| |
|
V.38. PENGHAYATAN KEAGAMAAN POPULER (1/3) DAN MASALAH RELIGIO-MAGISME oleh Nurcholish Madjid Setiap gerakan pembaruan atau pemurnian agama (Islam) tentu mencakup agenda pemberantasan bid'ah dan khurafat. Sebagai tindakan menambah-nambah hal baru kepada agama tanpa dasar yang sah dalam prinsip agama itu sendiri, perbuatan bid'ah tentu akan berakibat mengaburkan ajaran agama yang murni. Dan sebagai kepercayaan kepada obyek-obyek yang palsu khurafat dengan sendirinya sudah merupakan penyimpangan dari kemurnian agama. Walaupun begitu, untuk menentukan mana yang bid'ah dan mana pula yang khurafat bukanlah perkara yang dapat dengan mudah disepakati oleh semua kelompok Islam. Adalah sangat logis bahwa masing-masing kelompok mengaku sebagai penganut ajaran yang murni, yang bebas dan bid'ah dan khurafat. Beberapa gerakan pemurnian Islam memiliki konsep yang tegas tentang apa yang mereka pandang sebagai bid'ah dan khurafat, serta melancarkan program pemberantasannya dengan gigih, dan berhasil. Contoh yang paling tegas dalam hal ini ialah gerakan pemurnian yang dipelopori oleh Syaikh Muhammad ibn 'Abd-u 'l-Wahhab (1115-120 H/1703-1787 M) di Jazirah Arabia, yang memprioritaskan penghancuran makam-makam "suci" sebagai salah satu agenda pemurnian di manapun mereka berhasil berkuasa. Gerakan pemurnian yang kemudian dikenal sebagai gerakan "Wahhabi" itu adalah yang paling berhasil dari usaha serupa di seluruh dunia Islam. Dalam koalisinya dengan Klan Sa'ud (Al-u Su'ud), gerakan Wahhabi menyatukan diri dalam sebuah agregat politik yang dipimpin oleh keluarga Sa'ud, dan lahirlah Kerajaun Arabia Saudi. Sebagai wujud lahiriah kesuksesan pemurnian oleh kaum Wahhabi, Jazirah Arabia merupakan sebuah negeri Muslim, yang paling bebas dari praktek penghormatan berlebihan kepada makam-makam. Kecuali makam Nabi di Madinah yang gagal mereka hancurkan (konon karena kerasnya ancaman dari negara-negara Islam, khususnya dari Turki yang waktu itu masih perkasa), seluruh makam di negeri itu, termasuk makam-makam para syuhada, Badar dan Uhud, telah mereka ratakan dengan tanah sama sekali. PENGHAYATAN KEAGAMAAN POPULER Sebagai rahmat untuk sekalian alam, sesuai dengan penegasan tentang diutusnya Nabi Muhammad saw, Islam adalah untuk kebahagiaan semua orang, tanpa membeda-bedakan tinggi rendahnya dalam kemampuan manusiawi pribadi (seperti kemampuan intelektual) maupun dalam kedudukan sosial. Oleh karena itu adanya penghayatan keagamaan populer, dalam arti oleh kalangan umum (awwam, "awam") yang biasanya juga menjadi bagian terbesar masyarakat, bukanlah sesuatu yang dengan sendirinya mengandung kesalahan, kekurangan atau cacat. Nilai keagamaan seseorang berupa adanya taqwa dan hidayah dari Tuhan tidaklah tergantung kepada tingkat kemampuan intelektual atau pun kedudukan sosial. Ini jelas merupakan ajaran moral dibalik teguran Tuhan dalam al-Qur'an kepada nabi ketika beliau nampak hanya mau meladeni "orang besar" dan mengabaikan "orang kecil." Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena datang kepadanya seorang buta. Apakah engkau tahu (wahai Muhammad), kalau-kalau dia (orang buta) itu bersih jiwanya? Atau dia itu hendak belajar, kemudian ajaran itu bermanfaat baginya? Sedangkan orang yang serba berkecukupan, maka engkau berikan perhatian. Padahal tidak mengapa bagimu sekiranya dia (orang kaya) itu tidak bersih jiwa. Dan adapun orang yang datang bergegas lagi pula dia itu bertaqwa maka engkau mengabaikannya. Janganlah begitu! Sesungguhnya ia (ayat-ayat) ini adalah peringatan. Maka siapa saja yang mau ia akan memperhatikan. Dalam lembaran-lembaran yang terhormat, yang tinggi dan suci. Di tangan para utusan (malaikat), yang mulia dan selalu berbakti. [1] Dari peristiwa yang dituturkan dalam Kitab Suci itu jelas sekali bahwa kesucian jiwa bukanlah sesuatu yang mempunyai kaitan positif dengan kedudukan sosial seseorang. Maka dalam skema itu penyebutan sesuatu sebagai "penghayatan keagamaan populer" tidak dengan sendirinya mengandung nilai kerendahan atau kekurangan. Karena itu ada petunjuk agar kita berbicara kepada seseorang sesuai dengan kemampuan berpikirnya. [2] Berkaitan dengan ini, al-Qur'an sendiri menyebutnya bahwa Tuhan selalu mengutus Utusan-Nya dengan bahasa kaumnya: "Kami tidaklah pernah mengutus seorang Utusan pun kecuali dengan bahasa kaumnya, agar ia dapat memberi penjelasan kepada mereka." [3] Tentang "bahasa" itu, A. Yusuf Ali menafsirkan, tidak hanya bahasa dalam linguistiknya, tapi juga dalam arti kultural, bahan cara berpikir. Semua Utusan Allah menyampaikan pesan Ilahi kepada kaumnya, selain melalui bahasa linguistiknya, juga bahasa budaya dan cara berpikir mereka. Dan penggunaan "bahasa" itu meliputi semua golongan manusia tanpa kecuali, tinggi dan rendah ataupun "khawatir" dan "awam." Yusuf Ali menjelaskan hal itu demikian: Jika tujuan dari Pesan Suci (Risalah) ialah membuat sesuatu menjadi terang, maka ia harus disampaikan dalam bahasa yang berlaku di antara masyarakat, yang kepada mereka Utusan itu dikirim. Melalui masyarakat itu Pesan tersebut dapat mencapai seluruh umat manusia. Bahkan ada pengertian yang lebih luas untuk "bahasa." Ia tidak semata-mata masalah abjad, huruf atau kata-kata. Setiap zaman atau masyarakat atau dunia dalam pengertian psikologis membentuk jalan pikirannya dalam cetakan atau bentuk tertentu Pesan Tuhan karena bersifat unversal dapat dinyatakan dalam semua cetakan dan bentuk, dan sama-sama absah dan diperlukan untuk semua tingkatan manusia, dan karena itu harus diterangkan kepada masing-masing sesuai dengan kemampuannya atau daya penerimaanya. Dalam hal ini al-Qur'an menakjubkan. Ia sekaligus untuk orang yang paling sederhana dan untuk orang yang paling maju. [4] Tentu saja kenyataan memang seperti yang dikatakan oleh Yusuf Ali. Sebab, kalau tidak maka akan bertentangan dengan rahmat Allah untuk sekalian umat manusia, dan tentu akan menjadi absurd seandainya Tuhan akan memberi jalan menuju kebahagiaan hanya kepada golongan khusus masyarakat saja. MASALAH PENINGKATAN Jadi, dalam hal esensi keimanan itu sendiri, Allah tidak membeda-bedakan antara manusia. Tetapi hal itu tidaklah berarti tidak ada masalah tinggi-rendah dalam kualitas keimanan itu. Bahkan, menurut Ibn Taymiyyah, dalam al-Qur'an ada acuan kepada adanya tiga tingkatan keimanan kalangan orang-orang Muslim: (1) orang beriman yang masih zalim kepada dirinya sendiri dengan banyak berbuat dosa; (2) orang beriman yang sedang atau menengah dalam berbuat kebaikan; dan (3) orang beriman yang cepat dan bergegas menuju kepada berbagai kebaikan. [5] Firman Allah: Dan yang Kami (Tuhan) wahyukan kepada engkau (Muhammad), yaitu Kitab ini, itulah yang benar, untuk mendukung kebenaran (kitab-kitab) yang sudah ada sebelumnya. Sungguh Allah Maha Teliti dan Maha Melihat akan hamba-hambaNya. Kemudian kami wariskan Kitab itu kepada mereka yang kami pilih di kalangan hamba-hamba Kami. Maka dari antara mereka ada yang zalim kepada diri mereka sendiri, di antaranya lagi ada yang sedang, dan diantaranya lagi ada yang cepat kepada berbagai kebaikan dengan perkenan Allah. Itu adalah anugerah yang besar. [6] Menurut Kitab Suci lagi, peningkatan dari suatu jenjang ke jenjang itu adalah melalui karunia ilmu, sebagai penunjang atau pelengkap bagi iman, Dan di sini ilmu dalam arti yang seluas-luasnya, termasuk, sudah tentu, ilmu tentang ajaran agama itu sendiri. Hal ini tentu saja sangat logis, karena iman tanpa pengetahuan tentang apa yang diimani tentu akan menghasilkan keimanan yang berkualitas rendah, disebabkan oleh rendahnya keinsafan akan makna Pesan Ilahi dalam agama. Firman Allah yang banyak dikutip itu adalah demikian Allah mengangkat mereka yang beriman di antara kamu dan yang diberi anugerah ilmu ke berbagai tingkat (yang tinggi)? [7] Oleh karena itu sebuah firman juga secara retorik (khathabi) mengajukan pertanyaan: "Apakah sama mereka yang berilmu dengan mereka yang tidak berilmu? Sesungguhnya yang dapat menerima pengajaran hanyalah mereka yang berpikiran mendalam." [8] Setiap orang beriman berkewajiban meningkatkan mutu keimanannya dengan belajar dan menambah pengetahuann. Dengan ilmu yang dilandasi oleh iman itu kesadaran akan apa yang baik dan yang buruk akan meningkat, sehingga setiap kali ia berbuat sesuatu yang tidak benar ia akan cepat menyadari, dan kembali ke jalan yang diridlai Allah. Sebuah Hadits menyebutkan, inilah keunggulan akal atau kemampuan manusia berpikir. Hadits itu menuturkan tentang pertanyaan Anas ibn Malik kepada Nabi: "Ya Rasulullah, adakah orang yang baik akalnya tapi banyak dosanya?" Beliau menjawab "Tidak ada seorang anak Adam (manusia) kecuali mesti punya dosa dan kesalahan yang ditempuhnya. Tapi kalau pembawaanya dan nalurinya ialah yakin (iman) maka dosanya itu tidak membahayakan baginya. Dan dikatakan: "Setiap kali ia membuat kesalahan maka ia akan selalu disusulinya dengan taubat dan rasa penyesalan atas apa yang telah terjadi, dan dengan begitu ia menghapuskan dosanya, lalu yang tersisa ialah keutamaan yang membawanya masuk surga." [9] Karena itu, sejalan dengan firman Allah yang telah dikutip di atas tadi, semakin mendalam ilmu seseorang yang beriman, semakin pula ia mendapatkan kebaikan dari Allah. Sebab ilmu yang diterangi iman itu akan menjadi pangkal kearifan (hikmah, wisdom). Dan Allah berfirman: "Dia (Allah) menganugerakkan hikmah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa dianugerahi hikmah maka sungguh ia telah dianugerahi kebaikan yang banyak." [10] Jadi ilmu bagi seorang yang beriman akan memberi manfaat peningkatan atau pendidikan (dalam bahasa Arab disebut "tabiyah" yang mempunyai makna "peningkatan"), yang meningkatkan kualitas keimanan dari suatu jenjang ke jenjang yang lebih tinggi. -------------------------------------------- (bersambung 2/3) Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah Editor: Budhy Munawar-Rachman Penerbit Yayasan Paramadina Jln. Metro Pondok Indah Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21 Jakarta Selatan Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173 Fax. (021) 7507174 |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |