|
|
|
|
|
I.4. NASIKH MANSUKH DALAM AL-QUR'AN (1/2)
oleh KH Ali Yafie
Dari awal hingga akhir, al-Qur'an merupakan kesatuan utuh.
Tak ada pertentangan satu dengan lainnya. Masing-masing
saling menjelaskan al-Qur'an yufassir-u ba'dhuhu ba'dha.
[1] Dari segi kejelasan, ada empat tingkat pengertian.
Pertama, cukup jelas bagi setiap orang. Kedua, cukup jelas
bagi yang bisa berbahasa Arab. Ketiga, cukup jelas bagi
ulama/para ahli, dan keempat, hanya Allah yang mengetahui
maksudnya. [2]
Dalam al-Qur'an dijelaskan tentang adanya induk pengertian
hunna umm al-kitab [3] yang sudah mempunyai kekuatan hukum
tetap. Ketentuan-ketentuan induk itulah yang senantiasa
harus menjadi landasan pengertian dan pedoman pengembangan
berbagai pengertian, sejalan dengan sistematisasi
interpretasi dalam ilmu hukum -hubungan antara ketentuan
undang-undang yang hendak ditafsirkan dengan
ketentuan-ketentuan lainnya dari undang-undang tersebut
maupun undang-undang lainnya yang sejenis, yang harus
benar-benar diperhatikan supaya tidak ada kontradiksi antara
satu ayat dengan ayat lainnya. Hal ini untuk menjamin
kepastian hukum. Sementara, unsur-unsur bahasa, sistem dan
teologi dari teori interpretasi hukum masih harus dilengkapi
dengan satu unsur lain yang tidak kalah pentingnya. Itulah
unsur sejarah yang melatarbelakangi terbentuknya suatu
undang-undang, yang biasa dikenal "interpretasi historis."
Dalam ilmu tafsir ada yang disebut asbab al-nuzul, yang
mempunyai unsur historis cukup nyata. Dalam kaitan ini para
mufassir memberi tempat yang cukup tinggi terhadap
pengertian ayat al-Qur'an. Dalam konteks sejarah yang
menyangkut interpretasi itulah kita membicarakan masalah
nasikh-mansukh. Dalam hal ini masalah yang terpenting untuk
kita soroti adalah masalah asas, pengertian/batasan,
jenis-jenis, kedudukan, hirarki penggunaan, kawasan
penggunaan dan hikmah kegunaannya.
ASAS
Andaikan al-Qur'an tidak diturunkan dari Allah, isinya pasti
saling bertentangan. [4] Ungkapan ini sangat penting dalam
rangka memahami dan menafsirkan ayat-ayat serta
ketentuan-ketentuan yang ada dalam al-Qur'an. Kitab Suci
yang terdiri dari 6000 ayat lebih dan terbagi dalam 114
kelompok surat, mengandung berbagai jenis pembicaraan dan
persoalan. Didalamnya terkandung antara lain nasihat,
sejarah, dasar-dasar ilmu pengetahuan, keimanan, ajaran budi
luhur, perintah dan larangan. Masalah-masalah yang
disebutkan terakhir ini, tampak jelas dengan adanya
ciri-ciri hukum didalamnya. Semua jenis masalah ini terkait
satu dengan lainnya dan saling menjelaskan.
Dalam kaitan itu, Imam Suyuthi maupun Imam Syathibi banyak
mengulas prinsip tersebut. Mereka mencatat adanya pendapat
yang memandang adanya tiap ayat atau kelompok ayat yang
berdiri sendiri. Tapi semuanya berpendapat bahwa antara satu
ayat dengan ayat lainnya dari al-Qur'an tidak ada
kontradiksi (ta'arudl). Dari asas inilah lahir metode-metode
penafsiran untuk meluruskan pengertian terhadap
bagian-bagian yang sepintas lalu tampak saling bertentangan.
Adanya gejala pertentangan (ta'arudl) yang demikian
merupakan asas metode penafsiran dimana Nasikh-Mansukh
merupakan salah satu bagiannya. [5]
PENGERTIAN
Nasikh-Mansukh berasal dari kata naskh. Dari segi etimologi,
kata ini dipakai untuk beberapa pengertian: pembatalan,
penghapusan, pemindahan dan pengubahan. Menurut Abu Hasyim,
pengertian majazinya ialah pemindahan atau pengalihan. [6]
Diantara pengertian etimologi itu ada yang dibakukan menjadi
pengertian terminologis. Perbedaan terma yang ada antara
ulama mutaqaddim dengan ulama mutaakhkhir terkait pada sudut
pandangan masing-masing dari segi etimologis kata naskh itu.
Ulama mutaqaddim memberi batasan naskh sebagai dalil syar'i
yang ditetapkan kemudian, tidak hanya untuk ketentuan/hukum
yang mencabut ketentuan/hukum yang sudah berlaku sebelumnya,
atau mengubah ketentuan/hukum yang pertama yang dinyatakan
berakhirnya masa pemberlakuannya, sejauh hukum tersebut
tidak dinyatakan berlaku terus menerus, tapi juga mencakup
pengertian pembatasan (qaid) bagi suatu pengertian bebas
(muthlaq). Juga dapat mencakup pengertian pengkhususan
(makhasshish) terhadap suatu pengertian umum ('am). Bahkan
juga pengertian pengecualian (istitsna). Demikian pula
pengertian syarat dan sifatnya.
