| |
|
IV.24. TAQLID DAN IJTIHAD (4/4) Beberapa Pengertian Dasar Oleh KH. Ibrahim Hosen HARAM IJTIHAD DAN WAJIB TAQLID Bagi orang-orang yang tidak memenuhi persyaratan ijtihad baik mereka ulama maupun awam, haram bagi mereka berijtihad. Sebab ijtihad yang dilakukannya justru akan membawa pada kesesatan. Dan Allah berfirman, yang artinya, "Allah tidak menaklif/memberi pembenahan kewajiban kepada seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya." Orang-orang yang tidak memenuhi persyaratan ijtihad semacam itu wajib mengikuti pendapat imam mujtahid yang mu'tabar atau istifta'/meminta penjelasan hukum kepada ahl al-dzikr, sejalan dengan firman-Nya, "Bertanyalah kepada ulama apabila kamu tidak mengerti." (QS. al-Nahl: 43). WAJIB IJTIHAD DAN HARAM TAQLID Bagi orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad maka wajib bagi mereka berijtihad dan mengamalkan hasil ijtihadnya. Tidak dibenarkan/haram baginya bertaqlid atau mengikuti pendapat mujtahid yang lain. Kearah inilah harus kita fahami ucapan imam-imam mujtahid kenamaan seperti Hanafi, Syafi'i dan lain-lain yang melarang taqlid. Artinya, bagi yang mampu berijtihad sendiri karena telah memenuhi persyaratannya janganlah mengikuti atau bertaqlid kepada mujtahid yang lain, tetapi wajib berijtihad sendiri. Dengan demikian tidak benar jika kita mengatakan bahwa ijtihad itu wajib dan taqlid itu haram secara mutlaq/tanpa ada batasan. Sebab tidak realistis. Kenyataan menunjukkan bahwa sejak dahulu sampai saat sekarang dan akan berlanjut terus sampai akhir zaman nanti, mayoritas umat Islam dari kalangan awam. Yang awam ini jelas tidak mungkin untuk dipaksakan harus mengupayakan dirinya menjadi mujtahid. Diantara ulama yang mengharamkan taqlid dan mewajibkan ijtihad tanpa ada batasan-batasan tertentu ialah Ibnu Hazm dan al-Syaukany. Bagi kita yang harus kita tempuh ialah mengusahakan bagaimana agar lahirnya ulama-ulama yang ahlu li 'l-ijtihad dapat diperbanyak. Kalau sudah pada tempatnya untuk duduk di kursi ijtihad, janganlah menduduki bangku taqlid. Sebab ada beberapa ulama yang semestinya mereka mampu berijtihad, tetapi nyatanya masih tetap menjadi muqallidin yang setia. Demikian juga harus kita usahakan, jangan sampai terjadi adanya "man laisa lahu ahlun li 'l-ijtihad" memberanikan diri untuk berijtihad. Ini sangat berbahaya. TINGKATAN TAQLID/MUQALLID Sebagaimana halnya ijtihad/mujtahid yang bertingkat-tingkat, demikian juga taqlid/muqallid yang terdiri dari beberapa tingkatan, yaitu: 1. Taqlid secara total/murni (taqlid al-mahdli), seperti taqlid yang dilakukan oleh kebanyakan orang awam, dimana dalam keseluruhan hukum Islam, mereka mengikuti pendapat imam mujtahid. 2. Taqlid dalam bidang-bidang hukum tertentu saja, seperti yang dilakukan para ulama yang mampu berijtihad dalam bidang madzhab, bidang tarjih, dan bidang fatwa. Dengan demikian dilihat dari satu segi, mereka dianggap sebagai mujtahid, tetapi dilihat dari sisi lain, mereka termasuk muqallid. 3. Taqlid dalam hal kaidah-kaidah istinbath, seperti yang dilakukan oleh mujtahid muntasib. MASALAH TALFIQ Berbicara masalah taqlid, rasanya tidak lengkap kalau kita tidak menyinggung masalah talfiq. Menurut definisinya, talfiq ialah beramal dalam suatu masalah/qadliyah atas dasar hukum yang terdiri dari kumpulan/gabungan dua mazhab atau lebih. Ushuliyyin berbeda pendapat mengenai boleh dan tidaknya seseorang ber-talfiq. Perbedaan ini bersumber dari masalah boleh dan tidaknya seseorang pindah mazhab. Artinya, apabila seseorang telah mengikuti/bertaqlid dengan salah satu mazhab, apakah ia harus terikat dengan madzhab tersebut yang berarti ia tidak dibenarkan mengikuti atau pindah ke madzhab lain, ataukah ia tidak terikat dengan arti boleh baginya mengikuti atau pindah ke madzhab lain? Dalam hal ini ada tiga pendapat: 1. Apabila seseorang telah mengikuti salah satu mazhab maka ia harus terikat dengan madzhab tersebut. Baginya tidak boleh pindah ke madzhab lain baik secara keseluruhan maupun sebagian (talfiq). Pendapat ini tidak membenarkan talfiq. Pendapat pertama ini dipelopori oleh Imam Qaffal. Pendapat ini rupanya yang banyak memasyarakat di Indonesia, yang di zaman partai-partai Islam masih ada, sempat dipolitisir dan eksploitir. 2. Seorang yang telah memilih salah satu madzhab boleh saja pindah ke madzhab lain, walaupun dengan motivasi mencari kemudahan, selama tidak terjadi dalam kasus hukum (dalam kesatuan qadliyah) dimana imam yang pertama dan imam yang kedua atau imam yang sekarang diikuti sama-sama menganggap batal. Pendapat kedua ini membenarkan talfiq sekalipun dimaksudkan untuk mencari kemudahan, dengan ketentuan tidak terjadi dalam kesatuan qadliyah yang menurut imam pertama dan imam kedua sama-sama dianggap batal. Golongan ini dipelopori olah al-Qarafi. 3. Tidak ada larangan bagi seseorang untuk berpindah madzhab, sekalipun dimaksudkan untuk mencari keringanan. Pendapat ini memperbolehkan talfiq sekalipun dimaksudkan untuk tujuan mencari keringanan tersebut. Pendapat ketiga ini dipelopori oleh Al-Kamal Ibnu Hammam. Dari segi dalil maupun kemaslahatan diantara ketiga pendapat di atas menurut hemat saya yang paling kuat adalah pendapat Al-Kamal Ibnu Hammam dengan alasan antara lain: 1. Tidak ada nash agama baik dari al-Qur'an maupun Sunnah yang mewajibkan seseorang harus terikat dengan salah satu mazhab saja. Yang ada adalah perintah untuk bertanya kepada ulama tanpa ditentukan ulama yang mana dan siapa orangnya (QS. al-Nahl: 43). 2. Hadits Nabi yang menyatakan bahwa Rasulullah tidak pernah disuruh memilih sesuatu kecuali akan memilih yang paling mudah, selama tidak membawa ke dosa. 3. Kaidah yang berbunyi, "al-ami la madzhaba lahu" -orang awam tidak punya mazhab. Tidak punya mazhab artinya tidak terikat. Hanya saja dalam hal-hal yang menyangkut kemasyarakatan maka yang berlaku adalah mazhab pemerintah atau pendapat yang diundangkan pemerintah lewat perundang-undangan. Hal ini dimaksudkan untuk keseragaman dan menghindarkan adanya kesimpang-siuran. Hal ini sejalan dengan kaidah, "Keputusan pemerintah mengikat atau wajib dipatuhi dan akan menyelesaikan persengketaan." Contoh Talfiq a. Dalam Ibadat. 1. Seseorang berwudlu menurut madzhab Syafi'i yang menyapu kurang dari seperempat kepala, kemudian ia bersentuhan kulit dengan ajnabiyah; ia terus bershalat dengan mengikuti madzhab Hanafi yang mengatakan bahwa sentuhan tersebut tidak membatalkan wudlu. 2. Seseorang berwudlu mengikuti tata cara Syafi'i, kemudian ia bershalat dengan menghadap kiblat dengan posisi sebagaimana ditentukan oleh madzhab Hanafi. b. Masalah Kemasyarakatan 1. Membuat undang-undang perkawinan dimana akad nikahnya harus dengan wali dan saksi karena mengikuti madzhab Syafi'i; mengenai sah jatuhnya thalaq raj'i mengikuti madzhab Hanafi yang memandang sah ruju' bi 'l-fi'li (langsung bersetubuh). 2. Terjadi ru'yah yang mu'tabarah pada suatu tempat, kemudian Qadli Syafi'i menetapkan bahwa ru'yah tersebut berlaku pada seluruh wilayah kekuasaannya, sebab Qadli tadi berpegang dengan pendapat madzhab Maliki dan Hanafi yang tidak memandang persoalan mathla'. Kesimpulan Dari beberapa uraian di atas ingin saya ambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Ijtihad merupakan sarana yang paling efektif untuk mendukung tetap tegak dan eksisnya hukum Islam serta menjadikannya sebagai tatanan hidup yang up to date yang sanggup menjawab tantangan zaman (shalihun li kulli zaman wa makan). 2. Ijtihad baru akan berfungsi dan berdayaguna sebagaimana disebutkan pada Butir pertama jika ijtihad dilakukan para ahlinya (mereka yang memenuhi persyaratan dan dilakukan pada tempatnya sesuai dengan ketentuan yang telah diakui kebenaran dan kesalahannya). 3. Ijtihad akan membawa kejayaan bagi Islam dan umatnya, apabila hal itu dilakukan oleh yang memenuhi persyaratan dan dilakukan di tempat-tempat yang diperbolehkan memainkan peranan ijtihad. 4. Ijtihad yang dilakukan oleh yang bukan ahlinya/yang tidak memenuhi persyaratan atau dilakukan tidak pada tempatnya justru akan membawa kehancuran Islam dan bencana serta malapetaka bagi umatnya. Na'udzu bi 'l-Lah. 5. Ijtihad yang saat ini benar-benar masih dapat kita lakukan ialah ijtihad di bidang tarjih dan ijtihad dalam kasus-kasus tertentu yang belum pernah diijtihadi dibahas oleh imam-imam mujtahid terdahulu. Keduanya ini dapat kita lakukan secara perorangan (ijtihad fardy) atau secara kolektif (ijtihad jamma'iy). 6. Ijtihad sepanjang pengertian ushuliyyin hanyalah berlaku di dunia hukum. 7. Perbedaan yang ditolerir oleh Islam yang dinyatakan akan membawa rahmat/kelapangan adalah perbedaan di bidang hukum furu'/fiqih sebagai akibat dari adanya perbedaan ijtihad. 8. Untuk menggalakkan ijtihad guna menjadikan hukum Islam ini dinamis dan lincah perlu digalakkan studi fiqih perbandingan dan ushul fiqih perbandingan di lembaga-lembaga pendidikan Islam, khususnya perguruan tinggi. 9. Ijtihad dapat kita jadikan alat untuk menjawab perlu dan tidaknya reaktualisasi hukum Islam dan hal itu hanya memenuhi persyaratan ijtihad. Tanpa itu hanya omong kosong. 10.Marilah kita menjadi mujtahid yang benar atau muqallid yang baik yang mempunyai komitmen yang utuh terhadap ajaran agama Islam. DAFTAR KEPUSTAKAAN 1. Al-Syafi'i, al-Risalah 2. Muhammad bin 'Ali al-Bashri, al-Mu'tamad 3. Al-Juwaini, al-Burhan 4. Al-Ghazali, al-Musthafa 5. Fakhruddin al-Razi, al-Mahshul 6. Al-Amidi, Inkamu 'l-Ihkam 7. Al-Baidlawi, Minhaju 'l-Ushul 8. Al-Asnawi, Nihayatu 'l-Sul 9. Al-Subki, Jam'ul Jawami' 10. Ushulus-Sarkhasi 11. Ushulul-Bazdawi 12. Al-Nasafi, al-Manar 13. Al-Baghdadi, Badi'un-Nidham 14. Shadrus-Syari'ah Al-Bukhari, Ranqikhu 'l-Ushul 15. Al-Kamal Ibnul-Hammam, al-Tahrġr 16. Muhammad bin Amir al-Halabi, Taisirut-Tahrir 17. Al-Syaukani, Irsyadu 'l-Fukhul 18. Muhibbu 'l-Lah "Abdus-Syakur," Musallamu 'l-Tsubur 19. al-Syathibi, al-Muwafaqat 20. Ibnul Qayyim, A'lamu 'l-Muwaqq'in -------------------------------------------- Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah Editor: Budhy Munawar-Rachman Penerbit Yayasan Paramadina Jln. Metro Pondok Indah Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21 Jakarta Selatan Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173 Fax. (021) 7507174 |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |