|
|
|
|
|
I.4. NASIKH MANSUKH DALAM AL-QUR'AN (2/2)
oleh KH Ali Yafie
Dalam kaitan hirarki al-Qur'an dan Sunnah, ada semacam
kesepakatan bahwa dalam nasikh-mansukh kedua unsurnya harus
sama tingkatnya dan sama nilai dan sifatnya. Lembaga tawatur
dan ahad termasuk faktor yang dipertimbangkan. Jalan pikiran
seperti ini terdapat juga di kalangan ahli hukum bahwa suatu
peraturan hukum tidak dapat dicabut dengan peraturan hukum
lainnya yang lebih rendah tingkatannya. Demikian pula
lembaga yang mengeluarkan peraturan hukum menjadi faktor
pertimbangan. Berdasarkan pemikiran ini, ada satu hal yang
perlu kita catat bahwa setelah Rasulullah saw wafat maka
tidak ada lagi nasikh-mansukh yang mungkin terjadi pada
syari'at.
Jenis nasikh-mansukh yang diuraikan diatas, menyangkut segi
formalnya. Jenis lain yang menyangkut segi materialnya, ada
yang bersifat eksklusif (sharih) dan inklusif (dlimni).
Untuk yang bersifat sharih, nasikh itu langsung menjelaskan
mansukhnya, misalnya hukum kiblat. Ketentuan yang nasikh
(pengganti) ditetapkan secara jelas. [12] Ini contoh dari
al-Qur'an. Sedangkan contoh lain dari Sunnah misalnya hukum
ziarah kubur. Didalam hadits disebutkan, "Pernah aku
melarang kalian melakukan ziarah kubur. Sekarang
lakukanlah!". [12] Berbeda dengan hal tersebut diatas,
nasikh yang bersifat dlimni tidak memuat penegasan
didalamnya bahwa ketentuan yang mendahuluinya tercabut,
tetapi isinya cukup jelas bertentangan dengan ketentuan yang
mendahuluinya. Jenis seperti inilah yang banyak ditemukan
dalam hukum syari'at.
KEDUDUKAN NASKH
Masalah naskh bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Ia
merupakan bagian yang berada dalam disiplin Ilmu Tafsir dan
Ilmu Ushul Fiqh. Karena itu masalah naskh merupakan
techniseterm dengan batasan pengertian yang baku. Dalam
kaitan ini Imam Subki menerangkan adanya perbedaan pendapat
tentang kedudukan naskh: apakah ia berfungsi mencabut (raf)
atau menjelaskan (bayan). [13] Ungkapan Imam Subki ini dapat
dikaitkan dengan hal-hal yang menyangkut jenis-jenis naskh
yang diuraikan di atas. Jika ditinjau dari segi formalnya
maka fungsi pencabutan itu lebih nampak. Tapi bila ditinjau
dari segi materinya, maka fungsi penjelasannya lebih
menonjol. Meski demikian, pada akhirnya dapat dilihat adanya
suatu fungsi pokok bahwa naskh merupakan salah satu
interpretasi hukum.
HIRARKI PENGGUNAAN NASKH
Yang menjadi persoalan sekarang, apakah naskh menempati
urutan pertama dalam interpretasi hukum-syari'at? Dalam
upaya melakukan interpretasi suatu peraturan dalam syari'at,
baik al-Qur'an maupun Hadits setiap ketentuan hukum itu
harus jelas. Pengertiannya tidak boleh meragukan, supaya
kepastian hukumnya terjamin. Semua segi yang dapat
memperjelas kondisi sesungguhnya, maksud ketentuan hukum itu
harus disoroti dan didalami. Misalnya, tentang segi
bahasanya, proses terjadinya, hubungannya antara ketentuan
hukum itu dengan ketentuan hukum yang lain. Dalam hal ini
harus ada upaya mengawinkan kedua ketentuan hukum itu (jam')
atau memperkuat salah satu diantaranya (tarjih). Baik upaya
jam' maupun tarjih sudah mempunyai tata aturan yang sudah
baku dalam disiplin ilmu Usul Fiqh.