Sebaliknya ulama mutaakhkhir memperciut batasan-batasan
pengertian tersebut untuk mempertajam perbedaan antara
nasikh dan makhasshish atau muqayyid, dan lain sebagainya,
sehingga pengertian naskh terbatas hanya untuk ketentuan
hukum yang datang kemudian, untuk mencabut atau menyatakan
berakhirnya masa pemberlakuan ketentuan hukum yang
terdahulu, sehingga ketentuan yang diberlakukan ialah
ketentuan yang ditetapkan terakhir dan menggantikan
ketentuan yang mendahuluinya. Dengan demikian tergambarlah,
di satu pihak naskh mengandung lebih dari satu pengertian,
dan di lain pihak -dalam perkembangan selanjutnya- naskh
membatasinya hanya pada satu pengertian. [7]
JENIS-JENIS NASKH
Masalah pertama yang ingin kami soroti dalam bagian ini
ialah adanya naskh antara satu syari'at dengan syari'at
lainnya. Ini terjadi sebagaimana dapat kita amati antara
syari'at Nabi Isa as. dengan syari'at hukum agama Yahudi
yang lebih dahulu ada. Dalam hubungan ini, dapat kita
katakan bilamana kita mengikrarkan Islam sebagai syari'at,
dengan sendirinya kita mengaku adanya naskh, karena
syari'at-syari'at sebelumnya tidak akan kita anut lagi dan
semua hukumnya pun tidak akan kita berlakukan, sepanjang
tidak dikukuhkan kembali oleh syari'at Nabi Muhammad saw.
Jadi, adanya nasikh-mansukh antar syari'at itu merupakan
salah satu jenis naskh. Hal semacam ini jika ditinjau dari
segi pendekatan ilmu hukum, sangat jelas maksudnya, misalnya
pengertian suatu pemerintahan/negara dengan pemerintahan/
negara lainnya. Contohnya, adanya pemerintahan/negara
kolonial Hindia Belanda dengan pemerintahan/negara nasional
Republik Indonesia. Dalam kaitan ini soal kedaulatan, hukum
dasar dan hukum-hukum yang langsung berhubungan dengan
kedaulatan, serta hukum-hukum lainnya semuanya dicabut dan
tidak diberlakukan lagi sepanjang tidak dikukuhkan
pemerintah/negara baru itu.
Jika kita sudah melihat adanya nasikh-mansukh antar
syari'at, apakah didalam satu syari'at terjadi juga
nasikh-mansukh antara hukum yang satu dengan hukum yang
lainnya? Jika kita kembali pada syari'at Islam sendiri, kita
akan menemui beberapa kasus yang dapat memberikan jawaban
atas masalah ini.
1. Sesudah hijrah ke Madinah, kaum Muslim masih berkiblat ke
arah Bait al-Muqaddas. Sekitar enam bulan kemudian, Allah
menetapkan ketentuan lain: keharusan berkiblat ke arah Bait
al-Haram. [8] Ini berarti terjadi nasikh-mansukh dalam hukum
kiblat. Kasus lain misalnya dalam hal shalat yang semula
tidak diperintahkan lima waktu dengan 17 raka'at. Ini juga
berarti telah terjadi nasikh-mansukh dalam hukum shalat.
2. Kasus-kasus yang digambarkan di atas, semuanya menyangkut
bidang ibadat. Sedangkan di bidang mu'amalat, dapat pula
kita catat beberapa kasus, misalnya hukum keluarga. Sebagai
contoh, semula ditetapkan masa tenggang ('iddah) bagi
seorang janda, lamanya 1 (satu) tahun. [9] Beberapa waktu
kemudian ditetapkan ketentuan hukum lain bahwa masa
tenggangnya 4 bulan 10 hari. [10] Di bidang lain ada pula
perubahan-perubahan yang menyangkut ketentuan hukum
pembelaan diri, tentang minuman keras dan sebagainya.
Dari seluruh kasus-kasus tersebut dapat ditarik kesimpulan,
memang terbukti adanya nasikh-mansukh yang sifatnya intern
dalam syari'at Islam. Beberapa ketentuan hukum yang sudah
berlaku, kemudian dicabut atau berakhir masa pemberlakuannya
dan diganti dengan ketentuan hukum lain. Hal seperti ini,
jika dilihat dari sudut pendekatan ilmu hukum adalah hal
yang lumrah dan banyak terjadi. Bahwa suatu undang-undang
atau peraturan hukum lainnya dicabut atau dinyatakan tidak
berlaku lagi, kemudian diganti dengan menetapkan
undang-undang atau peraturan lain.
Persoalan lebih jauh dalam masalah nasikh-mansukh ini ialah
soal nasikh-mansukh antara al-Qur'an dengan Sunnah. Adanya
nasikh-mansukh antara satu ayat yang memuat ketentuan hukum
dalam al-Qur'an dengan lain ayat yang juga memuat ketentuan
hukum dalam soal yang sama, adalah satu hal yang tidak
diperselisihkan lagi. Demikian pula adanya nasikh-mansukh
antara satu hadits yang memuat ketentuan hukum dalam soal
yang sama, merupakan satu hal yang tidak diperselisihkan
lagi. Juga, adanya nasikh-mansukh antara satu hadits yang
memuat ketentuan hukum dalam Sunnah dengan lain hadits yang
juga memuat ketentuan hukum dalam soal yang sama, merupakan
satu hal yang sudah tidak diperselisihkan lagi. Masalah yang
menimbulkan perbedaan pendapat diantara para ulama ialah
adanya nasikh-mansukh silang antara al-Qur'an dengan
Hadits/Sunnah. Jika disimak alasan masing-masing pihak,
mungkin dapat ditarik satu garis bahwa faktor utama
terjadinya perbedaan pendapat ialah pandangan masing-masing
tentang kedudukan hirarki al-Qur'an dan Sunnah dalam
syari'at itu sendiri.
(bersambung 2/2)
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
|
|
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |