|
|
|
VI.52. SKISME DALAM ISLAM SEBUAH TELAAH ULANG (1/3)
oleh Jalaluddin Rakhmat
Ketika matahari Islam sedang naik di sebelah Timur, di Barat
Kristianitas terbelah dua pola: Gereja Romawi dan Gereja
Yunani. Mereka berpisah seperti "a biological species divided
in space and diversified in time." Kristen Yunani berdoa
sambil berdiri, Kristen Romawi sembahyang sambil berlutut.
Pembaptisan di Yunani dilakukan dengan penyelaman, di Romawi
dengan pemercikan. Pernikahan dilarang bagi pastor Romawi,
tetapi diperbolehkan bagi pastor Yunani. "Kiai" Yunani
memelihara janggut, sedangkan rekannya dari Roma mencukurnya.
Pastor Romawi ahli politik, pastor Yunani ahli teologi.
Terakhir, teolog Yunani menolak tambahan filioque pada
syahadat sex patre filioque procedit hasil perumusan Gereja
Romawi. Pada tahun 1043, Michael Cerularius, Patriarch
Konstantinopel, menyebarkan tulisan yang mengkritik keras Paus
di Roma. Sebagai balasan, Paus St. Leo mengekskomunikasikan
Cerularius dan menggelari pengikut-pengikutnya sebagai "an
assembly of heretics, a conventicle of schismatics, a
synagogne of Satan." (Durant, 1950:544).
Peristiwa ini disebut sebagai skisma besar Gereja Timur. Lebih
dari tiga abad kemudian, kardinal-kardinal Perancis berkumpul
di Anagui, mengeluarkan manifesto yang mengatakan pemilihan
Paus Urbanus VI tidak sah. Sebagai gantinya, mereka mengangkat
Robert dari Genewa dengan gelar Clement VII. Dua Paus
bertahta, masing-masing menyebut yang lain sebagai Judas.
Pertentangan keduanya dan pengikutnya sampai kepada tingkat
saling mengkafirkan. Menurut laporan Will Durant (Durant),
1953:362) "Each side claimed the sacraments administered by
priests of the opposite obedience are invalid, and that the
children so baptized, the penitents so shriven, the dying so
anointed, remained in a state of mortal sin, doomed to hell or
limbo if death should supervene."
Peristiwa ini pun disebut sebagai Skisma Besar. Skisma memang
bukan istilah Islam. Sebuah kamus klasik, Encyclopedisch
Woordenbock voor Groot-Nederland (Ter laan, 1937:648)
menjelaskan makna skisme:
Schisma, (Gr.= shedding), de afscheiding van een deel van de
Gr. Katholieke kerk van Rome, 1054; de sheuring in de. R.K.
kerk, 1378-1407, toen er verschillende pausaen tegelijk waren.
Bila skisme adalah istilah Kristiani, mengapa kita tiba-tiba
bicara tentang skisme dalam Islam. Pernahkan Islam mempunyai
Paus dua dan di antara keduanya ada tuduhan saling
mengkafirkan? Bukankah umat Islam adalah "ummatan wahidatan"
(QS. 23:53; 21:92)? Bukanlah mereka seperti bangunan yang
kokoh, yang saling menguatkan satu same lain; atau seperti
tubuh yang satu, sehingga kalau satu anggota sakit,
anggota-anggota lainnya ikut demam dan panas?
Mula-mula saya menganggap istilah skisme dalam Islam sebagai
mengada-ada; sehingga begitu saja mendengarnya, saya segera
berkomentar, "Ah, ada-ada saja!." Tetapi, setelah saya
merenungkan pertanyaan-pertanyaan di atas? terlintas dalam
ingatan saya sebuah hadits, Nabi Muhammad berkata, "Kalian
akan mengikuti tradisi umat sebelum kalian, sesiku demi
sesiku, sehingga bila mereka memasuki gua serigala, kamu pun
akan mengikutinya. Sahabat bertanya, "Ya Rasullah, apakah
mereka itu Yahudi dan Nashara." Nabi menjawab, "Siapa lagi."
[1] Kata skisme tidak mengada-ada. Walaupun skisme berasal
dari dunia kristen, tradisi yang same telah diikuti umat Islam
juga. Ada tiga kesamaan antara skisma Kristiani dengan
perpecahan dalam Islam.
Pertama, Will Durant melukiskan skisme besar tahun 1054, ia
menulis, "...these galling political events, and not the
slight diversities of creed, severed Christendom into East and
West" (Durant, 1950:544). Al-Syahrastani dalam al-Milal wa
al-Nihal menulis, "Tidak pernah darah di tumpahkan dan pedang
dihunus dalam Islam kecuali karena pertikaian masalah imamah
(kepemimpinan)." Secara singkat, baik skisme dalam Kristen
maupun skisme dalam Islam lebih banyak dilandasi pertikaian
kepentingan politik daripada karena pertikaian aqidah.
Kedua, pertikaian politik sering dicarikan legitimasinya
dengan pengembangan teologi yang berlainan. Tidak jarang,
legitimasi ini diperoleh dengan memalsukan sumber-sumber
ajaran agama atau memberikan penatsiran yang diselewengkan.
Pertikaian dalam gereja Katolik, yang semula bersifat politis,
kemudian diperluas ke dalam bidang liturgi dan doktrin: begitu
pula, dalam Islam. Seperti dalam dunia Kristiani, dalam Islam
pun kaum politisi memperbesar perbedaan doktrinal yang kecil
untuk menyuburkan fanatisme --saling mengkafirkan dan saling
membid'ahkan.
Ketiga, di dunia Katolik pernah muncul gerakan konsiliasi
(cinciliar movement) yang dipelopori oleh kaum cendekiawan.
William Occam menentang identifikasi Kristianitas dalam gereja
tertentu. Heinrich von Langenstein, teolog dari Universitas
Paris, menulis buku Concilium Pacis (1381); dan lain-lain.
Dalam Islam, tokoh-tokoh cendekia seperti Syaikh Syaltut (dari
ahl al-Sunnah), Kasyif Githa (dari Syi'ah), dan Jamaluddin
al-Afgani (tidak jelas dari Sunnah atau Syi'ah), menggalakkan
upaya-upaya taqrib. Sayang, seperti dalam dunia Kristiani,
dalam Islam pun umat terbanyak lebih banyak mendengar suara
politisi ketimbang cendekiawan.
Tulisan ini, terus terang saja, ingin mengikuti suara
cendekiawan dan mengesampingkan suara politisi. Jadi, walaupun
membicarakan skisme, tujuan akhirnya adalah menumbuhkan sikap
persatuan --sikap nonskismatik, sikap nonsektarian. Walaupun
--karena sifat ajarannya-- Islam tidak memisahkan aspek
politik dan aspek intelektual, untuk mudahnya saja, di sini
kedua aspek itu dipisahkan. Bagian pertama makalah ini akan
membicarakan skisme politik, dan bagian kedua skisme
intelektual. Pada bagian akhir, makalah ini akan mengajukan
rekomendasi apa yang seharusnya kita lakukan.
Ada beberapa kali terjadi skisme politik besar dalam sejarah
Islam: pemberontakan 'Aisyah terhadap Khalifah Ali bin Abi
Thalib, pertentangan khalifah antara Mu'awiyah dan Ali bin Abi
Thalib setelah perjanjian Shiffin, perlawanan Husayn bin Ali
terhadap Yazid, atau penobatan Abdullah bin Zubair (681-692)
sebagai Khalifah bersamaan dengan masa Khalifah Yazid, atau
penobatan Syarif al-Husain sebagai Khalifah tandingan khalifah
Utsmaniyah, yang baru saja dihapuskan tiga hari sebelumnya.
Di antara semua skisme tersebut, skisme yang tetap berpengaruh
sampai sekarang adalah skisme-skisme yang melahirkan
polarisasi Sunnah - Syi'ah (yaitu tiga skisme yang pertama).
Karena itu, di sini kita akan meneliti perbedaan konsep
politik di antara kedua madzhab besar itu dan melacak
penyebab-penyebabnya.
ANTARA KHALIFAH DAN IMAMAH
Hamid Enayat menyebutkan tiga konsep kunci untuk pandangan
politik Ahl al-Sunnah - yakni Khalifah, ijma' dan bay'ah.
Ketiga konsep kunci untuk pandangan politik Syi'ah - yakni,
imamah, wilayat, dan 'ishmah. Ijma' dan bay'ah diterima juga
dalam Syi'ah walaupun dalam arti yang terbatas. Wilayah dan
'ishmah merupakan karakteristik tak terpisahkan dari imamah.
Karena itu, abstraksi pandangan politik ahl al-Sunnah dapat
disimpulkan hanya pada perbedaan konsep imamah dan khilafah
yang dianut Syi'ah. [2]
Al-Syahrustani membedakan di antara kedua madzhab ini dalam
hal kepemimpinan politik. Ahl al-Sunnah menetapkan pemimpin
melalui kesepakatan (al-ittifaq) dan pemilihan (al-ikhtiyar).
Sementara itu, Syi'ah menetapkan pemimpin lewat keterangan
agama (nash) dan penunjukan (ta'yin). Al-Mawardi dalam
Al-Ahkam al-Sulthaniyah (450 H) dan Abu Ya'la dalam Al-Ahkam
al-Sulthaniyah (458 H) semuanya menulis, "Kepemimpinan
ditetapkan dengan dua cara: pertama, pemilihan Ahl al-Hal wa
al-'Aqd; dan kedua, penunjukan imam sebelumnya" (Perlu dicatat
di sini bahwa penulis-penulis di atas adalah ulama ahl
al-Sunnah, tetapi -anehnya menyebut kepemimpinan dengan
istilah imamah).
Ahl al-Sunnah berpegang pada ketentuan syura sebagai landasan
kepemimpinan dan menunjuk QS. al-Syura 38 dan Ali Imran 164
sebagai dalil. Jadi karena pemimpin adalah hasil syura,
pemimpin tidak perlu ditunjuk oleh nash. Umat boleh memiliki
(ikhtiyar) pemimpin yang disepakatinya (ittifaq) Dalam
kenyataan, Ahl al-Sunnah tidak mempunyai konsepsi yang jelas
tentang ketentuan-ketentuan syura, siapa yang memilih, dan
berapa jumlah orang yang sepakat.
Menurut Al-Mawardi, syura, boleh dilakukan dalam jumlah
terbatas dan ittifaq paling sedikit dilakukan lima orang.
Pengangkatan Abu Bakar dipilih oleh Umar bin Khathab, Abu
'Ubaidah bin al-Jarah, Usaid bin Hudhair, Basyir bin Sa'ad,
dan Salim Mawla Abi Hudzaifah. Begitu pula Umar mempercayakan
Dewan Formatur yang terdiri dari enam orang untuk memilih satu
di antaranya sebagai khalifah. Ini pendapat fuqaha Bashrah.
Menurut fuqaha Kufah, syura cukup tiga orang dan satu di
antara mereka disepakati oleh dua orang yang lain. Bukankah
aqad nikah sah dengan dua saksi dan satu wali? Kata kelompok
yang lain, syura dan ittifaq cukup dilakukan oleh seorang saja
(sic!), seperti ketika 'Abbas mendatangi Ali untuk
membai'atnya. Mawardi dalam bukunya, Al-Ahkam al-Sulthaniyah
6-7; dikutip lagi dari Al-Askari, 1406:147.
Akhirnya, menurut Ahl al-Sunnah, pemimpin bahkan dapat
disahkan tidak lewat ittifaq tetapi lewat al-ghalabah
(kemenangan perang). Empat imam mazhab Ahl al-Sunnah sepakat
bahwa pemimpin sah dengan salah satu di antara empat cara
(al-Yahfufi, 1406: 234-256), yaitu:
(1) sistem syura yang terbatas (seperti pemilihan Abu Bakar)
(2) sistem istikhlaf (penunjukan pengganti seperti yang
dilakukan Abu Bakar terhadap 'Umar
(3) sistem syura dari dewan formatur yang ditunjuk khalifah
sebelumnya (seperti pengangkatan Utsman bin Affan)
(4) sistem al-ghalabah bi al-saif (penaklukan dengan kekuatan
militer seperti yang dilakukan Mu'awiyah)
Syi'ah berpendapat bahwa imamah hanya sah bila ditegaskan
dalam nash. Mereka beryakinan bahwa Rasulullah SA.W. menunjuk
pengganti-pengganti sesudahnya untuk memimpin umat Islam.
"Sejak pertama kali ia mengajak orang pada Islam," kata
Al-Askari (1406:202). "Ia telah memikirkan dan merencanakan
pelanjutnya ... untuk menegakkan masyarakat Islam." Sayyid
Muhammad Husayn Tabatabai (t.t.: 39) menulis:
From the Shi'ite point of view it appears as unlikely that the
leader of a movement, during the first days of his activity,
should introduce to strangers one of his associates as his
successor and deputy, but not introduce him to his completely
loyal and devout aides and friends. Nor does it appear likely
that such a leader should accept someone as his deputy and
successor and introduce him to others as such, but then
throughout his life and religious call deprive his deputy of
his duties as deputy, disregard the respect due to his
position as successor, and refuse to make any distinctions.
-------------------------------------------- (bersambung 2/3)
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
|
|
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota Please direct any suggestion to Media Team |