Jika tingkat interpretasi ini sudah ditempuh dan ternyata
kontradiksi antara dua ketentuan hukum itu juga sudah
teratasi, maka pada tingkat inilah dipersoalkan kemungkinan
adanya nasikh-mansukh antara dua ketentuan hukum tersebut.
Kuncinya terletak pada soal historis yang menyangkut kedua
ketentuan hukum tersebut. Faktor asbab al-nuzul bagi ayat
dan asbab al-wurud bagi Hadits, ada dalam tingkat ini. Maka
setiap masalah nasikh-mansukh berada pada tingkat akhir dari
suatu upaya interpretasi. [14]
Kawasan Penggunaan Naskh
Masalah yang tidak kurang pentingnya disoroti, sejauh mana
jangkauan naskh itu? Apakah semua ketentuan hukum didalam
syari'at ada kemungkinannya terjangkau naskh? Dalam hal ini
Imam Subki menukil pendapat Imam Ghazali bahwa esensi taklif
(beban tugas keagamaan) sebagai suatu kebulatan tidak
mungkin terjangkau oleh naskh. Selanjutnya, Syekh Asshabuni
mencuplik pendapat jumhur ulama bahwa naskh hanya menyangkut
perintah dan larangan, tidak termasuk masalah berita, karena
mustahil Allah berdusta. [16] Sejalan dengan ini Imam
Thabari mempertegas, nasikh-mansukh yang terjadi antara
ayat-ayat al-Qur'an yang mengubah halal menjadi haram, atau
sebaliknya, itu semua hanya menyangkut perintah dan
larangan, sedangkan dalam berita tidak terjadi
nasikh-mansukh.
Ungkapan ini cukup penting diperhatikan, karena soal naskh
adalah semata-mata soal hukum, yang hanya menyangkut
perintah dan larangan, dan merupakan dua unsur pokok hukum.
Hal seperti yang diuraikan di atas, di bidang ilmu Hukum
dapat kita lihat gambarnya pada Hukum Dasar, misalnya
Undangundang Dasar Negara yang tidak dapat dijangkau
pencabutan. Adanya pencabutan terhadap sesuatu peraturan
hukum dan penetapan peraturan lain untuk menggantikannya
hanya berlaku pada undang-undang organik atau peraturan,
kedudukan dan kawasan naskh. Dengan demikian, dengan mudah
kita dapat mengenal beberapa persyaratan, yaitu:
1. Adanya ketentuan hukum yang dicabut (mansukh) dalam
formulasinya tidak mengandung keterangan bahwa ketentuan itu
berlaku untuk seterusnya atau selama-lamanya.
2. Ketentuan hukum tersebut bukan yang telah mencapai
kesepakatan universal tentang kebaikan atau keburukannya,
seperti kejujuran dan keadilan untuk pihak yang baik serta
kebohongan dan ketidakadilan untuk yang buruk.
3. Ketentuan hukum yang mencabut (nasikh) ditetapkan
kemudian, karena pada hakikatnya nasikh adalah untuk
mengakhiri pemberlakuan ketentuan hukum yang sudah ada
sebelumnya.
4. Gejala kontradiksi sudah tidak dapat diatasi lagi.
HIKMAH ADANYA NASKH
Adanya nasikh-mansukh tidak dapat dipisahkan dari sifat
turunnya al-Qur'an itu sendiri dan tujuan yang ingin
dicapainya. Turunnya Kitab Suci al-Qur'an tidak terjadi
sekaligus, tapi berangsur-angsur dalam waktu 20 tahun lebih.
Hal ini memang dipertanyakan orang ketika itu, lalu Qur'an
sendiri menjawab, pentahapan itu untuk pemantapan, [17]
khususnya di bidang hukum. Dalam hal ini Syekh al-Qasimi
berkata, sesungguhnya al-Khalik Yang Maha Suci lagi Maha
Tinggi mendidik bangsa Arab selama 23 tahun dalam proses
tadarruj (bertahap) sehingga mencapai kesempurnaannya dengan
perantaraan berbagai sarana sosial. Hukum-hukum itu mulanya
bersifat kedaerahan, kemudian secara bertahap diganti Allah
dengan yang lain, sehingga bersifat universal. Demikianlah
Sunnah al-Khaliq diberlakukan terhadap perorangan dan
bangsa-bangsa dengan sama. Jika engkau melayangkan
pandanganmu ke alam yang hidup ini, engkau pasti akan
mengetahui bahwa naskh (penghapusan) adalah undang-undang
alami yang lazim, baik dalam bidang material maupun
spiritual, seperti proses kejadian manusia dari unsur-unsur
sperma dan telur kemudian menjadi janin, lalu berubah
menjadi anak, kemudian tumbuh menjadi remaja, dewasa,
kemudian orang tua dan seterusnya. Setiap proses peredaran
(keadaan) itu merupakan bukti nyata, dalam alam ini selalu
berjalan proses tersebut secara rutin. Dan kalau naskh yang
terjadi pada alam raya ini tidak lagi diingkari terjadinya,
mengapa kita mempersoalkan adanya penghapusan dan proses
pengembangan serta tadarruj dari yang rendah ke yang lebih
tinggi? Apakah seorang dengan penalarannya akan berpendapat
bahwa yang bijaksana langsung membenahi bangsa Arab yang
masih dalam proses permulaan itu, dengan beban-beban yang
hanya patut bagi suatu bangsa yang telah mencapai kemajuan
dan kesempurnaan dalam kebudayaan yang tinggi? Kalau pikiran
seperti ini tidak akan diucapkan seorang yang berakal sehat,
maka bagaimana mungkin hal semacam itu akan dilakukan Allah
swt. Yang Maha Menentukan hukum, memberikan beban kepada
suatu bangsa yang masih dalam proses pertumbuhannya dengan
beban yang tidak akan bisa dilakukan melainkan oleh suatu
bangsa yang telah menaiki jenjang kedewasaannya? Lalu,
manakah yang lebih baik, apakah syari'at kita yang menurut
sunnah Allah ditentukan hukum-hukumnya sendiri, kemudian
di-nasakh-kan karena dipandang perlu atau disempurnakan
hal-hal yang dipandang tidak mampu dilaksanakan manusia
dengan alasan kemanusiaan? Ataukah syari'at-syari'at agama
lain yang diubah sendiri oleh para pemimpinnya sehingga
sebagian hukum-hukumnya lenyap sama sekali? [18]
Syari'at Allah adalah perwujudan dari rahmat-Nya. Dia-lah
yang Maha Mengetahui kemaslahatan hidup hamba-Nya. Melalui
sarana syari'at-Nya, Dia mendidik manusia hidup tertib dan
adil untuk mencapai kehidupan yang aman, sejahtera dan
bahagia di dunia dan di akhirat.
CATATAN
1. Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan
2. Ibn Katsir, Tafsir-u 'l-Qur'an-i 'l-'Azhim
3. QS. Ali 'Imran: 7
4. QS. Al-Nisa: 82
5. Imam Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh
6. Al-Thusi, Uddat al-Ushul
7. 'Abbas Mutawalli Hamadah, Al-Sunnat al-Nabawiyyah
8. QS. Al-Baqarah: 114
9. QS. Al-Baqarah: 240
10. QS. Al-Baqarah: 234
11. QS. Al-Baqarah: 142
12. Imam Muslim, Al-Jami' al-Shahih
13. Imam Al-Subki, Jam' al-Jawami'
14. Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh
15. Imam Al-Subki, Jam' al-Jawami
16. Muhammad Ali Al-Shabuni, Rawai'al-Bayan
17. QS. Al-Furqan: 32
18. Al-Qasimi, Mahasin al-Ta'wil.
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
|
|
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |