarkan dhann-nya. Bahkan sebagian besar hukum taklifi dasarnya dhann. Disinilah antara lain perbedaan ajaran Islam yang berhubungan dengan masalah aqidah/keimanan dengan ajaran Islam yang berhubungan dengan masalah hukum. Dalam bidang aqidah/keimanan, semuanya bersifat qath'iy atau pasti benarnya. Oleh karena itu ulama telah sepakat bahwa penetapan aqidah haruslah berdasarkan nash qath'iy al-dalalah yang tidak mengandung pen-takwil-an. Sedangkan dalam masalah hukum ada yang bersifat qathi'iy dan ada yang bersifat dhanny. Kalaulah dalam masalah hukum ini semuanya harus berdasarkan dalil qath'iy, niscaya pen-taklid-an itu justru tidak jalan. Lantaran itulah maka taqlid di bidang hukum dibenarkan. Hanya saja tentunya kita jangan cukup puas mendudukkan diri kita pada kursi taqlid ini. Taqlid di bidang hukum inilah yang kita maksud dan yang akan kita bicarakan dalam tulisan ini. PENGERTIAN TAQLID Menurut bahasa, taqlid -bentuk masdar dari kata qallada berarti kalung yang dipakai/dikalungkan ke leher orang lain, atau seperti binatang yang akan dijadikan dam, dimana lehernya diberi kalung sebagai tanda, atau seperti kambing yang lehernya telah diikat dengan tali atau tambang yang dapat ditarik ke mana saja, tanpa disadari oleh kambing yang bersangkutan. Analisa bahasa ini menunjukkan kepada kita seolah-olah seseorang yang telah bertaqlid kepada seorang mujtahid/imam telah memberi identitas diri dengan sebuah kalung di lehernya dan ia telah mengikat dirinya dengan pendapat mujtahid/imam tersebut. Dalam praktek memang demikian. Seseorang yang telah bertaqlid dengan seorang mujtahid/imam, ia tidak akan begitu mudah melepaskan diri dari ikatan itu, untuk kemudian pindah ke pendapat selain imamnya/mujtahid yang diikuti; sehingga muncullah rasa ta'ashub madzhab/fanatik madzhab yang kadang sampai berlebih-lebihan. Hal inilah yang pernah melanda umat Islam termasuk umat Islam di Indonesia sampai berpuluh-puluh tahun lamanya; sehingga umat Islam menjadi jumud dan Islam ketinggalan zaman. Syukurlah setelah gelap kini terangpun datang, dan kini telah mulai memancar sinar itu ke ufuk penjuru dunia Islam termasuk Negeri Pancasila tercinta ini. Hal ini antara lain berkat digalakkannya studi fiqh perbandingan dan ushul fiqih perbandingan di perguruan-perguruan tinggi Islam. Kondisi yang baik ini harus terus kita kembangkan. Sedangkan taqlid menurut istilah ada beberapa rumusan, antara lain: 1. Taqlid ialah beramal berdasarkan pendapat orang lain yang pendapatnya itu tidak merupakan salah satu dalil yang dibenarkan, dan ini dilakukan tanpa berdasarkan dalil. Demikian menurut al-Kamal Ibn al-Hammam dalam al-Tahrir. 2. Menerima pendapat orang lain dalam kondisi anda tidak mengetahui dari mana orang itu berpendapat. Demikian menurut al-Qaffal. 3. Beramal berdasarkan pendapat orang lain tanpa berdasarkan dalil. Demukian menurut al-Syaukany dalam Irsyad al-Fukhul. Sesuai dengan pengertian taqlid di atas maka beberapa hal seperti di bawah ini tidaklah termasuk kategori taqlid. Beberapa hal itu ialah: a. Beramal berdasarkan ayat al-Qur'an atau Hadits Nabi. b. Beramal berdasarkan ijma' c. Seorang hakim yang memutuskan perkara berdasarkan kesaksian saksi yang adil. Sementara pihak ada yang membedakan antara taqlid dan ittiba'. Taqlid ialah mengamalkan pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya, sedangkan ittiba' adalah beramal atau mengamalkan pendapat orang lain dengan mengetahui dalilnya. Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa beramal atau mengamalkan pendapat orang lain dengan mengetahui dalilnya adalah ijtihad. Menurut hemat saya yang ada hanyalah ijtihad dan taqlid. Jadi Ittiba' itu sendiri termasuk kategori taqlid, hanya istilah dan tingkatannya saja yang berbeda, tapi hakikatnya sama, yaitu sama-sama mengikuti pendapat orang lain. (bersambung 4/4) -------------------------------------------- Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah Editor: Budhy Munawar-Rachman Penerbit Yayasan Paramadina Jln. Metro Pondok Indah Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21 Jakarta Selatan Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173 Fax. (021) 7507174 |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota Please direct any suggestion to Media Team |